"Kau harus memilih... satu saja," suara itu menggema, berat dan dalam, seperti berasal dari inti dunia itu sendiri. Suara para pendekar suci, para arwah agung yang telah bersemayam dalam dunia antara kehidupan dan kematian. Li Feng berdiri di tengah lingkaran cahaya yang dipenuhi bayangan para legenda: wajah-wajah bijak, namun juga keras, tak mengenal ampun.
Li Feng menggigil. Keringat dingin membasahi pelipisnya meski tubuhnya hanya berupa jiwa. "Apa maksud kalian...?" "Jika kau ingin kembali ke dunia manusia, jika kau ingin hidup... kau harus meninggalkan salah satu dari tiga hal yang paling berharga dalam hidupmu." Tiga pilar cahaya memancar di hadapannya. Yang pertama—bayangan wajah Mei Yue, tersenyum lembut, menggenggam tangannya di bawah hujan plum. Yang kedua—kilatan kenangan: wajah ibunya, suara desanya, bau nasi hangat yang dulu ia makan dengan adik-adiknya. Yang ketiga—Pedang Naga Langit, menyala dalam api biru, bergemuruh dengaLi Feng berdiri di depan altar, matanya kosong menatap sosok yang terbaring di sana. Tidak ada kata yang bisa keluar dari bibirnya, tidak ada air mata yang bisa menetes lagi. Hanya hampa, seperti ada sebuah ruang yang membeku di dalam dirinya, yang semakin lama semakin membesar. Putri Ling’er sudah menyerahkan dirinya, tanpa ragu. Tentu saja, pengorbanan itu bukan tanpa beban. Sebelum ritual dimulai, ia sempat menatap Li Feng, memberikan senyuman yang lembut namun penuh kesedihan. "Setidaknya salah satu dari kita hidup bahagia," kata-katanya begitu tulus, meskipun ia tahu, kehidupan ini tidak akan pernah lagi sama setelah ini. Mei Yue, wanita yang telah mendampinginya dalam setiap langkah, yang telah menyelamatkan hidupnya berkali-kali, kini terbaring dengan tenang di sisi altar. Racun yang meracuni tubuhnya telah berhasil dikeluarkan. Semua itu berkat pengorbanan Putri Ling’er. Namun, bukan itu yang membuat Li Feng merasa begitu hancur. Ada sesuatu yan
Desiran angin dari dalam lorong bawah tanah makin terasa dingin. Bukan sekadar dingin biasa, melainkan dingin yang menggigit tulang, seperti hembusan napas arwah yang tak pernah lelah menunggu. Li Feng memejamkan mata sejenak, meresapi bisikan yang bergaung dari dinding batu tua. “Apakah ini… tempat itu?” bisiknya. Putri Ling’er menggenggam erat lengan bajunya. “Li Feng… aku bisa merasakannya. Sesuatu yang kuno… sesuatu yang sangat tua… menunggu kita di sana.” Langkah kaki mereka menyusuri lorong sunyi yang diterangi cahaya lentera biru kehijauan dari jimat pengusir roh yang digantung di ujung tombak Li Feng. Bayangan mereka terpantul remang-remang di dinding batu yang lembap. Setiap langkah terasa berat, bukan karena beban tubuh, tapi beban sejarah. “Tempat ini dibangun bukan hanya untuk menyimpan jenazah,” ujar Li Feng lirih. “Ada sesuatu yang dijaga… sesuatu yang ingin dilupakan dunia.”
Angin malam menggigit tulang saat Li Feng berdiri mematung di hadapan dukun gila itu. Bau dupa aneh memenuhi udara, dan di dalam gubuk reyot yang hanya diterangi cahaya kuning dari lentera bambu, suara burung hantu bersahutan dengan lolongan serigala dari kejauhan. Tubuhnya tak bergerak, tapi hatinya berkecamuk. "Kau harus membunuh satu orang tak bersalah... demi menyelamatkan nyawanya," ulang sang dukun dengan suara serak, seperti suara daun kering yang digerus angin. "Tidak... tidak... itu bukan pilihan...!" Li Feng menggertakkan giginya. "Ada cara lain, pasti ada!" Dukun itu tertawa, getir dan panjang. "Pendekar suci, hah... Tapi bahkan dewa pun menuntut harga. Tak ada mukjizat tanpa tumbal." Li Feng mengepalkan tinjunya. Tangannya bergetar. Dadanya naik turun dengan napas tertahan. Wajah Mei Yue—pucat, lemah, tapi tetap tersenyum di balik rasa sakitnya—terbayang jelas dalam benaknya.
Li Feng berlari, jantungnya berdegup kencang. Matanya tak pernah lepas dari tubuh Mei Yue yang semakin lemah. Tujuh hari—hanya itu yang tersisa. Racun yang menggerogoti tubuh Mei Yue semakin merasuk, menghapuskan kehidupan dari dalam dirinya perlahan. Tak ada obat, tak ada pengobatan yang bisa menolong, kecuali satu—Dukun Gila. Dukun itu adalah legenda di kalangan orang-orang yang tahu cara-cara hitam dan gelap, cara-cara yang tak terjamah oleh kebanyakan orang. Dukun Gila hidup di pedalaman, jauh dari peradaban. Dalam dunia yang penuh dengan seni bela diri dan kekuatan fisik, Dukun Gila adalah sosok yang memiliki keahlian di luar nalar manusia. Namun, meskipun demikian, kata-kata mengenai sang dukun selalu dipenuhi dengan bisik-bisik ketakutan. Li Feng menggenggam pedangnya, jari-jarinya menegang, bergetar. Ini bukan tentang kehormatan, ini bukan tentang perang atau musuh-musuhnya yang tak terhitung jumlahnya. Ini tentang Mei Yue. Wanita yang telah men
Angin malam berhembus lembut di atas bukit tempat Li Feng berdiri, memandangi langit yang kelam tanpa bintang. Di bawahnya, desa kecil tempat Mei Yue dirawat tampak tenang, seolah tak menyadari badai yang tengah mengancam. Namun, di dalam hatinya, badai itu mengamuk tanpa henti. "Mei Yue..." bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Ia mengingat kembali saat panah beracun menancap di dada Mei Yue. Darah mengalir deras, dan wajah wanita yang dicintainya itu memucat seketika. Li Feng merasa dunia runtuh di hadapannya. "Tidak! Aku tidak akan membiarkanmu pergi!" teriaknya saat itu, menggenggam tangan Mei Yue yang mulai dingin. Pertarungan Melawan Waktu Hari-hari berlalu dengan cepat, namun racun dalam tubuh Mei Yue semakin menyebar. Para tabib terbaik telah dipanggil, namun tak satu pun yang mampu menemukan penawar. Li Feng merasa putus asa, namun ia tak menyerah.
Angin malam berhembus lembut, membawa aroma darah dan racun yang samar. Di bawah cahaya rembulan yang pucat, tubuh Mei Yue terkulai dalam pelukan Li Feng. Panah beracun menancap di dadanya, dan darah segar mengalir perlahan, membasahi pakaian putihnya yang kini ternoda merah. "Mei Yue!" teriak Li Feng, suaranya parau dan penuh kepanikan. Tangannya gemetar saat mencoba mencabut panah itu, namun ia tahu bahwa gerakan sembarangan bisa mempercepat penyebaran racun. Mei Yue membuka matanya perlahan, menatap wajah Li Feng yang dipenuhi kecemasan. Senyum tipis terukir di bibirnya. "Li Feng... aku... aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi seperti ini," bisiknya lemah. "Jangan bicara, Mei Yue. Aku akan menyelamatkanmu. Aku bersumpah!" Li Feng menatap sekeliling, mencari bantuan, namun malam itu terasa sunyi dan sepi. Tiba-tiba, dari balik bayangan pohon, muncul sosok berjubah hita
Udara malam itu hening. Begitu sunyi hingga desiran angin pun terdengar seperti bisikan arwah yang menyesal. Di bawah sinar bulan yang pucat, Li Feng berdiri terpaku, matanya basah, tubuhnya gemetar. Ia baru saja memanggil nama yang selama ini tak ia sadari begitu tertanam dalam jiwanya: "Mei Yue..." Mei Yue tidak berkata apa pun. Ia hanya menatapnya dengan mata yang menggenang. Perlahan, langkah mereka saling mendekat. Tidak ada kata-kata. Tidak perlu. Dunia seolah menghilang, hanya menyisakan dua jiwa yang telah terlalu lama saling mencari dalam kabut luka dan kebisuan. "Aku..." Li Feng tak sanggup melanjutkan. Suaranya tercekat, tenggorokannya kering seperti padang tandus yang menanti hujan pertama. Mei Yue menggigit bibir bawahnya, menahan isak. Ia sudah terlalu sering menangis dalam diam, tapi malam ini... berbeda. Seketika, Li Feng berlari. "Mei Yue!" Dan ia memeluknya. Sek
Udara di Negeri Para Dewa bukanlah udara yang biasa. Begitu memasuki wilayah itu, napas Li Feng tercekat. Langit berselimut kabut keperakan, berkilauan seperti sutra halus. Langkah kakinya terasa ringan, seolah tanah tak benar-benar menjejak. Namun dalam keindahan itu, tersembunyi tekanan yang begitu mencekam. "Tempat ini... bukan hanya negeri para dewa," gumam Li Feng lirih, "ini penjara langit." Putri Ling’er menggenggam lengan bajunya erat. “Aku tak suka tempat ini. Rasanya seperti... ada yang mengawasi dari segala arah.” Belum sempat Li Feng menjawab, suara menggema memenuhi ruang hampa di hadapan mereka. Suara itu berat, bagaikan batu-batu langit yang runtuh perlahan. "Anak manusia yang membawa kutukan naga. Kau akhirnya tiba." Li Feng langsung memasang kuda-kuda. Tangan kirinya menyentuh gagang Pedang Naga Langit yang kini tak lagi mengeluarkan aura membara, tetapi tenang d
Li Feng berdiri di atas tanah, tubuhnya gemetar meskipun udara malam yang sejuk menyentuh kulitnya. Putri Ling’er yang diselamatkan telah dibawa kembali ke kota, dan Mei Yue—wanita yang tak pernah benar-benar ia kenali—berdiri beberapa langkah di depannya. Rembulan, yang biasa menjadi saksi bisu perjalanan mereka, kini menyoroti seluruh pemandangan dengan cahayanya yang lembut, seakan menunggu sesuatu yang tak terucapkan. Ada banyak hal yang ingin dikatakan, namun kata-kata tak kunjung keluar dari bibir Li Feng. Sesuatu menggelitik hatinya. Sebuah kenangan yang merasuk begitu saja, menyusup ke dalam jiwanya yang hampa. Semuanya terasa seperti mimpi yang sangat dekat, namun teramat jauh. Kenapa ia merasa bahwa semua ini... begitu nyata, namun begitu asing? "Li Feng..." Mei Yue memanggilnya pelan, langkahnya mantap meski hatinya bergetar. Namun, tak ada jawaban dari pemuda itu. Ia hanya menatapnya dengan mata kosong, penuh kebingungannya. Hati