Li Feng memandangi tubuh Mei Yue yang kini tergeletak tak bergerak, beku seperti patung es. Wajahnya yang dulu penuh dengan kehidupan dan harapan kini terbungkus dalam lapisan kristal bening yang dingin. Namun, meski tubuhnya telah menjadi kristal, air mata yang menetes dari matanya masih terperangkap dalam bentuk kristal hidup—sebuah kenangan yang tak akan pernah pudar, selamanya terjaga dalam bentuk yang abadi.
"Mei Yue..." Li Feng berbisik, suara itu berat dengan rasa sakit yang tak terungkapkan. Setiap helaan napasnya terasa seperti beban dunia yang tertumpuk di dada. Ia menatap wajah Mei Yue yang kini seperti tenggelam dalam tidur panjang, seolah waktu telah berhenti. Namun, ia tahu—ini bukanlah tidur. Ini adalah akhir dari segalanya, atau mungkin hanya awal dari sesuatu yang lebih besar, lebih gelap. Langit malam di atas mereka tak menunjukkan tanda-tanda kedamaian. Angin dingin bertiup kencang, seperti menangis bersama Li Feng. SekeliTengah malam, angin berhembus kencang, menggoyangkan pepohonan yang seolah berbisik dengan suara-suara yang tak dapat dimengerti. Langit gelap, dihiasi oleh pendar cahaya rembulan yang memudar di balik awan kelabu. Di bawahnya, Perguruan Naga Langit yang dulu megah kini terlihat sepi, tertutup oleh bayang-bayang malam yang pekat. Namun, ada sesuatu yang tak wajar di sana—sesuatu yang menciptakan getaran di udara, sesuatu yang telah mengintai sejak jauh sebelumnya. Li Shen berjalan perlahan di antara reruntuhan yang masih terasa panas dari api yang baru saja padam. Matanya terfokus pada sisa-sisa puing yang dulunya adalah tempat di mana ia dibesarkan, tempat yang telah menjadi rumah bagi banyak murid yang mengagungkannya. Kini, hanya ada kehancuran dan bayang-bayang musuh yang mengintai di balik setiap sudut. "Li Shen...," suara itu tiba-tiba menggema di telinganya, suara yang akrab namun kini terasa asing. Ia menoleh, matanya mencari sumber suara. Tak a
Langit pagi di Perguruan Naga Langit Baru tampak cerah, namun bayangan gelap masih menyelimuti hati Li Shen. Ia baru saja bangun dari tidur lelap yang tidak pernah benar-benar memberikan kedamaian. Di dalam tidurnya, sebuah suara memanggil, membisikkan sesuatu yang membuatnya terjaga dengan keringat dingin. Sebuah nama, satu nama yang menggetarkan jiwa—Li Feng. "Li Feng... siapa dia sebenarnya?" gumam Li Shen, terduduk di tepi ranjang, matanya terpaku pada pedang karat yang tergeletak di sampingnya. Pedang itu, milik seseorang yang entah mengapa terasa begitu familiar baginya. Tidak lama setelah itu, mimpi yang sama kembali datang, menghantuinya, dengan Li Feng muncul dalam bentuk bayangan yang kabur namun penuh kekuatan. "Aku adalah penjaga keseimbangan," suara itu berbisik. "Kau harus menuntaskan apa yang aku mulai, bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai penjaga." Li Shen menggigit bibirnya. "Penjaga keseimbangan? Tapi, apa yang harus aku
Angin berdesir keras melalui celah-celah pegunungan yang menjulang tinggi. Langit Timur tampak dihantui oleh cahaya merah yang aneh, seolah-olah dunia itu sendiri terbelah. Tidak ada yang tahu pasti apa yang sedang terjadi di langit sana—selain rasa ketegangan yang menggelayuti setiap jiwa yang memandangnya. Hembusan angin itu terasa tajam, menambah kesan kegelisahan yang menyelimuti dunia yang sudah lama tenang. Tian Yi berdiri di atas puncak Perguruan Naga Langit Baru, memandangi cakrawala yang mulai berubah warna, merah seperti darah yang tumpah. Di hatinya, ada perasaan yang tak bisa dijelaskan. Sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar perasaan takut. Ada ketakutan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, yang bukan hanya berasal dari ancaman fisik, tetapi juga dari kenyataan yang lebih dalam. Kegelapan itu kembali. “Apa yang sedang terjadi?” Tian Yi berbisik, lebih kepada dirinya sendiri daripada siapapun. Dalam keheningan malam, han
Di tepi danau yang jernih, di sebuah desa terpencil di pegunungan, seorang bocah lelaki berlari mengejar bola yang terlempar jauh. Ia terjatuh ke tanah, tetapi tawa riangnya bergema di udara yang sejuk. Wajahnya yang polos, masih penuh dengan semangat muda, menatap langit biru yang tak terbatas. Namun, di saat itulah matanya tertumbuk pada sesuatu yang tak biasa di tepi danau. Di sana, tertanam di lumpur yang basah, sebuah benda yang mengeluarkan kilau samar. Li Shen, nama bocah itu, berjongkok dengan penuh rasa penasaran. Ia membersihkan tanah dan lumpur yang menutupi benda tersebut, hingga akhirnya sebuah pedang karat yang usang terungkap. Pedang itu tampak seperti barang tua, penuh dengan karat dan bercak darah yang mengering di sepanjang bilahnya. Meski begitu, ada sesuatu yang aneh pada pedang itu—sebuah aura, yang sepertinya bersifat menantang, membuat Li Shen merasakan getaran halus di tangannya. “Apa ini?” Li Shen berbisik, terkejut dengan penem
Dua tahun telah berlalu sejak pengorbanan Li Feng. Dunia, yang sempat dipenuhi kegelapan dan kebingungan, kini kembali tenang. Tian Yi berdiri di depan gerbang besar Perguruan Naga Langit Baru, menatap langit yang cerah, yang semakin meluas di hadapannya. Sudah menjadi kebiasaan bagi para pendekar untuk datang dan mempelajari ilmu-ilmu kuno yang diwariskan dari generasi ke generasi. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda dalam dirinya. Ia merasa bahwa meski dunia ini damai, bayangan masa lalu selalu mengikuti langkahnya. "Perjalanan ini belum berakhir, Tian Yi," suara Mei Yue terdengar pelan dari belakangnya. "Kau tahu itu, bukan?" Tian Yi mengangguk pelan, matanya menatap pedang yang tergantung di sisi tubuhnya. Pedang itu, yang dulu milik gurunya, Li Feng, kini ia pegang erat. Pedang Naga Langit, senjata yang memiliki kekuatan luar biasa, tapi juga kutukan yang tak pernah bisa dipisahkan. Kekuatan itu ada dalam genggamannya, tapi kini, ia lebih dari s
Langit yang semula berwarna merah darah kini mulai memudar. Waktu terasa melambat, seperti terperangkap dalam ruang yang tak bisa diukur. Li Feng berdiri di tengah pusaran kegelapan yang mengancam untuk merobek dunia ini. Seiring dengan hembusan angin yang membawa aroma kehancuran, ia menyadari bahwa ini adalah akhir dari segala sesuatu yang pernah ia kenal. Ia sudah jauh melangkah—tak ada jalan kembali. Dalam diam, ia memandang Mei Yue, yang kini berdiri di sisi lainnya, matanya dipenuhi dengan rasa takut dan kehilangan yang dalam. “Li Feng…” Mei Yue memanggil dengan suara tergetar, namun ada keteguhan yang tercermin di baliknya. “Apa kau benar-benar akan melakukan ini? Apa kau benar-benar akan meninggalkan kita semua?” Li Feng menatap Mei Yue, seakan ingin menyampaikan begitu banyak hal dalam satu tatapan. Tapi kata-kata terasa tak cukup. Ia hanya bisa tersenyum, senyuman yang penuh kepedihan. "Aku berjanji untuk mengakhiri ini. Dan itu berarti… aku h