Share

BAB 6. ACARA ULANG TAHUN CLARISSA

Sore kemarin Mas Haris tidak pulang, Clarissa sudah mulai cemberut karena ayahnya tak kunjung datang. Tapi aku masih bisa menenangkannya, dengan berkata mungkin ayahnya baru bisa pulang pagi ini. Aku memintanya untuk bersabar sedikit lagi.

Pagi-pagi sekali, Ibu, Mita, dan Bagus sudah datang membantu mempersiapkan dekorasi. Snack dan gift untuk anak-anak yang datang di acara ulang tahun Clarissa sudah dari semalam kusiapkan, memang tidak begitu banyak hanya mengundang beberapa anak di sekitar rumah.

Pagi ini aku memompa balon beraneka warna, kemudian Mita dan Bagus memasangnya di ruang tamu supaya tampak ramai dan meriah.

Hari sudah semakin siang, tapi Mas Haris tak juga kelihatan batang hidungnya. Dia juga tidak memberi kabar apa-apa.

Sebenarnya aku merasa sungkan untuk menghubungi Mas Haris lagi. Kenapa seolah aku harus mengemis padanya, supaya hadir di acara ulang tahun putrinya sendiri. Ini benar-benar terlihat bodoh. Tapi aku menahan semua rasa demi putriku.

Aku beranjak menjauh dari Mita dan Bagus, kemudian memilih masuk kedalam kamar untuk menghubungi Mas Haris.

Kucari kontak Mas Haris di ponsel, kemudian menggeser tombol hijau. Telepon terhubung tapi hingga beberapa detik tak juga diangkat. Aku kembali mencoba hingga beberapa kali, tapi nihil, hasilnya tetap sama, Mas Haris tak menjawab teleponku.

Dengan perasaan kesal, akhirnya kuputuskan untuk mengirim pesan pada Mas Haris.

[Mas, kamu di mana, kenapa nggak angkat telepon?] Pesan terkirim tapi belum dibaca. Aku menunggu beberapa saat, tapi hingga lima menit belum juga dibaca.

Kuputuskan mengirim pesan lagi.

[Mas, kamu jadi pulang 'kan? Kasihan Clarissa, dari kemarin dia nungguin ayahnya.] Dengan cepat kukirim lagi. Tetapi masih sama, hingga beberapa saat belum juga dibaca.

Rasanya sangat kesal, ingin rasanya aku memaki Mas Haris. Marah, kesal, kecewa, semua jadi satu hingga akhirnya air mata menetes tanda pertahananku mulai goyah.

Tiba-tiba pintu diketuk, lalu terdengar suara ibu. "Mir, kamu nggak apa-apa?" tanya ibu terdengar khawatir.

"Iya, Bu, Mira nggak apa-apa kok," jawabku berusaha bersuara setenang mungkin.

"Teman-teman Clarissa udah pada datang. Bu Wulan juga sudah datang, Mir," ucap ibu lagi.

"Iya, Bu, sebentar lagi Mira keluar," ucapku sambil berjalan kearah kamar mandi. Aku mencuci muka kemudian kembali merapikan dandananku. Aku tidak mau terlihat menyedihkan di hadapan semua orang, terutama di depan putriku. Selama ini aku berusaha kuat hanya demi Clarissa, putri semata wayangku.

Keluar dari kamar aku langsung menghampiri Clarissa di ruang keluarga. Sepertinya putriku sedang merajuk, mungkin karena ayahnya belum juga datang. Tampak ibu, Bu Wulan, dan Mita sedang membujuk Clarissa. Mereka seperti dikomando melihat ke arahku, saat aku keluar dari kamar dan menghampiri mereka.

"Bunda ... ayah mana, kenapa belum juga datang?" tanya Clarissa sambil menatapku dengan mata berkaca-kaca. Inilah yang aku tidak sanggup, melihat air mata putriku rasanya hatiku bagai disayat-sayat.

"Clarissa, mungkin ayah ada hal yang nggak bisa ditinggalkan, atau mungkin ayah datangnya terlambat. Tadi bunda udah coba telepon tapi nggak di angkat, Nak. Kita mulai aja ya, acara ulang tahunnya," ucapku berusaha membujuk Clarissa. Sebisa mungkin aku tak meneteskan air mata di depan putriku, walaupun dalam hati rasanya tak sanggup menahan rasa sakit ini.

"Iya, kita mulai aja ya, acaranya. Kasihan teman-teman Clarissa udah pada nungguin," ucap ibu ikut membujuk Clarissa.

"Clarissa jangan sedih. Walaupun ayahnya nggak bisa datang, kita semua ada disini. Semua sayang sama Clarissa." Bu Wulan ikut menimpali dan membesarkan hati putriku.

Akhirnya Clarissa menganggukkan kepalanya, tetapi raut wajahnya masih terlihat sangat sedih.

"Eh, yang lagi ulang tahun nggak boleh sedih dong. Mana senyumnya?" ucap Mita berusaha menggoda Clarissa agar dia melupakan kesedihannya.

"Om Bagus punya kejutan buat Clarissa dan teman-teman. Ayo kedepan, kita mulai acaranya," ucap Bagus yang tiba-tiba masuk menghampiri kami.

"Oh ya ... kejutan apa ya? Ayo kita lihat," sahut Mita, kemudian menggandeng tangan Clarissa ke depan. Kami semua bangun dari tempat duduk kemudian berjalan ke ruang tamu yang sudah dihias dengan dekorasi ulang tahun.

Sampai di ruang tamu, ternyata teman-teman Clarissa sudah berkumpul semua. Bahkan beberapa orang tua tampak ikut mengantarkan putra-putri mereka.

"Kejutan, silahkan masuk!" ucap Bagus sedikit berteriak. Lalu tiba-tiba masuk seorang badut yang langsung disambut anak-anak dengan antusias.

"Wah ... ada badut. Hore ... ada badut!" Teriak anak-anak Senang.

Akhirnya acara dimulai. Bagus dan Mita memandu acara. Anak-anak yang berani bernyanyi di depan, bisa berfoto dan mendapat hadiah dari badut. Yang bisa menjawab pertanyaan dengan benar, juga mendapatkan hadiah kemudian berfoto dengan badut. Anak-anak sangat senang mendapat banyak Hadiah.

Acara berlangsung sangat meriah, hingga puncak acara potong kue dan tiup lilin. Clarissa memberikan potongan kue pertama padaku, kemudian potongan kedua diberikannya pada omanya. Kami semua mendo'akan dan menciuminya, berusaha menunjukkan banyak cinta supaya dia tidak berkecil hati.

Setelah memberikan ucapan selamat, satu persatu teman-teman Clarissa pulang. Mita dan Bagus membereskan sisa-sisa acara ulang tahun. Kemudian kami duduk bersama di ruang keluarga.

Bu Wulan memberikan Kado berupa boneka kelinci besar berwarna pink dan juga sebuah totebag yang ternyata isinya baju dan sepatu untuk Clarissa. Bu Wulan juga membawa banyak kue dari tokonya.

"Bu Wulan, terima kasih banyak hadiahnya banyak sekali untuk Clarissa. Jadi ngerepotin, Bu," ucapku sungkan.

"Clarissa, bilang terimakasih, Nak, sama Oma Wulan," pintaku pada Clarissa.

"Oma Wulan, terima kasih banyak ya kadonya," ucap Clarissa.

"Iya sama-sama, Mir, Clarissa. Oma nggak merasa repot, malah oma senang bisa datang ke rumah Clarissa dan kenal sama keluarga Clarissa yang lain," ucap Bu Wulan sambil membelai rambut Clarissa.

Tiba-tiba terdengar notifikasi dari ponselku. Aku mengeluarkannya dari kantong celana. Aku pikir Mas Haris yang menghubungiku. Tapi tenyata setelah aku melihat layar, bukan nama Mas Haris tapi nama teman lamaku yang bernama Ayu.

Tumben sekali Ayu menelepon. Kira-kira apa yang membuatnya menghubungiku, karena selama ini dia jarang sekali meneleponku.

"Hallo ... assalamualaikum," ucapku saat sambungan telepon sudah terhubung.

"Walaikumsalam ... Mir, kamu lagi di mana?" tanya Ayu setelah menjawab salamku.

"Aku? Aku di rumah. Kenapa emangnya, Yu?" tanyaku heran, kenapa Ayu bertanya seperti itu.

"Emm, anu Mir ... Aku--aku ngeliat Mas Haris, suamimu bersama seorang wanita di hotel." Bagai petir di siang hari saat aku mendengar ucapan Ayu. Ya, aku tahu Ayu bekerja di sebuah hotel di Jakarta sebagai resepsionis.

"A-apa? Kamu nggak salah lihat 'kan, Yu?" ucapku dengan suara bergetar, lalu bangun dari tempat duduk.

"Nggak kok, Mir. Aku yakin itu Mas Haris, suamimu. Aku tadi bahkan sempat mengambil fotonya diam-diam. Sebentar ya, aku kirimkan," ucapnya kemudian menutup teleponnya.

Aku menunggu dan menatap ponselku dengan dada berdebar. Ketika suara notifikasi terdengar, buru-buru aku membuka gambar yang dikirimkan oleh Ayu.

Deg!

Dadaku berdetak kencang, rasanya sakit sekali. Sangat jelas itu memang foto Mas Haris, suamiku. Dia sedang memeluk pinggang seorang wanita, tapi sayangnya aku tak bisa melihat wajah wanita itu.

Aku menarik tangan Mita menjauh dari Clarissa. Kemudian mengajaknya masuk kedalam kamarku. Sampai di kamar, tubuhku langsung luruh ke lantai, aku menangis menumpahkan segala rasa sakit di dalam hati.

Mita yang kebingungan melihaku menangis, memelukku dan mengusap punggungku. Aku tak sanggup menceritakannya pada Mita, hingga kuputuskan untuk memperlihatkan ponselku yang masih memperlihatkan foto Mas Haris dengan wanitanya.

Mita menerima ponselku, kemudian melihat kelayar ponsel. Matanya melotot menatap ponsel, tangannya terkepal, kemudian dia berjalan tergesa ke luar kamar memanggil suaminya.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status