"Mas, aku boleh main F******k nggak?" Tiba-tiba Kanaya menanyakan hal itu pada Abimana saat mereka bersiap tidur.
"Buat apa, Sayang? Kan sudah Mas bilang nggak usah. Nanti malah ada yang jahilin kamu, Mas nggak suka." Abimana menjawab dengan santai, seolah-olah benar-benar melindungi sang istri."Masa si di F******k bisa jahil, Mas?" tanya Kanaya lagi memasang wajah polos, padahal dulu waktu SMA, dia juga sudah sempat membuat akun di aplikasi biru itu. Namun, karena Abimana melarang keras, dengan cepat Kanaya menghapus aplikasinya."Bisalah, Dek. Pokoknya jangan, ya? Mas Pengen kamu aman. Nggak diganggu smaa pria mana pun."Entah mengapa mendengar hal itu membuat Kanaya mencebik dalam hati. Padahal, sebelumnya ia selalu tersenyum bangga atas perhatian yang diberikan Abimana seperti ini."Dari mana kamu tahu kalau aku akan diganggu pria, Mas? Bukannya Mas juga nggak main F******k?" Tiba juga saatnya Kanaya mempertanyakan hal itu.Diliriknya Abimanan tiba-tiba mengambil posisi membelakangi Kanaya. "Ada temen yang cerita istrinya gitu, suka digangguin banyak pria nggak jelas.""Jadi, istri temen Mas diganggu pria lain di F******k, gitu ya, Mas?" Kanaya masih belum puas dengan jawaban Abimana yang terkesan menghindar."Iya begitulah ... sudahlah, Dek. Udah malam, Mas mau tidur."Baiklah, Mas. Aku akan berlagak bodoh di hadapanmu selagi aku mencari bukti perselingkuhanmu. Aku akan bongkar kebusukanmu agar aku bisa menang sebelum berperang.Ya, menang dalam perceraian yang akan ia gugatkan nantinya.***"Assalamu'alaikum, Mbak Kanaya."Seorang wanita bercadar menyapa Kanaya yang sedang membayar sayur pada Bang Udin."Ah, iya. Wa'alaikum salam." Kanaya menoleh dengan cepat, mencari sumber suara. Dilihatnya wanita bercadar tengah tersenyum padanya. Meskipun wajahnya tak terlihat, tetapi dapat diketahui dari kedua mata wanita itu yang menyipit."Maaf ya, Mbak. Baru bisa menyapa," ucap wanita bercadar itu lagi seraya mengulurkan tangan. "Kenalkan, Mbak. Saya Jamilah.""Oh, iya, Mbak Jamilah. Saya Kanaya," balas Kanaya dengan cepat. "Tapi, tadi Mbak Jamilah udah bener ya manggil saya Kanaya. Ternyata sudah tahu nama saya, malah saya yang belum tahu nama Mbak.""Hehe, nggak Papa, Mbak. Saya tahu nama Mbak Kanaya dari ibu-ibu komplek kemarin waktu arisan. Katanya Mbak Kanaya absen datang, karena nganter anak ke toko buku kan ya?""Benar, Mbak. Saya nganter anak perempuan saya ke toko buku. Jadi, Mbak Jamilah gabung arisan juga?" tanya Kanaya antusias. Menurutnya tetangga baru ini sangat ramah, karena jarang sekali ada tetangga baru yang begitu pindah langsung ikut kumpul-kumpul dengan warga setempat.Jamilah kembali tersenyum seraya mengangguk pelan. "Iya, Mbak. Saya ikut gabung, kesepian kalau di rumah sendiri.""Lho, bukannya di sini tinggal sama suami ya, Mbak?" Tiba-tiba, dari arah samping Bu Darti sudah berdiri di dekat Jamilah. "Maaf ya Mbak Jamilah, kemarin waktu Mbak dateng pertama kali ke sini, saya nggak sengaja lihat Mbak Jamilah dan pria berpakaian Arab gitu. Itu suaminya kan?""Hust! Bu Darti! Jangan asal nuduh, ya! Mana ada perempuan bercadar kumpul kebo!" Bang Udin yang sedari tadi diam langsung menyambar ucapan Bu Darti. Dua orang ini memang tidak bisa dikumpulkan, jika bertemu ada aja yang jadi bahan lawakan."Aish! Bang Udin, ini! Aku kan cuma nanya, emangnya salah? Bolehkan Mbak Jamilah?" Setelah menyahuti Bang Udin, Bu Darti kembali menoleh ke arah Jamilah."Hehe, boleh dong. Namanya tetangga kan memang harus saling mengenal. Apalagi saya tetangga baru, jadi harus lebih terbuka, kan?""Iya, benar itu, Mbak Jamilah," sahut Bu Darti lagi sambil melirik ke arah Bang Udin. "Yang ditanya aja lo santai, tapi kenapa dia yang sewot?!"Bang Udin yang merasa disindir hanya tertawa kecil. Memang begitulah keseharian tukang sayur itu, ikut nimbrung obrolan pelanggan yang notabene adalah ibu-ibu.Jamilah kembali bersuara, "Benar Bu Darti, yang sampean lihat kemarin itu memang suami saya, tapi kami LDR-an. Dia sedang berdakwah di luar kota, jadi terpaksa kami jarang bertemu," jelasnya dengan menundukkan wajah."Masya Allah, jadi benar kalian berdua ini sepasang suami istri ustaz dan ustazah??" Kanaya begitu antusias mendengar cerita dari Jamilah.Jamilah kembali mengangguk, pelan. "Iya, Mbak. Alhamdulillah.""Kalau bisa berdakwah bersama, kenapa cari tempat tinggal yang terpisah? Kenapa nggak tinggal di kota sana aja ikut suami?" Bu Darti kembali mencecar yang membuat Bang Udin kembali bersuara."Mau dia satu rumah, pisah rumah, apa urusanmu si Bu Darti?"Dengan cepat Bu Darti menoleh ke arah Bang Udin. "Bang Udin, bisa diam enggak? Kalau nggak bisa diam, nanti aku nggak jadi beli sayuran lho, Bang.""Tu kan, Bang Udin. Jangan bikin Bu Darti marah deh," sahut Kanaya menertawakan tingkah dua orang yang tengah adu mulut di hadapannya."Tenang, Bang Udin. Saya sudah siap kok diinterogasi seperti ini." Jamilah pun ikut menimpali Bang Udin, yang membuat suasana semakin hangat.***Siang hari. Saat semua pekerjaan rumah telah selesai, Kanaya mencoba kembali mengutak atuk akun Facebooknya yang dulu. Ia ingin membuktikan apa yang dibilang Fandi kemarin tentang akun suaminya yang memanjang foto wanita berambut pirang.Meskipun tidak mendownload aplikasinya, Kanaya bisa log in melalui sambungan web yang tersedia di handphone.Setelah berhasil masuk di akun miliknya yang lama, Kanaya mencari satu username yang diberitahu Fandi adalah milik Abimana. Dan benar saja, Kanaya menemukan satu akun sesuai nama yang ia ketik dengan foto profil mobil yang persis dengan mobil suaminya.Tanpa menunggu lama, Kanaya langsung menekan akun itu dengan perasaan bercampur aduk. Jika benar apa yang dikatakan Fandi, berarti benar dugaannya bahwa Abimana telah berselingkuh.Kedua netra Kanaya mulai mengembun. Dengan jantung berdegup lebih kencang, serta rasa sakit kian menjalar Kanaya benar-benar mendapati foto itu. Terlihat jelas Abimana memeluk seorang wanita dengan posisi membelakangi kamera. Di sana, Abimana tersenyum tampak sangat bahagia, dengan lengan kiri melingkar di leher sang wanita berambut pirang.Farid memenuhi ucapannya. Waktu sore di hari yang sama setelah kami melaksanakan lamaran, pria itu mengantarku dan Aqilla ke rumah sakit kota. Jarak perjalanan yang lumayan jauh sehingga kami tiba di rumah sakit di waktu malam. Untungnya jam besuk pasien masih diperbolehkan oleh pihak rumah sakit, sehingga kami bisa masuk untuk menemui Mas Abi dan istrinya. Setelah bertanya pada perawat kamar, kami menemukan kamar rawat Jamilah di posisi paling ujung. Dengan langkah cepat, kami memburu jam besuk agar kami sempat berbicara lama di dalam sana. Aku mengetuk pintu beberapa kali dan setelahnya kuucapkan salam. Terdengar suara Mas Abi menjawab salamku dari dalam. Pintu pun terbuka. Mas Abi terhenyak dan tak kuasa menahan tangis. "Aqilla, putri Papa ...." Pria itu memelvk putrinya dengan sangat erat, seperti tak mau dipisahkan. "Pa, maafin Qilla," ucap putriku di sela tangisnya yang pilu. Aqilla pun melakukan hal yang sama dengan sang ayah. Dia memeluk erat ayahnya seraya menangis terse
"Kanaya! Maafkan aku!" Hampir seluruh orang yang hadir mendengar suara pria memanggil-manggil namaku dan meminta maaf. Beberapa pria yang duduk di samping pintu segera bangkit dan melihat siapa yang datang. "Itu kayak mantan suaminya Kanaya," celetuk seorang pria berpakaian batik yang keluar paling depan. "Masa sih? Kalau benar, buat apa dia ke sini? Pas lagi lamaran gini??" sahut pria yang lain. Meskipun pembicaraan mereka di luar rumah, tetapi kami yang di dalam bisa mendengar dengan sangat jelas. "Siapa, Nduk? Masa Abimana beneran? Ngapain dia ke sini?" tanya padaku dengan wajah mulai cemas. Aku menggeleng pelan. "Kanaya juga nggak tahu, Bu.""Lebih baik kamu keluar. Coba lihat dan pastikan," saran ibu yang kutanggapi dengan anggukan paham. Namun, ternyata Farid memperhatikanku sedari tadi dan dia menghentikan langkahku."Nggak usah, Kan. Biar aku aja yang keluar!" Dengan langkah tegap Farid bergegas ke luar rumah untuk menghampiri Mas Abi. Aku segera menarik lengan ibu dan
Kembali POV Kanaya"Kalau sudah sama-sama setuju, mending dicepetin aja pernikahannya," celetuk ibu yang mampu membuat pipiku memerah.Dengan cepat aku menyenggol lengan wanita yang telah melahirkanku itu. "Ah, Ibu ...." Ibu benar-benar membuatku malu. Bukan hanya ibu, tetapi putriku juga ikut menyambar, "Iya, Ma! Bener kata Nenek. Qilla juga setuju kalau Mama sama Om Farid cepetan nikah!" "Tuh, Aqilla juga setuju kan saran Nenek?" balas ibu lagi yang disambut tawa renyah oleh Farid. "Kalau Om Farid terserah Mama kamu aja, Qilla." Farid ikut menimpali seraya melirik ke arahku dan berganti kepada Aqilla. "Manggilnya kok masih Om? Qilla mau ganti panggilan aja! Kan Om Farid mau jadi Papa Qilla. Jadi, mulai sekarang, Qilla mau manggil Om Farid dengan panggilan Papa!" Ada desir aneh yang menjalar ketika mendengar ucapan putri kecilku. Rasa haru bercampur bahagia. Ada kesedihan yang muncul, mengingat putriku telah lama kehilangan sosok ayah.Namun, aku juga bahagia karena akhirnya ada
Sebelumnya aku tidak tertarik pada perempuan mana pun, tetapi entah mengapa sangat berbeda dengan Kanaya. Meskipun aku tahu dia janda yang memiliki satu anak, tetapi hatiku merasa ingin lebih mengenalnya. Aku kerap membantunya bahkan aku menawarinya pekerjaan di perusahaan dengan posisi yang tidak tanggung-tanggung. Kuyakinkan dia mau untuk menerima tawaran dengan berbagai cara. Awalnya dia ragu karena merasa rendah diri. Ya, dia hanya lulusan SMP yang tidak melanjutkan pendidikan lagi. Aku paham betul apa yang dia pikirkan, maka dari itu, aku semakin meyakinkannya untuk mau maju bersamaku. Tidak mudah membujuk Kanaya hingga dia mau menjadi bagian dari staf penting perusahaan. Namun, tiba-tiba dia berhenti sebelum berperang karena satu alasan yang tidak kupahami. Setelah beberapa minggu berlalu, akhirnya aku tahu penyebab Kanaya menyerah. Seseorang telah memadamkan api semangatnya dan membuatnya berputus asa. Dia adalah Novita, mantan tunangan yang masih kupertahankan di perusaha
Awalnya kupikir Aqilla akan menolakku, mengingat dia sangat takut dengan sosok ayahnya. Namun, ternyata gadis remaja yang sudah kuanggap seperti putriku sendiri itu tersenyum dan berseru, "Ya ... pastinya Aqilla mau dong, Om!" Mendengar jawaban dari remaja putri bahwa dia menerimaku sebagai ayahnya membuat hatiku sangat bahagia. Alhamdulillah, akhirnya keinginanku untuk melindungi Kanaya dan putrinya bisa terwujud. ***Namaku Farid Wijaya Kusuma. Aku anak tunggal dari pasangan orang tua yang bekerja sebagai guru di desa tempat kami tinggal. Ya, ibu dan ayahku adalah guru honorer di sekolah SMP yang berbeda. Hobiku berwirausaha membuat masa depanku jauh dari keinginan orang tua. Ibu dan ayahku sebenarnya ingin aku mengikuti jejak langkah mereka menjadi seorang guru, tetapi aku lebih memilih untuk berbisnis dan memiliki usaha sendiri. Entahlah, kupikir berbisnis itu lebih menyenangkan daripada menjadi guru. Lagipula, jika aku menjadi guru seperti mereka, kehidupanku pasti tidak akan
Jam alarm di handphone berbunyi membangunkan tidurku subuh ini. Kuraih benda pipih itu dan mengerjapkan mata memindai layar bercahaya yang menyilaukan mata. Tepat pukul lima pagi. Waktunya bangun dan melaksanakan kewajiban dua rakaatku.Hari ini libur kerja, aku ingin membersihkan kamar mandi sekalian dlmenguras baknya. Sudah satu bulan aku belum sempat membersihkan kolam per segi tempat air untuk mandi itu, jadi hari ini adalah waktu yang sangat cocok untuk melakukannya.Ketika sibuk di kamar mandi, tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu dan mengucap salam dengan suara nyaring. Suara seorang pria dan aku sangat paham suara siapa itu. Ya, benar. Itu suara Farid. Untuk apa dia ke rumah sepagi ini? Tanpa menyelesaikan pekerjaanku, aku segera ke depan dan membukakan pintu. Terlihat pria itu berpakaian rapi dengan senyum mengembang menatapku. "Kamu sudah siap belum, Kan? Ayo, kita berangkat sekarang!" ajaknya dengan penuh semangat yang sontak membuatku terkejut. "Berangkat? Mau