"Ada apa, Mas? Kenapa tiba-tiba batuk gitu? Mas Kesedak atau gimana?" Kanaya bergegas menghampiri Abimana dengan membawa segelas air putih di tangan.
"Ah, iya, Dek. Tiba-tiba kesedak. Kayaknya Mas kepedesan deh ini," jawab Abimana seraya meraih gelas dari tangan Kanaya dan langsung meminumnya."Perasaan nggak pedes-pedes amat. Biasanya juga lebih pedas dari ini, kamu suka-suka aja, Mas.""Iyakah?" Abimana tertegun. "Ya sudah, Mas keluar dulu, ya? Takut ditunggu sama yang lain."Melihat tingkah aneh sang suami membuat Kanaya berpikir keras bagaimana cara membuktikan apa yang ada dalam benaknya saat ini."Ma, jadi nggak ke toko buku?" Aqilla, gadis kecil itu menarik-narik daster yang dipakai Kanaya, membuat Kanaya terhenyak dan tersadar dari lamunan."Oh, iya, Sayang. Jadi dong, tapi tunggu bentar ya? Mama mau mandi dulu.""Okey, Mama! Qilla boleh tungguin Mama sambil nonton TV, ya?" sahut Aqilla lagi dengan senyum mengembang di wajahnya.Kanaya mengangguk seraya tersenyum. "Iya, Sayang. Boleh."Kanaya pun beranjak meninggalkan putrinya menuju kamar mandi. Alangkah terkejutnya Kanaya saat kembali mendapati hal mencurigakan yang disimpan suaminya. Ya, di bawah sampo milik suaminya, Kanaya menemukan bungkus tissu mag*c yang biasa digunakan pria dewasa ketika hendak berhubungan badan. Yang lebih mengejutkan, benda itu bukan hanya satu, tetapi lebih dari lima! Membuat Kanaya semakin berpikir keras, karena selama tujuh tahun lebih pernikahan mereka, Abimana tidak pernah membahas soal tissu seperti ini.Apa mungkin Mas Abi sering memakai ini waktu kami berhubungan?Kanaya semakin penasaran. Namun, percuma saja karena ia tidak menemukan apa pun lagi selain pikiran buntu.Atau jangan-jangan Mas abi benar-benar selingkuh dengan wanita yang ditelponnya tadi malam?Pikiran Kanaya semakin kalut. Ia berusaha keras menepis firasat buruk itu, tetapi selalu saja gagal. Suara lembut sang suami memanggil sayang, juga dengan bungkus tissu yang ia temukan tadi, membuat Firasat Kanaya semakin kuat. Ya, Mas Abi pasti berselingkuh dariku."Ma! Mama lama banget, sih?" Suara ketukan pintu dari sang putri kembali membuat Kanaya tersadar."I-iya, Sayang! Bentar!" Dengan cepat Kanaya menyirami tubuhnya, memakai sabun mandi dan bergegas ke luar.***Di sepanjang perjalanan mengantar sang putri, Kanaya terus saja memikirkan suaminya. Yang ia pikirkan adalah bagaimana cara memastikan kecurigaannya dan mencari bukti.Kanaya adalah gadis pintar yang terjebal pada pernikahan dini. Ya, karena saking cinta pada Abimana yang sudah mapan, Kanaya melepas beasiswa kuliahnya demi memilih menjadi istri Abimana.Bukan kebetulan, karena keduanya sudah lama menjalin hubungan dari Kanaya duduk di bangku SMA. Setelah Kanaya lulus, Abimana melamar dan langsung menikahi Kanaya."Ma, aku mau beli es krim." Aqilla menunjuk ke arah pria bermotor penjual es krim yang sedang parkir di pinggir jalan."Es krim?" Kanaya mengedarkan pandangan mencari si penjual es krim yang ternyata sedang buka lapak di tempat tak jauh darinya. "Ah, es krim yang itu?" tanya Kanaya lagi pada Aqilla yang terus menarik lengannya."Iya, Ma. Itu!" tunjuk Aqilla penuh semangat. Langkah keduanya saat ini sudah semakin dekat dengan motor milik si penjual es krim."Maaf, Pak. Mau beli es krim." Kanaya mengucapkan itu sambil membuka resleting tas selempang yang ada di tangannya."Yang mana, Mbak?" Si penjual es krim bertanya pada Kanaya dengan memasang wajah penuh tanya. Seperti mengenal Kanaya, pria itu tertegun sambil mengingat-ingat. "Maaf, Mbak ...."Dengan cepat Kanaya menoleb ke arah pria penjual es krim. "Ya, ada apa, Pak?" Kanaya pun sama, ia tertegun setelah melihat jelas wajah si penjual es krim yang ada di hadapannya. "Kamu, Fandi, kan?!""Ah, iya. Aku Fandi, temen SMA-mu dulu," jawab pria itu dengan senyuman mengembang di wajahnya. "Tadi aku mau negur kamu, tapi takut salah.""Ah, kamu, Fan. Kayak sama siapa aja. Kalau ketemu ya ditegur aja.""Hehe, iya. Maaf," balas Fandi lagi sambil menatap ke arah Aqilla. "Ini anak kamu, kan?! Udah gede aja.""Iya, Fan. Alhamdulillah sudah sekolah SD dia.""Alhamdulillah, sudah besar dong ya? Anakku masih on proses Kan, alhamdulillah biniku lagi ngidam ini," terang Fandi yang membuat Kanaya ikut bahagia."Alhamdulillah ... selamat ya, Fan. Akhirnya penantianmu terkabul juga. Meskipun kita nggak saling berkabar, tapi aku cukup tahu kabarmu dari Wati dan Meysa. Kebetulan kami sering nongkrong bareng.""Oh, begitu," balas Fandi lagi. "Pantesan kamu tahu, ternyata dari Wati, to?! Rumahnya memang deketan sama rumahku."Fandi dan Kanaya saling berbagi kabar, hingga melupakan Aqilla yang sudah sangat ingin es krim."Mama, udah dong ngobrolnya. Aku mau es krim, Ma." Aqilla merengek pada Kanaya."Oh, iya, Sayang. Maaf, Mama kelupaan." Dengan cepat Kanaya meminta Fandi untuk memberikan es krim pada putrinya."Ma, abis ini kita pulang aja, ya? Qilla mau tidur, ngantuk.""Iya, Sayang.""Eh, Kan. Rambutmu cepet banget ganti warnanya? Kemarin aku lihat akun F* Abi masang fotomu dengan rambut pirang. Tapi ini udah ganti hitam lagi?" tanya Fandi yang membuat Kanaya terhenyak dan melebarkan mata."Maksudmu apa, Fan? Aku nggak pernah pakai pirang rambut, soalnya aku nggak suka.""Serius kamu, Kan? Aku jelas-jelas lihat foto yang dipajang suamimu kemarin gitu, lho! Ish! Sayang banget aku nggak bawa HP, jadi nggak bisa tunjukkin ke kamu.""Bentar, bentar. Kamu bilang Mas Abi memasang foto di F******k?" Kanaya menatap tajam pada Fandi, hingga membuat pria itu tidak nyaman."Iya, benar. Aku udah lama temenan sama dia," jawab Fandi, ragu.'Udah lama? Jadi Mas Abi udah lama main F******k?''Tapi dia tidak pernah memberitahuku. Bahkan, dia melarangku untuk membuat akun di aplikasi biru itu?''Sebenarnya, apa yang kamu sembunyikan, Mas?'"Mas, aku boleh main Facebook nggak?" Tiba-tiba Kanaya menanyakan hal itu pada Abimana saat mereka bersiap tidur. "Buat apa, Sayang? Kan sudah Mas bilang nggak usah. Nanti malah ada yang jahilin kamu, Mas nggak suka." Abimana menjawab dengan santai, seolah-olah benar-benar melindungi sang istri. "Masa si di Facebook bisa jahil, Mas?" tanya Kanaya lagi memasang wajah polos, padahal dulu waktu SMA, dia juga sudah sempat membuat akun di aplikasi biru itu. Namun, karena Abimana melarang keras, dengan cepat Kanaya menghapus aplikasinya. "Bisalah, Dek. Pokoknya jangan, ya? Mas Pengen kamu aman. Nggak diganggu smaa pria mana pun." Entah mengapa mendengar hal itu membuat Kanaya mencebik dalam hati. Padahal, sebelumnya ia selalu tersenyum bangga atas perhatian yang diberikan Abimana seperti ini. "Dari mana kamu tahu kalau aku akan diganggu pria, Mas? Bukannya Mas juga nggak main Facebook?" Tiba juga saatnya Kanaya mempertanyakan hal itu. Diliriknya Abimanan tiba-tiba mengambil posisi me
Kanaya terpaku dengan handphone masih menyala di genggaman. Pandangannya kosong dengan bulir bening kian menetes dari pelupuk mata. Rasa curiga yang sejak beberapa hari yang lalu datang kini sudah menampakkan wujud.Rasa sesak terus menderu yang membuat dada wanita itu panas tak tertahankan. Seperti ditusuk ribuan sembilu, terasa amat menyakitkan. Kanaya menangis dalam diam. Berbagai pertanyaan terus bergumul di pikiran. Kecurigaan yang sudah terbukti kini berubah menjadi rasa penasaran, sebenarnya siapakah wanita berambut pirang yang sudah mencuri pelukan suaminya. Dilemparnya benda pipih itu hingga terjatuh ke lantai, membuat sebagian layar yang masih menyala itu retak dan hancur. Saking emosi sudah memenuhi diri, Kanaya tidak bisa mengontrol lagi. Sedih, gelisah ... dan kecewa.***"Ma, tadi Qilla dikasih roti sama Tante cadar," ucap putri Kanaya sesaat setelah masuk ke rumah. Kanaya yang sedang meletakkan kunci motor ke gantungan menoleh putrinya dengan cepat. "Tante Cadar? Sia
"Mas, handphoneku batre habis nih, bisa pinjam punya Mas enggak?" Kanaya mendekati suaminya yang tengah sibuk sarapan. Dengan cepat pria itu meraih benda pipih yang diletakkannya di samping piring tepat di hadapan. "Jangan, Dek. Sebentar lagi klien kantor mau nelpon." Abimana menolak halus, dan itu semakin membuat Kanaya penasaran. "Ayolah, Mas. Bentar doang. Ini aku mau ngabarin ibu kalau besok mau berkunjung ke sana," sahut Kanaya lagi dengan memelas."Masih besok juga kan berangkatnya? Nantilah nunggu batre handphone-mu penuh dulu. Kan bisa?"Sangat berbeda dari biasa. Abimana yang selalu longgar pada handphone miliknya, kini seolah-olah sangat pelit. Seperti menyembunyikan sesuatu. Biasanya Abimana tidak masalah jika Kanaya meminjam handphonenya, tanpa tahu untuk apa dan kenapa. Namun, hari ini benar-benar berbeda. Sudahlah tidak meminjami, Abimana malah menyudahi sarapan dan bersiap pergi. "Dek, aku berangkat dulu," pamit Abimana pada Kanaya tanpa melakukan ritual sebelum ker
Hati Kanaya semakin gelisah setelah mendapati struk belanja susu hamil yang tercecer di depan kamar putrinya. Tidak salah lagi, bukti belanja itu diyakininya milik Abimana, karena wanita itu sendiri tidak merasa belanja di minimarket. Apalagi membeli susu hamil. Buat apa? Di sepanjang jalan dari mengantar putrinya, Kanaya terus berpikir keras. Memecahkan semua teka-teki yang kian menjurus pada perselingkuhan sang suami yang sudah pasti sangat jauh. 'Jika benar Mas Abi membeli susu hamil itu untuk selingkuhannya, kemungkinan besar janin yang dikandung wanita itu adalah bayinya.'Membayangkan itu membuat hati Kanaya semakin hancur, hingga motor yang ia naiki berhenti mendadak di tengah jalan. Ia menundukkan wajah, menahan lelehan air mata yang kian tak bisa tertahan. Rasa percaya yang dulu begitu kuat kini terkoyak begitu saja. Namun, sekali lagi ... Kanaya masih akan tetap diam, hingga ia menemukan bukti yang benar-benar menguatkannya.Belajar dari pengalaman salah satu temannya ya
Benar saja. Baru beberapa detik pembicaraanku dengan putriku terhenti, dia sudah sampai di depan rumah dan mengetuk pintu. "Ma! Mama!" Aqilla memanggilku dengan lantang. Dengan cepat aku bergerak ke pintu depan. Kulihat wajah putriku berseru dengan boneka Barbie berambut pirang di genggaman tangan. "Ma, ini Tante Cadar!" serunya sambil terus menyunggingkan senyuman, seraya menoleh ke arah wanita yang berdiri di sampingnya. "Tante Cadar?" Aku mengernyit paham. "Dia ini namanya Tante Jamilah," imbuhku pada Aqilla. Jamilah menundukkan badan, menatap hangat pada putriku. "Panggil Tante Mila aja ya, Sayang."Aqilla membalas tatapan Jamilah dengan senyuman. "Iya, Tante Mila. Makasih ya, udah nganterin Qilla pulang sama beliin boneka." Gadis kecilku tampak bahagia sekali. Memiliki tetangga yang baik adalah impian setiap warga. Tak jarang ada tetangga baru yang sombong dan malas menegur tetangga yang sudah lama tinggal di sekitaran rumah mereka, tetapi sangat berbeda dengan Jamilah. Sel
"Apa?! Mbak Jamilah keguguran?" "Iya, Mbak. Bukan keguguran biasa, karena itu seperti kelainan. Bayi saya meninggal di dalam kandungan dan rahim saya diangkat," jelas Jamilah yang saat ini cadarnya sudah sangat basah. Wanita itu menangis pilu.Ya Allah ... pasti sedih sekali mengalami hal ini. Bukan hanya keguguran yang bisa hamil lagi kapan pun jika siap, tetapi harus rela karena kenyataannya dia tidak bisa hamil lagi. "Sabar, ya Mbak." Aku hanya bisa mengatakan itu, meskipun aku tahu pasti sangat sulit baginya.Jamilah terus menangis dan itu membuat hatiku kian ikut tersayat. Bagaimanapun, aku juga wanita. Aku paham betul apa yang dialaminya. "Mbak," panggil Jamilah setelah kondisinya sudah tenang. "Ya, ada apa? Katakanlah." Aku meraih sebelah tangan Jamilah dan mengusapnya dengan pelan. Jamilah menatapku dengan kedua mata masih berair. "Saya boleh kan, menganggap Aqilla seperti putri saya sendiri."Ucapan Jamilah begitu tulus, dan aku tidak akan bisa menolaknya. Setidaknya aku
Mas Abi terlihat panik. "Kamu kok sembarangan kasih izin tetangga bawa Aqilla! Kalau putri kita kenapa-kenapa, bagaimana??""Sudahlah, Mas ... jangan terlalu panik. Aku sudah lumayan kenal sama Jamilah, tetangga baru kita itu baik, kok." Aku berusaha menghentikan langkah Mas Abi agar tidak menyusul Aqilla.Namun, pria itu masih saja panik. Mas Abi melepas dasi yang dipakai dan meletakkannya di atas meja. "Tapi ini sudah jam berapa, Dek? Pokoknya Mas harus menjemput Aqilla dan membawanya pulang!" Setengah berteriak, Mas Abimana beranjak dari dapur dan ke luar rumah. "Mas! Tunggu!" teriakku, tetapi Mas Abi sepertinya sudah tidak mendengar. Aku pun ikut beranjak dari dapur dan melihatnya berjalan menuju rumah Jamilah dengan tergesa-gesa. Setelah mengetuk pintu yang berwana abu-abu itu, Mas Abi langsung masuk begitu saja. Mas Abi terlihat sangat tidak sopan. Kenapa bertamu ke rumah tetangga main nyelonong aja! Aku tidak memperhatikan lagi apa yang terjadi di dalam rumah itu, karena ak
"Ma, kita ajak Tante Mila juga ya? Kasian Tante Mila sendirian di rumahnya," rengek putriku dengan penuh kepolosan. Bukannya tidak mau tahu tentang kondisi Jamilah saat ini yang selalu kesepian, tetapi sepertinya kurang tepat jika aku mengajak wanita itu untuk berlibur bersama kami. Apalagi ini ke rumah ibuku. Apa kata ibu nanti kalau aku membawa orang asing ke rumahnya. "Ma, gimana? Boleh kan, Tante Mila ikut?" tanya Aqila lagi dengan memelas."Lain kali aja ya, Sayang ... lagian kita ke rumah nenek cuma sebentar kok, nggak sampai satu minggu.""Tapi kasihan sama Tante Mila, Ma ... boleh ya? Tante Mila kita ajak ke rumah nenek?" Putriku kembali merengek."Sudah, biarin aja kenapa sih?" Mas Abi yang sedari tadi diam ikut berkomentar. "Jadi menurut Mas, kita harus mengajak Jamilah ke rumah ibu?" Aku meminta pendapat suamiku.Pria itu mengangguk pelan. "Iya, kalau Aqilla pengennya begitu, turuti saja.""Tapi, Mas ....""Sudahlah, biarin aja, toh Jamilah tetangga yang baik kan? Bukan