Farid memenuhi ucapannya. Waktu sore di hari yang sama setelah kami melaksanakan lamaran, pria itu mengantarku dan Aqilla ke rumah sakit kota. Jarak perjalanan yang lumayan jauh sehingga kami tiba di rumah sakit di waktu malam. Untungnya jam besuk pasien masih diperbolehkan oleh pihak rumah sakit, sehingga kami bisa masuk untuk menemui Mas Abi dan istrinya. Setelah bertanya pada perawat kamar, kami menemukan kamar rawat Jamilah di posisi paling ujung. Dengan langkah cepat, kami memburu jam besuk agar kami sempat berbicara lama di dalam sana. Aku mengetuk pintu beberapa kali dan setelahnya kuucapkan salam. Terdengar suara Mas Abi menjawab salamku dari dalam. Pintu pun terbuka. Mas Abi terhenyak dan tak kuasa menahan tangis. "Aqilla, putri Papa ...." Pria itu memelvk putrinya dengan sangat erat, seperti tak mau dipisahkan. "Pa, maafin Qilla," ucap putriku di sela tangisnya yang pilu. Aqilla pun melakukan hal yang sama dengan sang ayah. Dia memeluk erat ayahnya seraya menangis terse
"Noda lipstik siapa ini? Warna merah yang begitu terang, sepertinya aku tidak memiliki lipstik yang berwarna seperti ini."Kanaya begitu penasaran ketika mendapati noda merah di kemeja bekas suaminya. Saat ini wanita itu sedang berdiri di depan mesin cuci."Apa mungkin Mas Abi berselingkuh? Atau noda ini tidak sengaja menempel karena suatu hal??"Kanaya semakin curiga dengan noda lipstik yang menempel di pakaian Abimana.Ya, walaupun hanya setitik noda merah yang terlihat di mata Kanaya, tapi istri mana yang tak kan curiga pada suaminya jika mendapati hal yang sama? Bukan berdoa hal yang tidak-tidak, tapi firasat buruk tentang seorang perempuan yang disebut pelakor pasti langsung menari-nari di kepala."Sayang, kamu sedang apa? Kenapa belum tidur?" tanya Abimana yang tiba-tiba memeluk Kanaya dari belakang. Apa mungkin sikap manis yang selalu ditunjukkan pada istrinya hanya sebagai tameng perselingkuhan?Kanaya terkejut. Ia langsung menjatuhkan kemeja yang ia pegang ke keranjang pakai
"Ada apa, Mas? Kenapa tiba-tiba batuk gitu? Mas Kesedak atau gimana?" Kanaya bergegas menghampiri Abimana dengan membawa segelas air putih di tangan. "Ah, iya, Dek. Tiba-tiba kesedak. Kayaknya Mas kepedesan deh ini," jawab Abimana seraya meraih gelas dari tangan Kanaya dan langsung meminumnya. "Perasaan nggak pedes-pedes amat. Biasanya juga lebih pedas dari ini, kamu suka-suka aja, Mas.""Iyakah?" Abimana tertegun. "Ya sudah, Mas keluar dulu, ya? Takut ditunggu sama yang lain." Melihat tingkah aneh sang suami membuat Kanaya berpikir keras bagaimana cara membuktikan apa yang ada dalam benaknya saat ini. "Ma, jadi nggak ke toko buku?" Aqilla, gadis kecil itu menarik-narik daster yang dipakai Kanaya, membuat Kanaya terhenyak dan tersadar dari lamunan. "Oh, iya, Sayang. Jadi dong, tapi tunggu bentar ya? Mama mau mandi dulu.""Okey, Mama! Qilla boleh tungguin Mama sambil nonton TV, ya?" sahut Aqilla lagi dengan senyum mengembang di wajahnya. Kanaya mengangguk seraya tersenyum. "Iya,
"Mas, aku boleh main Facebook nggak?" Tiba-tiba Kanaya menanyakan hal itu pada Abimana saat mereka bersiap tidur. "Buat apa, Sayang? Kan sudah Mas bilang nggak usah. Nanti malah ada yang jahilin kamu, Mas nggak suka." Abimana menjawab dengan santai, seolah-olah benar-benar melindungi sang istri. "Masa si di Facebook bisa jahil, Mas?" tanya Kanaya lagi memasang wajah polos, padahal dulu waktu SMA, dia juga sudah sempat membuat akun di aplikasi biru itu. Namun, karena Abimana melarang keras, dengan cepat Kanaya menghapus aplikasinya. "Bisalah, Dek. Pokoknya jangan, ya? Mas Pengen kamu aman. Nggak diganggu smaa pria mana pun." Entah mengapa mendengar hal itu membuat Kanaya mencebik dalam hati. Padahal, sebelumnya ia selalu tersenyum bangga atas perhatian yang diberikan Abimana seperti ini. "Dari mana kamu tahu kalau aku akan diganggu pria, Mas? Bukannya Mas juga nggak main Facebook?" Tiba juga saatnya Kanaya mempertanyakan hal itu. Diliriknya Abimanan tiba-tiba mengambil posisi me
Kanaya terpaku dengan handphone masih menyala di genggaman. Pandangannya kosong dengan bulir bening kian menetes dari pelupuk mata. Rasa curiga yang sejak beberapa hari yang lalu datang kini sudah menampakkan wujud.Rasa sesak terus menderu yang membuat dada wanita itu panas tak tertahankan. Seperti ditusuk ribuan sembilu, terasa amat menyakitkan. Kanaya menangis dalam diam. Berbagai pertanyaan terus bergumul di pikiran. Kecurigaan yang sudah terbukti kini berubah menjadi rasa penasaran, sebenarnya siapakah wanita berambut pirang yang sudah mencuri pelukan suaminya. Dilemparnya benda pipih itu hingga terjatuh ke lantai, membuat sebagian layar yang masih menyala itu retak dan hancur. Saking emosi sudah memenuhi diri, Kanaya tidak bisa mengontrol lagi. Sedih, gelisah ... dan kecewa.***"Ma, tadi Qilla dikasih roti sama Tante cadar," ucap putri Kanaya sesaat setelah masuk ke rumah. Kanaya yang sedang meletakkan kunci motor ke gantungan menoleh putrinya dengan cepat. "Tante Cadar? Sia
"Mas, handphoneku batre habis nih, bisa pinjam punya Mas enggak?" Kanaya mendekati suaminya yang tengah sibuk sarapan. Dengan cepat pria itu meraih benda pipih yang diletakkannya di samping piring tepat di hadapan. "Jangan, Dek. Sebentar lagi klien kantor mau nelpon." Abimana menolak halus, dan itu semakin membuat Kanaya penasaran. "Ayolah, Mas. Bentar doang. Ini aku mau ngabarin ibu kalau besok mau berkunjung ke sana," sahut Kanaya lagi dengan memelas."Masih besok juga kan berangkatnya? Nantilah nunggu batre handphone-mu penuh dulu. Kan bisa?"Sangat berbeda dari biasa. Abimana yang selalu longgar pada handphone miliknya, kini seolah-olah sangat pelit. Seperti menyembunyikan sesuatu. Biasanya Abimana tidak masalah jika Kanaya meminjam handphonenya, tanpa tahu untuk apa dan kenapa. Namun, hari ini benar-benar berbeda. Sudahlah tidak meminjami, Abimana malah menyudahi sarapan dan bersiap pergi. "Dek, aku berangkat dulu," pamit Abimana pada Kanaya tanpa melakukan ritual sebelum ker
Hati Kanaya semakin gelisah setelah mendapati struk belanja susu hamil yang tercecer di depan kamar putrinya. Tidak salah lagi, bukti belanja itu diyakininya milik Abimana, karena wanita itu sendiri tidak merasa belanja di minimarket. Apalagi membeli susu hamil. Buat apa? Di sepanjang jalan dari mengantar putrinya, Kanaya terus berpikir keras. Memecahkan semua teka-teki yang kian menjurus pada perselingkuhan sang suami yang sudah pasti sangat jauh. 'Jika benar Mas Abi membeli susu hamil itu untuk selingkuhannya, kemungkinan besar janin yang dikandung wanita itu adalah bayinya.'Membayangkan itu membuat hati Kanaya semakin hancur, hingga motor yang ia naiki berhenti mendadak di tengah jalan. Ia menundukkan wajah, menahan lelehan air mata yang kian tak bisa tertahan. Rasa percaya yang dulu begitu kuat kini terkoyak begitu saja. Namun, sekali lagi ... Kanaya masih akan tetap diam, hingga ia menemukan bukti yang benar-benar menguatkannya.Belajar dari pengalaman salah satu temannya ya
Benar saja. Baru beberapa detik pembicaraanku dengan putriku terhenti, dia sudah sampai di depan rumah dan mengetuk pintu. "Ma! Mama!" Aqilla memanggilku dengan lantang. Dengan cepat aku bergerak ke pintu depan. Kulihat wajah putriku berseru dengan boneka Barbie berambut pirang di genggaman tangan. "Ma, ini Tante Cadar!" serunya sambil terus menyunggingkan senyuman, seraya menoleh ke arah wanita yang berdiri di sampingnya. "Tante Cadar?" Aku mengernyit paham. "Dia ini namanya Tante Jamilah," imbuhku pada Aqilla. Jamilah menundukkan badan, menatap hangat pada putriku. "Panggil Tante Mila aja ya, Sayang."Aqilla membalas tatapan Jamilah dengan senyuman. "Iya, Tante Mila. Makasih ya, udah nganterin Qilla pulang sama beliin boneka." Gadis kecilku tampak bahagia sekali. Memiliki tetangga yang baik adalah impian setiap warga. Tak jarang ada tetangga baru yang sombong dan malas menegur tetangga yang sudah lama tinggal di sekitaran rumah mereka, tetapi sangat berbeda dengan Jamilah. Sel