Share

04. Kenyataan Pahit

Kanaya terpaku dengan handphone masih menyala di genggaman. Pandangannya kosong dengan bulir bening kian menetes dari pelupuk mata. Rasa curiga yang sejak beberapa hari yang lalu datang kini sudah menampakkan wujud.

Rasa sesak terus menderu yang membuat dada wanita itu panas tak tertahankan. Seperti ditusuk ribuan sembilu, terasa amat menyakitkan. Kanaya menangis dalam diam.

Berbagai pertanyaan terus bergumul di pikiran. Kecurigaan yang sudah terbukti kini berubah menjadi rasa penasaran, sebenarnya siapakah wanita berambut pirang yang sudah mencuri pelukan suaminya.

Dilemparnya benda pipih itu hingga terjatuh ke lantai, membuat sebagian layar yang masih menyala itu retak dan hancur. Saking emosi sudah memenuhi diri, Kanaya tidak bisa mengontrol lagi. Sedih, gelisah ... dan kecewa.

***

"Ma, tadi Qilla dikasih roti sama Tante cadar," ucap putri Kanaya sesaat setelah masuk ke rumah.

Kanaya yang sedang meletakkan kunci motor ke gantungan menoleh putrinya dengan cepat. "Tante Cadar? Siapa?"

"Itu, Ma. Tante yang rumahnya di depan itu," terang Aqilla sangat antusias. "Tadi, waktu Qilla nunggu Mama jemput, ada Tante Cadar datang, terus bilang katanya rumahnya depan rumah Qilla."

"Terus Qilla dikasih roti?" tanya Kanaya untuk memastikan.

"Iya, Ma. Roti keju. Enak banget!"

"Alhamdulillah, baik banget ya Tante Jamilah," balas Kanaya lagi memuji tetangga baru mereka.

Mendengar nama perempuan bercadar yang memberinya roti membuat gadis kecil itu bingung. "Tante Jamilah siapa, Ma?"

Kanaya tertawa kecil menanggapi pertanyaan lucu putrinya. "Ya itu, tante bercadar yang kasih roti Qilla tadi namanya Tante Jamilah."

"Oh, jadi gitu. Besok-besok kalau Tante Cadar datang ke sekolah lagi mau aku panggil namanya langsung aja!" seru Aqilla yang membuat Kanaya terhenyak.

"Maksud Qilla apa, Sayang? Memangnya Tante Jamilah mau ke sekolah Qilla lagi?"

Gadis kecil itu mengangguk pelan. "Iya, Ma. Tadi katanya Tante Jamilah gitu. Mau sering sering main ke sekolahan Qilla."

"Benarkah? Memangnya anak Tante Jamilag sekolah di sana juga?" tanya Kanaya penasaran. Mengingat yang ia ketahui pasangan baru depan rumahnya masih belum punya keturunan.

Dengan cepat Aqilla menggeleng. "Enggak, Ma. Tante Jamilah anaknya masih di dalam perut. Katanya seneng lihat Qilla sama temen-temen main di depan sekolahan, jadi bakalan sering-sering ke sekolahan. Gitu, Ma ...."

"Oh, jadi Tante Jamilah hamil?" Kanaya melirik pada Aqilla.

"Iya, Ma. Katanya tadi gitu."

Wajar saja Kanya tidak mengetahui keadaan perut tetangga barunya itu, karena selalu memakai pakaian tertutup lengkap dengan cadarnya pula. Kanaya juga bukan perempuan yang suka memperhatikan penampilan orang, lebih-lebih orang yang baru ia kenal. Jika bukan dari Aqilla, ia tak kan tahu jika tetangga depan rumahnya tengah berbadan dua.

Malam semakin larut, tetapi Abimana masih belum pulang. Perasaan gelisah Kanaya kian membuncah ketika suaminya masih belum juga datang. Ia masih ingat betul dengan foto suaminya berpelukan mesra dengan perempuan berambut pirang, yang membuat Kanaya kembali berpikir yang tidak-tidak.

Kamu ke mana, Mas? Kenapa belum juga pulang?

Berkali-kali Kanaya memejamkan mata tetapi tak lekas tertidur juga. Pikirannya terus membayangkan Abimana yang mungkin saat ini sedang kembali berpelukan dengan wanita seperti foto yang dilihatnya tadi siang.

Hingga suara derit pintu berhasil menyadarkan lamunan Kanaya. Dengan cepat ia bangkit dan keluar dari kamar. Dilihatnya Abimana sedang melepas sepatu sambil berdiri di samping pintu.

"Sayang, kok belum tidur?" Abimana terhenyak ketika mendapati Kanaya tiba-tiba berdiri di sampingnya.

"Belum ngantuk, Mas." Kanaya menjawab seraya meraih tas kerja yang dipegang Abimana. "Kenapa kamu pulang larut banget, Mas? Nggak seperti biasa."

"Eum ... akhir-akhir ini kerjaan numpuk di kantor, Sayang. Jadi terpaksa Mas harus lembur. Sudah, ya? Mas capek, mau istirahat." Abimana bergerak masuk ke kamar. Setelah mengganti pakaian ia langsung berbaring di atas ranjang.

Kanaya menyusul suaminya masuk ke kamar. "Mas, tumben nggak mandi dulu? Biasanya nggak bisa tidur kalau belum mandi?"

Abimana yang tengah memainkan layar handphone menoleh ke arah Kanaya. "Tadi sore udah mandi di kantor, Sayang. Jadi nggak terlalu keringatan lagi," jawabnya, gugup.

"Mandi di kantor?"

"Iya, Sayang. Nggak cuma Mas yang mandi di sana. Pegawai yang lain pun pernah." Abimana kembali menjawab sambil meletakkan gawainya di atas nakas. "Sudah, ya? Mas ngantuk, mau tidur."

Bukannya tenang, hati Kanaya semakin gelisah. Dilihatnya pria yang berbaring di sampingnya sudah langsung tertidur begitu memejamkam mata.

Malam semakin larut, tapi mata Kanaya masih belum bisa terpejam. Kecurigaannya pada Abimana semakin membuncah dan harus segera dituntaskan. Ia melirik benda pipih milik suaminya yang tergeletak di atas nakas. Pasti di sana ada bukti kuat perselingkuhan yang dilakukan suaminya. Dengan penuh hati-hati, Kanaya meraih benda pipih itu dan segera memeriksa.

"Apa!?" Alis Kanaya mengernyit. "Kenapa harus memakai kode sandi?"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
itme Aing
tuh kannnn
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status