Share

04. Kenyataan Pahit

Author: Heaven Nur
last update Last Updated: 2023-07-20 10:39:19

Kanaya terpaku dengan handphone masih menyala di genggaman. Pandangannya kosong dengan bulir bening kian menetes dari pelupuk mata. Rasa curiga yang sejak beberapa hari yang lalu datang kini sudah menampakkan wujud.

Rasa sesak terus menderu yang membuat dada wanita itu panas tak tertahankan. Seperti ditusuk ribuan sembilu, terasa amat menyakitkan. Kanaya menangis dalam diam.

Berbagai pertanyaan terus bergumul di pikiran. Kecurigaan yang sudah terbukti kini berubah menjadi rasa penasaran, sebenarnya siapakah wanita berambut pirang yang sudah mencuri pelukan suaminya.

Dilemparnya benda pipih itu hingga terjatuh ke lantai, membuat sebagian layar yang masih menyala itu retak dan hancur. Saking emosi sudah memenuhi diri, Kanaya tidak bisa mengontrol lagi. Sedih, gelisah ... dan kecewa.

***

"Ma, tadi Qilla dikasih roti sama Tante cadar," ucap putri Kanaya sesaat setelah masuk ke rumah.

Kanaya yang sedang meletakkan kunci motor ke gantungan menoleh putrinya dengan cepat. "Tante Cadar? Siapa?"

"Itu, Ma. Tante yang rumahnya di depan itu," terang Aqilla sangat antusias. "Tadi, waktu Qilla nunggu Mama jemput, ada Tante Cadar datang, terus bilang katanya rumahnya depan rumah Qilla."

"Terus Qilla dikasih roti?" tanya Kanaya untuk memastikan.

"Iya, Ma. Roti keju. Enak banget!"

"Alhamdulillah, baik banget ya Tante Jamilah," balas Kanaya lagi memuji tetangga baru mereka.

Mendengar nama perempuan bercadar yang memberinya roti membuat gadis kecil itu bingung. "Tante Jamilah siapa, Ma?"

Kanaya tertawa kecil menanggapi pertanyaan lucu putrinya. "Ya itu, tante bercadar yang kasih roti Qilla tadi namanya Tante Jamilah."

"Oh, jadi gitu. Besok-besok kalau Tante Cadar datang ke sekolah lagi mau aku panggil namanya langsung aja!" seru Aqilla yang membuat Kanaya terhenyak.

"Maksud Qilla apa, Sayang? Memangnya Tante Jamilah mau ke sekolah Qilla lagi?"

Gadis kecil itu mengangguk pelan. "Iya, Ma. Tadi katanya Tante Jamilah gitu. Mau sering sering main ke sekolahan Qilla."

"Benarkah? Memangnya anak Tante Jamilag sekolah di sana juga?" tanya Kanaya penasaran. Mengingat yang ia ketahui pasangan baru depan rumahnya masih belum punya keturunan.

Dengan cepat Aqilla menggeleng. "Enggak, Ma. Tante Jamilah anaknya masih di dalam perut. Katanya seneng lihat Qilla sama temen-temen main di depan sekolahan, jadi bakalan sering-sering ke sekolahan. Gitu, Ma ...."

"Oh, jadi Tante Jamilah hamil?" Kanaya melirik pada Aqilla.

"Iya, Ma. Katanya tadi gitu."

Wajar saja Kanya tidak mengetahui keadaan perut tetangga barunya itu, karena selalu memakai pakaian tertutup lengkap dengan cadarnya pula. Kanaya juga bukan perempuan yang suka memperhatikan penampilan orang, lebih-lebih orang yang baru ia kenal. Jika bukan dari Aqilla, ia tak kan tahu jika tetangga depan rumahnya tengah berbadan dua.

Malam semakin larut, tetapi Abimana masih belum pulang. Perasaan gelisah Kanaya kian membuncah ketika suaminya masih belum juga datang. Ia masih ingat betul dengan foto suaminya berpelukan mesra dengan perempuan berambut pirang, yang membuat Kanaya kembali berpikir yang tidak-tidak.

Kamu ke mana, Mas? Kenapa belum juga pulang?

Berkali-kali Kanaya memejamkan mata tetapi tak lekas tertidur juga. Pikirannya terus membayangkan Abimana yang mungkin saat ini sedang kembali berpelukan dengan wanita seperti foto yang dilihatnya tadi siang.

Hingga suara derit pintu berhasil menyadarkan lamunan Kanaya. Dengan cepat ia bangkit dan keluar dari kamar. Dilihatnya Abimana sedang melepas sepatu sambil berdiri di samping pintu.

"Sayang, kok belum tidur?" Abimana terhenyak ketika mendapati Kanaya tiba-tiba berdiri di sampingnya.

"Belum ngantuk, Mas." Kanaya menjawab seraya meraih tas kerja yang dipegang Abimana. "Kenapa kamu pulang larut banget, Mas? Nggak seperti biasa."

"Eum ... akhir-akhir ini kerjaan numpuk di kantor, Sayang. Jadi terpaksa Mas harus lembur. Sudah, ya? Mas capek, mau istirahat." Abimana bergerak masuk ke kamar. Setelah mengganti pakaian ia langsung berbaring di atas ranjang.

Kanaya menyusul suaminya masuk ke kamar. "Mas, tumben nggak mandi dulu? Biasanya nggak bisa tidur kalau belum mandi?"

Abimana yang tengah memainkan layar handphone menoleh ke arah Kanaya. "Tadi sore udah mandi di kantor, Sayang. Jadi nggak terlalu keringatan lagi," jawabnya, gugup.

"Mandi di kantor?"

"Iya, Sayang. Nggak cuma Mas yang mandi di sana. Pegawai yang lain pun pernah." Abimana kembali menjawab sambil meletakkan gawainya di atas nakas. "Sudah, ya? Mas ngantuk, mau tidur."

Bukannya tenang, hati Kanaya semakin gelisah. Dilihatnya pria yang berbaring di sampingnya sudah langsung tertidur begitu memejamkam mata.

Malam semakin larut, tapi mata Kanaya masih belum bisa terpejam. Kecurigaannya pada Abimana semakin membuncah dan harus segera dituntaskan. Ia melirik benda pipih milik suaminya yang tergeletak di atas nakas. Pasti di sana ada bukti kuat perselingkuhan yang dilakukan suaminya. Dengan penuh hati-hati, Kanaya meraih benda pipih itu dan segera memeriksa.

"Apa!?" Alis Kanaya mengernyit. "Kenapa harus memakai kode sandi?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
tokoh bodoh kayak si kanaya ini msh laku ya. nyampah banget karakter menye2 g jelas. g berguna jadi istri klu kebanyakan curiga tapi g bertindak apa2. benar2 tokoh sampah
goodnovel comment avatar
itme Aing
tuh kannnn
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • PELAKOR YANG BERPENAMPILAN SYAR'I   45. The End

    Farid memenuhi ucapannya. Waktu sore di hari yang sama setelah kami melaksanakan lamaran, pria itu mengantarku dan Aqilla ke rumah sakit kota. Jarak perjalanan yang lumayan jauh sehingga kami tiba di rumah sakit di waktu malam. Untungnya jam besuk pasien masih diperbolehkan oleh pihak rumah sakit, sehingga kami bisa masuk untuk menemui Mas Abi dan istrinya. Setelah bertanya pada perawat kamar, kami menemukan kamar rawat Jamilah di posisi paling ujung. Dengan langkah cepat, kami memburu jam besuk agar kami sempat berbicara lama di dalam sana. Aku mengetuk pintu beberapa kali dan setelahnya kuucapkan salam. Terdengar suara Mas Abi menjawab salamku dari dalam. Pintu pun terbuka. Mas Abi terhenyak dan tak kuasa menahan tangis. "Aqilla, putri Papa ...." Pria itu memelvk putrinya dengan sangat erat, seperti tak mau dipisahkan. "Pa, maafin Qilla," ucap putriku di sela tangisnya yang pilu. Aqilla pun melakukan hal yang sama dengan sang ayah. Dia memeluk erat ayahnya seraya menangis terse

  • PELAKOR YANG BERPENAMPILAN SYAR'I   44. Karma?

    "Kanaya! Maafkan aku!" Hampir seluruh orang yang hadir mendengar suara pria memanggil-manggil namaku dan meminta maaf. Beberapa pria yang duduk di samping pintu segera bangkit dan melihat siapa yang datang. "Itu kayak mantan suaminya Kanaya," celetuk seorang pria berpakaian batik yang keluar paling depan. "Masa sih? Kalau benar, buat apa dia ke sini? Pas lagi lamaran gini??" sahut pria yang lain. Meskipun pembicaraan mereka di luar rumah, tetapi kami yang di dalam bisa mendengar dengan sangat jelas. "Siapa, Nduk? Masa Abimana beneran? Ngapain dia ke sini?" tanya padaku dengan wajah mulai cemas. Aku menggeleng pelan. "Kanaya juga nggak tahu, Bu.""Lebih baik kamu keluar. Coba lihat dan pastikan," saran ibu yang kutanggapi dengan anggukan paham. Namun, ternyata Farid memperhatikanku sedari tadi dan dia menghentikan langkahku."Nggak usah, Kan. Biar aku aja yang keluar!" Dengan langkah tegap Farid bergegas ke luar rumah untuk menghampiri Mas Abi. Aku segera menarik lengan ibu dan

  • PELAKOR YANG BERPENAMPILAN SYAR'I   43. Lamaran

    Kembali POV Kanaya"Kalau sudah sama-sama setuju, mending dicepetin aja pernikahannya," celetuk ibu yang mampu membuat pipiku memerah.Dengan cepat aku menyenggol lengan wanita yang telah melahirkanku itu. "Ah, Ibu ...." Ibu benar-benar membuatku malu. Bukan hanya ibu, tetapi putriku juga ikut menyambar, "Iya, Ma! Bener kata Nenek. Qilla juga setuju kalau Mama sama Om Farid cepetan nikah!" "Tuh, Aqilla juga setuju kan saran Nenek?" balas ibu lagi yang disambut tawa renyah oleh Farid. "Kalau Om Farid terserah Mama kamu aja, Qilla." Farid ikut menimpali seraya melirik ke arahku dan berganti kepada Aqilla. "Manggilnya kok masih Om? Qilla mau ganti panggilan aja! Kan Om Farid mau jadi Papa Qilla. Jadi, mulai sekarang, Qilla mau manggil Om Farid dengan panggilan Papa!" Ada desir aneh yang menjalar ketika mendengar ucapan putri kecilku. Rasa haru bercampur bahagia. Ada kesedihan yang muncul, mengingat putriku telah lama kehilangan sosok ayah.Namun, aku juga bahagia karena akhirnya ada

  • PELAKOR YANG BERPENAMPILAN SYAR'I   42. POV Farid 2

    Sebelumnya aku tidak tertarik pada perempuan mana pun, tetapi entah mengapa sangat berbeda dengan Kanaya. Meskipun aku tahu dia janda yang memiliki satu anak, tetapi hatiku merasa ingin lebih mengenalnya. Aku kerap membantunya bahkan aku menawarinya pekerjaan di perusahaan dengan posisi yang tidak tanggung-tanggung. Kuyakinkan dia mau untuk menerima tawaran dengan berbagai cara. Awalnya dia ragu karena merasa rendah diri. Ya, dia hanya lulusan SMP yang tidak melanjutkan pendidikan lagi. Aku paham betul apa yang dia pikirkan, maka dari itu, aku semakin meyakinkannya untuk mau maju bersamaku. Tidak mudah membujuk Kanaya hingga dia mau menjadi bagian dari staf penting perusahaan. Namun, tiba-tiba dia berhenti sebelum berperang karena satu alasan yang tidak kupahami. Setelah beberapa minggu berlalu, akhirnya aku tahu penyebab Kanaya menyerah. Seseorang telah memadamkan api semangatnya dan membuatnya berputus asa. Dia adalah Novita, mantan tunangan yang masih kupertahankan di perusaha

  • PELAKOR YANG BERPENAMPILAN SYAR'I   41. POV Farid 1

    Awalnya kupikir Aqilla akan menolakku, mengingat dia sangat takut dengan sosok ayahnya. Namun, ternyata gadis remaja yang sudah kuanggap seperti putriku sendiri itu tersenyum dan berseru, "Ya ... pastinya Aqilla mau dong, Om!" Mendengar jawaban dari remaja putri bahwa dia menerimaku sebagai ayahnya membuat hatiku sangat bahagia. Alhamdulillah, akhirnya keinginanku untuk melindungi Kanaya dan putrinya bisa terwujud. ***Namaku Farid Wijaya Kusuma. Aku anak tunggal dari pasangan orang tua yang bekerja sebagai guru di desa tempat kami tinggal. Ya, ibu dan ayahku adalah guru honorer di sekolah SMP yang berbeda. Hobiku berwirausaha membuat masa depanku jauh dari keinginan orang tua. Ibu dan ayahku sebenarnya ingin aku mengikuti jejak langkah mereka menjadi seorang guru, tetapi aku lebih memilih untuk berbisnis dan memiliki usaha sendiri. Entahlah, kupikir berbisnis itu lebih menyenangkan daripada menjadi guru. Lagipula, jika aku menjadi guru seperti mereka, kehidupanku pasti tidak akan

  • PELAKOR YANG BERPENAMPILAN SYAR'I   40. Menunggu Jawaban

    Jam alarm di handphone berbunyi membangunkan tidurku subuh ini. Kuraih benda pipih itu dan mengerjapkan mata memindai layar bercahaya yang menyilaukan mata. Tepat pukul lima pagi. Waktunya bangun dan melaksanakan kewajiban dua rakaatku.Hari ini libur kerja, aku ingin membersihkan kamar mandi sekalian dlmenguras baknya. Sudah satu bulan aku belum sempat membersihkan kolam per segi tempat air untuk mandi itu, jadi hari ini adalah waktu yang sangat cocok untuk melakukannya.Ketika sibuk di kamar mandi, tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu dan mengucap salam dengan suara nyaring. Suara seorang pria dan aku sangat paham suara siapa itu. Ya, benar. Itu suara Farid. Untuk apa dia ke rumah sepagi ini? Tanpa menyelesaikan pekerjaanku, aku segera ke depan dan membukakan pintu. Terlihat pria itu berpakaian rapi dengan senyum mengembang menatapku. "Kamu sudah siap belum, Kan? Ayo, kita berangkat sekarang!" ajaknya dengan penuh semangat yang sontak membuatku terkejut. "Berangkat? Mau

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status