"Mas, mau sampai kapan aku harus nungguin kamu ceraikan wanita itu? Ini sudah hampir setahun lho. Kamu masih nunda-nunda terus." Aku protes pada Mas Abi ketika kami bermalam di hotel. Ya, kembali dari kampung kami singgah dan bermalam di hotel. Bukan kehendakku karena lagi-lagi Mas Abi tidak mau kuajak pulang. Katanya takut kalau tetangga melihat kami kembali bersama.Padahal, biasanya dia juga mengendap-endap masuk ke rumahku ketika aku menginginkan malam bersamanya. Setelah menyelesaikan pertemp*ran panas aku kembali mendesak pria itu agar cepat menceraikan istri pertamanya."Nanti dululah, Mila. Aku mau nyelesain proyek besar yang ditugaskan langsung dari kakekmu. Habis ini, aku janji bakalan ceraikan Kanaya secepatnya.""Kebanyakan alesan kamu, Mas! Ngomong aja kalau kamu nggak pengen ceraikan Kanaya itu!" sungutku seraya membalikkan badan memunggungi Mas Abi yang kini berbaring di belakangku. Perlahan pria itu memeluk dan mengec*pku dari belakang. "Mas janji, Sayang. Udah ya, j
"Mas, sejak kapan kamu memiliki hubungan dengan Jamilah?" tanyaku dengan air mata yang sudah tak dapat kubendung lagi. Mungkin Mas Abi terkejut dari mana aku tahu tentang hubungannya dengan Jamilah. Itu terlihat jelas dari kedua netranya yang terperangah ketika mendengar pertanyaanku. "Kamu tahu dari mana?" "Nggak penting aku tahu dari mana. Yang ingin aku tahu, sejak kapan kamu punya hubungan dengan wanita itu? Dan sejauh apa hubungan kalian sampai kamu ingin menceraikanku?"Mas Abi semakin menunduk dalam-dalam, "Maaf, Dek. Sebenarnya Mas dan Mila sudah menikah lama.""Astaghfirullah, Mas!" Bagai disambar petir di siang bolong, pengakuan Mas Abi merobohkan benteng pertahananku. Tanpa sadar, aku menangis sejadi-jadinya di hadapan pria itu. Namun, tampaknya Mas Abi sudah sangat yakin dengan pilihannya. Sedikit pun dia tak berusaha untuk menenangkanku dan malah membiarkanku larut dalam kesedihan. "Mas akan urus perceraian kita. Kamu dan Aqilla akan tetap tinggal di sini. Rumah ini
"Nanti kalau papa ke sini nyariin Qilla sama Mama, gimana?" tanya putriku dengan wajah polos. Tak terasa air mataku kian membasahi pipi. Aku berusaha memalingkan wajah sedihku dari hadapan Aqilla. "Ma, kok diem aja? Mama kenapa?" tanyanya lagi semakin membuat hatiku tersayat. "Nggak apa-apa, Sayang." Aku menjawab dengan cepat seraya menyeka air mata yang membasahi pipi. "Emmm ... gimana kalau kita telepon papa? Kita kabarin papa kalau kita nunggu papa di rumah nenek. Jadi nanti pas papa pulang, papa bisa langsung jemput kita di rumah nenek."Mendengar saranku, wajah gadis kecil ini seketika berbinar. "Iya, Ma! Qilla setuju! Biar Qilla aja yang ngomong langsung sama papa! Qilla udah kangeeen banget sama papa!"Iya, aku tahu perasaanmu, Sayang. Karena sejak kepergian papamu, kamu belum pernah berhubungan lagi dengannya. Jangankan menghubungi, papamu bahkan tidak berpamitan padamu sebelum dia melangkah pergi meninggalkan kita.Kusodorkan telepon pintar yang sudah kutekan nomor Mas Abi
"Kamu Kanaya, kan?" tanya pria bertubuh jakung itu dengan tatapan penasaran padaku. Dengan ragu aku mengangguk pelan. "Iya, benar. Tapi maaf, kamu siapa?" Mungkinkah aku pernah mengenalnya? Tapi untuk saat ini aku benar-benar lupa. Pria itu tersenyum kecil. "Aku Farid, Kanaya. Teman SMP-mu dulu." "Farid?" Aku masih berusaha mengingat karena waktu yang telah lama berlalu dan kejadian demi kejadian menimpa hidupku membuatku melupakan kenangan masa-masa sekolah dulu. Dan iya, SMP? Sangat lama bukan? Aku dulu SMP di desa. Ya, hanya lulusan SMP, karena keadaan yang tidak memungkinkan untukku melanjutkan sekolah lagi. Saat itu, bapak meninggal dan Rayyan masih kecil, membuatku memutuskan berhenti sekolah dan membantu mencari nafkah untuk keluarga. Kenangan yang tak mungkin kulupakan adalah masa-masa sulit itu, hingga aku tumbuh dewasa dan bertemu Mas Abi ketika dia tak sengaja melakukan KKN di desa kami. Hanya dengan modal cinta monyet aku memutuskan untuk menerima lamaran pria itu ta
"Motornya kenapa, Pak?" tanya Farid seraya berjalan menghampiri kami.Pak Jupri menoleh ke arah suara Farid dan tersenyum. "Ini lho, Nak Farid ... motor Bapak mogok, tiba-tiba berhenti. Mungkin memang udah waktunya pensiun." Aku baru tahu kalau Pak Jupri dan Farid ternyata saling mengenal. "Apa parah banget, Pak?" Farid mulai ikut memeriksa motor berwarna hitam jadul di depan kami. Teman sekolah yang baru bertemu denganku beberapa hari yang lalu itu sama sekali tidak menyapaku. Dia fokus membantu Pak Jupri memeriksa motor. "Ini sudah parah, Pak. Lebih baik dibawa ke bengkel aja," saran Farid dengan sangat yakin. "Moso ngunu to, Le?" Pak Jupri terlihat panik. Pria tua itu kembali memeriksa motornya. "Tapi emang motor ini dah lama nggak diservis.""Iya, Pak. Sini, biar Farid aja yang bawa ke bengkel. Bengkel daerah sini deket kok." Mendengar tawaran Farid membuat Pak Jupri tidak nyaman. Ah, apalagi aku. Aku sangat tidak nyaman dengan ini. Karena membonceng aku dan putriku, motor P
"Mau nggak, Kan? Kamu cuma perlu desain-desain ruangan aja. Gampang, kok." Entah mengapa Farid begitu semangat memintaku bergabung di perusahaan tempatnya bekerja. "Aku nggak bisa, Rid. Kamu tahu sendiri kan kalau aku cuma lulusan SMP. Aku nggak bisa apa-apa," jawabku dengan ragu. "Jangan pesimis gitu. Kamu bisa coba dulu, kan? Kalau bisa lanjut, kalau nggak bisa ya nggak apa-apa. Itu artinya kamu harus sekolah lagi." Farid kembali berujar yang membuatku semakin tidak yakin.Sekolah di umur segini? Sudah emak-emak yang otaknya sudah penuh dengan bawang dan garam, pasti akan sangat sulit. "Enggak deh, Rid. Makasih aja atas tawarannya." Aku memutuskan untuk tidak menerima tawaran kerja dari Farid. Rasanya tidak mungkin juga aku bisa bekerja di perusahaan tanpa ijazah kuliah atau semacamnya.Dan lagi, hanya coba-coba? Farid benar-benar punya ide yang di luar nalar manusia. "Kamu nggak perlu takut, Kan. Bos di tempatku bekerja baik banget, kok. Dia juga sangat percaya sama aku. Siapa
"Rid, maaf ganggu." Aku mengawali ucapanku ketika menghubungi Farid. Aku berniat meminjam uang padanya untuk biaya rumah sakit ibu. Sebenarnya aku sangat malu, tetapi tidak ada pilihan lain. Karena menurutku, hanya Farid yang bisa kumintai tolong saat ini. "Ya, ada apa, Kan?" tanya Farid dengan cepat, seperti sedang terburu-buru. Ah, membuatku merasa semakin tidak nyaman. "Maaf, Rid. Serangan jantung ibuku kambuh dan saat ini ibu masuk rumah sakit," ungkapku dengan terbata. Dan Farid langsung paham dengan maksud pembicaraanku. "Kamu butuh berapa, Kan? Sebut aja dan kirim nomor rekening kamu." "Ya Allah, terima kasih banyak, Rid. Aku janji bakalan bayar setelah panen nanti."Meskipun secara dicicil. "Iya, iya ... santai aja, Kan. Aku percaya kok sama kamu. Udah, tinggal sebutin aja berapa," balas Farid lagi dengan diiringi suara tawa. Aku pun menyebutkan nominal angka yang kubutuhkan. Setelah mematikan sambungan telepon, aku segera mengirim nomor rekeningku. Dan hanya dalam hit
Kita harus berani mencoba melakukan sesuatu agar kita tahu seberapa besar kemampuan yang ada pada diri kita. Meskipun nantinya gagal, tetapi kita akan tetap mendapatkan hasil yaitu tahu kekurangan yang harus kita perbaiki dengan menjadikannya sebagai motivasi untuk terus belajar. Begitulah tekadku saat ini ketika Farid memeberikanku jalan dan kesempatan untuk mencoba melangkah maju. Bukan hal yang mudah karena aku hanya lulusan SMP. Farid memberiku tugas untuk mendesain dalam waktu dua minggu. Jika hasil yang kubuat bagus menurutnya, dia bersedia membimbingku masuk kerja di perusahaan. Selain itu, dia juga bersedia membantuku untuk masuk ke sekolah kejar paket dan selanjutnya masuk kuliah kejuruan. Bukan gratis, ya. Semua bantuan Farid kuanggap hutang yang suatu saat pasti akan aku bayar.Hari ini sudah satu minggu setelah dia memberikan tugas padaku untuk membuat contoh desain interior simpel untuknya. Aku memang hobi menggambar dari kecil, bahkan sebelum masuk sekolah SD dulu aku