Masuk“Ada apa ya, Pak?” tanya Gendis sambil tersenyum, tetap menggendong Bima. Bocah itu pun ikut tersenyum ramah ke arah petugas keamanan.“Ah… maaf ganggu, Bu,” ucap satpam itu hati-hati. “Saya mau tanya, apa kemarin ada kurir yang datang ke rumah sini?”“Kurir?” Gendis mengulang pelan, alisnya sedikit terangkat. “Kayaknya nggak ada, deh. Saya juga belum belanja online, sudah hampir seminggu ini.”“Oh… gitu ya,” gumam satpam itu. Ia terlihat ragu, tangannya terangkat sebentar lalu turun lagi. “Hmm…”Raut wajahnya jelas kebingungan, seolah ada sesuatu yang ingin ia tanyakan, tapi masih ditahan. “Emangnya ada apa ya, Pak?” tanya Gendis, senyumnya masih terjaga. “Mau duduk dulu?”“Ah, nggak usah, Mbak, eh Bu,” ucap petugas itu sambil tersenyum, melirik Bima. “Jadi ngerepotin adik kecil ini.”“Nggak repot, kok,” jawab Gendis lembut. “Kayaknya ini penting. Masuk aja, duduk di teras, Pak.”Akhirnya mereka duduk di teras rumah. Petugas keamanan itu menarik napas sejenak, raut wajahnya berubah l
“Hubungi ekspedisi!” bentak Darmadi sambil menendang meja hingga bergeser keras. Wajahnya merah padam—kesal, marah, dan jelas merasa harga dirinya diinjak-injak. “Gue mau tahu siapa yang berani ganggu markas gue!”“Biadab,” geramnya lagi. “Siapa yang berani kirim kepala ini?” Suaranya bergetar oleh amarah.“Bos,” ucap salah satu anak buahnya ragu, “kemungkinan ini dari Psikolog itu.”“Ah, gue nggak percaya!” potong Darmadi keras. “Mana mungkin dia bisa bunuh dua orang kepercayaan gue—yang udah berpengalaman eksekusi target?” Ia tertawa sinis. “Dia orang biasa. Cuma psikolog reproduksi!”Di sudut ruangan, Ari menyunggingkan senyum tipis. Ia bersandar pada tembok, mengamati satu per satu wajah panik di sekelilingnya—mata yang gelisah, napas yang tak teratur.Darmadi berbalik tajam.“Tugas kalian, kubur kepala ini!” perintahnya tanpa kompromi. Lalu pandangannya mengunci Ari. “Dan kamu, Ari?”Ari menegakkan tubuh.“Kamu malam ini juga datang ke sana!” tegas Darmadi.Ari tak menjawab. Ia h
“Ini barang buat gue?” tanya Darmadi, sambil menepuk-nepuk permukaan dus, matanya menyipit penuh selidik. “Iya, Bos,” jawab salah satu anak buahnya cepat. “Beda sendiri. Kayaknya memang khusus.” “Mungkin bonus, Bos,” sahut yang lain sambil tertawa kecil. “Apalagi Bos kan udah banyak ngirim ‘paket’. Cuannya juga makin jadi aja.” “Iya, Bos,” timpal rekannya. “Berkat jaringan yang Bos kelola, penjualan makin naik.” Darmadi sontak tertawa puas. “Bisa aja lo pada,” ucapnya sambil mengibaskan tangan. “Ya udah, gue jadi penasaran sama paketan ini.” Darmadi mengelus sisi dus yang tebal itu. “Kayaknya barang mahal, nih. Dusnya aja beda… tebel banget,” katanya sambil terkekeh bahagia. Tawa Darmadi masih menggantung ketika ia meraih sebilah pisau tajam dari meja. Tanpa ragu, ujung pisau itu diarahkan ke dus—siap membelah hadiah yang pagi itu sama sekali belum ia pahami isinya. “Sayang, dia udah ambil pisau tuh…” ucap Gendis tak sabar. Ia segera duduk di atas pangkuan Rain, matany
“Pulang sendiri? Maksudnya apa, ya?” ucap Ari lirih sambil duduk bersandar pada tembok. Ia mengisap sebatang rokok dalam-dalam, matanya waspada menyapu sekitar, seolah mencari jawaban dari rasa takut yang mulai merayap. “Ari, dipanggil bos!” Ari tersentak. Ia segera berdiri, mematikan rokoknya asal, lalu melangkah cepat menuju lantai dua. “Iya, Bos,” ucap Ari singkat saat berdiri di depan atasannya, bahunya tampak tegang. “Lo tahu di mana teman kita dua lagi?” tanya bos itu dingin, sorot matanya tajam menekan. “Gue nggak tahu, Bos. Terakhir mereka mau nganterin barang,” jawab Ari cepat, berusaha terdengar tenang meski tenggorokannya terasa kering. “Nggak usah pura-pura polos,” potong sang bos tajam. “Lo tahu, kan, mereka berdua gue kasih izin buat eksekusi korban?” “Sumpah, gue nggak tahu sama sekali, Bos,” ucap Ari cepat. Suaranya terdengar kaku, rahangnya mengeras menahan gugup. “Anak-anak bilang… lo ini mata-mata,” ucap bosnya datar, tapi sorot matanya tajam menusuk
“Apa semua udah beres, Mas?” tanya Gendis berbisik pelan sambil menyentuh dada bidang suaminya malam itu. Rain mengangguk sambil tersenyum, matanya sempat melirik ke arah Bima yang tertidur pulas tak jauh dari mereka, wajah kecil itu terlihat damai dalam keheningan malam. “Udah semua, Sayang,” ucap Rain lembut sambil mengusap punggung istrinya pelan, penuh kasih sayang—kontras dengan apa yang ia lakukan beberapa jam lalu di ruang kamar tamu yang dipenuhi darah dan peluh keringat. “Aku takut, Mas… sumpah aku takut...” bisik Gendis lirih. Wajahnya menunjukkan kegelisahan yang tak ia sembunyikan, tubuhnya makin dalam terbenam dalam pelukan suaminya, mencari rasa aman. “Saya nggak akan lukai kamu sama Bima. Saya cuma… ngelakuin hal yang seharusnya, mempercepat masalah hidup mereka,” ucap Rain pelan sambil tersenyum, lalu mengecup pucuk kepala istrinya dengan lembut. “Bisa nggak kamu nggak ngelakuin itu lagi? Terlebih di dalam rumah kita sendiri, Mas…” ucap Gendis sambil menangis
“Tadi siang, ada kurir dua orang masuk ke perumahan kita, Pak. Um… terus… sampai malam ini, mereka nggak balik juga. Saya sama temen saya khawatir,” ucapnya kebingungan, suaranya terdengar ragu-ragu. “Soalnya kenapa?” tanya Rain dengan tenang, ekspresinya tetap santai. “Takut mereka masuk ke rumah warga, Pak. Tapi… alarm warga nggak ada yang bunyi. Apa dirusak atau gimana? Duh… bingung, Pak,” lanjutnya, napasnya terdengar berat menahan cemas. “Dua orang?” tanya Rain pelan, alisnya sedikit terangkat, matanya menatap tajam namun senyumnya tak pernah benar-benar hilang. “Iya, Pak. Dua orang, dan… yang bikin saya kaget… mereka masuk ke rumah kosong yang dijual itu, Pak. Motornya ada di sana, tapi orangnya nggak ada,” ucap sekuriti itu lirih, wajahnya terlihat makin gelisah. “Hmm… bahaya juga, ya,” ucap Rain sambil tersenyum tipis, seolah menimbang sesuatu di kepalanya. “Itu dia, Pak. Saya lewat pas lihat tadi Pak Rain ngapain, saya kira orang asing masuk,” katanya cepat, lalu







