“Gendis nggak akan lari dari Rain. Lebih baik dia tahu masa lalu Rain dari Papa dan Mama… dibanding harus tahu dari orang lain, atau…” Rain mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “…melihat pakai mata dan kepalanya sendiri, Pa.” “Itu berbahaya, Rain. Jangan kamu ulangi lagi kesalahan itu,” ucap ayahnya dengan nada gusar, napasnya terdengar berat. “Rain berbuat itu demi menyelamatkan orang lain, Pa. Sekalipun nyawa orang itu melayang… asalkan yang benar tetap benar,” ucap Rain dengan senyum tipis yang membuat bulu kuduk berdiri. “Papa tahu, Rain. Tapi… membunuh orang itu perbuatan yang salah,” ucap ayah Rain, kali ini dengan suara pelan namun tajam menusuk. Di balik pintu kamar, mereka tak menyadari ada telinga lain yang mendengar. “Um!” Gendis menutup mulutnya rapat, tubuhnya bergetar. Matanya membesar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Detak jantungnya berpacu, begitu keras hingga ia takut Rain bisa mendengarnya dari dalam kamar. Lantai marmer di
“Mas… nggak papa, aku bisa makan di ruang TV dulu. Nggak papa…” ucap Gendis lirih sambil berbisik, tangannya tetap mengusap dada Rain pelan, seolah ingin memeluk hatinya yang panas. “Mama tuh aneh…” ucap Rain dengan nada kesal. “Mas… Sayang… Lihat aku, dengerin aku. Aku nggak papa…” ucap Gendis lagi sambil menatap matanya penuh keteguhan, senyum tipisnya berusaha menguatkan. Ibu Rain tampak muak melihat kemesraan mereka. Wajahnya beralih, menahan rasa tidak suka yang makin jelas. “Permisi, Pa, Ma,” ucap Gendis sambil tersenyum sopan. Ia berdiri, membawa piring makanannya, lalu melangkah menuju ruang TV dengan hati yang berat namun tetap menjaga wibawanya. Rain hanya bisa menatap punggung Gendis yang menjauh. Ia terpaksa menuruti kemauan calon istrinya, menghela napas panjang, dan mencoba meredam amarah yang terus mendidih di dadanya. Gendis mencoba menikmati makan malamnya seorang diri, sementara Rain tampak berusaha menikmati makan malam di ruang makan bersama ayah dan ib
“Kalau sampai Rain bawa Gendis, Mama nggak suka, Pa,” ucap ibu Rain saat berada dalam kendaraan. “Emangnya kenapa, Ma?” tanya ayah Rain sambil melirik istrinya. “Ya nggak suka aja. Istri orang kok dibawa pulang, bikin rusak moral,” ucap ibu Rain sambil bercermin dan merapikan lipstiknya dengan wajah masam. Sementara itu, Rain dan Gendis telah berganti pakaian. Rain mengenakan kaos oblong oversize dan celana panjang, sementara Gendis tampak anggun dengan dress mini tanpa lengan. “Aduh… berapa menit lagi, Mas?” tanya Gendis yang sibuk memasak daging sapi sambil merebus sayuran. Rambutnya sedikit berantakan dengan kuncir kuda. “Maybe about twenty minutes, honey,” ucap Rain sambil menyiapkan buah potong, air mineral dalam gelas, serta piring, garpu, dan pisau di atas meja makan. “Sayurannya angkat, Mas. Tolong ya,” ucap Gendis sambil menyajikan daging steak yang masih mengepul. “Oke. Ada lagi? Telur belum dikupas, Sayang,” ucap Rain sambil melirik panci di sudut meja. “Lup
“Sayang,” ucap Rain sambil berkendara, melirik sepintas ke arah Gendis yang masih tampak bersedih dan tengah bersandar di bahunya. “Mama kamu gimana?” tanya Rain. “Dia kayaknya belum mau bicara banyak sama aku, Mas,” ucap Gendis lirih. “Sabar aja, ya,” ucap Rain lembut. “Kita makan dulu, mau kan?” “Iya, Mas. Aku tuh sedikit kecewa sama Mama. Kenapa dia bisa menerima Raka sementara aku nggak? Apa sebesar itu kesalahan aku, Mas? Apa nggak bisa dimaafin?” ucap Gendis dengan suara bergetar. “Dia sebenarnya maafin kamu, tapi karena perempuan egonya tinggi, jadi dia nggak tunjukkin itu ke kamu. Padahal, dia kangen sama kamu. Dia pasti pengen peluk kamu,” ucap Rain sambil mengusap punggung tangan Gendis, menenangkan. “Terus gimana sama orang tua kamu, Mas? Mereka udah benci sama aku,” ucap Gendis, matanya kembali berkaca-kaca. “Mereka nggak akan benci kamu kalau nggak ada penghasut di dalamnya,” ucap Rain dengan nada tegas. “Maksudnya, Mas?” tanya Gendis bingung. “Saya tahu kenapa M
Akhirnya, dengan wajah penuh sesal, ia menunduk. “Saya selingkuh dengan mantan istri saya, Pa.” Ruangan seketika hening. Ayah dan ibu Gendis terperanjat, saling berpandangan dengan wajah terkejut. “Kamu… selingkuh?” suara ibu Gendis meninggi, nadanya penuh amarah bercampur tidak percaya. “Iya. Saya akui… saya salah dan—” suara Raka bergetar, tapi belum sempat ia melanjutkan, Gendis menyela. “Dan selama menjalani rumah tangga… di tahun terakhir, aku nggak bahagia,” ucap Gendis lirih sambil menunduk, suaranya pecah menahan tangis. Raka menoleh padanya, matanya memerah. “Aku minta maaf, Gendis,” ucapnya penuh penyesalan. Namun tatapan ibunya justru semakin tajam. “Apa alasan kamu selingkuh, Raka?” tanyanya, suaranya dingin tapi penuh tekanan, menusuk ke jantung. Suasana pun semakin tegang. Gendis menggenggam erat ujung rok yang dipakainya, sementara Raka hanya bisa terdiam, wajahnya pucat, seolah seluruh kesalahannya baru saja diseret ke hadapan meja pengadilan keluarga.
“Coba telepon dulu, siapa tahu dia nggak di apartemennya,” ucap ayah Rain dengan nada tenang namun ada kekhawatiran terselip. “Mama udah kirim pesan sama dia dari tadi kok, belum dibaca sama dia,” ucap ibu Rain sambil tetap berusaha menikmati sarapan, meski matanya terlihat gelisah. “Mungkin sibuk,” balas ayah Rain sambil menahan napas. “Sama Gendis?” tanya ibu Rain, matanya menyipit penuh curiga. “Ya bisa jadi, sama siapa lagi? Orang Rain maunya Gendis,” ucap ayah Rain, suaranya bergetar menahan resah. “Kalau nanti ada yang tahu, gimana, Pa? Malu banget keluarga kita,” ucap ibu Rain, hampir kehilangan selera makannya. “Yang tahu cuma Ardi dan Wanda. Selebihnya nggak ada. Jadi kalau ada yang tahu di luar ini, kita bisa tebak salah satunya, Ma. Beres toh,” ucap ayah Rain, mencoba menenangkan istrinya meski hatinya sendiri diliputi kecemasan.••• Kembali ke kontrakan, Rain dan Gendis tengah menikmati sarapan pagi yang sempat tertunda. “Mas, aku boleh nggak ambil barang-b