Part 4
Waktu menunjukkan pukul 21.30 saat kudengar suara cekikikan Yuni lewat di depan kamar. Aku mengintip dari celah pintu yang terbuka sedikit. Terlihat wanita yang malam ini memakai gaun berbelahan dada rendah berjalan berangkulan dengan pemuda itu, menuju keluar. Tak lama berselang, tersengar suara deru mobil yang semakin menjauh. Sepertinya mereka pergi.Aku gegas keluar kamar. Tidak boleh menyia-nyiakan waktu.Aku segera beraksi dengan rencana yang sudah disusun. Memasuki kamar Yuni yang dulu merupakan kamar ayah bersamanya. Rasa nyeri menghantam ulu hati saat melihat ranjang ukuran queen di tengah ruangan besar itu tampak berantakan. Ranjang ayah yang saat aku kecil sering dipakai untuk tidur bertiga dengan ibu, sekarang dipakai Yuni untuk bermaksiat entah dengan berapa laki-laki.Aku menarik napas panjang dan sekuat tenaga menepis sedih yang datang tiba-tiba. Ini bukan saatnya terbawa perasaan. Aku harus bergerak cepat sebelum Yuni kembali.Aku mencari surat-surat berharga milik ayah. Surat tanah dan rumah ini. Juga dokumen perusahaan yang menurut Yuni hampir kolaps. Aku harus menyelamatkan semua sebelum wanita gila itu menghabiskan semuanya untuk bersenang-senang.Ketemu. Setelah hampir setengah jam mencari di seluruh sudut kamar, akhirnya kutemukan surat-surat yang terpisah dalam beberapa map.Aku segera keluar setelah merapikan lagi semua tanpa meninggalkan jejak. Kuharap Yuni tidak akan menyadarinya dalam waktu dekat. Aku akan pergi jauh dari sini dan kembali saat punya kekuatan untuk merebut semuanya.Aku anak tunggal ayah dan ibu. Semua harta ini peninggalan ayah saat masih bersama ibu. Yuni memasuki hidup kami setelah semua ada, dan malah menghabiskan sesuka hatinya.Semalaman aku tidak bisa tidur. Takut Yuni kembali dan menyadari surat-surat itu hilang. Nyatanya, ketakutanku tidak terbukti. Yuni tidak pulang malam ini, bahkan sampai subuh menjelang.Aku gegas melaksanakan kewajiban dua rakaat, sebelum memutuskan pergi. Ya, aku harus pergi sebelum Yuni kembali.Dengan berbekal beberapa lembar uang hasil membongkar celengan di meja kamar, akhirnya aku meninggalkan rumah yang penuh kenangan ini. Rumah yang saat aku kecil dan ibu masih di sampingku, terasa bagai di surga. Namun, berubah seperti neraka saat ayah memutuskan menikahi janda anak satu tak lama setelah kepergian ibu.Ibu meninggalkanku karena sakit yang dideritanya saat aku masih duduk di bangku SMP. Ayah menikahi Yuni dengan alasan dia memiliki anak perempuan seusiaku, dan bisa dirawat bersama-sama. Yuni sendiri teman sekolah ayah yang dicerai suaminya entah karena alasan apa.Aku menatap rumah penuh kenangan itu dalam keremangan subuh, sebelum benar-benar membawa kaki ini melangkah jauh entah ke mana.**Jam tujuh pagi. Matahari belum menampakkan kegarangannya. Namun, hiruk-pikuk kota sudah menggeliat sejak tadi. Kendaraan beraneka rupa sudah memenuhi jalanan. Suara deru knalpot bersahutan dengan klakson di sana-sini. Polusi sudah membuat tak nyaman udara pagi.Ya, matahari memang belum tinggi, tetapi baju dan tubuhku sudah bermandi peluh. Berjam-jam berjalan membawa beban berat membuat produksi keringat sangat berlimpah.Aku memasuki sebuah warung yang menjual aneka hidangan untuk sarapan. Mengganjal perut dengan nasi uduk sebelum melanjutkan perjalanan yang entah akan dibawa ke mana, menjadi pilihan saat ini.Aku baru saja meletakkan bokong besarku di bangku kayu singel yang berderit, saat kulihat wajah familier lewat dengan motor di depan sana.Wajah pemuda yang aku lihat terus saja saling menempel dengan Yuni semalam. Wajah pemuda bernama Reno.Pemuda itu berboncengan dengan pemuda lainnya, matanya diedarkan ke sekeliling jalanan yang dilaluinya. Aku merunduk dan menyembunyikan kepala di balik sekat warung saat pandangan itu tertuju ke mari.Secepat itukah Yuni menyadari surat-surat itu hilang?Ya, aku yakin Reno dan teman-temannya sedang mencariku atas perintah Yuni. Tiba-tiba ketakutan menyerangku. Yuni wanita yang kejam. Ia bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang ia mau.Ya Tuhan, aku harus segera pergi jauh dari sini sebelum anak buah Yuni menemukanku. Dia bisa melakukan apa pun seandainya aku tertangkap.Aku meminta pesananku dibungkus dan memilih pergi dari sana sebelum Reno atau teman-temannya melihatku.Menyusuri gang kecil yang ujungnya berada tepat di pinggir warung sarapan tadi, yang kini kulakukan. Aku bahkan tidak tahu ini di mana. Yang kutahu, aku harus pergi jauh agar Yuni dan anak buahnya tidak bisa menemukan diri ini.Aku tiba di depan sebuah mushola kecil di dalam gang sempit yang bahkan orang-orang harus jalan miring seperti kepiting bila berpapasan denganku.Sepertinya aku harus mampir dan menumpang menyantap nasi udukku di sini. Bagaimanapun, cacing dalam perut harus diberi makanan sebelum aku pingsan dan menghalangi jalanan. Karena kalau pingsan, tak akan ada yang mau menggotong tubuh sebesar drum ini.Aku memasuki halaman mushola tanpa pagar bersamaan dengan seseorang yang juga masuk dengan berlari. Kami hampir bertubrukan kalau saja aku tak mengerem langkah tepat waktu.Sesuatu terasa menghantam bokongku dengan keras dari belakang. Saat kulirik ke bawah, ternyata sebuah sepatu wanita. Ah, untung bokongku besar, serangan sepatu saja tidak akan berasa. Aku gegas merunduk saat sebuah benda serupa terbang ke arah wajah. Hampir saja.Aku menoleh ke arah wanita yang tadi masuk hampir bersamaan. Dia sedang meringis memegangi sepatu yang barusan terbang. Merasa bersalah kepadaku.“Maaf, ibuku memang suka menerbangkan sepatu pagi-pagi,” ucapnya seraya mengambil sebelah sepatu yang tadi menghantam bokong ini.Aku hanya mengangkat kedua tangan sebelum berjalan menuju teras mushola. Duduk, dan langsung membuka bungkusan. Saat aku siap menyuap, kulirik wanita kurus yang duduk mengambil jarak dua meteran. Lehernya bergerak turun naik. Sementara matanya menatap nasi udukku dengan tatapan rindu.Aku menarik napas sebelum mengajaknya berbagi nasi uduk. Nasi uduk porsi kecil yang padahal tidak akan membuat cacing-cacing dalam perutku kenyang. Namun, tak tega rasanya memberi makan cacingku sendiri di depan orang kelaparan. Akhirnya kami makan bersama.“Kenapa ibumu melempar sepatu?” Aku bertanya disela kami menyantap satu porsi kecil nasi uduk berdua.“Biasalah, ibu menyuruhku mencari kerja setiap pagi. Ia tidak akan memberiku sarapan. Aku bahkan tak sempat memakai sepatu setiap pagi,” jawabnya di sela menyantap makanan. Ternyata dia lebih rakus dariku. Dia menghabiskan lebih dari setengah sarapanku dengan cepat. Padahal tubuhnya kurus. Sepertinya dia sangat kelaparan.“Dan sepatumu akan menyusul ke sini setiap pagi?”Kami saling tatap sebelum tertawa bersama. Dalam hitungan menit, kami sudah terlibat percakapan akrab, seolah teman lama yang baru bertemu. Namanya Fera, dia sedang mencari pekerjaan.“Mau nyari kerja di mana?” tanyaku setelah mencuci tangan di keran untuk berwudhu.“Aku dengar ada Tuan kaya di perumahan elite di seberang sana sedang mencari pengasuh, aku mau melamar ke sana. Siapa tahu diterima. Lumayan kalau aku punya gaji, bisa beli kuota untuk nonton drakor.”Aku menggeleng-gelengkan kepala. Fera gadis yang lucu. Dia seumur denganku. Baru dua puluh tiga tahun. Hanya saja tubuhnya kecil. Bila berdiri berdampingan, kami seperti angka sepuluh.“Memangnya kamu bisa mengasuh bayi?” tanyaku heran. Dia menggeleng.“Kan, belum tentu pekerjaannya mengasuh bayi. Bisa saja mengasuh jompo, mengasuh bapaknya bayi, atau mengasuh tuan muda yang ganteng.”Kami tertawa lagi. Setidaknya, semua kemirisan hidup sedikit berkurang dengan tertawa lepas.“Ayo, kita melamar ke sana!” ajaknya seraya berdiri. Aku mendongak, kemudian menggeleng.“Kenapa?” Keningnya berkerut melihatku tidak bersemangat.“Aku tidak punya pengalaman mengasuh bayi. Bayi akan ketakutan melihat wujudku.”“Kan, aku sudah bilang belum tentu mengasuh bayi. Sudahlah Ola, pekerjaan apa saja yang penting dapat uang. Aku bosan tiap pagi dilempar sepatu. Kamu juga siapa tahu diterima. Lumayan kan, bisa numpang tinggal gratis?”Dia menatapku, memberi semangat. Namun, aku masih ragu.“Memangnya kamu mau pergi ke mana kalau tidak mencari kerja? Aku tidak bisa menampungmu di rumahku yang sempit. Ibu bisa membunuhku kalau aku pulang membawa teman untuk menginap. Aku sendiri sudah jadi beban untuknya.”Fera benar. Aku mau ke mana? Mau tinggal di mana? Sementara di luar sana, Yuni dan anak buahnya sedang memburuku karena surat-surat itu.Ya, melamar pekerjaan. Itu satu-satunya jalan.Part 5Aku mengamati ruangan besar yang kami gunakan untuk menunggu antrean melamar pekerjaan. Ruangan mewah ini merupakan bagian dari rumah yang lebih tepat disebut kastil saking besar dan indah. Rumah Arman juga besar, tetapi tidak seberapa dibanding rumah ini. Apalagi rumah peninggalan ayah yang sudah lapuk dan tak terawat. Dari luasnya saja tidak ada seujung kuku pun dengan rumah ini. Beberapa menit lalu aku dan Fera sampai di sini dengan berjalan kaki. Letak kawasan elite ini memang tidak terlalu jauh dari lingkungan kumuh tempat aku dan Fera bertemu. Hanya terpisah jalan protokol di tengah kota. Pemandangan yang sangat kontras bila dilihat dari atas. Sebelah kanan jalan merupakan perumahan elite yang sangat tertata, dan hanya mereka yang memiliki rekening gendut yang dapat membeli rumah di sini. Sementara di sebelah kiri, ada pemukiman kumuh yang sangat rapat dan tidak beraturan. Jadi, bisa kupastikan pemilik rumah yang sedang mencari pengasuh ini adalah seseorang yang sanga
Part 6Ini adalah tes terakhir. Aku harus bisa membuat makanan kesukaan Tuan Sultan, dan makanan itu adalah ... salad sayuran. Sebenarnya gampang saja, karena itu juga makanan favoritku. Oh, bukan! Lebih tepatnya aku dipaksa ibu untuk menyukai makanan itu. Waktu ibu masih ada, aku diharuskan makan salad sayuran segar agar tubuhku sehat dan tidak bertambah lebar katanya. Jadi, saat masih SMP dulu, hampir setiap hari ibu membawakan bekal salad ke sekolah. Dan di sekolah, biasanya aku membaginya dengan seseorang yang sekarang entah berada di mana.Kini, saat harus membuat lagi makanan itu, tentu jiwa melankolisku meronta. Rasa sedih tak dapat dicegah, datang begitu saja. Teringat ibu dan seseorang yang menjadi satu-satunya teman di kala itu. “Kau mau tes kerja atau melamun?” Suara maskulin itu tiba-tiba saja sudah berada di belakang tubuh ini. Suara Tuan Sultan. Kenapa bos besar seperti dirinya harus repot-repot masuk dapur? “Ba-baik, Tuan. Sebentar lagi selesai,” jawabku gugup dan
Part 7“A-apa maksud Anda, Tuan?” Aku merasakan wajah ini panas. Kaki ini bahkan mundur. “Kau tidak menderita gangguan telinga, bukan?” Tuan Sultan menyipitkan mata. Kepalanya sedikit condong. “Aku tidak mau mempunyai pelayan yang memiliki gangguan pendengaran, karena aku tidak akan mengulang-ngulang perintah!”“Ma-af, Tuan. A-apa saya tidak salah dengar, kalau Anda meminta saya memandikan Anda?” Aku meyakinkan pendengaran ini. “Tentu saja tidak! Aku memang mencari pelayan yang bisa mengurus segala sesuatunya, karena aku tidak bisa berjalan. Termasuk mandi dan mengganti bajuku.”Aku menganga mendengar ucapannya. Pekerjaan macam apa ini? Salahku memang tak menanyakan apa saja tugasku dari awal. Main ikut-ikut saja tes untuk pekerjaan ini. “Kalau kau tidak mau melanjutkan pekerjaan ini, aku akan segera mencari penggantimu. Mumpung masih banyak yang mengantre. Dan kau, silakan pergi dari sini!”Mulutku semakin menganga. Kalimat ancaman itu begitu menakutkan. Aku tidak mau kehilangan
Part 8“Ke-napa Anda memanggil saya dengan nama itu, Tuan?” Aku bertanya pelan. Ingatanku langsung terbang ke masa di mana aku dan dia yang selalu memanggilku dengan nama itu, duduk berdua di bawah pohon. Kami menikmati salad bekalku dari mangkuk yang sama, sebelum murid-murid lain datang dan membully kami dengan menyebut dua angka nol menggelinding. Karena tubuh kami sama-sama besar. Ya, saat itu memang hanya dia temanku di sekolah. Mungkin karena nasib kami sama. Sama-sama bertubuh subur dan menjadi bahan perundungan. Dialah satu-satunya orang yang memanggilku dengan nama Ana. “Namamu Viola Anastasya, bukan?” Lelaki berkursi roda itu bertanya setelah hening beberapa saat. Suaranya menarikku dari lamunan. Sementara posisinya tetap membelakangiku, hingga tak dapat tertangkap mimik wajahnya. “Apa salah bila aku memanggilmu dengan nama Ana? Bukankah itu namamu juga?”Aku mengerjap. Dia benar, Ana namaku juga. Hanya saja, aneh rasanya orang yang baru saja bertemu langsung memanggilk
Part 9Aku menyusuri lorong dengan bingung. Semua pintu tampak mirip. Jadi, tidak tahu apa ini jalan yang tadi kulalui atau bukan. Sekejap aku menyesali kenapa tadi tidak mengingat dengan seksama ruangan mana, juga benda apa saja dilewati saat menuju ke kamar itu. Aku hanya meraba-raba, hingga tiba di sebuah persimpangan lorong. Bingung? Tentu saja. Kenapa rumah ini begitu besar? Dan ada banyak kamar dengan pintu serupa? Aku mencari peruntungan dengan permainan cap cip cup kembang kuncup karena bingung. Lalu saat telunjuk ini menunjukkan lorong yang ada di sebelah kanan, aku mengikuti saja suara hati. Keberuntungan berpihak padaku, lorong yang kupilih ternyata tidak salah. Aku tiba di ujung tangga yang akan membawa diri ini ke dapur di lantai bawah. Waktu lima menit sudah berkurang banyak karena tadi bingung mencari jalan. Kaki besarku meniti anak tangga dengan setengah berlari untuk mencapai lantai bawah. Beruntung di sana ada seorang pelayan sedang mengelap guci antik. Dia memba
10Akhirnya dengan sangat terpaksa, aku menyuapi bayi besar itu perlahan. Bayi besar yang sangat menjengkelkan. Andai aku tidak takut Yuni memburuku di luar sana, niscaya aku sudah kabur dan meninggalkan pekerjaan aneh ini. Kusuapi dia tanpa kata. Hanya tangan yang bekerja. Tunggu! Aku mengamati wajah yang sebenarnya akan sangat tampan kalau saja tidak selalu memerintah yang aneh-aneh tanpa senyum itu. Namun, bukan itu yang menjadi perhatianku. Gerakan mulutnya yang sedang mengunyah makananlah yang menarik perhatianku. Gerakan itu ... seperti gerakan mulut seseorang dari masa lalu yang sangat kuakrabi. Ya, sama persis seperti itu gerakannya bila sedang mengunyah. Siapa Tuan Sultan ini sebenarnya? Apa aku mengenalnya? Aku terus memperhatikan wajahnya. “Apa yang kau lalukan?!” teguran dengan suara tinggi membuatku terjengkit kaget. Ternyata tanpa sadar, aku memajukan wajah hingga jarak kami sangat dekat. Tuan Sultan menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Kepalanya menggele
11Aku masih kaget dengan semua yang terjadi. Tubuhku berada di atas tubuh Tuan Sultan dengan wajah kami saling menempel, dan ... bibir menyatu. Awalnya lelaki itu juga diam. Mungkin karena kaget semua terjadi begitu cepat. Namun, tak lama ia meronta. Tangannya mendorong wajahku agar menjauh dari wajahnya. Mulutnya langsung menyemburkan omelan dan sumpah serapah. Ia juga berteriak memanggil siapa pun yang bisa menolong kami. “Apa kau sudah gila? Apa yang kau lakukan, hah? Menyingkir dariku! Tubuhmu sangat berat. Aku bisa mati kehabisan napas!” Tuan Sultan terus mengomel dengan satu tangan menahan agar wajahku tak jatuh lagi di atas wajahnya. Lalu tangan lainnya mencari sesuatu yang bisa menolong kami. Aku? Jangan kira aku menikmati posisi ini atau bukan tidak mau menyingkir. Namun, tubuhku yang terlalu berat membuatku sulit untuk keluar dari kursi roda ini. Aku berusaha untuk berguling ke samping tetapi kursi roda tetap meringkus tubuhku, hingga kami seolah berpelukan dengan pos
Part 12Aku mendorong kursi roda Tuan Sultan mengikuti arah berjalan Pak Sam. Ya. Pak Sam. Aku memanggil begitu untuk menghormatinya, walaupun dilihat dari segi usia, pria itu berumur tak jauh dariku. Paling juga sama dengan Tuan Sultan, yang juga masih muda. Kami masuk ke dalam lift yang akan membawa ke lantai bawah. Aku baru tahu kalau di rumah ini ada lift. Letaknya tak jauh dari kamar Tuan Sultan. Lalu, kalau ada lift, kenapa aku harus repot-repot naik-turun tangga setiap saat? Tinggal naik lift saja. Bukankah lebih cepat dan efektif? “Jangan pernah berpikir untuk naik lift ini, bila tidak sedang bersamaku!”Apa? Lagi-lagi dia tahu isi hatiku. Apakah selain otoriter, menjengkelkan, dia juga seorang cenayang? “Lift ini hanya di khususkan untukku. Pelayan mana pun tidak boleh memakainya selain bersamaku atau atas perintahku!” Dia menegaskan. “Kenapa begitu Tuan?” Rasa penasaran mendorongku untuk bertanya. “Karena kalian punya kaki yang sehat, normal, dan lengkap. Kalau mau n