Share

SELEKSI ANEH

Part 5

Aku mengamati ruangan besar yang kami gunakan untuk menunggu antrean melamar pekerjaan. Ruangan mewah ini merupakan bagian dari rumah yang lebih tepat disebut kastil saking besar dan indah.

Rumah Arman juga besar, tetapi tidak seberapa dibanding rumah ini. Apalagi rumah peninggalan ayah yang sudah lapuk dan tak terawat. Dari luasnya saja tidak ada seujung kuku pun dengan rumah ini.

Beberapa menit lalu aku dan Fera sampai di sini dengan berjalan kaki. Letak kawasan elite ini memang tidak terlalu jauh dari lingkungan kumuh tempat aku dan Fera bertemu. Hanya terpisah jalan protokol di tengah kota. Pemandangan yang sangat kontras bila dilihat dari atas.

Sebelah kanan jalan merupakan perumahan elite yang sangat tertata, dan hanya mereka yang memiliki rekening gendut yang dapat membeli rumah di sini. Sementara di sebelah kiri, ada pemukiman kumuh yang sangat rapat dan tidak beraturan.

Jadi, bisa kupastikan pemilik rumah yang sedang mencari pengasuh ini adalah seseorang yang sangat kaya raya. Mungkin ia sedang membutuhkan pengasuh untuk anaknya, atau mengurus orang tuanya yang sudah uzur. Setidaknya itu kasak-kusuk dari pelamar-pelamar lain yang tadi kudengar.

Kami semua para pelamar yang ke semuanya berjumlah dua puluh lima orang, dikumpulkan dalam satu ruangan yang membuat mata mengantuk saking nyamannya.

Bagaimana tidak? Aku yang semalaman tidak tidur, lalu berjalan kaki entah berapa puluh kilo meter sejak subuh tadi, hingga sampai di sini. Langsung ditempatkan di ruangan besar dengan penyejuk ruangan yang sangat pas.

Aku terkantuk-kantuk kalau saja Fera tidak memukul lenganku, saat seorang laki-laki berpakaian formal, dan wanita berseragam pelayan muncul di sebuah pintu. Semua pelamar yang ke semuanya wanita, menghentikan kasak-kusuk dan memfokuskan pandangan ke arah dua orang yang baru saja masuk.

Rasa penasaran membuatku berbisik di telinga Fera. “Mana bayinya?”

Namun, ternyata bisikanku terlalu keras hingga pria berpakaian formal melirikku. Pertanda dia mendengar suaraku. Apalagi tak lama dia berkata.

“Tidak ada bayi di rumah ini. Kalau kalian mengira kami mencari pengasuh bayi, itu salah besar.” Ucapan laki-laki yang kini berdiri di pusat ruangan menghadap kami, membuat sebagian kami kasak-kusuk lagi dengan sesama pelamar lain.

“Jadi kalau ada yang melamar karena ingin jadi pengasuh bayi, dan kecewa karena di sini tidak ada bayi, boleh mundur dari sekarang.”

Semua diam. Tak ada yang kasak-kusuk lagi. Aku tahu semua yang datang ini karena mereka sangat butuh pekerjaan. Mereka semua sama sepertiku, akan menerima pekerjaan apa pun asal halal, dan yang penting dapat uang.

Miris memang nasibku saat ini. Padahal aku bukan berasal dari keluarga yang tidak mampu. Ayah dulu pemilik perusahaan textil, walaupun tidak sebesar perusahaan milik tuah rumah ini mungkin. Namun, nasib membawaku mencari pekerjaan apa saja untuk menyambung hidup, dan yang terpenting sekarang, jauh dari jangkauan Yuni. Ibu tiriku.

Semua pelamar dipanggil satu per satu ke sebuah ruangan di balik pintu yang terletak di belakang pria dan wanita berseragam itu. Kami dipanggil berdasarkan KTP yang tadi diserahkan di pos satpam.

Dari sekian pelamar yang sudah dipanggil, tidak ada seorang pun yang kembali. Entah apa yang terjadi di dalam sana, sehingga kami tidak bisa bertanya tes apa yang diberikan.

Aku jadi bertanya-tanya, apa mereka semua diterima? Atau mereka yang tertolak keluar dari pintu yang lain? Atau ... jangan-jangan seperti di film trailer yang sering kutonton, semua pelamar dibunuh, dan dagingnya mereka awetkan?

Tiba-tiba aku bergidik ngeri. Mereka akan untung banyak kalau sampai memenggal kepalaku, karena akan mendapatkan banyak daging.

Aku menggeleng kuat. Membuang jauh-jauh pikiran buruk, saat lelaki berpakaian formal itu memanggil namaku.

“Benar namamu Viola Anastasya?” tanya pria itu seraya memindai tubuhku dari atas hingga bawah dan kembali ke atas. Begitu hingga beberapa kali. Mungkin ia heran kenapa nama yang cantik tak sesuai dengan penampilanku.

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, sebelum berjalan menuju pintu di mana pelamar lainnya keluar.

**

Di sini aku sekarang, di ruangan lebih besar dan perabot lebih mewah dari ruangan sebelumnya. Seorang lelaki muda kisaran umur beberapa tahun di atasku duduk di kursi roda dekat jendela. Wajahnya datar dan dingin. Ia bahkan hanya melirikku sekilas sebelum kembali menatap keluar jendela.

Di samping lelaki berkursi roda, berdiri pria berpakaian formal serupa yang tadi di depan, hanya yang ini lebih muda. Mungkin seusia lelaki di kursi roda. Pria berpakaian formal maju dan memindaiku, sebelum berucap.

“Nama Anda?”

“Viola,” jawabku singkat.

“Umur?”

“Dua puluh tiga.”

“Baik silakan langsung saja tes pertama, Nona.” Pria itu menunjuk ke arah tangga dengan ramah.

“Tes pertama?” Keningku berkerut.

“Ya. Bukankah Anda datang untuk melamar pekerjaan? Semua pelamar mengikuti tes yang kami berikan untuk menyeleksi siapa yang paling cocok bekerja di sini.” Pria itu menjelaskan.

“Apa tes pertamanya, Pak?”

“Naik tangga.”

“Naik tangga?” Keningku semakin berlipat. “Maksudnya?”

Pria muda berpakaian formal itu menarik napas panjang sebelum menjelaskan.

“Mungkin di depan belum dijelaskan kalau kamar tidur Tuan Sultan ada di lantai dua, dan untuk kamar pelayan ada di lantai satu, jadi untuk calon pelamar diharuskan sanggup naik-turun tangga. Karena bila terpilih nanti, Anda akan sering sekali naik-turun tangga untuk melayani Tuan Sultan.”

“Tuan Sultan? Bukankah pekerjaanku nantinya mengasuh bayi?”

“Sam!” Lelaki yang duduk di kursi roda tiba-tiba berseru. Suaranya terdengar sangat maskulin, dan aku baru mendengar suaranya sejak masuk. “Ganti pelamar berikutnya kalau dia tidak mau! Jangan buang-buang waktu! Masih banyak yang mengantre!”

Mataku melebar mendengar perintah lelaki itu. Tidak! Jangan sampai aku membuang kesempatan. Aku akan lakukan apa pun.

“Baik, Pak. Berapa kali saya harus naik tangga?” Gegas aku menyela. Aku tak ingin dianggap remeh. Walaupun bertubuh tambun, tetapi aku sanggup turun-naik berkali-kali.

“Sebanyak yang Anda bisa, Nona.”

“Baik, akan aku lakukan!” jawabku yakin, dan segera menuju tangga dengan bentuk melingkar itu. Dengan penuh semangat agar diterima, aku pun meniti anak tangga turun-naik berulang-ulang entah sampai berapa kali. Yang pasti saat lutut ini benar-benar gemetar dan tak sanggup untuk sekadar berdiri, aku baru mengangkat tangan tanda menyerah.

Tes macam apa ini? Sebenarnya, aku mau jadi pelayan atau jadi tentara? Kenapa tesnya seperti latihan militer?

Keherananku tidak sampai di situ. Tes kedua membuat kepala terasa berdenyut, dan perut tiba-tiba mual.

Aku duduk di sebuah kursi, di depanku terdapat meja yang di atasnya di gelar beberapa ... pakaian dalam laki-laki. Sekuat tenaga kutahan rasa mual. Bukankah di rumah Arman aku biasa mencuci pakaian dalam laki-laki?

Tes-nya adalah, aku disuruh menebak mana pakaian dalam milik Tuan Sultan. Karena nantinya aku akan mengurusi segala sesuatu tentang Tuan Sultan katanya, termasuk pakaian dalamnya. Itu bila terpilih.

Rasanya ingin tertawa terbahak. Mana aku tahu yang mana milik Tuan Sultan, Tuan Sultan sendiri aku tidak tahu siapa. Lagipula, kenapa celana dalam calon tuanku begitu besar seperti milik dewasa? Bukankah Tuan Sultan itu masih bayi?

“Jadi, menurut Anda yang mana milik Tuan Sultan, Nona?” Pria ber-jas itu bertanya lagi karena sejak tadi aku hanya diam.

“Bagaimana saya tahu milik Tuan Sultan yang mana, Pak. Saya sendiri tidak tahu bentuk Tuan Sultan seperti apa? Apa dia gemuk, dia kurus, dia kecil, tinggi atau bagaimana kan, saya tidak tahu.”

Aku memberikan alasan yang logis, bukan? Namun, ucapanku sukses membuat pria itu melebarkan matanya.

“Jadi Anda tidak tahu Tuan Sultan? Calon majikan Anda?” tanyanya heran.

“Tentu saja saya tidak tahu. Kan, saya baru ke sini. Belum pernah bertemu Tuan Sultan.”

Hening. Pria ber-jas menatapku tak percaya. Aku melakukan hal sama. Karena itu benar adanya. Aku tidak tahu Tuan Sultan.

“Aku Sultan! Aku calon majikan kamu. Itu pun kalau kamu diterima!”

Serta-merta kepala ini menoleh cepat ke arah suara. Suara yang keluar dari mulut lelaki ... yang duduk di kursi roda.

Aku terperangkap seketika. Menatap tak percaya lelaki yang barusan bicara.

Jadi ... lelaki itu yang bernama Sultan?

Ya Tuhan, ingin pingsan rasanya karena kaget dan malu.

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Janice
viola bodoh pelupa. di depan td kan sdh dibilang bukan cari pengasuh utk bayi
goodnovel comment avatar
Janice
thriller thor, bukan trailer. kalau trailer itu cuplikan. thriller itu film yg menegangkan, serem
goodnovel comment avatar
Dewi Hasanah
semangatnya luar biasa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status