Part 3
“Aku akan tinggal di sini lagi. Jadi, mulai sekarang jangan membawa peliharaanmu ke sini!” Aku berkata tanpa etika. Rasanya percuma selama ini menghormatinya sebagai seorang ibu. Kelakuannya bahkan tidak lebih baik dari binatang.Apa mungkin Yuni sudah berperilaku seperti ini selagi ayah masih ada? Mengingat ayah yang sakit-sakitan menjelang ajalnya dan yakin sudah tidak bisa memberi wanita itu nafkah batin.Atau apa ayah sakit-sakitan dan meninggal karena tahu kelakuan busuk istrinya di belakangnya? Entahlah. Rasanya hidupku semakin kacau.Aku menatap tajam pemuda tanpa baju yang terus membelai Yuni. Walaupun mual dan jijik melihat kelakuan mereka, tetapi aku harus tegas. Tak boleh membiarkan perzinaan di rumah ini.“Kau!” Aku menunjuk pemuda yang kuyakini usianya baru menginjak delapan belas tahun. Cih, sebenarnya aku jijik. Masih kecil sudah menjual diri kepada wanita yang lebih pantas jadi ibunya.“Apa kau tidak malu menjadi peliharaan nenek-nenek?” tanyaku ketus, dan sukses membuat kedua orang itu meradang. Sepasang bola mata keduanya melebar marah.“Dia itu pantasnya jadi ibumu. Dia bahkan punya anak lebih tua darimu!” Aku terus bicara tanpa peduli reaksi mereka.“Pergilah dari sini. Ini rumah ayahku yang dibangun dengan cinta dan kasih sayang bersama ibuku. Jangan kalian kotori dengan perbuatan kalian yang hina!”“Viola! Tutup mulutmu! Kalau ada yang harus pergi, itu adalah kamu. Aku tidak menerimamu lagi di rumah ini. Kau sudah menikah, wanita bersuami sudah seharusnya tinggal bersama suaminya!”“Aku tidak punya suami! Aku sudah diceraikan!”Kening yang sudah penuh kerutan itu semakin berlipat mendengar ucapanku. Yuni maju selangkah, lebih dekat denganku.“Apa katamu? Kau sudah diceraikan?” tanyanya seolah bertanya dengan dirinya sendiri. Pelan dan tidak percaya.“Ya. Aku sudah diceraikan, dan Bu Astri menitip pesan agar kau membayar semua hutangmu! Kalau tidak....”“Kalau tidak apa?” Dia memotong setelah sebelumnya terperangah.“Kalau tidak, kau harus mau menjadi pembantu di rumah mereka seumur hidup!”“Apa?” Yuni berseru keras. Kemudian bertolak pinggang.“Seharusnya kau tidak cepat pergi dari sana. Setidaknya sampai hutang-hutangku lunas. Dasar bodoh! Kenapa Arman secepat itu menceraikanmu? Seharusnya kau terima saja nasibmu walaupun hanya menjadi pembantu. Setidaknya kau di sana bisa makan enak. Kebutuhanmu tercukupi.” Yuni langsung mengoceh dengan marah. Aku sampai tak percaya wanita yang selama ini kuanggap ibu, tega berkata seperti itu.“Asal kamu tahu Viola, kita sudah bangkrut. Perusahaan kita hampir gunung tikar. Ayahmu tidak meninggalkan apa pun lagi selain perusahaan yang nyaris bangkrut dan rumah ini. Kalau perusahaan benar-benar bangkrut, rumah ini terpaksa aku jual.”Kini mataku yang melotot tak percaya. Apa yang dikatakan wanita ini? Perusahaan bangkrut? Rumah harus dijual? Enak sekali dia bicara.“Jelas saja perusahaan ayahku bangkrut, kau terus memelihara gigolo. Kau pakai uang ayahku untuk bersenang-senang dan mencukupi para peliharaanmu. Iya, kan?” Aku marah. Namun, ternyata wanita itu tidak terima. Dia ingin menyerangku, tetapi lelaki muda di sampingnya yang sejak tadi hanya diam, menahan tangannya.Pemuda itu membujuk Yuni agar tenang. Kemudian maju mendekatiku. Seringaian mencurigakan terukir di bibir hitamnya yang aku yakin efek nikotin.“Hai,” sapanya dengan seringaian yang di mataku menakutkan. Aku bergidik ngeri. Bulu-bulu di sekujur tubuh meremang. Aku mundur menghindari pemuda yang membusungkan dada polosnya. Matanya memindaiku dengan liar.“Sepertinya kamu kurang belaian, ya? Atau tidak pernah dapat sama sekali?” Tatapan itu, begitu merendahkan.“Kalau kamu mau, aku bisa memberikan kehangatan,” lanjutnya menjijikkan.“Tenang saja, aku tidak pilih-pilih, kok. Aku bisa memberi kehangatan walaupun wanita itu gendut dan jelek.”Mataku terbelalak. Aku tidak tahu harus berkata apa. Manusia-manusia ini sangat menjijikkan. Aku ingin meninggalkan mereka, tetapi pemuda itu menahan dengan panggilannya.“Bagaimana tawaranku?”Aku menghentikan langkah, tetapi tidak menoleh.“Atau ... haruskah aku memanggil teman-temanku semua untuk ramai-ramai menghiburmu?”Kali ini aku berbalik, dan kupastikan wajah ini sudah pucat. Sementara kedua orang di depan sana menunjukkan seringaian kemenangan.“Jadi, mau pergi dengan sukarela dari sini, atau mau dipakai teman-teman Reno beramai-ramai?” Dengan tidak punya perasaan, ibu tiriku memberi pilihan sulit. Ia tahu aku ketakutan. Mereka sukses mengintimidasiku.Sungguh, aku tak ingin pergi dari sini. Aku tidak rela rumah ini dijadikan tempat mesum. Namun, aku sangat tahu siapa Yuni. Dia tidak akan main-main dengan ancamannya. Menumbalkanku ke keluarga Arman saja dia sanggup. Apalagi membuatku kehilangan keperawanan dan harga diri.Sementaranya dua hal itu, hal yang paling aju jaga selama ini.Ya, walaupun jelek, gendut, dan tidak berharga di mata orang lain, tetapi aku punya harga diri. Aku selalu menjaga sesuatu yang tidak seharusnya diberikan kepada yang tidak berhak. Mana tahu nanti aku mendapatkan jodoh laki-laki yang bisa menerimaku apa adanya.Apalagi yang akan kubanggakan di depannya, kalau keperawanan pun sudah tak ada?Ok, sepertinya aku memang harus mengalah saat ini. Aku tak punya kekuatan untuk melawan Yuni. Dia memiliki orang-orang yang siap bekerja apa saja untuknya asal mendapat uang.Mungkin saat ini bukan waktu yang tepat untuk melawannya. Aku harus punya kekuatan dulu.Ok, aku mengalah. Namun, bukan berarti aku harus pergi dari sini dengan tangan kosong. Tiba-tiba sebuah ide terlintas.Aku memasang wajah memelas, sebelum berucap.“Baiklah, Bu. Aku akan keluar dari rumah ini, tapi setidaknya izinkan sehari saja aku menginap di sini. Aju janji besok pagi akan pergi. Aku hanya ingin istirahat sebentar sambil mengingat semua kenangan dengan ayah sebelum pergi.”Kupasang wajah sesedih mungkin untuk meyakinkan wanita hampir setengah abad itu agar mengizinkan aku tinggal walaupun hanya satu malam. Dia memandangku sekilas, sebelum mengibaskan tangan.“Baiklah, aku berbaik hati padamu. Tapi besok pagi-pagi kau sudah harus pergi dari sini,” jawabnya sambil berlalu. Menggamit lengan pemuda yang mengedipkan sebelam matanya padaku sebelum mengikuti langkah Yuni. Mereka meninggalkanku dengan saling merangkul.Menjijikkan!Part 4 Waktu menunjukkan pukul 21.30 saat kudengar suara cekikikan Yuni lewat di depan kamar. Aku mengintip dari celah pintu yang terbuka sedikit. Terlihat wanita yang malam ini memakai gaun berbelahan dada rendah berjalan berangkulan dengan pemuda itu, menuju keluar. Tak lama berselang, tersengar suara deru mobil yang semakin menjauh. Sepertinya mereka pergi. Aku gegas keluar kamar. Tidak boleh menyia-nyiakan waktu. Aku segera beraksi dengan rencana yang sudah disusun. Memasuki kamar Yuni yang dulu merupakan kamar ayah bersamanya. Rasa nyeri menghantam ulu hati saat melihat ranjang ukuran queen di tengah ruangan besar itu tampak berantakan. Ranjang ayah yang saat aku kecil sering dipakai untuk tidur bertiga dengan ibu, sekarang dipakai Yuni untuk bermaksiat entah dengan berapa laki-laki. Aku menarik napas panjang dan sekuat tenaga menepis sedih yang datang tiba-tiba. Ini bukan saatnya terbawa perasaan. Aku harus bergerak cepat sebelum Yuni kembali. Aku mencari surat-surat berharg
Part 5Aku mengamati ruangan besar yang kami gunakan untuk menunggu antrean melamar pekerjaan. Ruangan mewah ini merupakan bagian dari rumah yang lebih tepat disebut kastil saking besar dan indah. Rumah Arman juga besar, tetapi tidak seberapa dibanding rumah ini. Apalagi rumah peninggalan ayah yang sudah lapuk dan tak terawat. Dari luasnya saja tidak ada seujung kuku pun dengan rumah ini. Beberapa menit lalu aku dan Fera sampai di sini dengan berjalan kaki. Letak kawasan elite ini memang tidak terlalu jauh dari lingkungan kumuh tempat aku dan Fera bertemu. Hanya terpisah jalan protokol di tengah kota. Pemandangan yang sangat kontras bila dilihat dari atas. Sebelah kanan jalan merupakan perumahan elite yang sangat tertata, dan hanya mereka yang memiliki rekening gendut yang dapat membeli rumah di sini. Sementara di sebelah kiri, ada pemukiman kumuh yang sangat rapat dan tidak beraturan. Jadi, bisa kupastikan pemilik rumah yang sedang mencari pengasuh ini adalah seseorang yang sanga
Part 6Ini adalah tes terakhir. Aku harus bisa membuat makanan kesukaan Tuan Sultan, dan makanan itu adalah ... salad sayuran. Sebenarnya gampang saja, karena itu juga makanan favoritku. Oh, bukan! Lebih tepatnya aku dipaksa ibu untuk menyukai makanan itu. Waktu ibu masih ada, aku diharuskan makan salad sayuran segar agar tubuhku sehat dan tidak bertambah lebar katanya. Jadi, saat masih SMP dulu, hampir setiap hari ibu membawakan bekal salad ke sekolah. Dan di sekolah, biasanya aku membaginya dengan seseorang yang sekarang entah berada di mana.Kini, saat harus membuat lagi makanan itu, tentu jiwa melankolisku meronta. Rasa sedih tak dapat dicegah, datang begitu saja. Teringat ibu dan seseorang yang menjadi satu-satunya teman di kala itu. “Kau mau tes kerja atau melamun?” Suara maskulin itu tiba-tiba saja sudah berada di belakang tubuh ini. Suara Tuan Sultan. Kenapa bos besar seperti dirinya harus repot-repot masuk dapur? “Ba-baik, Tuan. Sebentar lagi selesai,” jawabku gugup dan
Part 7“A-apa maksud Anda, Tuan?” Aku merasakan wajah ini panas. Kaki ini bahkan mundur. “Kau tidak menderita gangguan telinga, bukan?” Tuan Sultan menyipitkan mata. Kepalanya sedikit condong. “Aku tidak mau mempunyai pelayan yang memiliki gangguan pendengaran, karena aku tidak akan mengulang-ngulang perintah!”“Ma-af, Tuan. A-apa saya tidak salah dengar, kalau Anda meminta saya memandikan Anda?” Aku meyakinkan pendengaran ini. “Tentu saja tidak! Aku memang mencari pelayan yang bisa mengurus segala sesuatunya, karena aku tidak bisa berjalan. Termasuk mandi dan mengganti bajuku.”Aku menganga mendengar ucapannya. Pekerjaan macam apa ini? Salahku memang tak menanyakan apa saja tugasku dari awal. Main ikut-ikut saja tes untuk pekerjaan ini. “Kalau kau tidak mau melanjutkan pekerjaan ini, aku akan segera mencari penggantimu. Mumpung masih banyak yang mengantre. Dan kau, silakan pergi dari sini!”Mulutku semakin menganga. Kalimat ancaman itu begitu menakutkan. Aku tidak mau kehilangan
Part 8“Ke-napa Anda memanggil saya dengan nama itu, Tuan?” Aku bertanya pelan. Ingatanku langsung terbang ke masa di mana aku dan dia yang selalu memanggilku dengan nama itu, duduk berdua di bawah pohon. Kami menikmati salad bekalku dari mangkuk yang sama, sebelum murid-murid lain datang dan membully kami dengan menyebut dua angka nol menggelinding. Karena tubuh kami sama-sama besar. Ya, saat itu memang hanya dia temanku di sekolah. Mungkin karena nasib kami sama. Sama-sama bertubuh subur dan menjadi bahan perundungan. Dialah satu-satunya orang yang memanggilku dengan nama Ana. “Namamu Viola Anastasya, bukan?” Lelaki berkursi roda itu bertanya setelah hening beberapa saat. Suaranya menarikku dari lamunan. Sementara posisinya tetap membelakangiku, hingga tak dapat tertangkap mimik wajahnya. “Apa salah bila aku memanggilmu dengan nama Ana? Bukankah itu namamu juga?”Aku mengerjap. Dia benar, Ana namaku juga. Hanya saja, aneh rasanya orang yang baru saja bertemu langsung memanggilk
Part 9Aku menyusuri lorong dengan bingung. Semua pintu tampak mirip. Jadi, tidak tahu apa ini jalan yang tadi kulalui atau bukan. Sekejap aku menyesali kenapa tadi tidak mengingat dengan seksama ruangan mana, juga benda apa saja dilewati saat menuju ke kamar itu. Aku hanya meraba-raba, hingga tiba di sebuah persimpangan lorong. Bingung? Tentu saja. Kenapa rumah ini begitu besar? Dan ada banyak kamar dengan pintu serupa? Aku mencari peruntungan dengan permainan cap cip cup kembang kuncup karena bingung. Lalu saat telunjuk ini menunjukkan lorong yang ada di sebelah kanan, aku mengikuti saja suara hati. Keberuntungan berpihak padaku, lorong yang kupilih ternyata tidak salah. Aku tiba di ujung tangga yang akan membawa diri ini ke dapur di lantai bawah. Waktu lima menit sudah berkurang banyak karena tadi bingung mencari jalan. Kaki besarku meniti anak tangga dengan setengah berlari untuk mencapai lantai bawah. Beruntung di sana ada seorang pelayan sedang mengelap guci antik. Dia memba
10Akhirnya dengan sangat terpaksa, aku menyuapi bayi besar itu perlahan. Bayi besar yang sangat menjengkelkan. Andai aku tidak takut Yuni memburuku di luar sana, niscaya aku sudah kabur dan meninggalkan pekerjaan aneh ini. Kusuapi dia tanpa kata. Hanya tangan yang bekerja. Tunggu! Aku mengamati wajah yang sebenarnya akan sangat tampan kalau saja tidak selalu memerintah yang aneh-aneh tanpa senyum itu. Namun, bukan itu yang menjadi perhatianku. Gerakan mulutnya yang sedang mengunyah makananlah yang menarik perhatianku. Gerakan itu ... seperti gerakan mulut seseorang dari masa lalu yang sangat kuakrabi. Ya, sama persis seperti itu gerakannya bila sedang mengunyah. Siapa Tuan Sultan ini sebenarnya? Apa aku mengenalnya? Aku terus memperhatikan wajahnya. “Apa yang kau lalukan?!” teguran dengan suara tinggi membuatku terjengkit kaget. Ternyata tanpa sadar, aku memajukan wajah hingga jarak kami sangat dekat. Tuan Sultan menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Kepalanya menggele
11Aku masih kaget dengan semua yang terjadi. Tubuhku berada di atas tubuh Tuan Sultan dengan wajah kami saling menempel, dan ... bibir menyatu. Awalnya lelaki itu juga diam. Mungkin karena kaget semua terjadi begitu cepat. Namun, tak lama ia meronta. Tangannya mendorong wajahku agar menjauh dari wajahnya. Mulutnya langsung menyemburkan omelan dan sumpah serapah. Ia juga berteriak memanggil siapa pun yang bisa menolong kami. “Apa kau sudah gila? Apa yang kau lakukan, hah? Menyingkir dariku! Tubuhmu sangat berat. Aku bisa mati kehabisan napas!” Tuan Sultan terus mengomel dengan satu tangan menahan agar wajahku tak jatuh lagi di atas wajahnya. Lalu tangan lainnya mencari sesuatu yang bisa menolong kami. Aku? Jangan kira aku menikmati posisi ini atau bukan tidak mau menyingkir. Namun, tubuhku yang terlalu berat membuatku sulit untuk keluar dari kursi roda ini. Aku berusaha untuk berguling ke samping tetapi kursi roda tetap meringkus tubuhku, hingga kami seolah berpelukan dengan pos