25Aku memandang ke arah Pak Sam untuk meminta pendapat. Karena sejatinya aku masih meragukan kemampuan diri ini. Setelah lelaki yang menurutku lebih baik hatinya dari bosku itu mengangguk, baru aku berani menerima tantangan Tuan Sultan. Ingat satu juta, Viola. Kamu bisa pesan bakso atau seblak. Oh, bukan hanya itu motivasiku. Aku ingin membuktikan kepada Arman, kalau aku tidak sebodoh dan seburuk yang ia pikir. Akan kubuktikan aku bisa! Dengan bantuan Pak Sam tentu saja. Karena untuk seorang amatir sepertiku, tidak mungkin semua akan seperfect yang diharapkan tanpa bantuan orang lain. Setelah mendorong kursi roda Tuan Sultan hingga di depan meja kerjanya, aku kembali keluar. Ke meja Hera. Di sana sudah menunggu Pak Sam yang akan mengajariku berbagai hal. “Jadi saya harus mulai dari mana, Pak?” tanyaku langsung begitu kami berhadapan. “Lihat jadwal untuk Bos yang sudah dibuat Hera. Kau lihat jam berapa rapatnya. Lalu lihat siapa saja yang harus datang. Hubungi mereka satu per sa
26“Lakukan kalau kau punya uang!” Jawaban Arma yang diucapkan sembari berjalan dan mengangkat sebelah tangan itu membuat dadaku semakin bergejolak hebat. Ia bahkan tidak menoleh lagi padaku. Meremehkan sekali dia. Dianggapnya aku tak memiliki uang sama sekali. Aku baru membuka mulut lagi saat Arman membuka pintu, dan di depan benda yang terkuak itu kudapati lelaki yang duduk di kursi roda menatap kami bergantian. Arman mengangguk sopan ke arah Tuan Sultan, setelah beberapa detik terpaku. Kulihat Tuan Sultan tak menanggapi Arman sama sekali, dan malah sibuk menghujamkan tatapan tajam padaku. Untunglah pintu tertutup lagi bersamaan dengan tubuh Arman yang keluar. Tinggallah aku sendiri di dalam ruangan ini. Memejamkan mata dan menarik napas panjang kemudian mengembusnya perlahan. Kulakukan berkali-kali agar dadaku terasa longgar. Bertemu Arman selalu membuat tensi naik dan hidupku sial. Aku membereskan ruangan ini dibantu seorang OB. Lalu setelah selesai, langsung menuju meja Her
27Cita-cita untuk jadi sekretaris sehari pun sepertinya harus tertunda. Kami langsung pulang setelah itu, karena Tuan Sultan marah. Padahal aku senang sekali bisa menjadi sekretaris walaupun hanya sehari. Hanya gara-gara aku tidak terbuka soal status, Tuan Sultan marah besar. Sepertinya, bukan hanya pekerjaan sekretaris sehari yang gagal, bahkan mungkin ini menjadi hari terakhir aku bekerja untuknya. Miris menang. Padahal kontrakku satu tahun, tetapi dalam waktu satu bulan saja, semua harus selesai. Gara-gara bertemu Arman hari ini, semua berantakan. Dalam perjalanan, tidak ada yang bicara sepatah kata pun. Tuan Sultan langsung meminta Pak Sam mengantarnya ke kamar. Dia bahkan tak ingin aku yang melakukan. Sejak di ruangannya tadi, ia tak bicara lagi denganku.Aku langsung ke kamar. Duduk merenung di tepi tempat tidur. Kenapa Tuan Sultan semarah itu padaku hanya gara-gara tidak mengatakan status yang sebenarnya akan kuakhiri? Bukankah sejak awal tidak ada pertanyaan menyangkut keh
28Aku memulai hari ini dengan lemas. Sudah terbayang menjalankan pekerjaan dobel yang akan menguras tenaga dan otak. Mengurus dia di rumah saja rasanya membuat tubuhku merasa melayang-layang, karena harus berlari-lari ke sana ke mari. Apalagi mengurus dia di kantor juga. Namun, aku harus tetap semangat. Apalagi kemarin dia memberiku libur setengah hari. Aku bisa bersenang-senang dengan memesan makanan kesukaan dari uang satu juta yang ia bayar tunai. Sayangnya, aku hanya bisa maximal dua kali order. Karena sekuriti yang berjaga sudah memberi peringatan sejak awal, jika aku memesan makanan lebih dari dua kali, maka yang ketiga dan selanjutnya akan menjadi milik mereka yang berjaga. Namun, tetap aku yang harus membayar. Peraturan macam apa ini. Pasti kerjaan dia. Siapa lagi? Kenapa sih, Tuan Sultan seolah tidak suka melihatku menikmati hidup? Dia maunya aku ini selalu menderita. Pekerjaan berat, makanan dibatasi, tidak boleh memegang uang gaji, dan masih banyak lagi aturan ketat y
29Aku mulai menjalani hari-hari dengan profesi dobel, sebagai pelayan dan juga sekretaris Tuan Sultan. Lelah? Tentu saja. Sangat melelahkan malah, karena pekerjaan rumah tetap kujalani walaupun ada beberapa kelonggaran. Belum lagi di kantor. Aku yang masih kaku, kadang harus bolak-balik mengerjakan pekerjaan yang sama, karena Tuan Sultan tidak puas dengan kinerjaku. Karena setiap hari lelah bekerja di rumah dan kantor, praktis setiap malam aku langsung tertidur begitu masuk kamar. Hingga tak sempat lagi mengunyah aneka camilan yang kubeli tempo hari. Akhirnya, sekantong kresek besar makanan itu hanya teronggok di atas meja. Mungkin nanti aku akan memberikan kepada Marini atau siapa pun daripada mubazir. Tak terasa tiga bulan sudah aku menjalani pekerjaan ini. Aku mulai terbiasa dengan ritme kehidupan teratur yang kujalani semenjak bekerja untuk Tuan Sultan. Naik turun tangga ke kamarnya, bukan lagi hal berat bagiku. Aku bahkan bisa melakukan sambil meloncat-loncat atau berlari k
30Aku duduk kembali tanpa memedulikan Arman yang di mataku sangat menjengkelkan. Menyibukkan diri dengan pekerjaan dan menganggap tidak ada orang di depan meja, adalah pilihan terbaik. Aku tidak mungkin berteriak memakinya karena ini kantor. Reputasiku dipertaruhkan. Nanti orang-orang juga bisa tahu jika kami pernah menikah. “Ana, tolong buatkan aku kopi!” Suara Tuan Sultan terdengar dari interkom begitu aku mengangkat gagang telepon. Benda itu menyala saat aku kembali menyibukkan diri. “Tapi Anda sudah minum kopi dua kali hari ini, Tuan. Pak Sam bilang itu tidak baik untuk kesehatan, Anda. Bagaimana kalau saya buatkan teh atau susu saja?” Aku menjawab tanpa memedulikan Arman yang ternyata masih berdiri di depan meja. Entah apa yang dilakukannya. “Ya sudah terserah saja. Langsung bawa ke ruanganku!”“Baik, Tuan. Oh ya, ada tamu yang ingin menemui Anda.” Aku melirik Arman yang terus saja memindai diri ini. “Siapa?”“Pak Arman dari PT. Anugerah Jaya.”“Suruh masuk!”“Baik!”Aku mel
31“Anda tidak apa-apa, Tuan?” Aku kembali berlari ke arah Tuan Sultan dan membantu membersihkan wajahnya dengan tisu. Wajah Tuan Sultan merah. Begitu juga dengan Arman. Pria itu berdiri, kemudian menudingku. “Dasar sekretaris tidak becus! Apa yang kau masukkan dalam minumanku, Bola?!” Mata Arman membeliak menatapku marah. “Anda berpikir apa, Pak? Saya hanya membuatkan minuman sesuai pesanan, Anda. Kopi hitam dengan sedikit gula.”“Ya. Sedikit gula dan kau memberi banyak garam!” Dia masih menudingku, jarinya tampak bergetar. “Lihat Pak Sultan, inilah yang saya katakan jika dia tidak berkompeten. Membuat kopi saja tidak becus!” Arman berapi-api, sepertinya ingin mempengaruhi Tuan Sultan. Sayangnya hanya ditanggapi dingin oleh bosku itu. “Kita lanjutkan pertemuan ini lain waktu, Pak Arman. Sekarang silakan tinggalkan ruangan ini! Saya mau ganti baju!”Arman diam seketika mendengar ucapan Tuan Sultan. Wajahnya yang merah padam menandakan emosinya tertahan. Marah padaku, ditambah Tua
32“Ayo pasangkan dasiku, Ana! Apa yang kau tunggu? Kau bahkan belum pernah memasang dasiku sejak menjadi pelayan pribadiku. Padahal itu pekerjaanmu!”“Pekerjaan saya?” Aku berbalik setelah mengintip sebentar, dan mendapati dia sudah rapi dengan celananya. “Tentu saja! Kalau tidak percaya, kau buka saja surat kontak itu, dan kau akan menemukan poin itu di sana. Seharusnya aku menuntutmu karena sejak awal banyak aturan yang kau langgar!”“Benarkah?” Keningku berkerut. Kenapa aku merasa tidak pernah membaca poin seperti itu. “Ketahuan kau tidak betul-betul membaca surat kontrak itu saat menandatanganinya!” Ya, dia benar. Aku tidak membaca kontrak itu karena terlalu banyak poinnya. Malas. Siapa sangka kalau hal seperti itu dimasukkan dalam perjanjian kontrak. “Ayo pasangkan, atau kusuruh kau lembur sampai tengah malam sendiri di sini!”Mataku melebar mendengar ancamannya. Sementara lelaki yang barusan mengancam, kini menengadah. Ia sudah siap untuk dipasangkan dasi yang sudah menjunt