Kemarin, waktu berlalu begitu saja, begitu pun dengan hari-hari selanjutnya. Lolita Cantika, gadis yang selama ini dikenal selalu ingin menempel pada tubuh si ketua BEM Universitas tetap ramai dibicarakan, tetapi dengan bahan gosip yang berbeda.
Lolita mendapatkan julukan baru di lingkungan kampusnya, yakni sebagai player kelas kakap. Hal tersebut bermula dari pesta perayaan kembalinya otaknya.
Kehadirannya bersama Richi saat pesta perayaan pribadinya dinilai negatif, oleh orang-orang yang melihat keberadaan mereka di kantin kala itu. Gosip mengenai dirinya yang merubah haluan pun berhembus sangat kencang, meski hubungan Richi dan kekasihnya tampak baik-baik saja dimuka umum.
Lolita— Fans Garis Keras Ketua BEM, Patah Hati Lagi?!
“Ck! Wartawan Kampus ngapain ngangkat berita nggak guna gini sih?! Mana Bang Richi ikut kebawa-bawa. Sampah banget!” Dumel Lolita usai membaca buletin kampus yang dikirimkan Melisa beberapa menit lalu.
Saking niatnya, kehidupan asmara Richi sampai dibawa-bawa. Sosoknya bersama kekasihnya ikut dimuat dalam berita tentangnya.
“Baca beginian, gue jadi laper.” Gumam Lolita. Mata cantiknya melirik pada jam digital yang tersemat pada sudut ponsel.
“Turun ah!” Putusnya lalu merangkak menuruni ranjang. Pagi tadi ia melewatkan sesi sarapan bersama keluarganya.
Maminya yang kejam, akhir-akhirnya ini bersikap aneh. Setelah mengetahui dirinya tak lagi menggilai Adnan, dia sering kali menawarkan anak tetangga mereka.
Katanya, “jangan sampe Loli trauma terus malah jadi lesbi.”
Maklum, sepanjang sejarah dirinya hidup, Adnan merupakan laki-laki pertama yang dirinya sukai. Rasa suka itu pun dirinya utarakan kepada keluarganya.
“Bang, lap— per!”
Mata Lolita mengerjap. Di ruang tengah yang berlokasi tepat di depan kamarnya, sekumpulan pria muda tengah menatap ke arahnya.
“Mami nyisain nasi goreng tuh di dapur. Minta Mbak panasin aja, Lol.” Ucap Argam memberi tahu.
“Hai, Lol,” sapaan mengudara bersama sebuah tangan yang melambai di udara.
“Halo, Bang.” Balas Lolita pada si pemilik sapa, yang namanya ikut terseret pada kasus romansanya bersama si Ketua BEM.
Untuk sesaat, pandangan Lolita bergeser tanpa bisa dikendalikan. Disamping tamu baru kakaknya, sosok pria yang tengah dirinya hindari terlihat memalingkan wajah.
“Lol, sekalian, ambilin gue air dingin dong!” Pinta sahabat Argam, Alex.
“Dih, apaan lo Bang, maen nyuruh-nyuruh. Biasa juga ngambil sendiri. Ogah! Gue lama di dapur!” Sahut Lolita, lalu berjalan cepat meninggalkan ruangan terkutuk, dimana terdapat Adnan didalamnya.
Lolita membanting dirinya pada kursi makan. Ia kesal. Sudah hampir satu bulan dirinya sengaja menghindari Adnan, tapi Abangnya justru dengan mudahnya mempertemukan mereka.
“Mbak Loli udah bangun?”
“Belom, Mbak. Ini Lili, bukan Loli!” Ucap Lolita membuat ART-nya meringis. “Mbak, temen-temen Abang udah lama datengnya?”
“Setengah jam yang lalu mungkin, Mbak.”
“Masa sih?”
Sudah selama itu, tapi ia tak mendengar apa pun dari dalam kamarnya.
“Iya, Mbak. Temen Mas Argam yang ini agak anteng ya, Mbak?! Mas Alex aja belum ada teriak-teriak loh.”
“Soalnya gue nggak lagi main PS, Mbak.” Sosok yang tengah dibicarakan oleh ART Lolita menyahut. “Air dingin dong, Mbak,” requestnya lalu menarik kursi kosong disamping Lolita.
“Lo nggak apa-apa, Lol? Shock nggak liat si Adnan?” tanya Alex, penasaran.
“B aja tuh! Pada lagi ngapain sih? Bang Tristan tumben nggak ikut ke rumah.”
Argam tergabung ke dalam tiga serangkai. Argam, Alex dan Tristan. Sejak dulu, ketiganya selalu bersama-sama. Lolita mengenal dekat sahabat-sahabat kakaknya itu. Mereka telah bersama sedari bangku SMA.
“Tristan nggak masuk kelompok gue. Misah dia, barengan sama temen-temennya si Adnan yang laen.”
“Diacak namanya?”
“Nah, tuh, pinter lo, Lol! Dandan sono! Ada si Adnan. Cakepan dikit dong, biar dilirik. Kita masih lama di sini.”
Lolita kontan berdecih. Untuk apa pakai dandan segala. Maaf saja, otaknya sudah kembali ke tempurung. Meski rasa cintanya masih menggunung, tapi akal sehatnya memaksa untuk tak lagi menunjukkannya pada Adnan.
“Eh, beneran ini lo udah nggak suka dia?” tanya Alex, usai melihat reaksi Lolita.
“Bener lah! Kayak nggak ada yang laen aja!”
“Hahahaha,” Alex terbahak. Lengannya menarik leher Lolita untuk dirangkul. “Buset! Akhirnya Lolita kita waras juga.” Kekehnya.
“Ehem,” dehem seseorang yang baru saja memasuki area dapur.
“Argam minta tambahan kopi.” Ucap sosok itu, yang ternyata Adnan.
“Oh, oke. Mbak, kopi Mbak, buat tuan muda Argam.” Seloroh Alex mewakili. Tangannya tetap bertengger pada leher Lolita dan Lolita pun tak mengenyahkannya. Gadis itu sibuk membuang muka, menghindari pandangan yang kapan saja bisa bertemu.
“Bro, lo perlu apa lagi?”
“Nothing,” jawab Adnan.
“Ya udah, lo ke depan lagi aja. Ntar biar gue bawain sekalian kopinya.”
“Oh, oke.” Tanggap Adnan lalu memutar tubuhnya untuk meninggalkan dapur.
“Puff!” Alex tertawa ringan.
“Ngapain lo, Bang? Belom minum obat lo?” Selidik Lolita. Diantara kedua sahabat kakaknya, ia memang paling dekat dengan Alex.
“Lo liat nggak Lol, tadi?”
“Apaan?”
“Lo nggak ngeliat?”
Lolita mengernyit. ‘Apa sih maksudnya? Liat apaan?’ batinnya, tak mengerti. Sepanjang ada Adnan tadi, ia mengalihkan pandangan. Tak ingin melihat sosok yang telah mematahkan perasaannya.
“Lah, seriusan ini?” Pekik Alex sembari menarik tangannya dari leher adik sahabatnya. “Si Adnan ngeliatin tangan gue mulu, Lol! Cemburu kali dia liat kita.”
“Ngaco!”
“Sumpah ya, Lol! Gue ini laki, jelas taulah, gelagat sebangsa sendiri!”
Kalau saja Adnan tidak pernah mengatakan dirinya memiliki wanita yang disukai, Lolita mungkin akan mempercayai perkataan Alex. Sayangnya, kecemburuan tersebut tidak akan menjadi kenyataan. Adnan membencinya, sama seperti yang Lolita lakukan sekarang kepada pria itu.
“Bang, cabut sana! Gue mau sarapan! Laper b.g.t! Jadi nggak bisa bagi-bagi!”
“Siapa juga yang mau! Di depan ada pizza, wlek!”
Setelah kepergian sahabat kakaknya, Lolita menghembuskan napas. Dunia terasa melelahkan baginya, seolah dirinya tak memiliki tujuan untuk tetap melangkah maju.
“Sumpah! Harus banget tuh orang disini?!”
Di kampus, Lolita sudah semaksimal mungkin untuk tak berpapasan. Ia benar-benar menghindari pertemuan dengan mantan cemcemannya. Ia bahkan sampai mempersingkat waktunya, tak berlama-lama berkeliaran dan pulang tepat setelah jam terakhir berlangsung.
“Mbak, mikirin apa?” tanya si ART.
“Kucing tetangga, katanya berubah jadi naga, Mbak.” Beo Lolita, selalu ada-ada saja.
Lama Lolita berdiam di meja makan. Untuk tetap tak bertemu dengan Adnan, ia meminta asisten rumah tangganya untuk melihat situasi di ruang tengah. Memastikan jika teman-teman kakaknya tak lagi berada di ruangan itu.
“Gimana, Mbak? Udah pada pulang mereka?”
“Kayaknya udah sih, Mbak. Mas Argam Mbak liat masuk ke kamar, terus pintunya ditutup.”
Ah— berarti sudah aman.
Lolita bangkit, meregangkan otot-otot ditubuhnya. “Akhirnya,” helanya. Pulangnya mereka membuatnya tak harus mati terduduk di dapur. Jujur saja Lolita sudah bosan menunggu. Ia tak membawa ponselnya ikut serta, sehingga hanya berdiam tanpa melakukan kegiatan apa pun usai nasi gorengnya habis tak bersisa.
Ketika dirinya berada di ruang tamu, Lolita sempat menatap titik dimana Adnan duduk. Untuk beberapa alasan, Lolita merasa heran.
Hari ini adalah hari pertama dimana pria itu menyambangi rumahnya. Itu terjadi karena tugas kelompok bersama abangnya, tapi kenapa?
Mengapa harus di rumahnya?!
Sekelebat pertanyaan itu memenuhi benak Lolita. Bukan kah ada banyak tempat? Contohnya saja, rumah pria itu atau mungkin café, tempat para anak muda biasa berkumpul dan mengerjakan tugas agar tidak bosan.
Lolita yakin ide berkumpul di rumahnya tidak tercetus dari mulut sang kakak. Argam tak sejahat itu, dengan mengundang penyebab mengapa bobot tubuh adiknya merosot jauh. Apa lagi tanpa pemberitahuan.
Jika memang ide tersebut berasal dari Argam, kakaknya pasti memberitahunya agar dirinya mempunyai persiapan. Misalnya dengan tak keluar kamar selama pengerjaan tugas sang kakak berlangsung.
Yah, pasti begitu— karena Argam tahu benar ia sedang menjauhi Ketua BEM mereka.
“Hadeh! Lolita yang paling cantik dimuka bumi, ngapain lo mikirin itu!” Monolognya, menghardik dirinya sendiri yang masih saja memikirkan Adnan.
Hal terpenting yang harus dirinya pikirkan adalah meminta sang kakak untuk tidak lagi membawa manusia itu ke rumah mereka.
“Pakaian kamu.. Jangan pakai itu lagi untuk keluar dari kamar!”
Tubuh Lolita tersentak. Gadis muda itu terperanjat hebat.
Ditempatnya berdiri, Lolita membeku, tak mampu menggerakkan tangan dan kakinya— bahkan ketika sosok yang baru saja melewatinya, lenyap memasuki kamar sang kakak.
“Dia muncul dari mana? Katanya udah pulang?!”
“This is it, By.. Disini tempat paling bersejarah yang tadi aku bilang..” “Hah?!” Bercandaan Adnan sungguh tidak menyenangkan. Lolita sampai terperangah dibuatnya. Tempat yang Adnan sebutkan tidak lebih dari sebuah pohon besar dipinggiran jalan setapak yang sekitarnya tertanam beberapa pohon lain. “Haha-haha! Oh, aku tau. Disini pasti pernah dijadiin arena perang ngelawan penjajah kan?!” tanya Lolita dengan tawa sarkasnya. Adnan menggelengkan kepalanya. Pemuda itu kemudian setengah berjongkok, menurunkan sang istri dari punggungnya. “No, No! ini nggak ada hubungannya sama masalah penjajahan dulu, By.” “Nan, kamu paham sarkasme nggak?!” lontar Lolita dengan sadisnya. “Please lah! Kamu ngajak aku jalan jauh cuman buat liatin nih pohon?!” Sebelum sang istri menyemburkan amarahnya, Adnan meraih telapak tangan gadis itu dan berkata, “kamu bener, By. Tapi aku punya alasan kenapa bawa kamu kesini..” Adnan meremas jari-jari Lolita. Kepalanya mendongak, menatap ranting-ranting pohon y
“Mel..”Lolita membuka pintu kamar yang disediakan untuk sahabatnya. Sebuah ruangan sederhana dengan perabotan selayaknya kamar tidur, tapi entah mengapa terasa begitu nyaman kala masuk ke dalamnya.“Tutup, Lol!” Erang Melisa, terdengar serak.Melihat satu-satunya sahabat yang ia punyai tepar tak berdaya, Lolita pun tak mampu menahan kikikkannya. “Capek banget ya, Bu?” tanya Lolita sembari mendudukkan dirinya pada pinggiran ranjang.Andai Melisa mengatakan ‘iya,’ Lolita akan sangat memaklumi jawaban tersebut. Sepanjang bus menyusuri jalanan, bersama kakak lelakinya, gadis itu membantu menjaga Awi.Ketiganya terlalu energik meski berada di dalam kabin bus. Ia yang melihat saja sampai keheranan. Mereka bertiga tampak seperti tak mempunyai tombol off, ada saja yang dijadikan kegiatan untuk seru-seruan, seakan mereka tak merasakan lelah barang sedikit pun.Eh, eh, ternyata... Asumsinya itu salah! Ketiganya rupanya masihlah seorang manusia biasa. Rasa lelah yang ia pertanyakan eksistensin
Rombongan dengan bus mewah yang berangkat dari Jakarta itu, tiba di Jawa Tengah pada pukul 08:00 pagi waktu setempat. Perjalanan tersebut terbilang cukup lama mengingat mereka beberapa kali singgah untuk bersenang-senang.Ya, bukan untuk beristirahat, tapi untuk bersenang-senang!Terhitung ada sebanyak 5 tempat persinggahan yang mereka jadikan spot untuk mengusir kejenuhan dalam perjalanan. Kegiatan yang dilakukan rombongan itu antara lain adalah makan, mengopi, berghibah dan satu kegiatan yang tak mungkin tertinggal yaitu, membelanjakan uang suami.Sebelum menuju rumah keluarga besar ayah Adnan, mereka juga sempat singgah ke penginapan terdekat untuk menyiapkan diri. Mereka semua mandi dan berdandan disana, memastikan jika diri mereka pantas untuk bertamu serta memampangkan muka.Dari apa yang Lolita dengar dari mulut ibu mertuanya, keluarga besar ayah Adnan sendiri telah mempersiapkan sambutan yang meriah demi menyambut kedatangan mereka. Kegiatan pembelajaran di pondok pesantren di
“Papa, bisnya bagus ya?!” Adnan tersenyum dengan anggukkan kepalanya. Ia membelai kepala Awi sembari bertanya, “Awi mau beli satu yang kayak begini?!” “Ma..” Sayangnya, jawaban Awi itu terpotong oleh suara batuk Lolita. “Enggak, Papa!” ubah Awi, menggeleng. Anak itu merangkak menaiki paha Adnan. Ia berusaha berdiri demi untuk membisikkan apa yang ingin dirinya katakan kepada sang papa. “Awi nggak mau soalnya Mama pelototin Awi.” Ucap Awi ditelinga papanya. Aduan bocah itu tak pelak membuat Adnan terkekeh. Betapa dahsyatnya seorang ibu. Tanpa berkata-kata saja, manusia berjenis kelamin perempuan itu dapat menciutkan nyali seseorang. Ah! Apa mungkin Awi-nya yang berbeda?! Dulu ketika dirinya kecil, semakin mamanya melotot, maka ia akan semakin senang untuk berulah. Terlebih disisinya ada opa dan oma yang selalu menjadi pendukung setianya. Kalau mamanya belum mereog, tingkah menyebalkannya akan terus berlanjut. “Good boy banget sih kamu jadi anak, Wi.” Kekeh Adnan, mencubit pipi te
Hari yang orang tua Adnan tetapkan sebagai hari keberangkatan ke kampung halaman pun tiba. Seperti yang Adnan katakan, hari tersebut berada pada angka ke enam dalam hitungan minggu, bertepatan dengan awal libur semester hingga tak mengganggu jalannya perkuliahan.Seharusnya! Karena mengganggu atau tidaknya, Adnan sendiri juga tidak tahu. Istrinya memutuskan untuk tak mengikuti jalannya perbaikan meski nilai-nilai mata kuliahnya belum keluar.Semoga saja tidak ada mata kuliah yang mengharuskan Lolita mengulang disemester selanjutnya. Sebentar lagi masa studinya akan berakhir dan secara tidak langsung, itu menandakan bahwa ia tidak lagi bisa menemani hari-hari sang istri di kampus. Mereka harus terpisah dalam beberapa jam setiap harinya.Ah! Membayangkannya saja, rasanya Adnan tak sanggup. Ia khawatir ada mahasiswa yang mendekati istrinya saat dirinya tak lagi berada disana.Nama istrinya sendiri kini sudah meroket selayaknya bintang kampus. Dia tidak lagi dibenci secara membabi-buta. B
Seorang gadis tampak merapikan rambut bergelombangnya. Bibir tipisnya yang terpulas pewarna berwarna merah keorenan, tertarik seiring dengan seringaian tipisnya.“Kata Mama, ini pasti berhasil!” gumamnya, percaya penuh akan kata-kata sang mama.Gadis itu adalah Tasya. Dikarenakan pengiriman pelet yang tidak kunjung menampakkan hasil, ia dan mamanya pun membuat gebrakan terbaru dengan memasang susuk pemikat.Kali ini ia memilih orang sakti yang namanya tersohor di kalangan para artis Ibu Kota. Rekam jejaknya sangat bagus. Mamanya sendiri mengakui eksistensinya yang masih bertahan sejak bertahun-tahun.Sosok yang mereka pilih ini dulunya sering dimuat dalam media publikasi, khususnya majalah wanita. Beliau juga sempat menjadi salah satu orang yang dituju oleh salah satu artis kenamaan Indonesia.Spesialis dari orang berkemampuan tinggi itu adalah ketok aura. Beliau membuka aura seseorang, menjadikannya lebih cantik dan bersinar dari sebelumnya.“Harus yakin!” Seloroh Tasya menarik masuk