“Kau pulang terlambat lagi!”
Sentakan dengan suara keras itu membuat Naina yang baru masuk ke dalam rumah langsung kaget.
Dia tak tahu kenapa Jake akhir-akhir ini menjadi sangat pemarah, tapi dia hanya diam.
“Kau mau makan? Tadi aku beli makanan dulu karena Bibi sedang pulang kampung.” Kata Naina dengan lembut.
Namun kantong berisi makanan itu langsung dibuang oleh Jake, “Evelyn akan makan malam disini! Kau ingin meracuninya dengan junkfood itu!”
Naina terdiam, menyaksikan kantong makanan itu jatuh ke lantai dengan bunyi yang memekakkan telinga di tengah keheningan. Hatinya seketika teriris, bukan hanya karena perlakuan kasar Jake, tetapi juga karena kenyataan bahwa suaminya lebih peduli pada Evelyn dibanding dirinya.
“Maaf, aku tidak tahu,” jawab Naina lirih, sambil berjongkok untuk memungut kantong makanan yang berserakan. Tangannya sedikit gemetar, tapi ia mencoba tetap tenang.
Jake hanya mendengus kesal. “Aku sudah bilang padamu, Evelyn sedang dalam masa pemulihan. Dia butuh perhatian lebih, dan aku tidak mau kau membuat masalah!”
Naina menatap makanan di tangannya yang kini berantakan, lalu mengangkat wajahnya sedikit. Ada dorongan dalam dirinya untuk melawan, tetapi seperti biasanya, ia memilih untuk menunduk. “Aku akan membersihkannya,” katanya pelan, lalu beranjak menuju dapur.
Saat punggungnya membelakangi Jake, air mata yang sudah menggenang akhirnya jatuh. Tapi Naina menahannya agar tak ada suara. Ia menyalakan keran, membasuh tangannya, dan mencoba mengendalikan diri.
“Apakah dia harus bersikap kasar seperti itu? Rasanya aku ingin menyerah.” Gumam Naina pelan
Setelah selesai membersihkan kekacauan itu, Naina berbalik dan melihat Jake sudah berjalan menuju ruang tamu, sibuk dengan ponselnya. Sedangkan Evelyn mencoba tertidur di pangkuan Jake.
Naina hanya bisa tersenyum dan bertanya, “Aku akan keluar dulu untuk membeli bahan, bahan di dapur habis. Apa Evelyn ada sesuatu yang ingin dia makan?” Tanyanya pada Jake.
Jake melirik Naina dengan ekspresi dingin, sementara tangannya secara refleks membelai rambut Evelyn yang tampak nyaman di pangkuannya. Evelyn membuka matanya sedikit, seolah tak peduli dengan kehadiran Naina, lalu menutupnya lagi.
“Dia bilang ingin sup ayam kampung.”
Naina mengangguk mengerti lalu pergi, untungnya swalayan sangat dekat dengan rumah mereka sehingga dia tak perlu berjalan jauh.
Saat sampai dirumah dengan membawa bahan untuk membuat sup, Naina dengan pelan mulai memasak. Meskipun kepalanya terasa pusing, tapi dia mencoba tetap kuat dan memasak hingga selesai.
Setelah sup selesai, Naina mengatur meja makan dengan rapi. Ia menyendokkan sup ke dalam mangkuk, memastikan penyajiannya terlihat sempurna. Saat semuanya siap, ia berjalan menuju ruang tamu dan dengan lembut memanggil, “Jake, Evelyn, makan malam sudah siap.”
Jake melirik sekilas, lalu membangunkan Evelyn yang masih bersandar di pangkuannya. “Ayo, makan,” katanya sambil membantu Evelyn berdiri. Evelyn menguap kecil, melangkah malas menuju meja makan.
Naina berdiri di sudut ruangan, menunggu keduanya duduk. Evelyn menyendok sup dengan perlahan, mencicipinya.
Uhuk! Uhuk! Uhuk!
Jake yang melihat Evelyn terbatuk langsung panik, “Kau kenapa? Apakah ada yang sakit?” Tanyanya dengan khawatir.
Evelyn langsung menunjuk ke arah sup di mangkoknya, “Ini sangat asin.” Katanya sambil terbatuk-batuk.
Jake yang mendengar itu menggeram marah lalu langsung mengambil mangkuk itu dan menyiramnya ke arah Naina..
“APA KAU TAK BISA MEMASAK DENGAN BENAR!”
Sup yang panas menetes dari kulit Naina, menyengat leher dan dadanya, tapi rasa sakit fisik itu tak seberapa dibandingkan dengan rasa malu dan penghinaan yang mendera hatinya. Ia tetap berdiri di tempatnya, tak bergeming meski rasa perih mulai menyebar.
Jake berdiri di depannya, wajahnya memerah karena amarah. "Aku sudah bilang kau tidak kompeten, tapi ini benar-benar keterlaluan!" teriaknya, menunjuk ke arah sup yang berceceran di lantai. Evelyn hanya duduk diam, seolah menikmati drama itu.
Naina membuka matanya perlahan, menatap Jake dengan tatapan kosong. Ia ingin membela diri, ingin mengatakan bahwa ia sudah melakukan yang terbaik meski tubuhnya lelah dan pikirannya kacau. Tapi seperti biasanya, kata-kata itu hanya tertahan di tenggorokannya.
"Aku minta maaf," gumamnya akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar.
"Maaf?" Jake mengulang dengan nada mengejek. "Kau pikir maaf cukup? Evelyn bisa sakit karena ini! Apa kau tidak berpikir sedikit pun sebelum memasak? Atau mungkin kau sengaja melakukan ini?" Nada suaranya berubah tajam, penuh tuduhan.
Air mata mulai menggenang di mata Naina, tapi ia menolaknya untuk jatuh. Ia hanya menunduk, mengambil lap dan mulai membersihkan sup yang berserakan di lantai. Tangannya gemetar, tapi ia tetap melakukannya tanpa protes.
Jake mendengus keras, lalu berbalik ke arah Evelyn. "Aku akan memesankan makanan dari restoran. Kau istirahat saja di kamar." Evelyn mengangguk pelan, menatap Naina dengan ekspresi puas sebelum bangkit dan berjalan ke kamar tamu.
Jake mengikuti Evelyn tanpa memberi Naina pandangan lagi, meninggalkannya sendiri di dapur yang kini penuh dengan rasa sakit dan kesepian.
Ketika suara langkah kaki mereka menghilang, Naina akhirnya duduk di lantai, membiarkan lap di tangannya terjatuh. Tubuhnya gemetar, dan air mata yang tadi ia tahan akhirnya mengalir deras.
Tapi buru-buru dia mengelap air matanya dan segera membersihkan dapur agar bisa istirahat di kamar. Dia sudah lelah, dia ingin tidur.
******
“Ini sangat cantik, Jake. Apakah kalung ini pantas untukku?” Suara Naina yang ceria dengan kemeja lusuh itu terlihat sangat cantik.
“Kau selalu cantik, Naina. Aku membelinya khusus untukmu.”
“Benarkah?” Naina terpesona dengan kalung kupu-kupu itu. Ini adalah hadiah mewah yang pertama kali dia dapatkan.
“Jika kau menjadi istriku, jangankan kalung ini seluruh dunia pun akan aku berikan.” Kata Jake dengan manis.
Naina tertawa, tawa yang begitu bahagia menatap Jake dengan penuh cinta.
Itu adalah kilas balik yang sangat manis untuk dikenang.
Naina tersenyum tipis menatap lehernya yang masih tergantung kalung yang diberikan oleh Jake saat mereka masih pacaran saat masa kuliah.
Tapi kalung itu harus dia lepas, dia dengan perlahan mulai mengompress lehernya yang melepuh dengan es batu sebelum mengoleskan salep agar tidak tambah parah.
“Aku ingin segera tidur.” Gumamnya sambil berjalan ke arah ranjangnya.
Tapi notifikasi ponselnya membuatnya mengurungkan niatnya, sambil duduk dia membuka pesan yang dikirim oleh Evelyn untuknya.
Dia mengirimkan pesan dengan foto dirinya dan Jake yang tengah tidur bersama.
“Lihat, suamimu lebih memilih tidur denganku.”
Naina hanya tersenyum tipis, provokasi Evelyn tak membuatnya menggila. Karena jika dia terpancing dia yang akan hancur dibuat Jake.
“Jika begitu cepatlah hamil, agar kau bisa menikahinya.” Balas Naina melalui pesan itu lalu tidur.
Dia ingin tahu apa reaksi wanita itu setelah membaca pesannya, apa dia akan pingsan lagi karena marah?
‘Aku harap kau segera mati saja.’ Batin Naina walaupun tak akan pernah dia sampaikan.
“Tuan, apa Anda baik-baik saja?” tanya Ben sambil melirik cepat ke arah Marven yang baru saja masuk ke ruang kerja dengan langkah berat.Marven meletakkan jas kerjanya di kursi dan menghela napas panjang. “Sepertinya saya butuh tidur seminggu penuh, Ben,” jawabnya sambil tertawa kecil.Ben ikut tersenyum. “Masih begadang karena nona Keisha, Tuan?”Marven mengangguk, lalu duduk di belakang meja kerjanya. “Dia bangun tiga kali semalam. Kadang cuma mau digendong, kadang nangis keras sampai bikin Raynar juga ikut bangun.”Ben menahan tawa. “Sepertinya rumah ini jadi lebih ramai sejak kehadiran Nona kecil.”“Ya… sangat ramai.” Marven mengusap wajahnya, berusaha mengusir sisa kantuk. “Tapi rasanya aneh kalau rumah ini sepi lagi.”Ben mengangguk pelan, lalu meletakkan secangkir kopi di meja. “Kalau begitu, semangat, Tuan. Nanti kalau butuh bantuan, saya selalu siap.”Marven mengambil cangkir itu dan mengangkatnya sedikit. “Terima kasih, Ben. Kopi ini mungkin satu-satunya alasan aku bisa bert
“Siapa namanya, ma?” tanya Raynar dengan semangat saat bayi yang menjadi calon adiknya akhirnya sudah boleh dibawa pulang setelah melalui proses yang panjang.Naina menoleh ke arah putranya yang kini tampak lebih dewasa dari usianya. Sinar mata Raynar begitu bersinar saat menatap bayi mungil yang terlelap dalam gendongan sang ibu. Mereka berdiri di ambang pintu rumah, menyambut awal baru yang begitu berarti.“Namanya… Keisha,” jawab Naina lembut, suaranya nyaris berbisik seolah tak ingin membangunkan si kecil. “Artinya anugerah.”Raynar mengangguk pelan, lalu mendekat dan membelai tangan mungil adiknya dengan jari telunjuknya. “Halo, Keisha. Aku Raynar. Aku kakakmu,” bisiknya bangga. “Nanti kalau udah besar, aku ajarin main robot-robotan.”Marven tertawa kecil di belakang mereka. “Tapi sebelum itu, kita belajar cara jadi keluarga dulu, ya. Pelan-pelan, satu hari satu langkah.”Naina tersenyum pada suaminya, lalu pada kedua anaknya. Ia tahu, meski Keisha bukan berasal dari darah dan da
“Kalian mau adopsi anak?” Nyonya Sisca menatap serius Naina dan Marven.“Jika diizinkan bibi, kami ingin mengadopsi anak perempuan,” jawab Naina lembut.Nyonya Sisca meletakkan cangkir tehnya perlahan, sorot matanya tak berubah. Dalam diam, ia menatap pasangan muda di depannya dengan pandangan sulit ditebak.“Anak perempuan?” ulangnya pelan. “Apakah Raynar tidak keberatan?”Marven menggenggam tangan Naina yang ada di pangkuannya, lalu menatap nyonya Sisca dengan tenang. “Kami sudah bicara panjang lebar dengannya. Raynar yang justru memulai semuanya. Ia ingin punya adik… dan ketika tahu Naina tak bisa mengandung lagi, dia bilang ingin memilih adiknya sendiri.”Mata Nyonya Sisca melembut, tapi raut wajahnya tetap serius. “Kalian tahu tanggung jawabnya, bukan? Mengadopsi bukan sekadar membawa pulang seorang anak. Itu artinya… membuka seluruh hidup kalian untuk seseorang yang mungkin datang dari dunia yang sangat berbeda. Apalagi anak perempuan—perasaannya lebih halus. Akan ada luka-luka
Suasana rumah semakin hangat, Raynar yang saat ini sedang di ruang bermain bersama Angel sedang menggambar.“Angel, kenapa ada empat orang. Bukankah hanya ada tiga? Om, tante dan Angel? Siapa anak kecil yang ada disini,” tunjuk Raynar dengan penasaran.Angel yang masih dua tahun tersenyum polos, “kata mama Angel akan punya adik!”“Adik?” beo Raynar dengan bingung.Sementara itu Angel dengan polosnya mengangguk penuh semangat. “Iya! Mama bilang di perut mama ada bayi kecil. Nanti main sama Angel dan Kak Raynar!”Raynar mengangguk pelan, meski masih terlihat bingung. “Aku juga ingin adik,” gumamnya sambil memandangi gambarnya yang hanya ada tiga orang.“Tuan muda, nona muda waktunya makan siang.” ucap baby sitter yang menjaga mereka.Raynar dan Angel langsung menoleh, “yeay! Aku ingin sup daging!” ucap Angel yang langsung berlari ke arah baby sitternya.Sedangkan Raynar masih diam, seolah sedang berpikir.Raynar berdiri pelan sambil membawa kertas gambarnya. Ia memandangi gambar itu sek
“Raynar.. hati-hati nak,” suara Naina memperingatkan putranya yang kini sangat aktif di umurnya yang menginjak empat tahun.Waktu sangat cepat berlalu, bahkan putri Rosana yang saat ini dua tahun juga mulai berlari mengejar Raynar yang sedang bermain bola di taman.“Ray, jangan terlalu kencang ya, nanti adikmu jatuh,” seru Marven dari balik koran yang hanya setengah dibacanya, karena perhatiannya lebih banyak tertuju ke anak-anak itu.Raynar menoleh dengan tawa lepas, “Iya, Papa! Tapi adik lalinya cepat banget!”Putri Rosana, kecil dengan rambut ikal yang diikat dua, tertawa ceria sambil mengejar bola dengan langkah-langkah mungilnya. Rosana yang duduk di kursi taman bersama Naina ikut tersenyum melihat tingkah keduanya.“Lihat mereka,” gumam Rosana sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit. “Kayaknya bentar lagi taman ini bakal tambah ramai.”Naina menoleh dengan tatapan terkejut, lalu tersenyum lebar. “Kamu hamil lagi?! Rosana kenapa gak bilang?!”Rosana terkikik, “Aku mau kasih
Beberapa bulan kemudian, suasana mewah dan hangat menyelimuti ballroom utama di mansion keluarga Tuner. Dekorasi elegan dipenuhi bunga putih dan ungu, selaras dengan tema pernikahan Rosana dan Andrian. Para tamu duduk tenang menyaksikan dua sejoli yang kini berdiri di altar, saling menatap dengan mata berbinar.Rosana terlihat anggun dalam gaun putih panjang yang menjuntai lembut, sementara Andrian tampak gagah dengan setelan jas hitam elegan. Di tengah keheningan yang khidmat, suara pendeta pun terdengar lantang dan syahdu:“Silakan ucapkan janji suci pernikahan kalian.”Andrian mengambil tangan Rosana dengan mantap. Suaranya terdengar tenang, namun penuh emosi.“Aku, Andrian, berjanji untuk mencintaimu, Rosana, di setiap hari baik maupun buruk. Aku akan menjadi rumah tempatmu pulang, pelindung saat kau lelah, dan sahabat yang selalu ada. Hari ini, aku tidak hanya menikahi wanita yang kucintai… aku juga menikahi masa depanku.”Rosana menarik napas pelan, matanya berkaca-kaca. Ia meng