BYUR!!!
Air dingin langsung tersiram di wajah Naina yang tengah tertidur nyenyak, matanya langsung terbuka dan mulutnya terengah-engah karena terkejut.
Disana, Naina melihat Jake dan juga Evelyn yang sedang menangis di belakang pria itu.
Naina menatap bingung, terlebih melihat Jake terlihat sangat murka terhadapnya.
“Beraninya kau mengatai Evelyn mandul!” Kata Jake dengan keras.
Tak cukup hanya itu, bahkan Naina di tampar keras oleh suaminya itu hingga membuat sudut bibirnya berdarah.
Naina langsung menggeleng, “A-aku tak pernah mengatakan itu, aku juga jarang berinteraksi dengan Evelyn. Bagaimana bisa aku sempat mengatakan hal itu?” Kata Naina membela diri.
Jake menatap Naina dengan mata menyala penuh kemarahan, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Evelyn, yang berdiri di belakang Jake, terisak dengan sempurna, memainkan perannya sebagai korban.
"Jangan berbohong, Naina!" Jake berteriak, nadanya tajam seperti belati. "Evelyn mendengar itu langsung dari salah satu staf rumah sakit. Kau menyebarkan rumor tentangnya!"
Naina menggeleng lagi, air matanya mulai menggenang. "Aku tidak pernah melakukan itu, Jake. Aku bahkan tidak punya alasan untuk mengatakan hal seperti itu."
Evelyn melangkah maju, suaranya terdengar patah-patah di antara isakan. "Aku tahu aku tidak sempurna, tapi mendengar sesuatu seperti itu dari Naina… seseorang yang seharusnya memahami perasaanku… itu sangat menyakitkan." Dia menutup wajahnya dengan tangan, seolah berusaha menyembunyikan air matanya yang jatuh.
Jake mendengus keras, wajahnya semakin memerah. "Kau benar-benar keterlaluan, Naina. Setelah semua yang telah aku lakukan untukmu dan ayahmu, kau masih tega menyakiti Evelyn!"
Naina terdiam, tubuhnya gemetar karena rasa sakit di pipi dan hatinya. Suara Jake terus bergema di telinganya, menyayat hati. Namun di dalam hatinya, ia tahu ini hanyalah manipulasi yang dimainkan Evelyn untuk membuatnya terlihat buruk di mata Jake. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Bahkan suaminya sendiri lebih memilih untuk percaya pada orang lain daripada dirinya.
Dengan suara pelan, hampir seperti bisikan, Naina mencoba bicara. "Jake, aku tidak melakukannya. Aku tidak akan pernah melakukan sesuatu seperti itu."
Namun Jake hanya mengibaskan tangan, mengisyaratkan bahwa ia tidak ingin mendengar apa pun lagi. "Aku tidak ingin mendengar alasanmu, Naina. Aku sudah lelah dengan drama ini. Mulai sekarang kau harus memperlakukan Evelyn jauh lebih baik, dia sakit tidak sepertimu yang sehat!"
Setelah mengatakan itu, Jake menggandeng tangan Evelyn dengan lembut, membawanya keluar dari kamar Naina tanpa memberi kesempatan bagi Naina untuk membela diri lebih jauh.
Naina duduk di tempat tidur, air mata mengalir tanpa henti di wajahnya. Hingga tak lama sebuah pesan dari Evelyn langsung membuat Naina terdiam.
“Bagaimana? enak di tampar? Makanya jangan bermain-main denganku, Naina.”
Pesan itu membuat Naina tersenyum muak, “Wanita licik.” Gumamnya dengan pelan.
******
“Kau sudah makan?”
Pertanyaan dari Jake itu sukses membuat Naina menoleh, sejak tadi pagi dia baru keluar dari kamarnya siang ini. Dia cukup terkejut melihat Jake tidak pergi ke kantornya.
“Ini aku mau makan.” Kata Naina dengan pelan.
“Oke, sore ini ulang tahun kakek. Aku harap kau tak membuat masalah lagi seperti tahun kemarin.” Kata Jake kemudian berlalu pergi ke ruang kerjanya.
Naina hanya diam, kemudian mengambil nasi dan telur yang tersisa di meja.
Dia makan dengan lahap karena sejak semalam dia bahkan belum sempat makan. Berjuang juga butuh energi, terlebih menghadapi suaminya dan kekasih masa kecilnya.
Mengingat nanti dia datang ke acara ulang tahun tuan besar Vesper membuat Naina menghela nafas berat. Tahun lalu dia seperti pelayan dibanding menantu disana.
‘Apakah nanti akan berakhir sama?’ Gumamnya.
****
Pesta ulang tahun mewah yang diadakan di rumah tua Vesper di datangi oleh tamu-tamu besar yang hadir.
Naina dengan gaun biru cerahnya tampak cantik meskipun terlihat pucat, disampingnya ada Jake yang menggandeng tangan Naina seperti pasangan suami istri yang saling mencintai.
Di tengah gemerlap pesta dan denting gelas kristal, Naina berdiri dengan senyuman tipis di wajahnya, mencoba menyembunyikan perasaan sebenarnya. Gaun biru cerah yang ia kenakan membuatnya terlihat anggun, tetapi tatapan kosong di matanya tak bisa sepenuhnya ia sembunyikan.
Jake menggandeng tangannya dengan erat, seolah-olah mereka adalah pasangan yang sempurna. Namun, Naina tahu, genggaman itu hanyalah formalitas—sebuah sandiwara untuk menjaga citra keluarga di depan para tamu.
“Ayo menyapa kakek.” Ajak Jake dengan dingin.
Naina mengangguk dan menghampiri kursi kebesaran kakek Jake, pria yang sudah berumur sembilan puluh tahun itu masih terlihat sehat dengan tongkat kayu langkanya yang tak pernah lepas dari tangan.
“Selamat ulang tahun, kakek. Semoga berumur panjang dan sehat selalu. Semoga kejayaan terus menyertaimu.” Kata mereka dengan seirama.
Tuan besar Vesper mengangguk, “Ya, terima kasih.” Jawabnya dengan datar.
“Istrimu kapan hamil? Sudah dua tahun aku menunggu keturunan darimu.” Kata pria tua itu dengan dingin.
Naina hanya diam, tak berani menjawab. Dia tak tahu akan semurka apa kakeknya jika tahu sebelumnya dia hamil, namun karena mendonorkan hati untuk kekasih masa kecil Jke dia harus mengalami keguguran.
“Kami masih berusaha, kek.” Jawab Jake dengan tenang, seolah merasa tak bersalah telah menghilangkan nyawa anak mereka.
Naina hanya bisa menahan itu semua, dan berpura-pura tersenyum.
Tuan besar Vesper menatap Naina dengan tajam, seolah-olah semua beban harapan keluarga itu sepenuhnya berada di pundaknya. "Berusaha? Berapa lama lagi? Usia bukan hal yang bisa kau beli, Jake. Aku ingin melihat cucuku sebelum aku mati," ujarnya, suaranya tajam namun penuh wibawa.
Jake mengangguk kecil, wajahnya tetap tenang. "Kami akan berusaha lebih keras, Kek. Aku janji."
Naina ingin berbicara, ingin mengatakan bahwa ia sudah berusaha lebih dari cukup—lebih dari yang bisa ditanggung oleh tubuh dan hatinya. Namun, lidahnya kelu. Ia tahu, kata-katanya tidak akan ada artinya di sini.
“Ayah, jangan menyalahkan anakku. Mungkin karena menantu miskin itu yang bermasalah. Dia selalu membuat bencana di keluarga kita.” Suara ibu mertuanya muncul dari belakang, Naina hanya menunduk takut. Ingatannya tak begitu bagus jika menatap wajah wanita paruhbaya itu.
“Maaf.” Kata Naina dengan pelan.
Serina menatap sinis menantunya itu, “Cih, sana pergi ke dapur bantu para pelayan untuk cuci piring!”
Naina berdiri terpaku, tubuhnya terasa kaku di bawah tatapan dingin ibu mertuanya, Serina. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada tamparan mana pun. Seolah kehadirannya di pesta ini, bahkan dalam keluarga ini, hanyalah sebuah kesalahan.
"Pergi!" desis Serina lagi, suaranya rendah tetapi penuh ancaman, membuat para tamu terdekat yang mendengar tersenyum kecil, menikmati penghinaan itu sebagai hiburan.
Jake tidak berkata apa-apa. Ia hanya menghindari tatapan Naina, pura-pura sibuk dengan segelas anggur di tangannya. Itu lebih menyakitkan daripada kata-kata Serina. Bahkan pria yang seharusnya menjadi pelindungnya tidak menganggapnya cukup berarti untuk dibela.
"Maaf," gumam Naina sekali lagi, sebelum berbalik dan melangkah ke dapur. Ia menundukkan kepala, mencoba menahan air mata yang siap tumpah. Di belakangnya, ia masih bisa mendengar bisikan para tamu, dan gelak tawa kecil yang memperolok dirinya.
Di dapur, ia mendapati beberapa pelayan yang sibuk membersihkan piring dan mengatur hidangan berikutnya. Mereka menatapnya dengan campuran kasihan dan kebingungan. Namun, Naina tidak peduli. Ia mengambil selembar celemek dan mulai mencuci piring tanpa berkata sepatah kata pun.
Setelah pesta selesai, Naina langsung masuk ke dalam aula pesta, namun tak melihat Jake dimanapun.
“Apa dia sudah pulang?” Gumamnya dengan bingung.
Dia akhirnya mengecek mobil Jake di luar, namun nihil. Dia benar-benar tak menemukan mobil suaminya.
Dia kemudian melepas sepatu hak tingginya dan jalan kaki, ponselnya mati hingga dia tak bisa memesan taxi.
Dengan pelan dia berjalan di trotoar sambil melamun, namun dia melihat mobil suaminya yang melewatinya. Wajahnya langsung cerah dan ingin memanggil suaminya, tapi langsung diam saat dia melihat suaminya sedang bersama Evelyn di dalam mobil.
Dia tersenyum getir dan air matanya tumpah begitu saja, dia memilih berjalan lagi sambil melihat mobil itu semakin menjauh.
Hujan mengguyur tubuhnya yang lemah, hingga saat dia akan jatuh tiba-tiba seseorang menangkapnya.
Mata mereka saling bertemu, untuk pertama kalinya Naina terpana dengan ketampanan seorang pria asing. Namun, aura gelap dan mendominasi dari pria itu membuat hatinya bergetar takut.
Apakah dia malaikat maut? Apa kematianku sudah dekat?
Hingga kesadarannya mulai hilang, semua terasa gelap namun samar-samar dia mendengar suara.
“Wanita cantik sepertimu tak pantas menderita.”
“Tuan, apa Anda baik-baik saja?” tanya Ben sambil melirik cepat ke arah Marven yang baru saja masuk ke ruang kerja dengan langkah berat.Marven meletakkan jas kerjanya di kursi dan menghela napas panjang. “Sepertinya saya butuh tidur seminggu penuh, Ben,” jawabnya sambil tertawa kecil.Ben ikut tersenyum. “Masih begadang karena nona Keisha, Tuan?”Marven mengangguk, lalu duduk di belakang meja kerjanya. “Dia bangun tiga kali semalam. Kadang cuma mau digendong, kadang nangis keras sampai bikin Raynar juga ikut bangun.”Ben menahan tawa. “Sepertinya rumah ini jadi lebih ramai sejak kehadiran Nona kecil.”“Ya… sangat ramai.” Marven mengusap wajahnya, berusaha mengusir sisa kantuk. “Tapi rasanya aneh kalau rumah ini sepi lagi.”Ben mengangguk pelan, lalu meletakkan secangkir kopi di meja. “Kalau begitu, semangat, Tuan. Nanti kalau butuh bantuan, saya selalu siap.”Marven mengambil cangkir itu dan mengangkatnya sedikit. “Terima kasih, Ben. Kopi ini mungkin satu-satunya alasan aku bisa bert
“Siapa namanya, ma?” tanya Raynar dengan semangat saat bayi yang menjadi calon adiknya akhirnya sudah boleh dibawa pulang setelah melalui proses yang panjang.Naina menoleh ke arah putranya yang kini tampak lebih dewasa dari usianya. Sinar mata Raynar begitu bersinar saat menatap bayi mungil yang terlelap dalam gendongan sang ibu. Mereka berdiri di ambang pintu rumah, menyambut awal baru yang begitu berarti.“Namanya… Keisha,” jawab Naina lembut, suaranya nyaris berbisik seolah tak ingin membangunkan si kecil. “Artinya anugerah.”Raynar mengangguk pelan, lalu mendekat dan membelai tangan mungil adiknya dengan jari telunjuknya. “Halo, Keisha. Aku Raynar. Aku kakakmu,” bisiknya bangga. “Nanti kalau udah besar, aku ajarin main robot-robotan.”Marven tertawa kecil di belakang mereka. “Tapi sebelum itu, kita belajar cara jadi keluarga dulu, ya. Pelan-pelan, satu hari satu langkah.”Naina tersenyum pada suaminya, lalu pada kedua anaknya. Ia tahu, meski Keisha bukan berasal dari darah dan da
“Kalian mau adopsi anak?” Nyonya Sisca menatap serius Naina dan Marven.“Jika diizinkan bibi, kami ingin mengadopsi anak perempuan,” jawab Naina lembut.Nyonya Sisca meletakkan cangkir tehnya perlahan, sorot matanya tak berubah. Dalam diam, ia menatap pasangan muda di depannya dengan pandangan sulit ditebak.“Anak perempuan?” ulangnya pelan. “Apakah Raynar tidak keberatan?”Marven menggenggam tangan Naina yang ada di pangkuannya, lalu menatap nyonya Sisca dengan tenang. “Kami sudah bicara panjang lebar dengannya. Raynar yang justru memulai semuanya. Ia ingin punya adik… dan ketika tahu Naina tak bisa mengandung lagi, dia bilang ingin memilih adiknya sendiri.”Mata Nyonya Sisca melembut, tapi raut wajahnya tetap serius. “Kalian tahu tanggung jawabnya, bukan? Mengadopsi bukan sekadar membawa pulang seorang anak. Itu artinya… membuka seluruh hidup kalian untuk seseorang yang mungkin datang dari dunia yang sangat berbeda. Apalagi anak perempuan—perasaannya lebih halus. Akan ada luka-luka
Suasana rumah semakin hangat, Raynar yang saat ini sedang di ruang bermain bersama Angel sedang menggambar.“Angel, kenapa ada empat orang. Bukankah hanya ada tiga? Om, tante dan Angel? Siapa anak kecil yang ada disini,” tunjuk Raynar dengan penasaran.Angel yang masih dua tahun tersenyum polos, “kata mama Angel akan punya adik!”“Adik?” beo Raynar dengan bingung.Sementara itu Angel dengan polosnya mengangguk penuh semangat. “Iya! Mama bilang di perut mama ada bayi kecil. Nanti main sama Angel dan Kak Raynar!”Raynar mengangguk pelan, meski masih terlihat bingung. “Aku juga ingin adik,” gumamnya sambil memandangi gambarnya yang hanya ada tiga orang.“Tuan muda, nona muda waktunya makan siang.” ucap baby sitter yang menjaga mereka.Raynar dan Angel langsung menoleh, “yeay! Aku ingin sup daging!” ucap Angel yang langsung berlari ke arah baby sitternya.Sedangkan Raynar masih diam, seolah sedang berpikir.Raynar berdiri pelan sambil membawa kertas gambarnya. Ia memandangi gambar itu sek
“Raynar.. hati-hati nak,” suara Naina memperingatkan putranya yang kini sangat aktif di umurnya yang menginjak empat tahun.Waktu sangat cepat berlalu, bahkan putri Rosana yang saat ini dua tahun juga mulai berlari mengejar Raynar yang sedang bermain bola di taman.“Ray, jangan terlalu kencang ya, nanti adikmu jatuh,” seru Marven dari balik koran yang hanya setengah dibacanya, karena perhatiannya lebih banyak tertuju ke anak-anak itu.Raynar menoleh dengan tawa lepas, “Iya, Papa! Tapi adik lalinya cepat banget!”Putri Rosana, kecil dengan rambut ikal yang diikat dua, tertawa ceria sambil mengejar bola dengan langkah-langkah mungilnya. Rosana yang duduk di kursi taman bersama Naina ikut tersenyum melihat tingkah keduanya.“Lihat mereka,” gumam Rosana sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit. “Kayaknya bentar lagi taman ini bakal tambah ramai.”Naina menoleh dengan tatapan terkejut, lalu tersenyum lebar. “Kamu hamil lagi?! Rosana kenapa gak bilang?!”Rosana terkikik, “Aku mau kasih
Beberapa bulan kemudian, suasana mewah dan hangat menyelimuti ballroom utama di mansion keluarga Tuner. Dekorasi elegan dipenuhi bunga putih dan ungu, selaras dengan tema pernikahan Rosana dan Andrian. Para tamu duduk tenang menyaksikan dua sejoli yang kini berdiri di altar, saling menatap dengan mata berbinar.Rosana terlihat anggun dalam gaun putih panjang yang menjuntai lembut, sementara Andrian tampak gagah dengan setelan jas hitam elegan. Di tengah keheningan yang khidmat, suara pendeta pun terdengar lantang dan syahdu:“Silakan ucapkan janji suci pernikahan kalian.”Andrian mengambil tangan Rosana dengan mantap. Suaranya terdengar tenang, namun penuh emosi.“Aku, Andrian, berjanji untuk mencintaimu, Rosana, di setiap hari baik maupun buruk. Aku akan menjadi rumah tempatmu pulang, pelindung saat kau lelah, dan sahabat yang selalu ada. Hari ini, aku tidak hanya menikahi wanita yang kucintai… aku juga menikahi masa depanku.”Rosana menarik napas pelan, matanya berkaca-kaca. Ia meng