Bab 19: Kontrak Darah, Api yang Terkunci
___Li Yuan masih berlutut. Tubuhnya berkeringat dingin, darah dari luka bahunya menetes ke tanah bersisik di bawahnya. Tapi seiring waktu berlalu, ia menyadari: luka itu... sembuh. Bahkan, tubuhnya terasa lebih ringan dari sebelumnya.Aura naga raksasa di hadapannya masih menekan seperti gunung di atas tengkuk."Mengapa aku?!" teriak Li Yuan dengan suara tercekat.Raja Naga Hitam perlahan menurunkan kepala besarnya, matanya memerah menyala.“Karena tubuhmu adalah satu dari Tujuh Pembawa Pecahan Jiwa Naga.”“Apa itu?”“Tujuh manusia yang secara tidak sengaja... atau ditakdirkan… menampung bagian jiwa kami yang tersebar akibat penyegelan.”Li Yuan terdiam.“Dan yang paling dalam, yang tertanam di inti jantung, adalah aku.” Suara naga itu seperti guntur dalam tulang. “Kau adalah pembawa jiwa raja. Tanpa tubuhmu, aku tak bisa bangkit. Tapi jika kita bersatu… maka kekLangit malam yang biasanya pekat kini dipenuhi dengan garis-garis retakan berkilau, seolah-olah dunia ini hanyalah cermin yang hampir pecah berkeping-keping. Retakan itu mengeluarkan cahaya keperakan, bukan cahaya matahari, bukan pula sinar bulan. Cahaya itu dingin, menusuk tulang, dan membuat siapa pun yang menatapnya terlalu lama merasa seolah-olah ingatannya dirobek dari dalam.Li Yuan berdiri di tepi jurang, rambutnya berkibar diterpa angin aneh yang keluar dari retakan itu. Suara desiran tidak seperti angin biasa. Suara itu terdengar seperti bisikan, seperti ribuan nama yang dipanggil sekaligus.Wu Xian melangkah perlahan mendekati retakan, matanya kosong, suaranya rendah.“Cahaya ini... aku pernah melihatnya. Di balik tirai langit, ketika aku hampir musnah. Cahaya ini adalah pintu menuju Waktu yang Hilang.”Ning Rong mencengkeram lengan Li Yuan, wajahnya pucat.“Waktu yang Hilang? Apa maksudnya? Bukankah waktu hanya satu jalur, maj
– Cahaya dari Gerbang Keabadian belum benar-benar mereda ketika dunia di sekitarnya mulai bergetar. Li Yuan, dengan pedang yang masih meneteskan sisa cahaya biru, berdiri terpaku. Di hadapannya, bayangan Wu Xian semakin jelas—setengah tubuhnya tampak nyata, setengah lagi seperti kabut yang ditiup angin.“Aku… kembali?” suara Wu Xian bergetar, seolah ia sendiri tak yakin apakah yang ia rasakan itu nyata.“Wu Xian!” Seruan serempak dari para murid Jurang Naga Hitam membuat udara di sekitarnya bergetar lebih keras. Namun kegembiraan itu segera berubah jadi kegamangan—karena dari tubuh Wu Xian memancar dua jenis cahaya sekaligus: putih murni, dan merah hitam yang mirip dengan jurang kegelapan.Ayaka melangkah mendekat, suaranya pelan namun tegas.“Tidak… dia tidak kembali sepenuhnya. Dia masih terikat.”Li Yuan mengepalkan tangan di gagang pedangnya. “Terikat pada apa?”Wu Xian menunduk, seolah tak mampu menatap mereka lama-lama
Kabut merah darah masih menyelimuti ruang antara dua dunia ketika Li Yuan berdiri di atas puing-puing Gerbang Keabadian. Tubuhnya bergetar, bukan karena luka yang baru saja ia terima, melainkan karena suara-suara aneh yang kembali merayap dari kegelapan.“Bayangan pertama…” bisiknya lirih. “Semuanya berawal dari sana.”Wu Xian yang kini setengah jasad, setengah jiwa, memandang sahabatnya dengan tatapan sendu. “Kalau kau menelusuri bayangan itu, maka kau akan kembali pada saat ketika semua ini dimulai. Tapi ingat, Yuan… tidak semua yang dimulai bisa diakhiri dengan tanganmu sendiri.”Li Yuan mengepalkan pedang hitamnya. Aura jurang naga mendesis, seperti bisikan makhluk purba yang lapar. Di sekelilingnya, celah-celah waktu terbuka—memperlihatkan potongan masa lalu:dirinya saat pertama kali menemukan Jurang Naga Hitam,Wu Xian yang masih hidup dan tertawa di bawah pohon plum,para tetua sekte yang kini telah terhapus da
– Suara gemuruh tak henti-hentinya terdengar dari langit retak di atas Gerbang Keabadian. Cahaya keemasan yang sebelumnya menenangkan kini bergetar, seolah ada sesuatu yang berusaha menerobos masuk.Li Yuan berdiri di tepi jurang, pedangnya masih tertancap di tanah, tubuhnya dibanjiri peluh dan darah yang belum sempat mengering. Di sampingnya, Wu Xian—yang sudah kembali dalam wujud setengah cahaya, setengah bayangan—terlihat gelisah.“Li Yuan,” bisiknya lirih, “aku merasakan sesuatu… sesuatu yang asing telah menempel pada cahayaku. Aku… tidak yakin berapa lama lagi aku bisa bertahan.”Li Yuan menoleh, menatap sahabatnya itu dengan mata yang menyala penuh tekad. “Apapun itu, aku tidak akan membiarkanmu lenyap lagi. Kau baru saja kembali.”Namun sebelum Wu Xian bisa menjawab, langit meledak—DUUUMMM!—dan dari celah itu turun sebuah bayangan raksasa. Tubuhnya menyerupai manusia, tapi wajahnya rata, tanpa mata, tanpa hidung, tanpa mulut. Hany
– Langit di atas Jurang Naga Hitam kembali bergetar. Retakan-retakan tipis seperti guratan kaca menyebar di antara awan gelap. Suara “kraaaak!” terdengar, seakan ada sesuatu dari dimensi lain yang memaksa masuk.Li Yuan berdiri dengan napas terengah, pedangnya meneteskan cahaya biru redup. Wu Xian yang tadi berhasil menutup retakan dengan nama dirinya, kini tampak goyah. Tubuhnya bergetar, sebagian wajahnya bahkan transparan, seperti asap yang bisa lenyap kapan saja.“Jangan… berhenti,” bisik Wu Xian, suaranya pecah seperti gema dari dasar sumur. “Jika aku hilang, maka Keabadian itu sendiri akan runtuh bersama namaku.”Yan Mei menggertakkan gigi. “Kau sudah terlalu jauh! Kau tak lagi manusia, Wu Xian. Apa yang kau kejar bahkan tak masuk akal!”Wu Xian tertawa getir. “Masuk akal atau tidak, siapa yang peduli? Ketika sejarah menghapus namamu, saat dunia menolak mengingatmu, apa lagi yang tersisa selain mengejar sesuatu yang abadi?”
– Angin malam berhembus membawa bau besi, seolah udara itu sendiri menyimpan bekas darah dari zaman purba. Li Yuan berdiri di tepi jurang yang terbentang luas di hadapannya. Jurang itu tak sekadar jurang: ia bagaikan mulut naga hitam purba yang siap melahap siapa pun yang mencoba menatap terlalu lama. Dari kedalamannya, terdengar bisikan lirih, seperti doa-doa patah yang dipanjatkan para jiwa yang dilupakan sejarah.Di atas jurang itu, berdirilah sebuah meja batu panjang dengan kursi-kursi kosong. Semuanya terbuat dari oniks yang berkilau redup di bawah cahaya bulan retak. Anehnya, di atas meja itu sudah tersedia hidangan: daging asap yang masih mengepulkan uap, mangkuk berisi anggur hitam, dan buah-buah yang tampak segar namun memancarkan aura busuk.“Ini…” Xu Jian menelan ludah, keringat dingin membasahi pelipisnya. “Apakah ini semacam jamuan untuk kita?”Wu Xian yang kini separuh nyata, separuh bayangan, menatap meja itu tanpa berkedip. “Bukan