Home / Historical / PEMBALASAN DENDAM SANG LADY / BAB 7 • Rencana Lady Sabrina

Share

BAB 7 • Rencana Lady Sabrina

Author: MatchaMisu
last update Last Updated: 2025-07-03 11:30:17

Lady Sabrina menatap Duchess Mirella—ibunya sendiri dengan tatapan serius.

“Ibu,“ panggilnya pelan namun penuh tekanan.

Duchess Mirella menoleh, jemari elegannya masih memainkan cangkir teh hangat yang baru saja disajikan oleh seorang maid. Matanya menyipit, menunggu kelanjutan perkataan putrinya.

“Apa, Sabrina?”

Lady Sabrina menggigit bibir bawahnya, lalu mendekat. “Bukankah... ini kesempatan yang bagus jika aku mendekati Putra Mahkota, Bu?” ucapnya dengan suara hampir berbisik.

Duchess Mirella mengangkat alis, menatap putrinya dengan tatapan tajam yang dipenuhi perhitungan. “Kau serius Sabrina?”

“Kenapa tidak?” Sabrina duduk di samping ibunya, suara lembutnya berbahaya. “Kau selalu bilang Eveline itu hanyalah penghalang. Sekarang dia melarikan diri, mencoreng nama keluarga. Saat Putra Mahkota marah dan datang kemari, kenapa aku tidak memanfaatkan kesempatan untuk mendekat padanya?”

Duchess Mirella terdiam sesaat sebelum sudut bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. “Kau memang anak yang cerdas, Sabrina.”

“Ibu, kau tahu aku tidak akan pernah membiarkan Eveline merebut posisi yang seharusnya menjadi milikku,” bisik Sabrina, matanya berkilat di bawah cahaya lilin. “Sekarang dia melarikan diri, dan Putra Mahkota pasti akan membunuhnya jika dia tertangkap, setelah semua aib yang dia buat.”

Ia menggigit bibir, senyum kecil licik muncul.

“Itulah sebabnya, Ibu… aku akan mengambil hati Putra Mahkota. Itu akan menjadi jalanku untuk mengangkat nama keluarga ini, membersihkan nama kita dari aib Eveline, dan memastikan kita tidak lagi bergantung pada reputasi gadis itu.”

Duchess Mirella menatap putrinya lama, senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Mata wanita itu berkilat dengan kegembiraan yang dingin.

“Jika kau berhasil, Sabrina,” suaranya rendah namun penuh penekanan. “Ini akan menjadi pengingat bagi Duke Armand… bahwa hanya anakku yang pantas membawa kejayaan keluarga Valtieri. Bahwa hanya kau—bukan siapa pun—yang layak menjadi penerus nama Valtieri.”

Sabrina mengangkat dagunya, matanya bersinar dengan determinasi licik. “Aku akan membuat Putra Mahkota menatapku, Ibu. Dia akan melihatku… dan hanya aku.”

Keduanya saling menatap dalam keheningan, hanya suara angin malam yang terdengar di luar jendela paviliun. Senyum licik mereka bertemu, menyadari bahwa malam ini, mereka akan mulai menyusun rencana untuk menjatuhkan Eveline dan mengambil posisi di samping sang Putra Mahkota.

Dan mereka tidak akan berhenti sampai semua itu tercapai.

°°°

Malam itu, angin membawa bau asap obor di halaman kediaman Valtieri, Lady Sabrina melangkah keluar dari paviliun ibunya dengan senyum kecil di wajahnya.

Di halaman, terlihat para penjaga dan ksatria kerajaan masih bersiaga, sementara beberapa pelayan lalu-lalang membawa makanan untuk penjaga malam.

Kesempatan.

Sabrina merapikan gaunnya, memastikan rambut hitamnya jatuh sempurna di bahunya sebelum ia berjalan menuju aula utama, tempat Putra Mahkota Kaelion sedang berbincang dengan Sir Alberto.

Suara langkah kakinya menggema di lorong-lorong, menarik perhatian para pelayan yang buru-buru menundukkan kepala.

Ia berhenti tepat di depan pintu aula, menarik napas dalam, lalu mengetuk pelan.

Tok… Tok…

“Masuk,” suara tegas Putra Mahkota terdengar dari dalam.

Sabrina membuka pintu, lalu menunduk sopan. “Ampun atas kelancanganku, Yang Mulia,” katanya dengan suara lembut. “Aku hanya khawatir Anda belum beristirahat dengan baik malam ini.”

Kaelion mengangkat kepalanya, menatap wanita yang baru saja masuk dengan sorot mata dingin. Sir Alberto hanya melirik sekilas, lalu kembali memperhatikan laporan catatan wilayah pencarian yang dipegangnya.

“Apa yang kau inginkan?” tanya Kaelion, suaranya datar.

Sabrina menggigit bibir, menunjukkan sedikit ekspresi gelisah. “Saya… hanya ingin memastikan Yang Mulia memiliki semua yang Anda butuhkan selama tinggal di kediaman kami. Jika Yang Mulia memerlukan sesuatu, saya akan segera mengurusnya.”

Kaelion hanya menatapnya beberapa detik sebelum mengalihkan pandangan ke peta wilayah. “Aku tidak membutuhkan apa pun darimu.”

Penolakan itu dingin, tetapi Sabrina tidak mundur. Ia berjalan mendekat, berdiri di samping meja panjang tempat Kaelion duduk. “Saya tahu ini bukan waktunya, Yang Mulia, tetapi… tentang kakakku, Eveline… Saya tahu dia telah membuat Anda marah.”

Sorot mata Kaelion kembali menatap Sabrina. Matanya menajam. “Hentikan. Ini bukan urusanmu.”

“Tetapi saya tidak ingin keluarga kami semakin mempermalukan Anda, Yang Mulia,” bisik Sabrina dengan nada rendah, namun cukup terdengar oleh pria itu. “Jika ada sesuatu yang dapat saya lakukan untuk membantu… saya ingin membantu Anda.”

Kaelion mendiamkan Sabrina cukup lama hingga udara menjadi menegangkan, sebelum akhirnya ia berdiri, membuat wanita itu mendongak menatap tinggi badannya.

“Jika kau ingin membantu,” suaranya dingin namun tegas. “pastikan kakakmu ditemukan sebelum fajar.”

Sabrina menunduk, senyum tipisnya muncul di sudut bibir. “Baik, Yang Mulia.”

Ia mundur perlahan, keluar dari ruangan dengan napas lega.

Di luar pintu, tatapannya berubah menjadi senyum puas. Ia telah membuka jalannya untuk mendekati sang Putra Mahkota—dan memastikan Eveline akan segera jatuh lebih dalam lagi.

“Apa yang kau lakukan di sini, Sabrina? Dan mengapa kau keluar dari ruangan Putra Mahkota?”

Suara itu membuat Lady Sabrina terhenti. Ia menoleh, mendapati Sir Aldrich, kakaknya, berdiri di koridor dengan tatapan penuh selidik.

“Kakak...” Lady Sabrina segera mendekat, meraih tangan kakaknya dan menariknya menjauh dari depan pintu kamar sang Putra Mahkota.

“Apa yang sedang kau lakukan?” desis Sir Aldrich pelan, alisnya bertaut.

Sabrina berhenti di sudut lorong yang sepi, menggenggam erat tangan kakaknya. “Kak, aku ingin kau membantuku... tolong temukan Eveline sebelum fajar, dan bawa Eveline ke hadapan Putra Mahkota, atas namaku.”

Sir Aldrich menatap adiknya tajam. “Sabrina, apa yang sedang kau rencanakan?”

Sabrina menghela napas, matanya berkilat dengan ambisi. “Kau tahu sendiri, Kak, Eveline hanya akan menimbulkan masalah. Jika dia tertangkap, nama keluarga ini akan hancur bersama reputasinya. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”

Ia menatap kakaknya lebih dekat, suara Sabrina menurun hampir seperti bisikan. “Aku akan mengambil hati Putra Mahkota, Kak. Aku akan menjadi satu-satunya yang dia lihat, satu-satunya Lady dari keluarga Valtieri yang layak berdiri di sampingnya.”

Sir Aldrich memejamkan matanya, menarik napas panjang untuk menenangkan pikirannya. “Kau tahu, Sabrina, Putra Mahkota bukan orang yang mudah didekati. Jangan menambah masalah seperti yang telah Eveline lakukan,” peringatnya, nada suaranya keras namun penuh khawatir.

Senyum licik Sabrina muncul. “Tidak, Kak. Aku berbeda dengan Eveline. Dia bodoh karena jatuh cinta pada pria yang bahkan tidak akan menoleh padanya. Sedangkan aku... aku akan menjadikan perasaan Putra Mahkota sebagai jalanku menuju kekuasaan.”

Sir Aldrich mengusap wajahnya, hatinya bimbang. Ia sadar Putra Mahkota adalah pria yang berbahaya, dan setiap langkah yang salah dapat menjadi akhir dari keluarganya. Namun melihat tatapan keras adiknya, ia tahu Sabrina tidak akan mundur.

“Aku akan mempertimbangkan permintaanmu, Sabrina,” ujarnya akhirnya dengan suara pelan.

Senyum Sabrina melebar, matanya memancarkan kemenangan. “Terima kasih, Kak. Kau tidak akan menyesal.”

Dan di lorong yang sunyi, ambisi licik Sabrina untuk menjatuhkan Eveline dan merebut hati Putra Mahkota telah bergerak, satu langkah lebih dekat untuk menghancurkan satu-satunya saudari tirinya.

“Kembalilah ke kamarmu, Sabrina, jangan membuat masalah. Ingat itu.”

Nada tegas Sir Aldrich memaksa Sabrina menelan kata-kata berikutnya. Matanya yang sebelumnya penuh ambisi kini menunduk, namun bibirnya masih menahan senyum tipis.

“Baiklah, Kak,” jawabnya manis, sebelum akhirnya berbalik dan melangkah kembali ke kamarnya dengan langkah ringan namun penuh rencana.

Begitu Sabrina menghilang di ujung lorong, Sir Aldrich memejamkan matanya sejenak, menghela napas berat. Ia menoleh ke arah aula utama, menenangkan detak jantungnya sebelum akhirnya melangkah dengan cepat menuju ruangan tempat Putra Mahkota menunggu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 32 • Pengejaran Kembali

    Hentakan kuda memecah keheningan malam. Darius, Rhett, dan Maric memacu kuda jantan mereka menyusuri hutan dengan kecepatan terukur, nafas kuda terlihat seperti uap tipis dalam udara malam yang dingin.Rhett yang memimpin di depan, menarik tali kekang kudanya hingga kuda hitam itu meringkik, mengangkat kedua kaki depannya sebelum perlahan menjejak tanah.Mereka berhenti. Pohon-pohon tinggi menjulang dengan daun-daun gelap yang berdesir pelan. Cahaya bulan hanya menembus di sela dedaunan, menimbulkan bayangan kabur pada wajah mereka.Ini bukan wilayah Lumor lagi.“Ada apa?” tanya Maric, matanya berusaha menembus gelap, hanya disinari obor kecil di genggamannya.“Kita akan beristirahat di sini.” Rhett turun dari kudanya, mengusap leher kuda hitam itu sebelum mengikat tali kekangnya pada batang pohon besar yang kokoh. “Kita lanjutkan pencarian saat fajar menyingsing.”Darius ikut turun, menepuk pundak kudanya sebelum mengikatnya tak jauh dari kuda Rhett, sedangkan Maric menuntun kudanya

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 31 • Lady, Tidak Kembali

    Di balik kabut Lumor yang tak kunjung menipis, cahaya senja tampak tertahan lama. Tak ada yang benar-benar tahu kapan hari berganti malam di sini.Rhett dan Maric saling menatap, lalu kembali memandangi Oldrick yang duduk di dekat api unggun, tangannya sibuk membalik kayu agar bara tidak padam.“Apa sebaiknya kita mencari mereka? Ini bahkan sudah malam, Tetua,” ucap Rhett, nada suaranya rendah namun tegang. Sejak sore, Lady Eveline dan Anya belum kembali. Mereka sempat ingin turun ke sungai untuk mencari, namun Oldrick sebelumnya bersikeras mereka akan pulang, merasa janggal, namun tetap diam.Oldrick diam, memandangi api yang menari, cahayanya memantul di matanya yang keriput. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya bersuara. “Mereka tidak akan kembali.”Rhett dan Maric saling menoleh cepat, wajah mereka berubah waspada, alis Maric bertaut dalam.“Apa maksudmu—” suara Maric terdengar tajam.Oldrick yang tadinya menunduk perlahan menaikkan pandangannya, menatap keduanya dengan soro

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 30 • Sampai Jumpa Lagi Lumor

    “Lady...”Eveline langsung menoleh, mendapati Anya yang tergesa-gesa menghampirinya dengan napas sedikit terengah, membawa keranjang berisi pakaian dan kain lusuh mereka.“Sudah?” tanya Eveline dengan suara datar.Anya mengangguk cepat. “Semuanya sudah selesai,” balasnya pelan. Dari belakang, Tetua Lumor, Oldrick, menyusul keluar rumah, berdiri di samping mereka dengan wajah khawatir.“Aku dan—” “Ah, ternyata kalian ada di sini.”Suara itu membuat mereka menoleh serempak. Rhett dan Maric berjalan mendekat dengan langkah tenang, sorot mata mereka sulit dibaca. Eveline menarik napas perlahan, menetralkan ekspresi wajahnya agar tetap terlihat tenang meski jantungnya berdegup kencang.“Ada apa? Apa kalian membutuhkan obat-obatan?” tanyanya, suaranya terdengar biasa saja, seolah tak terjadi apa pun. Di sampingnya, Anya tampak menegang, menggenggam pegangan keranjang dengan erat.Rhett menatap Eveline sejenak sebelum menggeleng pelan. “Tidak, Lady.”Maric menundukkan kepala sedikit. “Kami

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 29 • Kabur lagi?

    “Lady, kita kehabisan bahan untuk obat-obatan. Aku akan mengambilnya lagi,” ucap Anya, menoleh pada Lady Eveline yang tengah menumbuk daun herbal untuk warga yang terkena gatal-gatal.“Pergilah, Anya. Ah... ambil juga beberapa daun thyme,” balas Eveline tanpa menoleh sedikit pun.“Baiklah, Lady.”Anya berjalan menjauh, menuju rawa tempat dedaunan herbal itu tumbuh. Suara serangga dan angin lembab rawa menemani langkahnya.Namun, langkah Anya terhenti saat suara rendah dan teredam terdengar di kejauhan.“Apa Putra Mahkota sendiri yang akan datang ke Lumor membawa Lady Eveline ke istana?”Anya menajamkan pendengarannya, wajahnya memucat.“Entahlah, kita hanya dapat menunggu Darius kembali. Mungkin saja kita yang akan membawa Lady itu ke istana,” suara pria lain menjawab.Anya beringsut mendekat ke balik pohon ek besar, matanya menangkap dua pria berpakaian lusuh layaknya pedagang keliling dengan keranjang herbal dan kantong kulit di pinggang mereka—Rhett dan Maric. Dadanya berdegup cepa

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 28 • Ketegangan

    Ratu Seraphina menatap mereka lama, sorot matanya dingin meski senyumnya terukir di bibir. “Ah... tentu saja, tinggallah beberapa hari. Aku yakin, Yang Mulia Raja merindukanmu,” ucapnya, matanya beralih pada Duchess Leztia. “Bukan begitu, Duchess Gerwyn?” Duchess Gerwyn membalas senyum itu dengan senyum tipis yang penuh kehati-hatian. “Tentu saja, Yang Mulia Ratu.” Duke Gerwyn berdeham pelan sebelum angkat bicara, “Sebagai adik dari Yang Mulia Raja Eldoria, apakah kami diperkenankan menjenguk beliau?” Sejenak, ruangan diliputi keheningan. Kael menoleh perlahan, menatap Duke Gerwyn dengan sorot mata dingin bak pisau yang mengiris diam-diam. “Tidak ada ‘kami’,” ucap Kael tegas, setiap kata keluar dengan tekanan. “Yang Mulia Raja hanya dapat dijenguk oleh satu orang.”Tatapan Duke Gerwyn mengeras sesaat sebelum ia menoleh pada istrinya. Duchess Gerwyn mengangguk tipis, wajahnya tetap tersenyum namun matanya berkilat.Duke Gerwyn menarik napas, menoleh kembali pada Kael. “Baikla

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 27 • Kabar dari Lumor & Duke Gerard

    Cahaya matahari siang menembus kaca besar di belakang punggung Kael, menerangi ruangan kerjanya yang dipenuhi tumpukan dokumen dan peta-peta wilayah Eldoria. Kael duduk tegak di kursi kerjanya, jemarinya menekan pelipis sambil menatap laporan-laporan yang berserakan di mejanya. Suara ketukan halus terdengar di pintu kayu besar itu. Tok... Tok... “Masuk.” Pintu terbuka perlahan, Sir Alberto masuk dengan langkah tegap, membungkukkan badan dengan hormat. “Yang Mulia Putra Mahkota,” panggil Sir Alberto, suaranya dalam, “Darius, Ksatria Pengintai, telah kembali.” Kael membuka matanya perlahan, menatap tajam ke arah Sir Alberto, sorot matanya menajam di bawah sinar siang yang terpantul dari iris birunya. “Suruh dia masuk.” Sir Alberto membungkuk, membuka pintu lebih lebar. Darius masuk dengan langkah hati-hati, menyembunyikan napas berat yang masih belum stabil setelah perjalanan panjang. Ia menekuk satu lutut, menunduk dalam. “Saya menghadap, Yang Mulia Putra Mahkota,” ucap Darius d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status