Pintu aula terbuka dengan suara berderit pelan, menampakkan Putra Mahkota Kaelion yang berdiri di dekat jendela tinggi dengan latar taman yang gelap. Sir Alberto berdiri di samping, tangannya menyilang di dada, menjaga jarak dengan penuh kewaspadaan.
Sir Aldrich menunduk hormat. “Yang Mulia.” Putra Mahkota menoleh perlahan, mata tajamnya menatap lurus pada Sir Aldrich. “Sudah terlalu lama kau meninggalkan ruangan ini, Sir Aldrich,” ujarnya dengan suara tenang, namun terasa seperti pisau yang dingin. Sir Aldrich menelan ludahnya sebelum menjawab, “Maafkan saya, Yang Mulia, saya hanya memeriksa keadaan para penjaga dan memastikan mereka tetap waspada dalam pencarian.” Kaelion berjalan mendekat, langkah sepatunya terdengar menggema di lantai aula yang luas. “Dan hasilnya?” “Kami akan melanjutkan pencarian sebelum fajar, Yang Mulia,” jawab Sir Aldrich tegas. “Kami yakin adikku belum pergi terlalu jauh.” Kaelion berhenti di hadapannya, menatap lurus ke matanya dengan sorot dingin. “Pastikan begitu, Sir Aldrich. Aku tidak ingin menunggu lebih lama untuk menyeretnya kembali.” “Ya, Yang Mulia.” Putra Mahkota kembali menoleh ke jendela, menatap malam yang gelap dengan pandangan keras. “Dan satu hal lagi... awasi adikmu.” Sir Aldrich tertegun. “Yang Mulia?” Kaelion tidak menjawab, hanya melirik singkat dengan tatapan yang dalam, seolah mengetahui percakapan Sir Aldrich dan Lady Sabrina beberapa saat lalu. Tatapan itu cukup untuk membuat Sir Aldrich terdiam, keringat dingin mengalir di tengkuknya. “Keluar,” ucap Kaelion akhirnya. Sir Aldrich segera menunduk, mundur beberapa langkah, lalu membalikkan badan dan keluar dari aula dengan perasaan berat, hatinya penuh kekhawatiran akan rencana adiknya yang bisa saja menjadi bumerang bagi keluarga mereka. Di dalam aula, hanya suara napas Kaelion yang terdengar, matanya masih menatap taman gelap di luar jendela, penuh ketegangan yang belum selesai. °°°° Di sisi lain, Eveline dan Anya memutuskan untuk tetap berjalan. Mereka lapar? Tentu saja, mereka belum makan seharian ini, tetapi kelaparan bukan alasan untuk berhenti saat hidup mereka dipertaruhkan. “Lady, kita mau berjalan sampai kapan?” Anya bertanya dengan napas terengah, matanya memandang Eveline dengan cemas. Eveline menoleh, matanya tajam memantulkan cahaya bulan. “Sampai sebelum fajar tiba, kita sudah harus berada di perbatasan wilayah Valtieri, Anya. Setelah itu, mereka tidak akan bisa dengan mudah menangkap kita.” Anya hanya mengangguk, menahan rasa lelah yang menggigit kakinya. Bermodalkan cahaya bulan yang cukup terang malam ini, mereka melanjutkan perjalanan, menembus pepohonan lebat dan suara binatang malam yang sesekali terdengar dari kejauhan. Langkah mereka akhirnya terhenti saat Anya menunjuk ke depan. “Lady, lihat... itu... pondok?” Eveline mengangkat wajahnya, melihat sebuah pondok kayu terbengkalai di tengah hutan, dindingnya lapuk, atapnya hampir runtuh, namun masih cukup kokoh untuk menjadi tempat singgah. Eveline mengangguk dan berjalan mendekat dengan waspada. Mereka mendorong pintu pondok yang berderit pelan, bau kayu lembap memenuhi hidung mereka. Eveline menatap sekeliling, memastikan tidak ada siapa pun, lalu duduk di lantai kayu yang berdebu, menenangkan napasnya. Anya duduk di sampingnya, matanya memandang ke luar jendela retak, “Lady, aku akan memeriksa sekitar, mungkin kita bisa menemukan air atau sesuatu.” Eveline hanya mengangguk, menatap tangannya yang kotor dengan tanah dan debu, pikirannya melayang pada istana, pada kematian, pada anak yang belum sempat ia lindungi. Tak lama, Anya kembali dengan mata berbinar, “Lady, aku menemukan pohon apel tidak jauh dari sini, pohonnya berbuah.” Eveline menoleh cepat, rasa lapar yang ia tahan kini semakin terasa, “Tunjukkan.” Mereka berjalan keluar pondok, hanya diterangi cahaya bulan, mendapati sebuah pohon apel dengan beberapa buah merah menggantung rendah, sebagian terayun pelan terkena angin malam. “Anya memetik beberapa apel dan menyerahkannya kepada Eveline. “Makanlah, Lady.” Eveline menerima apel itu, menatapnya sejenak sebelum menggigitnya perlahan. Rasa manis dan asam bercampur di lidahnya, membuat matanya memanas. Sudah lama ia tidak makan sesuatu sesederhana ini. Kita sudah berjalan sejauh ini, Anya. Malam ini kita akan menginap di sini, besok kita lanjutkan perjalanan,” ucap Lady Eveline, menatap Anya dengan nada tegas meski tubuhnya tampak lelah. Anya mengangguk patuh, menatap sekeliling pondok kayu terbengkalai itu dengan cemas. Angin malam masih berhembus melalui celah dinding yang retak, menimbulkan suara siulan kecil di antara kayu yang lapuk. “Aku akan membersihkan sedikit, Lady,” ujar Anya, segera merapikan beberapa dedaunan kering dan ranting dari lantai agar mereka dapat duduk dengan lebih nyaman. Eveline duduk bersandar pada dinding, memejamkan mata sejenak, merasakan perih di lengannya yang belum sepenuhnya pulih, namun ia menahannya, karena rasa sakit itu masih lebih baik daripada rasa takut yang menghantuinya setiap kali mengingat eksekusi itu. “Anya,” panggil Eveline pelan. “Ya, Lady?” “Jika... jika besok terjadi sesuatu padaku, kau harus melanjutkan perjalanan. Cari tempat aman untukmu.” Anya menoleh cepat dengan mata membulat. “Lady! Jangan bicara seperti itu! Kita akan pergi bersama!” Eveline membuka matanya, menatap wajah Anya yang tampak putus asa. Senyum kecil muncul di bibir Eveline. “Aku hanya ingin kau tahu, Anya. Aku tidak ingin menyeretmu dalam masalahku.” Anya menggigit bibirnya, air mata menumpuk di pelupuk matanya, “Lady Eveline, saya adalah maid Anda. Saya telah bersumpah untuk setia. Jadi, jangan tinggalkan saya.” Keheningan menyelimuti mereka sejenak, hanya suara angin dan dedaunan di luar pondok yang terdengar. Eveline menghela napas panjang, lalu meraih tangan Anya, menggenggamnya erat. “Baiklah,” gumam Eveline, “kita akan pergi bersama.” Setelah selesai membersihkan daun-daun kering dan ranting yang berserakan di lantai, mereka akhirnya merebahkan tubuh di atas papan kayu yang dingin. Hanya sisa kain jubah mereka yang dijadikan alas dan selimut tipis untuk menghalau udara malam yang menusuk. Anya terbaring di samping Eveline dengan wajah lelah, napasnya perlahan menjadi teratur sebelum akhirnya tertidur di bawah lindungan selimut seadanya. Cahaya bulan menembus sela-sela atap reyot, jatuh tepat di wajah Eveline yang masih menatap kosong ke atas. Sorot matanya menangkap tarian bayangan dedaunan di atas sana, memantul pada iris matanya yang berkilat oleh kegelisahan. Ia perlahan bangkit duduk, bersandar pada dinding kayu yang dingin dan lapuk. Kedua lututnya ia tarik hingga mendekap dadanya, dagunya bertumpu di sana. Malam terasa begitu panjang, begitu sunyi hingga suara daun-daun yang bergesekan oleh angin terdengar seperti bisikan menakutkan. “Apa yang harus aku lakukan...” bisik Eveline lirih, suaranya hampir tak terdengar bahkan untuk dirinya sendiri. Ia memejamkan mata sejenak, mengingat eksekusi di masa depannya, darah yang menggenang di tanah, tatapan Kaelion sebelum pedang algojo menebas lehernya, dan janin kecil yang tak sempat ia lindungi. Eveline membuka matanya lagi, menarik napas panjang. Ia tahu ia tak bisa kembali ke kediaman Duke, dan ia tak bisa kembali ke istana. Tapi ia juga tahu, berlari selamanya bukanlah pilihan. Ia harus menjadi lebih kuat, membangun pengaruh, dan menyiapkan perlindungan untuk dirinya dan... untuk masa depan anaknya. Ia memandang Anya yang tidur dengan damai, dada gadis itu naik turun perlahan, rambutnya berantakan menutupi sebagian wajah. “Aku harus melindungi diriku sendiri,” gumam Eveline, tekadnya semakin menguat. Ia meraih kantong kecil di sampingnya, memeriksa sisa uang yang ia miliki. Tidak banyak. Tidak cukup untuk perjalanan jauh. Ia menatap keluar jendela kecil pondok, bulan masih tinggi, belum menunjukkan tanda akan turun. “Besok sebelum fajar, kita akan berangkat. Kita akan melewati perbatasan wilayah Valtieri sebelum mereka menemukan kita.” Matanya menajam, menatap gelapnya malam dengan tekad yang mulai mengeras. Ia tidak akan mati kali ini. Ia tidak akan membiarkan siapapun menginjak harga dirinya lagi, dan tidak akan lagi dirinya mengejar cinta semu Putra Mahkota.Fajar menyingsing, sinar matahari yang masih pucat menembus celah dedaunan tinggi, menari bersama embun yang masih menempel di rerumputan liar.Eveline terbangun lebih dulu. Kepalanya sedikit pening, punggungnya terasa pegal setelah semalaman tertidur dalam posisi duduk bersandar di bawah pohon besar itu. Tidak terasa mereka tertidur saat menunggu malam berganti pagi di tengah hutan seperti ini.Matanya mengerjap beberapa kali, mengusir kantuk yang masih menggantung. Ia mengatur napas, lalu menoleh ke sisi sampingnya.“Anya...” panggilnya pelan.Tidak ada jawaban.Kening Eveline mengerut, matanya kini menatap lebih serius ke arah Anya yang masih memejamkan mata di sampingnya, tubuh gadis itu terbungkus jubah tipis yang mereka gunakan semalaman.“Anya...” panggil Eveline lagi, kali ini sedikit lebih keras.Masih belum ada jawaban, hingga akhirnya Anya mengerang pelan, suaranya terdengar serak, “L-Lady...”Perasaan tidak enak muncul di dada Eveline, ia segera merangkak mendekati Anya, m
Hentakan kuda memecah keheningan malam. Darius, Rhett, dan Maric memacu kuda jantan mereka menyusuri hutan dengan kecepatan terukur, nafas kuda terlihat seperti uap tipis dalam udara malam yang dingin.Rhett yang memimpin di depan, menarik tali kekang kudanya hingga kuda hitam itu meringkik, mengangkat kedua kaki depannya sebelum perlahan menjejak tanah.Mereka berhenti. Pohon-pohon tinggi menjulang dengan daun-daun gelap yang berdesir pelan. Cahaya bulan hanya menembus di sela dedaunan, menimbulkan bayangan kabur pada wajah mereka.Ini bukan wilayah Lumor lagi.“Ada apa?” tanya Maric, matanya berusaha menembus gelap, hanya disinari obor kecil di genggamannya.“Kita akan beristirahat di sini.” Rhett turun dari kudanya, mengusap leher kuda hitam itu sebelum mengikat tali kekangnya pada batang pohon besar yang kokoh. “Kita lanjutkan pencarian saat fajar menyingsing.”Darius ikut turun, menepuk pundak kudanya sebelum mengikatnya tak jauh dari kuda Rhett, sedangkan Maric menuntun kudanya
Di balik kabut Lumor yang tak kunjung menipis, cahaya senja tampak tertahan lama. Tak ada yang benar-benar tahu kapan hari berganti malam di sini.Rhett dan Maric saling menatap, lalu kembali memandangi Oldrick yang duduk di dekat api unggun, tangannya sibuk membalik kayu agar bara tidak padam.“Apa sebaiknya kita mencari mereka? Ini bahkan sudah malam, Tetua,” ucap Rhett, nada suaranya rendah namun tegang. Sejak sore, Lady Eveline dan Anya belum kembali. Mereka sempat ingin turun ke sungai untuk mencari, namun Oldrick sebelumnya bersikeras mereka akan pulang, merasa janggal, namun tetap diam.Oldrick diam, memandangi api yang menari, cahayanya memantul di matanya yang keriput. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya bersuara. “Mereka tidak akan kembali.”Rhett dan Maric saling menoleh cepat, wajah mereka berubah waspada, alis Maric bertaut dalam.“Apa maksudmu—” suara Maric terdengar tajam.Oldrick yang tadinya menunduk perlahan menaikkan pandangannya, menatap keduanya dengan soro
“Lady...”Eveline langsung menoleh, mendapati Anya yang tergesa-gesa menghampirinya dengan napas sedikit terengah, membawa keranjang berisi pakaian dan kain lusuh mereka.“Sudah?” tanya Eveline dengan suara datar.Anya mengangguk cepat. “Semuanya sudah selesai,” balasnya pelan. Dari belakang, Tetua Lumor, Oldrick, menyusul keluar rumah, berdiri di samping mereka dengan wajah khawatir.“Aku dan—” “Ah, ternyata kalian ada di sini.”Suara itu membuat mereka menoleh serempak. Rhett dan Maric berjalan mendekat dengan langkah tenang, sorot mata mereka sulit dibaca. Eveline menarik napas perlahan, menetralkan ekspresi wajahnya agar tetap terlihat tenang meski jantungnya berdegup kencang.“Ada apa? Apa kalian membutuhkan obat-obatan?” tanyanya, suaranya terdengar biasa saja, seolah tak terjadi apa pun. Di sampingnya, Anya tampak menegang, menggenggam pegangan keranjang dengan erat.Rhett menatap Eveline sejenak sebelum menggeleng pelan. “Tidak, Lady.”Maric menundukkan kepala sedikit. “Kami
“Lady, kita kehabisan bahan untuk obat-obatan. Aku akan mengambilnya lagi,” ucap Anya, menoleh pada Lady Eveline yang tengah menumbuk daun herbal untuk warga yang terkena gatal-gatal.“Pergilah, Anya. Ah... ambil juga beberapa daun thyme,” balas Eveline tanpa menoleh sedikit pun.“Baiklah, Lady.”Anya berjalan menjauh, menuju rawa tempat dedaunan herbal itu tumbuh. Suara serangga dan angin lembab rawa menemani langkahnya.Namun, langkah Anya terhenti saat suara rendah dan teredam terdengar di kejauhan.“Apa Putra Mahkota sendiri yang akan datang ke Lumor membawa Lady Eveline ke istana?”Anya menajamkan pendengarannya, wajahnya memucat.“Entahlah, kita hanya dapat menunggu Darius kembali. Mungkin saja kita yang akan membawa Lady itu ke istana,” suara pria lain menjawab.Anya beringsut mendekat ke balik pohon ek besar, matanya menangkap dua pria berpakaian lusuh layaknya pedagang keliling dengan keranjang herbal dan kantong kulit di pinggang mereka—Rhett dan Maric. Dadanya berdegup cepa
Ratu Seraphina menatap mereka lama, sorot matanya dingin meski senyumnya terukir di bibir. “Ah... tentu saja, tinggallah beberapa hari. Aku yakin, Yang Mulia Raja merindukanmu,” ucapnya, matanya beralih pada Duchess Leztia. “Bukan begitu, Duchess Gerwyn?” Duchess Gerwyn membalas senyum itu dengan senyum tipis yang penuh kehati-hatian. “Tentu saja, Yang Mulia Ratu.” Duke Gerwyn berdeham pelan sebelum angkat bicara, “Sebagai adik dari Yang Mulia Raja Eldoria, apakah kami diperkenankan menjenguk beliau?” Sejenak, ruangan diliputi keheningan. Kael menoleh perlahan, menatap Duke Gerwyn dengan sorot mata dingin bak pisau yang mengiris diam-diam. “Tidak ada ‘kami’,” ucap Kael tegas, setiap kata keluar dengan tekanan. “Yang Mulia Raja hanya dapat dijenguk oleh satu orang.”Tatapan Duke Gerwyn mengeras sesaat sebelum ia menoleh pada istrinya. Duchess Gerwyn mengangguk tipis, wajahnya tetap tersenyum namun matanya berkilat.Duke Gerwyn menarik napas, menoleh kembali pada Kael. “Baikla