Home / Historical / PEMBALASAN DENDAM SANG LADY / BAB 8 • Pondok Terbengkalai

Share

BAB 8 • Pondok Terbengkalai

Author: MatchaMisu
last update Last Updated: 2025-07-03 13:00:17

Pintu aula terbuka dengan suara berderit pelan, menampakkan Putra Mahkota Kaelion yang berdiri di dekat jendela tinggi dengan latar taman yang gelap. Sir Alberto berdiri di samping, tangannya menyilang di dada, menjaga jarak dengan penuh kewaspadaan.

Sir Aldrich menunduk hormat. “Yang Mulia.”

Putra Mahkota menoleh perlahan, mata tajamnya menatap lurus pada Sir Aldrich. “Sudah terlalu lama kau meninggalkan ruangan ini, Sir Aldrich,” ujarnya dengan suara tenang, namun terasa seperti pisau yang dingin.

Sir Aldrich menelan ludahnya sebelum menjawab, “Maafkan saya, Yang Mulia, saya hanya memeriksa keadaan para penjaga dan memastikan mereka tetap waspada dalam pencarian.”

Kaelion berjalan mendekat, langkah sepatunya terdengar menggema di lantai aula yang luas. “Dan hasilnya?”

“Kami akan melanjutkan pencarian sebelum fajar, Yang Mulia,” jawab Sir Aldrich tegas. “Kami yakin adikku belum pergi terlalu jauh.”

Kaelion berhenti di hadapannya, menatap lurus ke matanya dengan sorot dingin. “Pastikan begitu, Sir Aldrich. Aku tidak ingin menunggu lebih lama untuk menyeretnya kembali.”

“Ya, Yang Mulia.”

Putra Mahkota kembali menoleh ke jendela, menatap malam yang gelap dengan pandangan keras. “Dan satu hal lagi... awasi adikmu.”

Sir Aldrich tertegun. “Yang Mulia?”

Kaelion tidak menjawab, hanya melirik singkat dengan tatapan yang dalam, seolah mengetahui percakapan Sir Aldrich dan Lady Sabrina beberapa saat lalu. Tatapan itu cukup untuk membuat Sir Aldrich terdiam, keringat dingin mengalir di tengkuknya.

“Keluar,” ucap Kaelion akhirnya.

Sir Aldrich segera menunduk, mundur beberapa langkah, lalu membalikkan badan dan keluar dari aula dengan perasaan berat, hatinya penuh kekhawatiran akan rencana adiknya yang bisa saja menjadi bumerang bagi keluarga mereka.

Di dalam aula, hanya suara napas Kaelion yang terdengar, matanya masih menatap taman gelap di luar jendela, penuh ketegangan yang belum selesai.

°°°°

Di sisi lain, Eveline dan Anya memutuskan untuk tetap berjalan. Mereka lapar? Tentu saja, mereka belum makan seharian ini, tetapi kelaparan bukan alasan untuk berhenti saat hidup mereka dipertaruhkan.

“Lady, kita mau berjalan sampai kapan?” Anya bertanya dengan napas terengah, matanya memandang Eveline dengan cemas.

Eveline menoleh, matanya tajam memantulkan cahaya bulan. “Sampai sebelum fajar tiba, kita sudah harus berada di perbatasan wilayah Valtieri, Anya. Setelah itu, mereka tidak akan bisa dengan mudah menangkap kita.”

Anya hanya mengangguk, menahan rasa lelah yang menggigit kakinya. Bermodalkan cahaya bulan yang cukup terang malam ini, mereka melanjutkan perjalanan, menembus pepohonan lebat dan suara binatang malam yang sesekali terdengar dari kejauhan.

Langkah mereka akhirnya terhenti saat Anya menunjuk ke depan. “Lady, lihat... itu... pondok?”

Eveline mengangkat wajahnya, melihat sebuah pondok kayu terbengkalai di tengah hutan, dindingnya lapuk, atapnya hampir runtuh, namun masih cukup kokoh untuk menjadi tempat singgah. Eveline mengangguk dan berjalan mendekat dengan waspada.

Mereka mendorong pintu pondok yang berderit pelan, bau kayu lembap memenuhi hidung mereka. Eveline menatap sekeliling, memastikan tidak ada siapa pun, lalu duduk di lantai kayu yang berdebu, menenangkan napasnya.

Anya duduk di sampingnya, matanya memandang ke luar jendela retak, “Lady, aku akan memeriksa sekitar, mungkin kita bisa menemukan air atau sesuatu.”

Eveline hanya mengangguk, menatap tangannya yang kotor dengan tanah dan debu, pikirannya melayang pada istana, pada kematian, pada anak yang belum sempat ia lindungi.

Tak lama, Anya kembali dengan mata berbinar, “Lady, aku menemukan pohon apel tidak jauh dari sini, pohonnya berbuah.”

Eveline menoleh cepat, rasa lapar yang ia tahan kini semakin terasa, “Tunjukkan.”

Mereka berjalan keluar pondok, hanya diterangi cahaya bulan, mendapati sebuah pohon apel dengan beberapa buah merah menggantung rendah, sebagian terayun pelan terkena angin malam.

“Anya memetik beberapa apel dan menyerahkannya kepada Eveline. “Makanlah, Lady.”

Eveline menerima apel itu, menatapnya sejenak sebelum menggigitnya perlahan. Rasa manis dan asam bercampur di lidahnya, membuat matanya memanas. Sudah lama ia tidak makan sesuatu sesederhana ini.

Kita sudah berjalan sejauh ini, Anya. Malam ini kita akan menginap di sini, besok kita lanjutkan perjalanan,” ucap Lady Eveline, menatap Anya dengan nada tegas meski tubuhnya tampak lelah.

Anya mengangguk patuh, menatap sekeliling pondok kayu terbengkalai itu dengan cemas. Angin malam masih berhembus melalui celah dinding yang retak, menimbulkan suara siulan kecil di antara kayu yang lapuk.

“Aku akan membersihkan sedikit, Lady,” ujar Anya, segera merapikan beberapa dedaunan kering dan ranting dari lantai agar mereka dapat duduk dengan lebih nyaman.

Eveline duduk bersandar pada dinding, memejamkan mata sejenak, merasakan perih di lengannya yang belum sepenuhnya pulih, namun ia menahannya, karena rasa sakit itu masih lebih baik daripada rasa takut yang menghantuinya setiap kali mengingat eksekusi itu.

“Anya,” panggil Eveline pelan.

“Ya, Lady?”

“Jika... jika besok terjadi sesuatu padaku, kau harus melanjutkan perjalanan. Cari tempat aman untukmu.”

Anya menoleh cepat dengan mata membulat. “Lady! Jangan bicara seperti itu! Kita akan pergi bersama!”

Eveline membuka matanya, menatap wajah Anya yang tampak putus asa. Senyum kecil muncul di bibir Eveline. “Aku hanya ingin kau tahu, Anya. Aku tidak ingin menyeretmu dalam masalahku.”

Anya menggigit bibirnya, air mata menumpuk di pelupuk matanya, “Lady Eveline, saya adalah maid Anda. Saya telah bersumpah untuk setia. Jadi, jangan tinggalkan saya.”

Keheningan menyelimuti mereka sejenak, hanya suara angin dan dedaunan di luar pondok yang terdengar. Eveline menghela napas panjang, lalu meraih tangan Anya, menggenggamnya erat.

“Baiklah,” gumam Eveline, “kita akan pergi bersama.”

Setelah selesai membersihkan daun-daun kering dan ranting yang berserakan di lantai, mereka akhirnya merebahkan tubuh di atas papan kayu yang dingin. Hanya sisa kain jubah mereka yang dijadikan alas dan selimut tipis untuk menghalau udara malam yang menusuk.

Anya terbaring di samping Eveline dengan wajah lelah, napasnya perlahan menjadi teratur sebelum akhirnya tertidur di bawah lindungan selimut seadanya.

Cahaya bulan menembus sela-sela atap reyot, jatuh tepat di wajah Eveline yang masih menatap kosong ke atas. Sorot matanya menangkap tarian bayangan dedaunan di atas sana, memantul pada iris matanya yang berkilat oleh kegelisahan.

Ia perlahan bangkit duduk, bersandar pada dinding kayu yang dingin dan lapuk. Kedua lututnya ia tarik hingga mendekap dadanya, dagunya bertumpu di sana.

Malam terasa begitu panjang, begitu sunyi hingga suara daun-daun yang bergesekan oleh angin terdengar seperti bisikan menakutkan.

“Apa yang harus aku lakukan...” bisik Eveline lirih, suaranya hampir tak terdengar bahkan untuk dirinya sendiri.

Ia memejamkan mata sejenak, mengingat eksekusi di masa depannya, darah yang menggenang di tanah, tatapan Kaelion sebelum pedang algojo menebas lehernya, dan janin kecil yang tak sempat ia lindungi.

Eveline membuka matanya lagi, menarik napas panjang.

Ia tahu ia tak bisa kembali ke kediaman Duke, dan ia tak bisa kembali ke istana.

Tapi ia juga tahu, berlari selamanya bukanlah pilihan.

Ia harus menjadi lebih kuat, membangun pengaruh, dan menyiapkan perlindungan untuk dirinya dan... untuk masa depan anaknya.

Ia memandang Anya yang tidur dengan damai, dada gadis itu naik turun perlahan, rambutnya berantakan menutupi sebagian wajah.

“Aku harus melindungi diriku sendiri,” gumam Eveline, tekadnya semakin menguat.

Ia meraih kantong kecil di sampingnya, memeriksa sisa uang yang ia miliki. Tidak banyak. Tidak cukup untuk perjalanan jauh.

Ia menatap keluar jendela kecil pondok, bulan masih tinggi, belum menunjukkan tanda akan turun.

“Besok sebelum fajar, kita akan berangkat. Kita akan melewati perbatasan wilayah Valtieri sebelum mereka menemukan kita.”

Matanya menajam, menatap gelapnya malam dengan tekad yang mulai mengeras.

Ia tidak akan mati kali ini.

Ia tidak akan membiarkan siapapun menginjak harga dirinya lagi, dan tidak akan lagi dirinya mengejar cinta semu Putra Mahkota.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 55 • Surat Lamaran Untuk Kerjaan Thandor

    Ruangan itu begitu dingin dan mencekam, bukan tanpa sebab—tapi... aura Putra Mahkota begitu mengerikan, seolah akan meledak kapan saja. “Yang Mulia, apakah anda butuh istirahat?” tanya Sir Alberto. Pasalnya selain terlihat lelah, mata pria itu juga seakan menyimpan berubah pikiran yang tampak jelas.“Aku telah menyuruhmu diam, Alberto,” ucap Kael, suaranya bgitu dingin dan menusuk di setiap kata.Sir Alberto langsung menunduk. “Maafkan saya, Yang Mulia—Putra Mahkota.”Kael tidak mnanggapi lagi. Matanya berotasi membaca kertas-kertas yang berserakan di atas meja. Setiap huruf, setiap angka, tampak menelannya dengan intensitas yang membuat udara di sekitarnya semakin terasa berat dan dingin.“Kalian memang tidak becus,” geram Kael, ia menahan amarah yang nyaris meledak. Pencarian Lady Eveline sudah dilakukan sebulan penuh, sayangnya wanita itu seolah hilang di telan bumi... tanpa jejak, dan mungkin saja wanita itu sudah tiada. Ia ingin melihat sendiri jasadnya, dengan matanya sendiri.

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 54 • Aderyn, Ibukota Idoryn

    Setelah berhari-hari menempuh perjalanan, akhirnya roda gerobak mereka melintasi gerbang besar ibukota Idoryn. Senja baru saja turun, menyapu langit dengan warna keemasan, hiruk pikuk kota menyambut kedatangan mereka. Jalanan ramai dipenuhi oleh pedagang, warga, dan juga para penjaga yang lalu lalang.Joren menghirup udara segar, “Inilah Aderyn, ibukota Idoryn.” ucapnya, sembari menahan tali kekang kudanya.Anya menatap sekeliling dengan mulut yang setengah terbuka, kagum akan bangunan megah, bendera-bendera kerajaan yang berkibar di setiap sudut jalan, serta cahaya lentera yang mulai dinyalakan di depan toko-toko.“Indah sekali... aku bahkan tidak tahu, jika ibukota Idoryn bisa semegah ini," ujar Anya pelan.“Beruntung, karena kau sudah menginjakkan kakimu di Idoryn, Nona Anya,” sahut Joren.Berbeda dengan Anya, yang mengagumi kota itu—Eveline hanya diam, tatapannya lurus seolah sedang memikirkan sesuatu. Ia menunduk sesaat, menatap tangannya yang masih dibalut oleh kain putih di nal

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 53 • Melanjutkan Perjalanan

    Pagi itu, Eveline, Anya, dan Joren sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Eveline berdiri di depan cermin, ia menatap pantulan dirinya. Gaun berwarna biru tua membalut tubuhnya, dengan lapisan luar gaun panjang itu terbelah di depan, menyingkap kain putih di bagian dalam. Gaun itu dilapisi lagi oleh jubah hitam miliknya, begitu elegan, seolah menambah kesan anggun pada Eveline. menghela napas dalam-dalam.Ia menunduk, lalu menyingkap lengan pakaiannya. Balutan kain putih masih membelit lengannya, untungnya obat yang diberikan Tetua Lunar—bekerja lebih cepat. Meski masih merasakan nyeri, namun tidak begitu parah, seperti beberapa hari yang lalu.“Hah...“ Eveline menghela napas berat.“Bawalah ini, Nona Anya." Suara Tetua Lunar terdengar dari luar kamar, disusul balasan sopan dari Anya. “Terima kasih, Tetua Lunar.”Tidak lama kemudian, Anya melangkah masuk sembari membawa dua kantung kain ditangannya. Kain itu berisi ramuan obat dan gulungan kain bersih untuk mengganti perban pad

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 52 • Keputusan Eveline

    Sore itu, sinar matahari mengintip dari celah jendela kamar, menciptakan bayangan semu di lantai rumah Tetua Lunar. Eveline duduk bersandar di sisi ranjang, matanya menatap keluar dengan pandangan kosong. Rasa bosan mulai menjalari pikirannya, terhitung sudah empat hari mereka berada di Lunar—ia hanya bisa berbaring dan duduk, tanpa bisa bergerak dengan leluasa. “Hah...” Eveline mendesah pelan, tangannya belum sepenuhnya pulih—masih terasa sakit jika digerakkan, dan itu menggangunya. “Bagaimana ini,” gumamnya pelan. “Aku tidak bisa hanya berdiam diri.” Pikiran Eveline menerawang jauh, ia harus segera sembuh. Ia tidak bisa menunggu siapa pun, termasuk menunggu dirinya agar cepat pulih. Menjadi pengawal istana bukanlah hanya ambisinya semata, tetapi agar ia juga dapat belajar banyak sebelum kembali ke Eldoria. Dewa telah memberinya kehidupan kedua, dan kali ini—ia berjanji, tidak akan menyia-nyiakan itu dan memastikan hidupnya memiliki tujuan yang jelas. “Tentu saja, tujuanku ada

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 51 • Kesadaran Lady Eveline

    Kicauan burung terdengar samar, seolah menyuruh orang-orang bangun dari mimpi mereka. Di kamar yang sederhana itu, Eveline berbaring dengan kanannya terlipat di atas, sedangkan tangan kirinya yang terluka berada di sisi tubuhnya.Kening Eveline bergoyang dan mengernyit, perlahan matanya terbuka. Wanita itu diam memandangi langit-langit kamar yang masih kabur di penglihatannya. Tubuhnya terasa ringan, dan kain lembap seperti menyentuh keningnya. Tangan kanannya terangkat, menyentuh kain itu.Eveline lalu menoleh ke samping, matanya menangkap sosok Anya yang duduk di kursi kayu dengan mata terpejam.“Shh…” desisnya, ketika tangan kirinya terasa sakit saat akan digerakkan. Eveline menatap kain putih yang membalut lengannya.Butuh beberapa detik sebelum ia bisa mengingat semuanya, para bandit-bandit itu. Kabut di pikirannya perlahan-lahan menipis, menyisakan rasa ngilu yang mengiris di bahu hingga ke lengan. Ia mengerang pelan, cukup pelan untuk tidak membangunkan Anya yang tertidur di ku

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 50 • Nona Eve, Mirip Seseorang

    Luka akibat tusukan belati di lengan Eveline kembali dibersihkan oleh Tetua Lunar. Darah segar sempat merembes keluar, membuat Anya panik setengah mati.“Aku akan membersihkan lagi luka Nona Eve,” ucap Tetua Lunar, suara tuanya tenang namun penuh ketegasan. Ia mengelap luka itu pelan, berhati-hati agar tak menyakiti lebih dalam.Joren duduk di sisi lain, memegang sebuah wadah tanah liat berisi air hangat yang telah dicampur dengan daun sirih dan kulit kayu yang ditumbuk halus. Air itu berwarna kecokelatan dan menguarkan aroma tajam herbal yang menyengat.Dengan gerakan perlahan, Tetua Lunar menyiramkan air ramuan itu ke luka Eveline, sedikit demi sedikit. Cairan hangat itu membuat Eveline mengerang pelan, tubuhnya menegang sesaat, namun matanya tetap terpejam. Wajahnya masih pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya.“Apa ini tidak apa-apa?” tanya Anya cemas, kedua tangannya menggenggam erat lengan Eveline.Tetua Lunar menatapnya sekilas, lalu menggeleng pelan. “Tenang saja, Nona. A

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status