Share

Bab 005

last update Last Updated: 2025-10-30 07:56:52

Layang Samba, yang fokus pada air dan angin, tidak siap untuk serangan yang datang dari bumi. Keseimbangannya hilang.

Dia melompat ke belakang untuk menghindari gempa, tetapi pada kejap ia melompat, Dipasena sudah berada di udara, mengejarnya.

Dipasena melancarkan sebuah tendangan mengandung tenaga besar, tendangan yang sangat cepat dan bertujuan pada ulu hati Layang Samba.

Wutt!

Layang Samba, meskipun terhuyung, adalah pendekar terlatih.

Dia secara naluriah mengangkat Tongkat Waru-nya untuk menahan serangan itu, mengubahnya menjadi perisai kayu.

Trakk!

Tendangan Dipasena menghantam tongkat. Kali ini, tidak ada pantulan angin, hanya benturan energi keras dengan keras.

Suara benturan itu terdengar seperti guntur kecil yang meledak di tepi sungai.

Layang Samba terlempar mundur, tubuhnya melayang sekitar tiga tombak dan menghantam rumpun bambu. Tongkat Waru-nya terlepas dari genggaman dan jatuh ke sungai.

Layang Samba bangkit, memegang lengannya yang kebas dan gemetar. Wajahnya pucat pasi.

Dia tidak terluka parah, tetapi dia telah merasakan kekuatan yang melampaui usianya.

Tenaga Dalam Dipasena kini bukan lagi hanya murni, melainkan kejam dan mematikan.

“Kau… Kau luar biasa,” gumam Layang Samba, napasnya tersengal. “Kekuatanmu… bukan kekuatan hitam. Itu murni. Tapi mengapa kau begitu gelap?”

Dipasena melangkah maju, sorot matanya dingin, seolah dia adalah mata badai yang tenang di tengah kekacauan.

“Kegelapan bukan pada ilmu, Layang Samba. Kegelapan ada pada hati yang menolak kebenaran. Aku tidak ingin membunuhmu. Kau tidak layak mati hanya karena kebutaan pikiranmu,” kata Dipasena. “Ambil tongkatmu. Pergi. Beritahu gurumu. Dipasena tidak akan lari selamanya. Aku akan kembali untuk mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku.”

Layang Samba menatap Dipasena. Dia melihat kepedihan di mata pemuda itu, tetapi kepedihan itu kini dihiasi oleh tekad yang tak tergoyahkan, sekeras batu akik.

Layang Samba tahu, dia tidak akan bisa mengalahkan Dipasena hari ini.

Pertarungan ini akan membunuhnya, dan dia tidak punya alasan untuk mati di tangan seorang buronan yang sebenarnya kuat dan jujur.

Layang Samba membungkuk sedikit, meskipun enggan. “Aku tidak tahu yang mana kebenaranmu, Dipasena. Tapi aku tidak akan mengejarmu lagi. Aku hanya berharap, jalan yang kau pilih tidak akan menjerumuskanmu ke dalam kubangan yang sebenarnya.”

Layang Samba lalu memutar tubuhnya, melompat ke tepi sungai, dan mengambil Tongkat Waru-nya yang terapung. Dia pergi, menghilang ke dalam rimbunnya pohon.

Dipasena berdiri sendirian, diapit oleh gemuruh Sungai Serayu dan ketenangan hutan.

Kemenangan ini terasa kosong. Itu hanya jeda singkat dari takdir yang mengejarnya.

Dia baru saja menarik napas lega, baru tiga kejap ia biarkan tubuhnya santai, ketika suara gemuruh lain terdengar.

Kali ini bukan suara sungai, melainkan suara ratusan kaki yang berlari di atas tanah kering.

Dipasena mendongak. Di atas bukit di seberang sungai, terlihat puluhan titik api obor. Mereka bukan lagi murid-murid Jati Sakti saja.

Mereka adalah gabungan dari Rancawaru dan padepokan lainya, bahkan beberapa pendekar bebas yang haus akan ketenaran dari penangkapan buronan paling dicari.

“Dia di sana! Jangan biarkan dia menyeberang!” teriak sebuah suara dari kerumunan itu.

Dipasena tersenyum tipis. Senyum itu penuh kepuasan ironis. Dia adalah ayam hutan yang diburu oleh seluruh desa.

Pemuda itu menoleh ke belakang, ke arah rimbunnya hutan yang gelap.

Di sana, jalan setapak itu menanjak tajam, menuju puncak yang lebih tinggi, menuju Lawu. Dia tidak bisa lagi bersembunyi di keramaian.

“Baiklah,” bisik Dipasena pada dirinya sendiri, suaranya diresapi oleh janji yang dingin. “Jika kalian ingin mengejarku, aku akan membawa kalian ke tempat yang tak pernah kalian bayangkan.”

Dia berlari, meninggalkan tepi sungai. Dia berlari bukan karena takut akan kematian, tetapi karena takdirnya kini baru dimulai.

Dia harus lebih kuat, lebih cepat, dan lebih kejam dari semua yang mengejarnya.

Dia harus menaiki tangga tertinggi di dunia persilatan, bahkan jika ia harus menginjak kepala semua orang yang pernah mengkhianatinya.

Angin yang bertiup dari arah barat terasa dingin dan berat, seolah membawa bau tanah busuk dan kematian.

Di depan Dipasena terhampar batas Hutan Seribu Maut, sebuah nama yang cukup untuk membekukan darah setiap pendekar di tanah Jawa.

Hutan itu tampak seperti mulut naga yang menganga, pepohonannya tinggi, gelap, dan saling bertautan, tak menyisakan celah bagi cahaya matahari.

Di belakangnya, kerumunan pengejar berhenti mendadak.

Obor-obor itu membentuk garis terang di perbatasan, tetapi tidak ada satu pun yang berani melangkah melewati batas.

“Gila! Dia masuk ke Hutan Seribu Maut!” teriak salah satu pendekar.

Ki Gendola, yang memimpin kelompok Jati Sakti, menggeleng, wajahnya diliputi kengerian.

“Biarkan saja! Kebo nusu gudel. Dia mencari kematiannya sendiri. Hutan itu tidak membutuhkan tangan kita untuk membunuhnya. Dalam tiga hari, bahkan tulang-belulangnya tidak akan tersisa!”

Para pengejar, meski kecewa, merasa puas. Dipasena akan mati dengan cara yang jauh lebih mengerikan daripada diserahkan ke Padepokan.

Mereka berbalik, meninggalkan Dipasena di ambang kehancuran.

Dipasena tidak menoleh. Dia telah mendengar keputusan mereka.

Mereka memberinya hukuman yang paling kejam: dibuang ke tempat yang tak pernah terjamah oleh hukum manusia.

Namun, bagi Dipasena, Hutan Seribu Maut adalah satu-satunya rumah yang tersisa, tempat di mana fitnah dan pengkhianatan tidak dapat mencapainya.

Dengan tekad yang membaja, sekeras baja yang baru ditempa, Dipasena melangkah masuk.

Di dalam, udara pengap dan berat. Kelembaban tinggi, dan bau lumut bercampur dengan bau darah kering yang tak diketahui asalnya.

Setiap kejap dia berjalan, matanya harus beradaptasi dengan bayangan yang bergerak dan suara-suara aneh yang menusuk telinga.

Dia terus berjalan, menembus belantara sekitar seratus depa, ketika tiba-tiba, keheningan hutan itu pecah.

Dari balik akar pohon beringin raksasa yang menjulang, muncul sepasang mata merah menyala, seolah menyimpan dua bara api yang siap membakar.

"Hoarrrr!"

Sosok itu melompat keluar. Itu adalah Siluman Serigala Merah.

Tubuhnya seukuran kuda poni, ditutupi bulu tebal berwarna merah darah, dan taringnya panjang, melengkung ke luar seperti sabit kematian.

Aura kegelapan yang memancar dari serigala itu begitu pekat, membuat udara di sekitarnya terasa sesak.

Makhluk ini adalah salah satu penjaga sejati Hutan Seribu Maut.

Serigala itu mengeluarkan raungan yang memekakkan telinga, bukan raungan binatang biasa, melainkan raungan yang membawa serta gelombang kejut Tenaga Dalam.

Dipasena tahu, ini adalah ujian sejatinya. Jika dia mati di tangan makhluk ini, sumpahnya akan sia-sia.

“Aku tidak akan mati di sini, Iblis!” teriak Dipasena, suaranya mengandung semua kepedihan dan amarahnya.

Dipasena mengambil kuda-kuda Naga Duduk, sebuah postur yang mengumpulkan energi ke pusat perut.

Dia tidak akan menggunakan jurus yang terlalu bergantung pada angin atau air.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 008

    “Saudaramu menyerangku lebih dulu,” jawab Dipasena, suaranya tenang. “Aku hanya membela diri.”Siluman Harimau Merah itu maju satu langkah, tubuhnya yang besar menggetarkan tanah.“Alasanmu basi seperti bangkai di padang gurun!” raung Siluman Harimau Merah. “Namaku Cakar Emas. Aku adalah penjaga yang lebih tua. Aku akan membalas kematian saudaraku, dan aku akan mengambil kembali Inti Merah yang kini ada di dalam raga kotor-mu!”Dipasena mengepalkan tangannya. Dia merasakan Tenaga Dalam baru itu berdenyut di bawah kulitnya, menuntut untuk dilepaskan.Dia telah kehilangan cintanya, warisannya, dan namanya. Dia tidak akan membiarkan dirinya kehilangan nyawanya di hari pertama kelahiran kembali ini.“Jika kau datang untuk bertarung,” kata Dipasena, tatapannya tajam dan tak terhindarkan. “Aku siap. Tunjukkan padaku hukum rimbamu!”Siluman Harimau Merah itu meraung, membuka mulutnya, memamerkan taringnya yang sebesar belati. Dia mengam

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 007

    Malam di Hutan Seribu Maut terasa semakin pekat dan dingin setelah pertarungan.Dipasena bersandar pada batang pohon yang tumbang, mencoba memulihkan sedikit Tenaga Dalamnya yang terkuras habis.Batu Cahaya Merah yang ia genggam terasa hangat, memberikan sedikit ketenangan yang menipu.Dia merasakan energi baru mengalir, mengisi kekosongan, seolah dia adalah cangkir kosong yang diisi kembali dengan air kehidupan.Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama.Tiba-tiba, Batu Cahaya Merah itu berdenyut dengan kecepatan tinggi, dan panas yang semula terasa menenangkan, kini berubah menjadi bara api yang membakar."Ada apa ini!?" Dipasena tersentak. Dia membuka telapak tangannya.Batu itu kini memancarkan cahaya merah darah yang sangat terang, cahayanya mampu menembus kegelapan hutan.Panasnya tak tertahankan, seolah ia menggenggam besi tempa yang baru diangkat dari api.“Panas!” desis Dipasena, mencoba melepa

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 006

    Dia membutuhkan jurus yang berfokus pada kekuatan inti dan penghancuran. Dia memilih Pukulan Naga Bumi.Hanya dia, murid muda yang telah mencapai tingkat ketiga dari lima ilmu Pukulan Naga Bumi. Dipasena menyiapkan ilmu itu dengan tenaga penuh.Siluman Serigala Merah menyerang lebih dulu, melompat tinggi, cakar depannya siap merobek dada Dipasena.Dipasena menunggu, membiarkan serigala itu semakin dekat, dan pada kejap yang tepat, dia melancarkan serangan balasan.Pukulan Naga Bumi, Tingkat Satu: Goncangan Permukaan.Pukulan ini adalah serangan jarak pendek yang mengalirkan energi ke permukaan, menciptakan dampak fisik yang murni.Dipasena meninju udara kosong di bawah perut serigala yang melompat.Wutt! Syutt!Energi pukulan itu, meskipun tidak menyentuh, menciptakan tekanan udara yang begitu padat.Siluman Serigala Merah, yang biasanya kebal terhadap benturan biasa, terkejut.Tubuhnya yang sedang melayang dihantam oleh gelombang kejut tersembunyi. Raungannya terpotong.Serigala itu

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 005

    Layang Samba, yang fokus pada air dan angin, tidak siap untuk serangan yang datang dari bumi. Keseimbangannya hilang.Dia melompat ke belakang untuk menghindari gempa, tetapi pada kejap ia melompat, Dipasena sudah berada di udara, mengejarnya.Dipasena melancarkan sebuah tendangan mengandung tenaga besar, tendangan yang sangat cepat dan bertujuan pada ulu hati Layang Samba.Wutt!Layang Samba, meskipun terhuyung, adalah pendekar terlatih.Dia secara naluriah mengangkat Tongkat Waru-nya untuk menahan serangan itu, mengubahnya menjadi perisai kayu.Trakk!Tendangan Dipasena menghantam tongkat. Kali ini, tidak ada pantulan angin, hanya benturan energi keras dengan keras.Suara benturan itu terdengar seperti guntur kecil yang meledak di tepi sungai.Layang Samba terlempar mundur, tubuhnya melayang sekitar tiga tombak dan menghantam rumpun bambu. Tongkat Waru-nya terlepas dari genggaman dan jatuh ke sungai.Layang Samba bangkit, memegang lengannya yang kebas dan gemetar. Wajahnya pucat pas

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 004

    Lima orang itu langsung menyerang Dipasena bersamaan.Dipasena tidak menggunakan Benteng Pawana. Dia menggunakan jurus Jati Sakti yang paling dasar: sebuah jurus tendangan.Tetapi dia menyalurkan Tujuh Titik Maut tingkat lima: Titik Keras pada telapak kakinya.Dia menendang tanah. Tendangan itu tidak ditujukan kepada lawan, tetapi ke bumi di bawahnya.Ketika kaki Dipasena menghantam tanah, energi internalnya, yang dipadukan dengan Titik Keras, menciptakan getaran kuat di permukaan tanah.Getaran itu menjalar cepat.Lima murid yang berdiri di depannya merasa seolah tanah di bawah kaki mereka tiba-tiba menjadi lumpur hisap yang bergerak-gerak. Mereka kehilangan pijakan, terhuyung, dan jatuh.Dipasena melompat, kakinya tidak menyentuh satu pun tubuh murid yang jatuh. Dia melompati mereka, dan dalam dua kejap, dia telah berada di belakang mereka.Dia terus berlari. Lari kali ini memiliki tujuan: mencari kekuatan.Dia tidak lagi melihat ke belakang, ke arah obor-obor yang mengejarnya. Dia

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 003

    Lalu, cahaya lampu minyak itu bergerak sedikit, dan Dipasena melihatnya. Jelas. Sejelas bayangan keris di air.Itu adalah Santaka. Saudara seperguruan yang selalu menatapnya dengan rasa iri yang lebih tajam daripada mata tombak.Santaka, yang selalu berusaha menarik perhatian Anggrawati.Dipasena mematung. Jaraknya hanya lima depa dari teras itu. Lima depa yang terasa seperti jurang tak berdasar.Anggrawati tidak hanya duduk. Dia bersandar. Anggrawati bersandar di dada Santaka. Kepala Santaka menunduk, dan ia tertawa pelan. Tawanya terdengar kasar dan menang.Lalu, Santaka mengangkat dagu Anggrawati. Dalam satu kejap, bibir mereka bertemu. Ciuman itu tidak tergesa-gesa; itu adalah ciuman yang lambat, mesra, penuh pemilikan.Dunia di sekitar Dipasena mendadak kehilangan suara. Udara seolah dicabut dari paru-parunya. Kekuatan kosmis yang baru saja ia himpun di Jati Sakti, Prana dari alam semesta, semua terasa sia-sia.Dia merasa dirinya adalah sebuah cangkang kosong, dihempas ke batu ka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status