LOGINLima orang itu langsung menyerang Dipasena bersamaan.
Dipasena tidak menggunakan Benteng Pawana. Dia menggunakan jurus Jati Sakti yang paling dasar: sebuah jurus tendangan. Tetapi dia menyalurkan Tujuh Titik Maut tingkat lima: Titik Keras pada telapak kakinya. Dia menendang tanah. Tendangan itu tidak ditujukan kepada lawan, tetapi ke bumi di bawahnya. Ketika kaki Dipasena menghantam tanah, energi internalnya, yang dipadukan dengan Titik Keras, menciptakan getaran kuat di permukaan tanah. Getaran itu menjalar cepat. Lima murid yang berdiri di depannya merasa seolah tanah di bawah kaki mereka tiba-tiba menjadi lumpur hisap yang bergerak-gerak. Mereka kehilangan pijakan, terhuyung, dan jatuh. Dipasena melompat, kakinya tidak menyentuh satu pun tubuh murid yang jatuh. Dia melompati mereka, dan dalam dua kejap, dia telah berada di belakang mereka. Dia terus berlari. Lari kali ini memiliki tujuan: mencari kekuatan. Dia tidak lagi melihat ke belakang, ke arah obor-obor yang mengejarnya. Dia hanya melihat ke depan, ke arah Gunung Lawu yang menjulang tinggi, gelap, dan sunyi. Aku akan kembali, Anggrawati. Dan saat aku kembali, kau akan tahu bahwa kau telah menukar Raja dengan Pion. Dengan tekad yang dingin dan sekeras baja, Dipasena menghilang ke dalam bayangan malam, meninggalkan cinta, kesetiaan, dan Padepokan Jati Sakti untuk selamanya. Dia kini seorang buronan, seorang pengkhianat di mata dunia, tetapi di dalam dirinya, Naga baru telah terbangun, haus akan kuasa dan penguasaan tertinggi dunia persilatan. *** Hari-hari berikutnya. Warta menyebar bagaikan angin. Begitu cepat seolah menembus waktu. Dipasena kini hidup dalam pelarian. Namanya kini disandingkan dengan iblis di setiap padepokan di tanah Jawa. Dari Jati Sakti, kabar tentang ‘Pengkhianat Muda’ telah menyebar seperti wabah. Fitnah yang dimulai di Lawu kini telah menjadi hukum yang harus ditegakkan oleh setiap pendekar golongan putih. Dipasena belajar untuk tidur dengan mata terbuka, makan dalam kejap, dan bergerak tanpa jejak. Kecepatan dan kelincahan adalah senjata barunya. Tubuhnya telah beradaptasi, menjadi lebih kurus, tetapi otot-ototnya keras membatu, ditempa oleh rasa sakit dan kebencian yang ia simpan rapi. Siang itu, Dipasena sedang menenangkan dirinya di sebuah ceruk batu tersembunyi, di tepi Sungai Serayu yang berliku dan deras. Dia mencoba menarik napas lebih tenang dengan memandang gemuruh air, mencari kedamaian yang tak kunjung datang. Tiba-tiba, indra keenamnya bergetar. Hawa pendekar. Bukan hawa murka atau emosi liar, melainkan hawa tenang yang dipenuhi keyakinan dan tujuan yang jelas. Pendekar ini tidak datang untuk membalas dendam; dia datang untuk menangkap, menegakkan keadilan sesuai hukum yang berlaku di dunia persilatan. Dipasena berbalik. Di bibir ceruk batu, berdiri seorang pemuda yang sedikit lebih tua darinya, mengenakan pakaian berwarna hijau lumut, khas Padepokan Rancawaru. Di tangannya, pemuda itu menggenggam sebuah tongkat kayu waru yang panjangnya sekitar dua depa, berukir sederhana tetapi memancarkan aura kesaktian yang samar. “Dipasena,” ucap pemuda itu, suaranya jernih dan berwibawa, seperti air sungai yang mengalir. “Aku Layang Samba. Murid Padepokan Rancawaru. Aku tidak punya urusan pribadi denganmu. Tapi dunia ini punya aturan. Aku diutus guruku untuk menyerahkanmu pada keadilan.” Dipasena bangkit, membersihkan debu dari celana kainnya. Dia menatap Layang Samba, mengukur kekuatan lawan. Pemuda dari Padepokan Rancawaru ini tampak tenang, seperti danau di pagi hari. “Keadilan?” Dipasena tertawa hambar. “Keadilan apa yang kau maksud, Layang Samba? Keadilan yang dibangun di atas pasir fitnah? Padepokan Rancawaru mengajarkanmu kebaikan, tapi kau memilih menjadi alat kebohongan.” Layang Samba mengangkat tongkatnya, ujungnya menunjuk ke arah Dipasena. “Aku hanya melihat bukti yang tak terbantahkan. Itu sudah cukup. Tuna satak bathi sanak. Aku hanya ingin menangkapmu. Jangan memaksaku untuk menyakitimu.” Dipasena menggeleng. “Adigang adigung adiguna. Jangan meremehkan orang yang terbuang. Aku tidak akan menyerah pada penjara kebohongan lagi.” Pertarungan dimulai. Layang Samba menyerang lebih dulu. Dia mengayunkan Tongkat Waru ke arah kepala Dipasena. Ayunan itu tidak sekadar keras, membawa serta hembusan angin basah yang aneh, seolah tongkat itu mampu membelah udara dan air secara bersamaan. Wuuungh! Dipasena bergerak menghindar dengan cepat. Ia tahu, melawan senjata membutuhkan pertahanan yang sekuat baja. Dia mengaktifkan Benteng Pawana. Dia menyedot udara di sekelilingnya, memadatkan partikelnya, dan memutarnya di sekitar tubuhnya. Lapisan udara ini menjadi perisai yang tak terlihat, seolah Dipasena mengenakan baju zirah dari angin murni. Ketika Tongkat Waru mengenai lapisan Benteng Pawana, tercipta suara debum yang dalam. Tongkat itu memantul sedikit. Layang Samba merasakan telapak tangannya kaku, seolah menghantam balok batu, bukan udara. Layang Samba terkejut dengan pertahanan yang begitu solid, tetapi dia adalah pendekar yang cerdas. Dia tidak berhenti. Dia memutar Tongkat Waru dengan kecepatan tinggi, mengayunkannya dalam gerakan memutar yang menciptakan pusaran angin kecil. “Rasakan Tirta Sarewu!” seru Layang Samba. Tirta Sarewu adalah jurus yang memanfaatkan kelembaban udara dan kedekatan dengan air. Layang Samba, dengan Tenaga Dalamnya, menarik partikel air dari Sungai Serayu yang berjarak hanya sepuluh depa dari mereka. Partikel air itu mengembun di ujung Tongkat Waru, lalu meledak menjadi ribuan tetesan air yang ditembakkan ke arah Dipasena. Tetesan air ini bukan hanya basah; mereka membawa daya ledak dari Tenaga Dalam Rancawaru, seolah Dipasena dihujani peluru air yang sangat padat. Wush Byarr! Benteng Pawana milik Dipasena bergetar hebat. Ribuan tetesan air itu menembus lapisan terluar Pawana, tetapi daya ledaknya berhasil ditahan oleh lapisan kedua. Dipasena merasa seolah ribuan lebah air menghantam tubuhnya, tetapi tidak ada yang menembus kulitnya. Namun, jurus air itu membuat Benteng Pawana lemah, karena air adalah penawar energi angin. Dipasena memanfaatkan satu kejap keraguan Layang Samba. Jika air adalah musuhnya, maka dia akan menggunakan guntur untuk membelah air. Dipasena melompat maju, membatalkan pertahanan, dan beralih ke serangan. Dia mengeluarkan jurus murni Jati Sakti yang telah ia kuasai hingga mencapai tingkatan yang mustahil. Guntur Menyulam Bumi tingkat ketiga. Hanya dia, murid muda yang berhasil mencapai tingkat tersebut. Dipasena mendarat dengan lutut menekuk, kedua telapak tangannya menyentuh bumi, seolah dia sedang menyentuh sumber energi inti bumi. Dia menarik Tenaga Dalam Jati Sakti yang kental, beraroma seperti udara sebelum hujan, dan menyalurkannya ke dalam tanah. Gelombang energi itu bergerak cepat, tidak terlihat, menjalar melalui tanah. Ketika mencapai jarak satu depa di depan kaki Layang Samba, energi itu meledak ke atas dalam bentuk gelombang kejut yang memutar. Layang Samba terkejut. Dia merasakan tanah di bawah kakinya tiba-tiba menjadi hidup, bergetar hebat. Gelombang kejut itu tidak hanya mengguncang, tetapi juga membawa serta kerikil dan debu yang berputar, menyerang Layang Samba dari bawah. Derrr! ***“Saudaramu menyerangku lebih dulu,” jawab Dipasena, suaranya tenang. “Aku hanya membela diri.”Siluman Harimau Merah itu maju satu langkah, tubuhnya yang besar menggetarkan tanah.“Alasanmu basi seperti bangkai di padang gurun!” raung Siluman Harimau Merah. “Namaku Cakar Emas. Aku adalah penjaga yang lebih tua. Aku akan membalas kematian saudaraku, dan aku akan mengambil kembali Inti Merah yang kini ada di dalam raga kotor-mu!”Dipasena mengepalkan tangannya. Dia merasakan Tenaga Dalam baru itu berdenyut di bawah kulitnya, menuntut untuk dilepaskan.Dia telah kehilangan cintanya, warisannya, dan namanya. Dia tidak akan membiarkan dirinya kehilangan nyawanya di hari pertama kelahiran kembali ini.“Jika kau datang untuk bertarung,” kata Dipasena, tatapannya tajam dan tak terhindarkan. “Aku siap. Tunjukkan padaku hukum rimbamu!”Siluman Harimau Merah itu meraung, membuka mulutnya, memamerkan taringnya yang sebesar belati. Dia mengam
Malam di Hutan Seribu Maut terasa semakin pekat dan dingin setelah pertarungan.Dipasena bersandar pada batang pohon yang tumbang, mencoba memulihkan sedikit Tenaga Dalamnya yang terkuras habis.Batu Cahaya Merah yang ia genggam terasa hangat, memberikan sedikit ketenangan yang menipu.Dia merasakan energi baru mengalir, mengisi kekosongan, seolah dia adalah cangkir kosong yang diisi kembali dengan air kehidupan.Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama.Tiba-tiba, Batu Cahaya Merah itu berdenyut dengan kecepatan tinggi, dan panas yang semula terasa menenangkan, kini berubah menjadi bara api yang membakar."Ada apa ini!?" Dipasena tersentak. Dia membuka telapak tangannya.Batu itu kini memancarkan cahaya merah darah yang sangat terang, cahayanya mampu menembus kegelapan hutan.Panasnya tak tertahankan, seolah ia menggenggam besi tempa yang baru diangkat dari api.“Panas!” desis Dipasena, mencoba melepa
Dia membutuhkan jurus yang berfokus pada kekuatan inti dan penghancuran. Dia memilih Pukulan Naga Bumi.Hanya dia, murid muda yang telah mencapai tingkat ketiga dari lima ilmu Pukulan Naga Bumi. Dipasena menyiapkan ilmu itu dengan tenaga penuh.Siluman Serigala Merah menyerang lebih dulu, melompat tinggi, cakar depannya siap merobek dada Dipasena.Dipasena menunggu, membiarkan serigala itu semakin dekat, dan pada kejap yang tepat, dia melancarkan serangan balasan.Pukulan Naga Bumi, Tingkat Satu: Goncangan Permukaan.Pukulan ini adalah serangan jarak pendek yang mengalirkan energi ke permukaan, menciptakan dampak fisik yang murni.Dipasena meninju udara kosong di bawah perut serigala yang melompat.Wutt! Syutt!Energi pukulan itu, meskipun tidak menyentuh, menciptakan tekanan udara yang begitu padat.Siluman Serigala Merah, yang biasanya kebal terhadap benturan biasa, terkejut.Tubuhnya yang sedang melayang dihantam oleh gelombang kejut tersembunyi. Raungannya terpotong.Serigala itu
Layang Samba, yang fokus pada air dan angin, tidak siap untuk serangan yang datang dari bumi. Keseimbangannya hilang.Dia melompat ke belakang untuk menghindari gempa, tetapi pada kejap ia melompat, Dipasena sudah berada di udara, mengejarnya.Dipasena melancarkan sebuah tendangan mengandung tenaga besar, tendangan yang sangat cepat dan bertujuan pada ulu hati Layang Samba.Wutt!Layang Samba, meskipun terhuyung, adalah pendekar terlatih.Dia secara naluriah mengangkat Tongkat Waru-nya untuk menahan serangan itu, mengubahnya menjadi perisai kayu.Trakk!Tendangan Dipasena menghantam tongkat. Kali ini, tidak ada pantulan angin, hanya benturan energi keras dengan keras.Suara benturan itu terdengar seperti guntur kecil yang meledak di tepi sungai.Layang Samba terlempar mundur, tubuhnya melayang sekitar tiga tombak dan menghantam rumpun bambu. Tongkat Waru-nya terlepas dari genggaman dan jatuh ke sungai.Layang Samba bangkit, memegang lengannya yang kebas dan gemetar. Wajahnya pucat pas
Lima orang itu langsung menyerang Dipasena bersamaan.Dipasena tidak menggunakan Benteng Pawana. Dia menggunakan jurus Jati Sakti yang paling dasar: sebuah jurus tendangan.Tetapi dia menyalurkan Tujuh Titik Maut tingkat lima: Titik Keras pada telapak kakinya.Dia menendang tanah. Tendangan itu tidak ditujukan kepada lawan, tetapi ke bumi di bawahnya.Ketika kaki Dipasena menghantam tanah, energi internalnya, yang dipadukan dengan Titik Keras, menciptakan getaran kuat di permukaan tanah.Getaran itu menjalar cepat.Lima murid yang berdiri di depannya merasa seolah tanah di bawah kaki mereka tiba-tiba menjadi lumpur hisap yang bergerak-gerak. Mereka kehilangan pijakan, terhuyung, dan jatuh.Dipasena melompat, kakinya tidak menyentuh satu pun tubuh murid yang jatuh. Dia melompati mereka, dan dalam dua kejap, dia telah berada di belakang mereka.Dia terus berlari. Lari kali ini memiliki tujuan: mencari kekuatan.Dia tidak lagi melihat ke belakang, ke arah obor-obor yang mengejarnya. Dia
Lalu, cahaya lampu minyak itu bergerak sedikit, dan Dipasena melihatnya. Jelas. Sejelas bayangan keris di air.Itu adalah Santaka. Saudara seperguruan yang selalu menatapnya dengan rasa iri yang lebih tajam daripada mata tombak.Santaka, yang selalu berusaha menarik perhatian Anggrawati.Dipasena mematung. Jaraknya hanya lima depa dari teras itu. Lima depa yang terasa seperti jurang tak berdasar.Anggrawati tidak hanya duduk. Dia bersandar. Anggrawati bersandar di dada Santaka. Kepala Santaka menunduk, dan ia tertawa pelan. Tawanya terdengar kasar dan menang.Lalu, Santaka mengangkat dagu Anggrawati. Dalam satu kejap, bibir mereka bertemu. Ciuman itu tidak tergesa-gesa; itu adalah ciuman yang lambat, mesra, penuh pemilikan.Dunia di sekitar Dipasena mendadak kehilangan suara. Udara seolah dicabut dari paru-parunya. Kekuatan kosmis yang baru saja ia himpun di Jati Sakti, Prana dari alam semesta, semua terasa sia-sia.Dia merasa dirinya adalah sebuah cangkang kosong, dihempas ke batu ka







