LOGINSetelah selesai makan malam, Liliya lalu mengikuti langkah Bibi Belka yang akan mengarahkannya ke lorong panjang yang sepi. Dinding-dinding rumah itu terasa dingin, seolah-olah menyerap semua kehangatan yang pernah ada. Liliya berjalan pelan, merasakan beban berat yang tidak hanya di pundaknya akan tetapi juga di hatinya.
Bayangan tentang kematian kedua orangtuanya, masih menjadi misteri baginya. Rasa sedih masih merasuki jiwa dan sanubarinya tapi demi untuk bertahan hidup, Liliya harus menjalani semuanya dengan ikhlas dan lapang dada. Lamunan gadis itu seketika menjadi buyar, mendengar ucapan dari Bibi Belka. “Liliya, mulai malam ini, kamar ini adalah tempat tinggalmu,” ucap Bibi Belka lembut, menghentikan langkah mereka di depan sebuah pintu kayu besar. Bibi Belka lalu mendorong pintu itu dengan perlahan, memperlihatkan sebuah kamar yang rapi dengan pencahayaan hangat. Ada ranjang besar di tengahnya, dengan seprai putih bersih yang terlipat sempurna. Di sudut ruangan, sebuah lemari besar berdiri tegak. Namun, perhatian Liliya segera tertuju pada sesuatu yang mengguncang emosinya. Di salah satu dinding kamar itu, tergantung foto kedua orang tuanya. Mata Liliya segera memanas, dan air matanya mulai mengalir tanpa henti. Dia tak kuasa menahan tangisannya. Sang gadis lalu mendekat ke foto itu dengan langkah goyah. Hatinya seakan remuk, melihat senyuman kedua orang tuanya yang sangat dirindukannya. Wajah-wajah itu yang seolah sedang memandangnya penuh kasih sayang, kini hanya tinggal kenangan. “Bibi ....” Liliya mulai menangis tersedu-sedu, suaranya pecah di antara tangisannya. “Kenapa semua ini terjadi? Siapa orang yang telah tega kepada Papa dan Mama?” isaknya tak tertahankan. Bibi Belka, yang sudah menduga momen ini akan datang, segera memeluk Liliya erat-erat. Pelukan itu penuh dengan kehangatan, namun tetap tak mampu mengusir rasa sakit yang kini mendekam di hati Liliya. “Liliya Sayang, Bibi tahu ini berat bagimu.” Bibi Belka berbisik, suaranya tenang namun terdengar bergetar sepertinya ikut merasakan kesedihan hati gadis muda itu. “Bibi tahu betapa kamu merindukan mereka. Akan tetapi, hidup harus terus berjalan. Kamu harus kuat, Liliya. Kamu harus bisa melanjutkan hidup, walaupun tanpa kedua orang tuamu,” ujarnya sambil membelai lembut rambut gadis itu. Liliya hanya bisa menangis lebih keras dalam pelukan Bibi Belka. Keduanya berdiri di tengah kamar itu, hanya diselimuti keheningan dan isak tangis yang sesekali terdengar. “Sabar dan tabahlah, Liliya. Bibi yakin apa yang menimpamu saat ini atas kematian kedua orang tuamu. Pasti akan mendatangkan kebaikan bagimu di masa depan,” sergah Bibi Belka sambil menasihati gadis itu. Setelah beberapa lama, ketika tangis Liliya mulai mereda, Bibi Belka melepaskan pelukannya dan menatap gadis itu dengan penuh kasih. “Liliya, mulai saat ini kamu tidak akan sendirian. Bibi dan juga Igor akan selalu ada di sini untukmu. Kamu harus semangat dan fokuslah untuk membalas semuanya!” tuturnya lagi. Liliya akhirnya mengangguk lemah, meski hatinya masih terasa kosong. Dia harus kuat mulai saat ini. “Sekarang, coba istirahat. Kamu pasti sangat lelah setelah semua yang terjadi,” ucap Bibi Belka sambil tersenyum tipis. “Besok adalah hari baru untukmu. Tidurlah dulu malam ini.” Setelah berkata begitu, Bibi Belka lalu berjalan ke arah pintu, lalu menoleh lagi sebelum keluar. “Liliya, jika kamu butuh sesuatu. Jangan segan-segan untuk panggil Bibi, ya?” Liliya hanya menjawab dengan anggukan kecil. Setelah Bibi Belka menutup pintu, gadis itu kembali menatap foto orang tuanya. Hatinya kembali terasa sakit, namun kini hanya isak pelan yang tersisa. “Mama, Papa. Aku sangat merindukan kalian. Kenapa semua ini bisa terjadi? Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tuturnya dalam hati. Liliya menghapus air matanya dengan punggung tangannya dan memutuskan untuk berkeliling di dalam kamar itu. Dia ingin mengalihkan pikirannya dari kesedihan yang terus menggerogotinya. Matanya menyapu ruangan tersebut, mencoba mengenali tempat yang akan menjadi rumah barunya, meski terasa asing dan dingin. Gadis itu lalu mendekati lemari besar di sudut ruangan. Dengan rasa penasaran, Liliya membuka pintu lemari tersebut. Di dalamnya, telah tertata rapi berbagai pakaian, semuanya terlihat baru. Liliya mengernyitkan alisnya ketika melihat pakaian itu. Anehnya, ukurannya tampak sangat pas untuk tubuhnya. "Bagaimana bisa baju-baju ini sesuai dengan ukuran tubuhku?" gumam Liliya pelan, dan merasa semakin bingung. Liliya lalu meraih salah satu gaun dari gantungan dan mengamatinya lebih dekat. Bahan gaun itu terasa lembut di jari-jarinya, dan potongannya terlihat sangat sesuai dengan tubuhnya. Rasa penasaran semakin menggelitik benaknya. Liliya akhirnya memutuskan untuk mencoba salah satu pakaian tersebut. Setelah berganti pakaian, Liliya berdiri di depan cermin besar di kamar itu. Dia terdiam, memandangi bayangannya sendiri. Pakaian itu memang pas, seolah-olah dibuat khusus untuknya. Namun, hal ini malah membuatnya semakin curiga. “Bagaimana mereka bisa tahu ukuran badanku?” Liliya berbisik pada dirinya sendiri. “Ada apa ini sebenarnya? Kenapa semuanya tampak seperti sudah direncanakan sebelumnya?” Liliya pun semakin curiga dengan situasi yang terjadi kepada dirinya saat ini. Perasaan aneh mulai menjalar dalam pikiran Liliya. “Apakah ini semua kebetulan, atau ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini?” Dia tidak tahu jawabannya, namun satu hal yang pasti. Liliya akan bertanya tentang hal ini kepada Bibi Belka besok pagi. Dengan pikiran yang penuh tanda tanya, Liliya kembali berganti ke piyamanya. Rasa lelah mulai menyergap tubuhnya, mungkin karena semua emosi yang dikeluarkan olehnya hari itu. Meski pikirannya masih dipenuhi kesedihan dan pertanyaan, tubuhnya sudah tak kuat lagi. Liliya lalu berjalan perlahan menuju tempat tidur, lalu membaringkan dirinya di atas seprai putih yang terasa dingin. Kedua matanya menatap langit-langit kamar, sementara pikirannya melayang kembali ke kenangan bersama kedua orang tuanya. Sebuah kenangan manis muncul dalam benaknya, saat mereka bertiga duduk di meja makan, tertawa bersama. Kenangan itu begitu jelas, hingga dia hampir bisa mendengar suara tawa kedua orang tuanya. Namun, semua itu kini hanya tinggal bayangan. “Papa, Mama …. Kalian kenapa harus pergi begitu cepat?” bisik Liliya, air matanya kembali mengalir. Tapi kali ini, dia terlalu lelah untuk menangis lebih lama. Dalam keheningan malam, rasa kantuk akhirnya mengalahkan kesedihannya. Mata Liliya perlahan tertutup, dan tak lama kemudian, dia tertidur dengan tenang, meski hatinya masih dihantui rasa kehilangan yang mendalam. Kamar itu kini sunyi, hanya desahan lembut napas Liliya yang terdengar. Di luar, angin malam berhembus pelan, membawa ketenangan yang tak dirasakan Liliya. Malam itu, dia tertidur dengan perasaan yang berat, terjaga dalam mimpi yang tak lagi ceria, dan menyisakan satu pertanyaan besar di hatinya, bagaimana Liliya akan melanjutkan hidup tanpa kedua orang tuanya.Malam itu, di vila di pinggiran hutan di Sofia. Langit gelap tak berbintang. Suara serangga malam berganti dengan gemuruh ban kendaraan. Lampu-lampu sorot menyinari jalan menuju vila. Di ruang utama, Liliya mengenakan rompi antipeluru. Tangannya gemetar saat mengisi peluru ke senapan otomatisnya. Igor masuk dari dapur membawa dua granat asap. "Liliya, kalau semuanya gagal, larilah lewat terowongan belakang. Aku akan tahan mereka." Liliya menoleh tajam. "Jangan bicara seperti itu. Kita bertarung bersama, atau kita mati bersama." Sergei masuk dengan radio genggam. "Mereka tinggal dua kilometer. Kita punya waktu lima belas menit." Di ruang bawah tanah, Anya dan Dimitri mengatur ranjau tripwire. "Kalau mereka menembus gerbang utama, jebakan ini akan memperlambat laju pasukan itu," seru Anya. Dimitri, sambil menunduk "Anya, jika aku tak kembali dari pertempuran ini, tolong beritahu putriku di Belgrade jika ayahnya bukan pengkhianat." Anya memandangnya dalam. "Kalau kamu ingin
Tiga hari setelah pertempuran terakhir, Hujan tipis menyelimuti kota, dan udara terasa seperti masih berduka. Di dalam sebuah rumah sakit tua yang telah direnovasi secara diam-diam di luar Kota Vilnius, seorang pria terbaring dengan perban di dada dan selang oksigen di hidungnya. Suara alat detak jantung berdetak pelan, stabil. Di sampingnya, seorang pria paruh baya dengan rambut perak dan tatapan tajam sedang memeriksa hasil scan dada. "Dia stabil. Meski peluru nyaris menembus jantung, untung aku tiba tepat waktu." Nama pria itu adalah dokter Dimitri Lukanov, seorang ahli bedah toraks dan sahabat lama Igor sejak masa wajib militer. Dia kini tinggal di Lithuania, bekerja secara sembunyi-sembunyi untuk menyelamatkan korban konflik dalam bayang-bayang kekuasaan gelap Rusia. Flashback, di malam penembakan. Saat Liliya menangis di pelukan tubuh Igor yang bersimbah darah, tiba-tiba dokter Dimitri datang dengan helikopter kecil milik salah satu LSM medis. Sergei, yang sempat me
Salju turun semakin tebal malam itu. Di tengah hutan lebat di utara Karelia, suara deru kendaraan berat menggema. Konvoi hitam yang terdiri dari jip lapis baja, motor salju, dan truk pengangkut berhenti di perbatasan alami berupa tebing terjal yang mengarah ke sungai beku.Pavel Volkov berdiri di balik kaca mobilnya, didampingi Belka dan para pemimpin geng dari seluruh Rusia Tenggara, orang-orang yang dikenal kejam, haus darah, dan setia pada satu hal yaitu kekuasaan."Liliya tak bisa lari lebih jauh. Hutan ini berbatasan langsung dengan Finlandia, tapi suhu malam ini cukup membunuh siapa pun yang tak siap!" seru Belka sambil menunjuk peta digital di tangannya. "Drone kita sudah mengidentifikasi jejak kendaraan mereka di area ini."Pavel mengangguk. "Perintahkan semua regu untuk menyisir dari empat arah. Jika kalian menemukan Igor, bawa dia hidup-hidup padaku! Aku ingin dia mati perlahan. Soal Liliya, aku yang akan urus!"Belka mengangkat radio. "Semua regu, bergerak. Tembak dan lum
Keesokan harinya, salju tebal turun di Siberia, menutupi seluruh medan perang yang semakin mendekat.Liliya dan timnya telah mempersiapkan serangan besar. Makarov telah memberikan informasi mengenai satu lokasi yang menjadi titik lemah di markas besar Pavel, sebuah gudang senjata yang terletak di luar Omsk, dekat dengan perbatasan hutan belantara. Orang-orang itu berencana untuk menghancurkan gudang itu dan mengambil alih beberapa persediaan senjata dan amunisi yang bisa membantu mereka bertahan lebih lama.Namun, semua sadar jika keputusan ini sangat berisiko. "Kita tidak punya waktu lagi," ujar Mikhail, mengingatkan teman-temannya. "Pavel sudah mulai menggerakkan pasukan besar-besaran ke arah kita."Sementara di markas Pavel, informasi mengenai serangan yang akan datang semakin cepat diterima. "Komplotan itu mencoba menghancurkan gudang senjata di Omsk," lapor salah satu anak buah Pavel.Pavel hanya tertawa dingin, "Ha-ha-ha. Biarkan saja! Mereka tidak tahu jika saya telah meny
Malam hari di Moskow terasa membeku. Salju turun pelan, membalut jalanan dengan putih yang sepi. Di salah satu sudut kota, sebuah bangunan mewah berarsitektur klasik tampak remang dari luar. Di dalamnya, Tuan Pavel duduk terdiam di ruang kerja berlapis kayu mahoni, di balik jendela besar yang menghadap ke taman beku. Matanya merah, wajahnya kuyu. Di tangannya tergenggam bingkai foto putranya, Svyat Volkov, yang baru saja dikubur pagi tadi.“Kenapa harus kamu, Svyat ….” gumamnya, nyaris seperti bisikan. “Kamu satu-satunya yang membuat ayah merasa hidup.”Pavel menunduk, menangis dalam diam. Tangis seorang pria tua yang kehilangan segalanya. Namun tangis itu segera berubah menjadi dendam. Tangannya mengepal, lalu dia mengambil ponsel dari saku jasnya dan menghubungi seseorang.“Hubungkan aku dengan Liliya,” perintahnya singkat.Di sisi lain kota, Liliya sedang duduk bersama Sergei, dan dua orang teman Igor, yaitu Mikhail, dan Anton di sebuah gudang tua yang mereka gunakan sebagai temp
Sergei menyusul."Kamu mengambil sesuatu?" tanyanya sambil menarik napas.Liliya mengangkat map lusuh."Ada nama-nama. Jadwal pertemuan. Lokasi gudang senjata."Dia melirik jam di pergelangan tangan."Target berikutnya, gudang di Distrik Tagansky. Mereka akan mengirimkan senjata untuk Svyat Volkov."Sergei menghela napas."Kita benar-benar memulai perang ini!"Liliya menatap api yang membesar."Perang ini sudah dimulai bertahun-tahun lalu. Kita hanya melanjutkannya."Dua jam kemudian di Distrik Tagansky.Gudang tua berdiri megah di tengah kawasan industri yang sepi.Beberapa truk militer terparkir di luar. Penjagaan ketat.Liliya dan Sergei mengamati dari kejauhan."Penjagaan lebih ketat," bisik Sergei."Aku hitung delapan orang di luar, minimal."Liliya memutar otak cepat."Dua orang dengan peluncur granat. Empat dengan senapan otomatis. Dua dengan senjata berat di menara."Dia memandang Sergei."Aku butuh gangguan. Kamu bisa?"Sergei mengangguk."Berikan aku waktu tiga menit."Lili






