LOGINBacaan dewasa 21 tahun ke atas. Liliya Vadim, seorang mahasiswi asal Kota Kazan, Rusia. Tidak pernah menyangka akan kehilangan kedua orang tuanya karena sebuah insiden pembakaran rumah mereka oleh orang yang tak dikenal. Padahal kedua orang tuanya yang bekerja sebagai dosen ternama di kota itu, tidak memiliki musuh sedikitpun. Awalnya Liliya sangat bingung kenapa orang tuanya mengalami hal naas itu. Kesedihan yang mendalam mulai meliputinya. Apalagi saat kejadian itu berlangsung, dia sedang berada di Kota Moskow, untuk menempuh pendidikannya di salah satu universitas yang ada di sana. Liliya, yang ingin pulang ke Kota Kazan pun, segera dicegah oleh seorang pria bernama Igor, karena suatu alasan. Usut punya usut berdasarkan penyelidikan salah satu teman ayahnya, ternyata kedua orangtuanya dibunuh oleh komplotan mafia yang memiliki pengaruh besar di negara itu. Mampukah Liliya membalaskan dendamnya atas kematian kedua orang tuanya? Ataukah dia hanya bisa pasrah dan menerimanya dengan lapang dada? Bagaimana dengan para mafia yang mulai melakukan pengejaran kepada Liliya karena mereka yakin jika gadis itulah yang menyimpan dokumen penting itu. Penasaran kisahnya? Yuk, silakan dibaca! Plagiarisme melanggar undang-undang hak cipta nomor 28 tahun 2014.
View MoreKazan, sebuah kota yang indah di Rusia dengan campuran arsitektur klasik dan modern, menjadi saksi bisu dari kehidupan keluarga Tuan Vadim. Rumah mereka, yang terletak di pinggiran kota, dikelilingi pepohonan rindang dan udara sejuk yang selalu menyegarkan setelah seharian bekerja.
Tuan Vadim dan istrinya, Nyonya Disca, adalah pasangan dosen yang dihormati di Universitas Kazan. Kehidupan mereka tampak biasa-biasa saja, penuh kesibukan akademis dan rutinitas mengajar, namun penuh kebahagiaan kecil di antara mereka. Hari itu, langit Kazan berwarna abu-abu pucat, tanda hujan akan segera turun. Setelah seharian mengajar di kampus, Tuan Vadim dan Nyonya Disca pulang ke rumah mereka dengan tubuh yang lelah namun hati yang tenang. "Disca, hari ini benar-benar melelahkan. Seminar tadi lebih lama dari yang kuduga," ucap Tuan Vadim kepada istrinya sambil membuka pintu rumah mereka. "Iya, aku tahu, Vadim. Akan tetapi, sepertinya seminar itu berhasil. Para mahasiswa tampak antusias," jawab Nyonya Disca dengan senyum kecil di wajahnya. Setelah masuk, mereka mulai melepaskan jaket dan sepatu. Tuan Vadim menatap ruang tamu mereka yang hangat dan nyaman. Perabot kayu sederhana dan buku-buku yang berderet di rak menambah kesan damai di dalam rumah itu. Sejenak, kesibukan kampus yang menyita banyak waktu mereka menjadi terlupakan. Namun, kedamaian itu tak berlangsung lama. Tepat ketika mereka bersiap untuk duduk-duduk santai dan hendak menikmati teh hangat, terdengar suara keras dari arah pintu depan rumahnya. Sebelum Tuan Vadim sempat bereaksi, pintu itu terhempas dengan keras, menghantam dinding yang ada di belakangnya. Beberapa pria bertubuh besar, berpakaian serba hitam dan mengenakan topeng, masuk dengan cepat ke dalam rumahnya. "Siapa kalian? Apa yang kalian lakukan di sini? Kenapa kalian masuk ke dalam rumah saya tanpa izin?" seru Tuan Vadim dengan terkejut, sambil berdiri dengan kaget di depan istrinya. Para pria itu tidak menjawab. Mereka malah bergerak cepat, membongkar isi rumah Tuan Vadim dan Nyonya Disca, merobek buku-buku, memecahkan kaca, dan mulai melemparkan semua barang-barang ke lantai. Segala hal yang tadinya rapi dan teratur dalam hitungan menit berubah menjadi berantakan. Tuan Vadim mencoba mendekati salah satu dari mereka, namun dia malah segera didorong ke dinding dengan kasar oleh salah satu dari orang-orang itu. "Siapa kalian? Apa yang sedang kalian inginkan?" teriak Tuan Vadim dengan penuh kemarahan dan ketakutan. Salah satu dari pria itu, yang tampaknya sebagai pemimpin komplotan, mendekat ke arah Tuan Vadim. Dia membawa pistol di tangannya dan berbicara dengan suara rendah namun mengancam. "Kami tahu Anda menyembunyikan sesuatu, Tuan Vadim. Dokumen itu. Di mana Anda menyimpannya?" Tuan Vadim tertegun, dan tidak mengerti dengan tuduhan itu. "Dokumen? Apa maksud kalian? Aku tidak tahu tentang apa yang sedang kalian bicarakan!" hardiknya penuh amarah. Si pemimpin komplotan tersenyum dingin, lalu menggerakkan tangan ke arah dua anak buahnya. Mereka mendekati Nyonya Disca, yang sedang berdiri kaku di samping suaminya. Salah satu dari mereka menarik Nyonya Disca ke tengah ruangan. "Berhenti! Jangan sakiti dia!" seru Tuan Vadim panik, mencoba maju untuk melindungi istrinya, namun dua pria lainnya segera menahannya. Si pemimpin komplotan itu lalu menatap Tuan Vadim dengan mata tajam. "Aku tidak suka dibohongi, Tuan Vadim. Aku sangat yakin Anda tahu di mana dokumen itu berada! Jika Anda tidak memberitahuku, maka Anda akan kehilangan semuanya! Rumahmu! Juga termasuk istrimu!" ancam orang itu kepadanya. "Aku bersumpah, aku tidak tahu apa yang kalian sedang cari! Aku hanyalah seorang dosen! Tolong lepaskan kami!" Tuan Vadim memohon dan mencoba menjelaskan kepada mereka, namun tidak ada rasa iba di mata pria-pria itu. Lalu tiba-tiba, terdengar suara letusan pistol. Waktu terasa berhenti seketika. Nyonya Disca, yang dari tadi berdiri dengan tenang, tampak terjatuh ke lantai dengan sangat keras. Darah segar mengalir dari tubuhnya, membasahi karpet rumahnya yang terlihat bersih. "Disca!" jerit Tuan Vadim, suaranya tiba-tiba pecah saat melihat istrinya yang tergeletak tak berdaya. Pria tua itu mencoba untuk berlari ke arah istrinya, namun pria-pria bertubuh besar itu menahannya dengan kasar. Hatinya seketika hancur, tubuhnya gemetar hebat. Si pemimpin kembali menatap Tuan Vadim dengan penuh kebencian. "Ini adalah kesempatan terakhirmu, Tuan Vadim! Ayo cepat katakan! Di mana dokumen itu Anda sembunyikan?" Air mata tiba-tiba mulai mengalir di pipi Tuan Vadim, akan tetapi dia tetap teguh. Dia pun segera berbicara dengan sangat lantang, "Aku tidak tahu apa yang kalian maksud! Aku tidak menyembunyikan apapun! Kenapa kalian tidak paham juga?" Melihat keputusasaannya, si pemimpin menghela napas panjang, seakan bosan dengan segala sandiwara Tuan Vadim. "Oh, jadi Anda tetap konsisten tidak tahu apa-apa rupanya? Baiklah … kalau begitu, Anda ternyata tidak sayang dengan nyawa Anda sendiri!" hardiknya dengan wajah garang. Pria bengis itu lalu memberikan isyarat kepada anak buahnya. Tanpa banyak bicara, mereka mulai menuangkan cairan yang mudah terbakar ke seluruh ruangan. Bau menyengat bensin segera memenuhi setiap ruangan yang ada di dalam rumah itu. "Apa yang kalian lakukan? Tidak! Jangan!" teriak Tuan Vadim, kini pria itu benar-benar putus asa. Dia mencoba untuk melepaskan diri, akan tetapi kekuatannya tak sebanding dengan para komplotan tersebut. "Ini adalah akibat dari kebohonganmu, Tuan Vadim," ujar si pemimpin Komplotan dengan nada datar. Salah satu anak buahnya lalu menyalakan korek api dan melemparkannya ke arah tumpahan bensin yang banyak itu. Dalam hitungan detik, api mulai menyala, merambat cepat ke segala penjuru rumah. Asap tebal mulai memenuhi ruangan. Para pria berbaju hitam itu segera keluar dari rumah, meninggalkan Tuan Vadim di tengah kepanikan dan duka yang mendalam. Dengan tubuh gemetar, Tuan Vadim berusaha merangkak menuju tubuh istrinya yang terbaring di lantai, mencoba mengabaikan panas yang semakin menyengat. "Disca ... Disca ... bangun!" bisiknya dengan suara lirih, suaranya hampir tenggelam di antara kobaran api. Namun, tubuh Nyonya Disca tetap tak bergerak. Wajahnya yang dulu selalu menyambut Tuan Vadim dengan senyum kini tampak pucat dan dingin. Tuan Vadim merasa dunianya runtuh. Perempuan yang dicintai olehnya kini telah meninggalkannya selamanya. Asap semakin pekat, panas semakin menyengat. Tuan Vadim, dengan tubuh yang semakin lemah, sadar jika tidak ada jalan untuk keluar. Namun dia tetap berusaha menggapai tangan istrinya, meskipun kesadarannya mulai memudar. Dan di tengah kobaran api yang melahap rumah mereka, Tuan Vadim berbisik untuk terakhir kalinya, "Maafkan aku, Disca .... Aku ... aku tidak bisa melindungimu." Kota Kazan yang biasanya damai kini menjadi saksi bisu dari tragedi keluarga kecil itu. Rumah Tuan Vadim yang dulunya penuh dengan kebahagiaan kini berubah menjadi abu dan puing-puing tersapu oleh api dan keserakahan.Malam itu, di vila di pinggiran hutan di Sofia. Langit gelap tak berbintang. Suara serangga malam berganti dengan gemuruh ban kendaraan. Lampu-lampu sorot menyinari jalan menuju vila. Di ruang utama, Liliya mengenakan rompi antipeluru. Tangannya gemetar saat mengisi peluru ke senapan otomatisnya. Igor masuk dari dapur membawa dua granat asap. "Liliya, kalau semuanya gagal, larilah lewat terowongan belakang. Aku akan tahan mereka." Liliya menoleh tajam. "Jangan bicara seperti itu. Kita bertarung bersama, atau kita mati bersama." Sergei masuk dengan radio genggam. "Mereka tinggal dua kilometer. Kita punya waktu lima belas menit." Di ruang bawah tanah, Anya dan Dimitri mengatur ranjau tripwire. "Kalau mereka menembus gerbang utama, jebakan ini akan memperlambat laju pasukan itu," seru Anya. Dimitri, sambil menunduk "Anya, jika aku tak kembali dari pertempuran ini, tolong beritahu putriku di Belgrade jika ayahnya bukan pengkhianat." Anya memandangnya dalam. "Kalau kamu ingin
Tiga hari setelah pertempuran terakhir, Hujan tipis menyelimuti kota, dan udara terasa seperti masih berduka. Di dalam sebuah rumah sakit tua yang telah direnovasi secara diam-diam di luar Kota Vilnius, seorang pria terbaring dengan perban di dada dan selang oksigen di hidungnya. Suara alat detak jantung berdetak pelan, stabil. Di sampingnya, seorang pria paruh baya dengan rambut perak dan tatapan tajam sedang memeriksa hasil scan dada. "Dia stabil. Meski peluru nyaris menembus jantung, untung aku tiba tepat waktu." Nama pria itu adalah dokter Dimitri Lukanov, seorang ahli bedah toraks dan sahabat lama Igor sejak masa wajib militer. Dia kini tinggal di Lithuania, bekerja secara sembunyi-sembunyi untuk menyelamatkan korban konflik dalam bayang-bayang kekuasaan gelap Rusia. Flashback, di malam penembakan. Saat Liliya menangis di pelukan tubuh Igor yang bersimbah darah, tiba-tiba dokter Dimitri datang dengan helikopter kecil milik salah satu LSM medis. Sergei, yang sempat me
Salju turun semakin tebal malam itu. Di tengah hutan lebat di utara Karelia, suara deru kendaraan berat menggema. Konvoi hitam yang terdiri dari jip lapis baja, motor salju, dan truk pengangkut berhenti di perbatasan alami berupa tebing terjal yang mengarah ke sungai beku.Pavel Volkov berdiri di balik kaca mobilnya, didampingi Belka dan para pemimpin geng dari seluruh Rusia Tenggara, orang-orang yang dikenal kejam, haus darah, dan setia pada satu hal yaitu kekuasaan."Liliya tak bisa lari lebih jauh. Hutan ini berbatasan langsung dengan Finlandia, tapi suhu malam ini cukup membunuh siapa pun yang tak siap!" seru Belka sambil menunjuk peta digital di tangannya. "Drone kita sudah mengidentifikasi jejak kendaraan mereka di area ini."Pavel mengangguk. "Perintahkan semua regu untuk menyisir dari empat arah. Jika kalian menemukan Igor, bawa dia hidup-hidup padaku! Aku ingin dia mati perlahan. Soal Liliya, aku yang akan urus!"Belka mengangkat radio. "Semua regu, bergerak. Tembak dan lum
Keesokan harinya, salju tebal turun di Siberia, menutupi seluruh medan perang yang semakin mendekat.Liliya dan timnya telah mempersiapkan serangan besar. Makarov telah memberikan informasi mengenai satu lokasi yang menjadi titik lemah di markas besar Pavel, sebuah gudang senjata yang terletak di luar Omsk, dekat dengan perbatasan hutan belantara. Orang-orang itu berencana untuk menghancurkan gudang itu dan mengambil alih beberapa persediaan senjata dan amunisi yang bisa membantu mereka bertahan lebih lama.Namun, semua sadar jika keputusan ini sangat berisiko. "Kita tidak punya waktu lagi," ujar Mikhail, mengingatkan teman-temannya. "Pavel sudah mulai menggerakkan pasukan besar-besaran ke arah kita."Sementara di markas Pavel, informasi mengenai serangan yang akan datang semakin cepat diterima. "Komplotan itu mencoba menghancurkan gudang senjata di Omsk," lapor salah satu anak buah Pavel.Pavel hanya tertawa dingin, "Ha-ha-ha. Biarkan saja! Mereka tidak tahu jika saya telah meny
Malam hari di Moskow terasa membeku. Salju turun pelan, membalut jalanan dengan putih yang sepi. Di salah satu sudut kota, sebuah bangunan mewah berarsitektur klasik tampak remang dari luar. Di dalamnya, Tuan Pavel duduk terdiam di ruang kerja berlapis kayu mahoni, di balik jendela besar yang menghadap ke taman beku. Matanya merah, wajahnya kuyu. Di tangannya tergenggam bingkai foto putranya, Svyat Volkov, yang baru saja dikubur pagi tadi.“Kenapa harus kamu, Svyat ….” gumamnya, nyaris seperti bisikan. “Kamu satu-satunya yang membuat ayah merasa hidup.”Pavel menunduk, menangis dalam diam. Tangis seorang pria tua yang kehilangan segalanya. Namun tangis itu segera berubah menjadi dendam. Tangannya mengepal, lalu dia mengambil ponsel dari saku jasnya dan menghubungi seseorang.“Hubungkan aku dengan Liliya,” perintahnya singkat.Di sisi lain kota, Liliya sedang duduk bersama Sergei, dan dua orang teman Igor, yaitu Mikhail, dan Anton di sebuah gudang tua yang mereka gunakan sebagai temp
Sergei menyusul."Kamu mengambil sesuatu?" tanyanya sambil menarik napas.Liliya mengangkat map lusuh."Ada nama-nama. Jadwal pertemuan. Lokasi gudang senjata."Dia melirik jam di pergelangan tangan."Target berikutnya, gudang di Distrik Tagansky. Mereka akan mengirimkan senjata untuk Svyat Volkov."Sergei menghela napas."Kita benar-benar memulai perang ini!"Liliya menatap api yang membesar."Perang ini sudah dimulai bertahun-tahun lalu. Kita hanya melanjutkannya."Dua jam kemudian di Distrik Tagansky.Gudang tua berdiri megah di tengah kawasan industri yang sepi.Beberapa truk militer terparkir di luar. Penjagaan ketat.Liliya dan Sergei mengamati dari kejauhan."Penjagaan lebih ketat," bisik Sergei."Aku hitung delapan orang di luar, minimal."Liliya memutar otak cepat."Dua orang dengan peluncur granat. Empat dengan senapan otomatis. Dua dengan senjata berat di menara."Dia memandang Sergei."Aku butuh gangguan. Kamu bisa?"Sergei mengangguk."Berikan aku waktu tiga menit."Lili
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments