LOGINBeberapa saat yang lalu ketika Igor dan Liliya sampai di Kuskovo,
Mobil hitam itu berhenti di depan sebuah rumah besar bergaya klasik di distrik timur Kuskovo. Hujan baru saja reda, meninggalkan jalan setapak yang basah dengan genangan kecil yang memantulkan sisa-sisa cahaya lampu jalan. Liliya melangkah keluar dari mobil dengan ragu. Udara malam Kuskovo begitu dingin, seakan-akan angin menusuk kulitnya hingga ke tulang-tulang. Jaket tebal yang dirinya kenakan terasa tak cukup untuk menahan hawa dingin yang menyelimuti malam itu. Igor, yang sejak tadi duduk diam di kursi pengemudi, segera menyusul keluar. Pria dewasa itu berjalan mengitari mobil dan berdiri di sebelah Liliya, sesekali menatap langit yang mulai cerah setelah badai hujan singkat. "Liliya, ayo kita masuk," ujar Igor lembut, namun tegas, melihat keraguan di mata sang gadis. Liliya pun menatap rumah besar yang ada di hadapannya saat ini dengan raut wajah cemas. Rumah itu berdiri kokoh, dengan arsitektur klasik khas Rusia yang terlihat megah, namun sepi. Jendela-jendelanya besar, dengan tirai tebal yang menutup rapat, membuat suasana semakin sunyi. Cahaya redup dari dalam rumah memberikan sedikit kenyamanan, meski udara di sekitar mereka terasa dingin dan mencekam. Sebelum Liliya sempat membalas ajakan Igor, pintu depan rumah itu terbuka. Tak lama kemudian seorang wanita paruh baya muncul dari balik pintu, sosoknya terlihat tegar, namun wajahnya menyimpan sejuta kehangatan. Usianya mungkin hampir lima puluh tahun, rambutnya telah memutih sebagian, dan tubuhnya dibalut mantel tebal yang menutupi bahunya. "Liliya!" Wanita itu memanggil nama sang gadis dengan suara penuh kehangatan, sambil melangkah cepat menuju ke arah mereka. Liliya terkejut. Wanita itu tiba-tiba memeluknya erat-erat, seolah-olah sudah lama menunggu kedatangannya. Pelukan itu membawa kehangatan yang berbeda, bukan hanya dari tubuh wanita tersebut, akan tetapi dari cara dia memeluk Liliya, seakan-akan dia adalah keluarga yang telah lama hilang. "Liliya, akhirnya kita berjumpa juga. Sudah lama sekali kita tidak bertemu." Wanita itu lalu mengusap lembut punggung Liliya. Sepertinya wanita tua itu mengetahui kegelisahan yang ditampilkan oleh Liliya saat ini. Kemudian dia berkata lagi, "Aku adalah Bibi Belka, saudara jauh dari ayahmu." Liliya mencoba mengingat-ingat semuanya, namun memorinya tentang masa kecilnya tampak begitu sangat kabur. Gadis belia itu hanya mengangguk pelan, merasa sedikit bingung dengan situasi yang dialaminya saat ini, namun ada perasaan tenang yang mulai merayap di hatinya. "Masuklah, Nak, kamu jangan segan-segan begitu. Di luar dingin sekali. Bibi sudah menyiapkan makan malam untukmu." Bibi Belka segera mengajak Liliya masuk ke dalam rumah, sementara Igor menutup pintu mobil dan mengikuti di belakang mereka. Saat semua orang mulai masuk ke dalam rumah, kehangatan langsung menyelimuti tubuh Liliya. Interior rumah tersebut terasa jauh lebih nyaman daripada yang dibayangkan olehnya. Dinding-dindingnya banyak dipenuhi dengan foto-foto keluarga, ornamen-ornamen klasik, dan lampu-lampu yang memancarkan cahaya kuning yang hangat. Bau harum masakan khas Rusia segera menyambut mereka, membuat perut Liliya yang sejak tadi terasa kosong, merasakan lapar seketika. "Silakan duduk, Liliya," ujar Bibi Belka sambil menuntun gadis itu menuju meja makan yang sudah diatur rapi dengan berbagai macam hidangan. "Bibi memasak banyak makanan kesukaanmu. Pasti kamu sangat lapar setelah perjalanan panjang tadi," seru sang bibi lagi. Liliya tersenyum tipis, mulai mencoba menenangkan pikirannya yang masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Igor duduk di sebelahnya, mengawasi setiap gerakan dengan tatapan yang penuh perhatian. Liliya merasa sedikit aneh dengan perhatian yang diberikan Igor kepadanya. Gadis itu masih belum benar-benar memahami pria asing yang baru saja beberapa saat lalu ditemui olehnya. Igor lebih pendiam di meja makan, akan tetapi matanya begitu intens memandang ke arah Liliya dan Bibi Belka yang sedang bercengkrama. "Semua makanan ini untukmu, Liliya. Bibi sangat ingat, dulu saat kamu masih kecil , kamu suka sekali makan borscht dan pelmeni. Bibi juga membuat blini dan pirozhki. Semuanya kesukaanmu, kan?" Bibi Belka tersenyum hangat, mengambil sendok besar dan mulai menyendokkan sup borscht ke dalam mangkuk di depan Liliya. Gadis itu hanya mengangguk seolah-olah membenarkan semua yang dikatakan oleh Bibi Belka. “Kenapa wanita tua ini mengetahui semua makanan favoritku? Tapi kenapa aku tidak mengingatnya sama sekali?” tutur Liliya dalam hatinya. Liliya lalu memandang makanan di depannya. Sudah lama sekali dia tidak merasakan masakan seperti ini. Masakan khas Rusia yang penuh kenangan masa kecil yang mulai terlupakan. Gadis itu pun menatap Bibi Belka yang sibuk melayani mereka di meja makan, dan di dalam hatinya, Liliya merasa tersentuh. Wanita itu tampak begitu tulus menyambutnya, seolah-olah dia memang bagian dari keluarga yang sangat dirindukan. "He-he-he. Kamu pasti banyak lupa tentang masa kecilmu, ya?" Bibi Belka tertawa pelan, sambil duduk di hadapan mereka. “Iya, Bibi. Saya sama sekali tidak ingat tentang Bibi. Maaf,” ucap Liliya jujur. "Tidak apa-apa, Liliya. Waktu memang berlalu begitu cepat. Tapi Bibi masih sangat ingat saat kamu berlari-lari di sekitar rumahmu di Kota Kazan. Dulu Kamu adalah anak yang sangat ceria." Liliya terdiam. Dia tidak mengingatnya sama sekali. Mungkin sebagian besar dari kenangan masa kecilnya memang telah hilang, terkubur di balik berbagai peristiwa hidup yang menyesakkan. Namun, mendengar cerita Bibi Belka membuat hatinya sedikit menghangat. Liliya lalu mengambil sendok dan mulai makan, menikmati rasa masakan yang begitu akrab namun terasa jauh pada waktu yang bersamaan. Sementara itu, Igor duduk di ujung meja, memperhatikan keduanya dengan tatapan serius. Pria itu tampak tenang, namun di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang dipikirkannya. Matanya sesekali melirik ke arah Liliya, seolah-olah berharap gadis itu bisa cepat melupakan kesedihannya. "Liliya …." Suara Igor akhirnya terdengar, pelan namun penuh makna. "Kuskovo mungkin bisa menjadi awal yang baru untukmu. Aku dan Bibi Belka sudah merancang banyak hal untuk membantumu memulai hidup baru di sini." Liliya pun menatap Igor. Di dalam hatinya dia tahu jika kedatangannya ke Kuskovo bukan hanya tentang perjalanan biasa. Namun ada banyak hal yang telah direncanakan oleh Igor dan Bibi Belka kepadanya. Mereka ingin Liliya memulai kehidupan baru di sini, mungkin bahkan melupakan masa lalunya yang penuh dengan luka. "Ya, Liliya," tambah Bibi Belka sambil tersenyum lembut. "Kamu tidak perlu khawatir tentang apa pun. Di sini, kami akan menjagamu. Kamu adalah bagian dari keluarga ini, dan Bibi ingin melihatmu bahagia." Liliya terdiam sejenak, memikirkan kata-kata mereka. Kuskovo, dengan segala keanehannya, mulai terasa seperti tempat yang penuh dengan hal-hal baru di masa depan. Sepertinya ada benarnya apa yang dikatakan Igor dan Bibi Belka. Mungkin inilah saatnya dia harus melupakan kesedihannya, membuka lembaran baru, dan menerima kehidupan baru yang sudah direncanakan untuknya. Liliya pun menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. Malam itu, di rumah tua yang megah itu, dengan hidangan khas Rusia di hadapannya, Liliya memutuskan untuk mencoba membuka hatinya pada apa yang mungkin bisa dirinya temukan di Kuskovo.Malam itu, di vila di pinggiran hutan di Sofia. Langit gelap tak berbintang. Suara serangga malam berganti dengan gemuruh ban kendaraan. Lampu-lampu sorot menyinari jalan menuju vila. Di ruang utama, Liliya mengenakan rompi antipeluru. Tangannya gemetar saat mengisi peluru ke senapan otomatisnya. Igor masuk dari dapur membawa dua granat asap. "Liliya, kalau semuanya gagal, larilah lewat terowongan belakang. Aku akan tahan mereka." Liliya menoleh tajam. "Jangan bicara seperti itu. Kita bertarung bersama, atau kita mati bersama." Sergei masuk dengan radio genggam. "Mereka tinggal dua kilometer. Kita punya waktu lima belas menit." Di ruang bawah tanah, Anya dan Dimitri mengatur ranjau tripwire. "Kalau mereka menembus gerbang utama, jebakan ini akan memperlambat laju pasukan itu," seru Anya. Dimitri, sambil menunduk "Anya, jika aku tak kembali dari pertempuran ini, tolong beritahu putriku di Belgrade jika ayahnya bukan pengkhianat." Anya memandangnya dalam. "Kalau kamu ingin
Tiga hari setelah pertempuran terakhir, Hujan tipis menyelimuti kota, dan udara terasa seperti masih berduka. Di dalam sebuah rumah sakit tua yang telah direnovasi secara diam-diam di luar Kota Vilnius, seorang pria terbaring dengan perban di dada dan selang oksigen di hidungnya. Suara alat detak jantung berdetak pelan, stabil. Di sampingnya, seorang pria paruh baya dengan rambut perak dan tatapan tajam sedang memeriksa hasil scan dada. "Dia stabil. Meski peluru nyaris menembus jantung, untung aku tiba tepat waktu." Nama pria itu adalah dokter Dimitri Lukanov, seorang ahli bedah toraks dan sahabat lama Igor sejak masa wajib militer. Dia kini tinggal di Lithuania, bekerja secara sembunyi-sembunyi untuk menyelamatkan korban konflik dalam bayang-bayang kekuasaan gelap Rusia. Flashback, di malam penembakan. Saat Liliya menangis di pelukan tubuh Igor yang bersimbah darah, tiba-tiba dokter Dimitri datang dengan helikopter kecil milik salah satu LSM medis. Sergei, yang sempat me
Salju turun semakin tebal malam itu. Di tengah hutan lebat di utara Karelia, suara deru kendaraan berat menggema. Konvoi hitam yang terdiri dari jip lapis baja, motor salju, dan truk pengangkut berhenti di perbatasan alami berupa tebing terjal yang mengarah ke sungai beku.Pavel Volkov berdiri di balik kaca mobilnya, didampingi Belka dan para pemimpin geng dari seluruh Rusia Tenggara, orang-orang yang dikenal kejam, haus darah, dan setia pada satu hal yaitu kekuasaan."Liliya tak bisa lari lebih jauh. Hutan ini berbatasan langsung dengan Finlandia, tapi suhu malam ini cukup membunuh siapa pun yang tak siap!" seru Belka sambil menunjuk peta digital di tangannya. "Drone kita sudah mengidentifikasi jejak kendaraan mereka di area ini."Pavel mengangguk. "Perintahkan semua regu untuk menyisir dari empat arah. Jika kalian menemukan Igor, bawa dia hidup-hidup padaku! Aku ingin dia mati perlahan. Soal Liliya, aku yang akan urus!"Belka mengangkat radio. "Semua regu, bergerak. Tembak dan lum
Keesokan harinya, salju tebal turun di Siberia, menutupi seluruh medan perang yang semakin mendekat.Liliya dan timnya telah mempersiapkan serangan besar. Makarov telah memberikan informasi mengenai satu lokasi yang menjadi titik lemah di markas besar Pavel, sebuah gudang senjata yang terletak di luar Omsk, dekat dengan perbatasan hutan belantara. Orang-orang itu berencana untuk menghancurkan gudang itu dan mengambil alih beberapa persediaan senjata dan amunisi yang bisa membantu mereka bertahan lebih lama.Namun, semua sadar jika keputusan ini sangat berisiko. "Kita tidak punya waktu lagi," ujar Mikhail, mengingatkan teman-temannya. "Pavel sudah mulai menggerakkan pasukan besar-besaran ke arah kita."Sementara di markas Pavel, informasi mengenai serangan yang akan datang semakin cepat diterima. "Komplotan itu mencoba menghancurkan gudang senjata di Omsk," lapor salah satu anak buah Pavel.Pavel hanya tertawa dingin, "Ha-ha-ha. Biarkan saja! Mereka tidak tahu jika saya telah meny
Malam hari di Moskow terasa membeku. Salju turun pelan, membalut jalanan dengan putih yang sepi. Di salah satu sudut kota, sebuah bangunan mewah berarsitektur klasik tampak remang dari luar. Di dalamnya, Tuan Pavel duduk terdiam di ruang kerja berlapis kayu mahoni, di balik jendela besar yang menghadap ke taman beku. Matanya merah, wajahnya kuyu. Di tangannya tergenggam bingkai foto putranya, Svyat Volkov, yang baru saja dikubur pagi tadi.“Kenapa harus kamu, Svyat ….” gumamnya, nyaris seperti bisikan. “Kamu satu-satunya yang membuat ayah merasa hidup.”Pavel menunduk, menangis dalam diam. Tangis seorang pria tua yang kehilangan segalanya. Namun tangis itu segera berubah menjadi dendam. Tangannya mengepal, lalu dia mengambil ponsel dari saku jasnya dan menghubungi seseorang.“Hubungkan aku dengan Liliya,” perintahnya singkat.Di sisi lain kota, Liliya sedang duduk bersama Sergei, dan dua orang teman Igor, yaitu Mikhail, dan Anton di sebuah gudang tua yang mereka gunakan sebagai temp
Sergei menyusul."Kamu mengambil sesuatu?" tanyanya sambil menarik napas.Liliya mengangkat map lusuh."Ada nama-nama. Jadwal pertemuan. Lokasi gudang senjata."Dia melirik jam di pergelangan tangan."Target berikutnya, gudang di Distrik Tagansky. Mereka akan mengirimkan senjata untuk Svyat Volkov."Sergei menghela napas."Kita benar-benar memulai perang ini!"Liliya menatap api yang membesar."Perang ini sudah dimulai bertahun-tahun lalu. Kita hanya melanjutkannya."Dua jam kemudian di Distrik Tagansky.Gudang tua berdiri megah di tengah kawasan industri yang sepi.Beberapa truk militer terparkir di luar. Penjagaan ketat.Liliya dan Sergei mengamati dari kejauhan."Penjagaan lebih ketat," bisik Sergei."Aku hitung delapan orang di luar, minimal."Liliya memutar otak cepat."Dua orang dengan peluncur granat. Empat dengan senapan otomatis. Dua dengan senjata berat di menara."Dia memandang Sergei."Aku butuh gangguan. Kamu bisa?"Sergei mengangguk."Berikan aku waktu tiga menit."Lili






