Jerat Mafia Tampan

Jerat Mafia Tampan

last updateHuling Na-update : 2025-12-04
By:  Vaa_MornIn-update ngayon lang
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Hindi Sapat ang Ratings
6Mga Kabanata
2views
Basahin
Idagdag sa library

Share:  

Iulat
Buod
katalogo
I-scan ang code para mabasa sa App

Gadis itu polos? Tentu tidak. Ia bar-bar, keras kepala, dan selalu punya cara untuk berdebat ketika pemikiran orang lain tidak sesuai dengan otaknya. Namun, siapa sangka kelancangannya justru menyeretnya ke dalam genggaman seorang mafia tampan yang terbiasa mendapatkan apa pun yang ia mau. Pertanyaannya: mampukah ia bertahan, atau malah bikin sang mafia pusing tujuh keliling?

view more

Kabanata 1

Bab 1

"Jadi, apakah kau anak Sintiya?"

Hening. Tak ada jawaban. Gadis yang kini menatap kosong seakan menanggung seribu beban di pundaknya itu, tidak ada niatan untuk mengeluarkan suaranya. Bibirnya terkatup rapat sejak tadi.

"Hei," suara lain terdengar lebih tegas, menusuk keheningan. "Kami membawamu ke sini bukan untuk melihatmu membisu dan jadi batu. Katakan sesuatu."

Gadis itu akhirnya menghela napas panjang, begitu berat seolah mencoba melepaskan segala yang menekan dadanya.

Perlahan, matanya bergerak menatap satu per satu wajah yang kini mengurungnya—empat orang laki-laki dengan setelan mahal, tatapan tajam, dan aura yang jelas menandakan kedudukan mereka bukan orang sembarangan.

"Apa pentingnya sih?" suara gadis itu akhirnya keluar, meski berusaha terdengar untuk biasa saja. "Apa pentingnya aku anak Sintiya atau bukan? Kenapa kalian ingin tau sekali?"

Salah satu dari mereka akhirnya membuka suara, nadanya dalam dan berwibawa, tapi dingin.

"Penting, karena Sintiya adalah orang yang penting untuk hidup kami."

Gadis itu menghela napas panjang untuk yang kesekian kali. Matanya terpejam sejenak, menahan kekalutan yang makin menyesakkan dadanya. Jika dipikir-pikir, dia sebenarnya tidak tau kesalahannya di mana.

Tiba-tiba saja dia ditarik, dipaksa masuk ke dalam mobil mewah, kemudian terdampar di ke kediaman megah tapi menakutkan ini.

"Jawab, saya membawamu bukan untuk diam dan melamun seperti ini."

Kali ini, laki-laki paruh baya, yang mungkin berusia lebih dari kepala lima membuka suaranya. Meski tatapannya tidak setajam ketiga anaknya, namun jelas ada tatapan intimidasi di sana.

Gadis itu akhirnya mengusap rambutnya secara brutal, "Aishhh... Bisa sabar nggak Om? Pelan-pelan, aku tuh lagi pusing."

Bagaimana tidak pusing? Dia diculik tanpa penjelasan, dan dibawa ke tempat asing ini, dan barang-barangnya—tas, dompet, bahkan ponsel—semuanya dibuang ke sungai oleh anak buah mereka.

Sementara keempat pria itu semakin menatapnya tajam, namun pikiran gadis itu justru melayang entah ke mana. "Gila, cicilan ponselnya masih lima kali lagi… Gimana aku mau bayar, kalau nggak barangnya?"

Keempat pria itu semakin menatapnya tajam, seolah ingin menembus isi kepalanya yang penuh kegelisahan. Ruangan megah itu seketika menjadi semakin sempit, udara dinginnya pun terasa menyesakkan.

Namun, alih-alih ketakutan, gadis itu tiba-tiba terkekeh kecil. Suara tawanya terdengar aneh, meski sungkan, namun jelas ada kilat tantangan di sana. Ia mendongak, menatap mereka dengan sorot mata yang berbeda dari sebelumnya.

"Haruskah kita membuat kesepakatan dulu," kata gadis itu dengan senyum mengembang, "Sebelum aku menjawab semua pertanyaan kalian?"

Ketegangan seketika memuncak. Salah satu dari tiga pria muda yang duduk di sisi kanan hampir menyela dengan nada kasar, namun secepat itu pula tangannya ditahan oleh sang laki-laki paruh baya. Tatapan si pria tua itu tak lepas dari wajah gadis yang berani mengajukan syarat di tengah tekanan ini.

Hening sesaat, hanya terdengar detik jam dinding yang berputar. Hingga akhirnya, laki-laki paling tua itu bersuara, nadanya berat dan penuh wibawa.

"Kesepakatan apa yang kamu maksud?"

Gadis itu mengangkat bahunya pelan, lalu menyilangkan tangan di dada seolah sedang menghitung sesuatu di dalam kepalanya.

"Begini," ia memulai, nada suaranya tenang namun jelas. "Tas yang pihak kalian buang itu harganya seratus lima puluh ribu. Dompet sih murah, cuma dua puluh lima ribu. Tapi…" ia berhenti sebentar, menatap satu per satu wajah di depannya, lalu mengangkat satu jari, "ponsel itu lain cerita."

Tatapan keempat pria itu tak bergeming, menunggu lanjutan dari apa yang akan dibicarakan gadis itu.

Gadis itu terkekeh kecil. "Ponsel itu masih ada cicilannya. Masih lima kali lagi. Kalau dihitung lunas, harganya tiga juta. Tapi karena bentuknya cicilan, yaa… kira-kira jadi empat jutaan."

Ruangan mendadak senyap. Suasana mencekam yang tadi menekan kini berubah aneh—antara absurditas dan keseriusan. Gadis itu menatap mereka dengan ekspresi setengah kesal, setengah lagi berharap.

"Oke, ada lagi?" kata laki-laki paruh baya itu.

BrakkkKKK...

Gadis itu menggebrak meja dengan kedua tangannya, membuat cangkir porselen di atasnya bergetar keras. Keempat pria itu sontak tersentak, namun yang mereka lihat berikutnya justru membuat suasana semakin absurd.

Wajah gadis itu mendadak berubah antusias, matanya berbinar seakan baru menemukan semangat hidup. Ia mencondongkan tubuh ke depan, penuh percaya diri.

"Dan satu lagi!" serunya lantang. "Anak buah kalian tidak mengizinkanku untuk minta izin cuti kerja! Aku sudah SP tiga kali, ngerti nggak? Kemungkinan besar aku dipecat!"

Keheningan kembali menguasai ruangan, hanya saja kali ini lebih karena keterkejutan. Ketiga pria muda itu saling melirik dengan ekspresi tak percaya, sementara si laki-laki paruh baya tetap menatapnya dengan datar.

Gadis itu meremas jemarinya, lalu melanjutkan dengan penuh penekanan, "Kalau aku sampai kehilangan pekerjaan gara-gara ulah kalian, aku butuh kompensasi. Minimal, uang gaji dua bulan. Atau ya… biaya hidup sementara selama aku cari kerja lagi."

Ia bersandar ke kursinya, tersenyum puas seakan baru saja memenangkan debat besar.

Tatapan keempat pria itu berubah serentak. Sorot mata mereka tidak lagi terarah pada gadis itu, melainkan bergeser ke barisan anak buah yang sejak tadi menunduk di sudut ruangan.

Tegas, tajam, penuh tekanan. Dan yang lebih utama, mematikan.

Laki-laki paruh baya yang duduk di kursi utama akhirnya bersuara, nadanya dingin namun tenang, “Kalian membuang barang-barangnya ke sungai?”

Ruangan kembali diselimuti keheningan. Suara detik jam terdengar begitu jelas, seakan menambah beban pada para anak buah yang kini berdiri serba salah.

Salah satu dari mereka akhirnya memberanikan diri mengangkat kepala sedikit, lalu mengangguk pelan.

“Cukup sulit membawa gadis itu ke sini, Tuan,” ucapnya dengan nada hati-hati, mencoba membela diri.

Yang lain langsung menimpali cepat, “Benar, Tuan. Gadis ini terlalu brutal… membuat keributan di sepanjang jalan. Kami terpaksa mengambil langkah itu, karena gadis itu memaksa akan menghubungi seseorang.”

Seolah tidak mau kalah, gadis yang menjadi pusat perhatian itu langsung berdiri dengan hentakan kursinya yang bergeser keras. Tangannya bertolak pinggang, wajahnya penuh emosi bercampur tak percaya.

“Jelas aku harus membuat keributan!” serunya lantang, menatap ke arah anak buah yang bicara. “Baru pertama kali aku diculik seperti ini, ya aku harus teriak-teriak lah! Kalian pikir aku bakal diam manis dan meratapi nasib sial gitu? Aku bahkan sempat mikir kalian ini sindikat jual organ manusia!”

Kalimat itu meluncur begitu saja, memecahkan atmosfer tegang menjadi absurd. Tiga pria muda yang duduk di sisi kanan dan kiri spontan menoleh cepat ke arah gadis itu, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Sementara si pria paruh baya hanya mendesah panjang, seperti baru saja diberi kejutan yang sama sekali tidak ada di dalam perhitungan.

Pria paruh baya itu akhirnya mengusap wajahnya pelan, seolah menahan kesal bercampur lelah. Tatapannya kembali jatuh ke arah gadis yang masih bertolak pinggang dengan aura seenaknya, lalu tanpa basa-basi ia berkata dengan nada berat tapi jelas:

“Lima puluh juta. Tapi dengan syarat... kau harus menjawab sejujur-jujurnya.”

Seketika, mata gadis itu langsung berbinar seperti lampu LED yang baru diganti baterainya. Wajahnya yang tadi muram, penuh ketegangan dan keluhan, langsung berubah cerah bagai iklan skincare sebelum-after.

“LIMA PULUH JUTA???” serunya refleks, hampir melompat dari kursi. “Seriusan? Om jangan PHP ya! Aku tadi udah mikir bakal berakhir di meja operasi, jantung sama ginjalku dijual kiloan. Ternyata malah dapet rejeki nomplok begini… Huh, Tuhan memang punya cara lucu buat nguji kesabaran umat-Nya.”

Ketiga pria muda itu sampai nyaris jatuh dari kursinya, saling melirik dengan ekspresi was-was melihat Ayah mereka. Sementara para anak buah hanya menunduk makin dalam, berharap bisa menyatu dengan ubin marmer.

Pasalnya pria paruh baya itu, tidak pernah menyukai pembahasan yang dikemas bercanda. Tapi kenapa pria paruh baya itu tidak bereaksi marah?

"Jadi..." pria paruh baya itu hendak membuka suaranya, namun lebih cepat gadis muda di depannya.

"Perkenalkan!” katanya lantang, nyaring sampai bergema. “Keysha Elena, delapan belas tahun, siap menjawab pertanyaan apapun dengan tegas, jujur, dan tanpa ragu!”

Gadis itu lalu mendadak berdiri tegap, seolah seorang prajurit yang baru saja mendapat komando dari jenderalnya. Matanya berkilau bagai mentari pagi, senyum lebar melebar tanpa beban. Dengan penuh drama, ia mengangkat tangan memberi hormat ala militer.

Hening, semakin mencekam di Mansion itu. Namun keheningan itu akhirnya pecah ketika salah satu pria muda, yang duduk di sisi kanan, bersetelan abu-abu gelap, mencondongkan tubuhnya ke depan. Tatapannya tajam, namun nadanya ditahan agar tetap tenang.

“Baiklah,” ucapnya datar. “Kalau begitu, pertanyaan pertama. Apakah kau mengenal seorang wanita bernama Sintiya?”

Keysha, yang masih berdiri dengan pose hormat ala tentara, mendadak berkedip bingung. Tangannya perlahan turun, lalu wajahnya berkerut seakan baru saja ditanya soal rumus matematika yang tak pernah dia pelajari.

“Eh?” gumamnya. Kemudian, dengan polosnya, ia mengangkat alis dan berkata santai, “Memang siapa Sintiya itu?”

Kata-kata itu jatuh seperti bom.

Tatapan semua orang yang tadinya penuh kesabaran mendadak berubah jadi bara. Sementara para anak buah di sudut ruangan saling melirik, gelisah karena bisa merasakan badai besar yang akan meledak kapan saja.

Dan benar saja—pria paruh baya di kursi utama perlahan menegakkan punggungnya. Sorot matanya yang sejak tadi datar kini mengeras, berbahaya.

“Cukup.” Suaranya berat, nyaris bergemuruh. “Saya sudah beri kesempatan. Tapi kau masih berani mempermainkan kami?”

Udara ruangan seketika terasa lebih dingin, menyesakkan, seakan dinding megah itu menutup semakin rapat. Aura pria paruh baya itu menekan, berbeda jauh dari sikap sabarnya tadi. Kini, tatapannya bagaikan belati yang siap menebas.

Keysha, alih-alih ciut, justru mengangkat tangannya pelan sambil berlagak bingung.

“Om… serius, aku beneran nggak kenal siapa-siapa namanya Sintiya. Kalau Sintiya itu artis TokTok, selebgram, atau pedagang online yang sering live jualan kaos kaki, mungkin aku bisa tau.” Ia menepuk jidatnya sendiri, lalu mendesah dramatis. “Tapi kalau dia orang penting di hidup kalian, ya jelas aku makin nggak ngerti, kenapa urusannya jadi nyeret aku juga?”

Semua orang di ruangan itu sempat membeku.

Ucapan Keysha yang konyol justru terdengar… masuk akal. Para anak buah yang berdiri di sudut saling melirik, seakan tanpa suara mengakui bahwa gadis itu benar. Kalau bukan publik figur atau pedagang online, bagaimana bisa dia tahu siapa Sintiya? Apalagi tanpa nama lengkap?

Pria paruh baya itu terdiam lama. Jari-jarinya mengetuk pelan sandaran kursi, matanya menatap lurus pada Keysha. Hingga akhirnya, ia menghela napas berat, seperti sedang memutuskan sesuatu yang sangat ia tahan selama bertahun-tahun.

“Kalau begitu…” suaranya dalam, nyaris bergetar. “…siapa nama Ibumu?”

Ruangan hening kembali. Semua pasang mata menunggu jawaban Keysha.

Gadis itu sempat mengedip, bibirnya terbuka kecil, namun kemudian menutup rapat. Matanya menyipit, lalu senyumnya perlahan muncul—senyum getir.

“Ibu?” ia mengulang, nadanya sinis sekaligus ragu. “Maaf, Om… tapi aku nggak akan memberitahunya.”

BRAKKKK!

Meja besar di tengah ruangan langsung digebrak keras oleh salah satu pria muda, hingga gelas kristal di atasnya bergetar dan jatuh pecah. Suara dentumannya membuat jantung siapa pun berdegup lebih kencang.

Keysha spontan tersentak. Nyali yang tadi ia bangun dengan pura-pura santai seketika mencair. Wajahnya pucat, tubuhnya refleks mundur satu langkah.

Pria muda bersetelan gelap itu berdiri dengan amarah yang jelas, langkahnya mulai mendekati Keysha. “Kau berani bermain-main dengan kami?”

Keysha menelan ludah, lalu tiba-tiba suaranya pecah—lebih tinggi, lebih panik.

“Aku nggak memberitahu karena… karena aku emang nggak tau!” seru Keysha terburu-buru. “Selama ini aku besar di panti asuhan. Aku bahkan nggak pernah kenal siapa ibuku!”

Suara Keysha bergetar, matanya menajam, tapi jelas sekali ada luka di baliknya. Aura ruangan mendadak berbeda—bukan lagi penuh ancaman, melainkan diselimuti rasa penasaran dan tanda tanya yang lebih besar.

"Aku benar-benar nggak tau nama Ibuku... Sumpah deh, nggak bohong! Jangan bunuh aku ya, aku kembaliin aja deh lima puluh jutanya..." kata gadis itu sambil bergetar dan akhirnya memejamkan matanya.

Tapi tangan gadis itu, kini memegangi kalung yang di pakai dilehernya, seolah meminta kekuatan di sana. Dan kalung itulah... Yang sebenarnya membawa gadis itu hingga ke Mansion ini.

Karena kalung itu... Bukan kalung biasa!

*****

Palawakin
Susunod na Kabanata
I-download

Pinakabagong kabanata

Higit pang Kabanata

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Walang Komento
6 Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status