LOGINViona tak pernah merasakan kesulitan hidup sejak ia lahir hingga lulus kuliah. Namun, semua itu berubah drastis sejak bisnis keluarganya bangkrut dan ia dijadikan penebus hutang keluarganya pada Mafia King, Lorenzo Milano. Tak hanya berasal dari dunia yang berbeda, Viona juga terpaut cukup jauh dengan Lorenzo yang hampir menginjak kepala empat. Akankah hubungan pernikahan mereka bisa bertahan di tengah badai ujian yang menerpa? Atau Viona memilih mundur dan kabur menerima tawaran kekasih teman kuliahnya sendiri, Alexander?
View More"Ayah, kenapa tiba-tiba menyuruhku pulang? Aku sudah kehilangan tiket pesawatku untuk datang ke tempat kerjaku di Singapore!" Viona mendengus kesal karena mimpinya untuk bekerja di firma besar Singapore harus kandas karena panggilan mendadak.
Dia sudah memegang tiket dan paspor untuk segera boarding. Hanya dengan satu baris kalimat, ia mengubur mimpinya.
"Pulanglah, Viona! Rumah kita akan disita!!!"
Dan setelah mendengar ucapan serius itu, ia langsung berbalik arah. Viona pulang ke rumah.
Sang ayah, Tuan Rusdi tidak banyak bicara saat ia datang dan hanya menunjuk pada selembar kertas terlipat di atas meja.
"Apa ini?" Viona akhirnya meletakkan tas backpack berisi laptop yang merupakan nyawa di dunia pekerjaan.
Sebuah koper yang berisi baju-baju sudah tergeletak begitu saja di dekat pintu.
"Surat penting yang harusnya kamu bisa baca apa isinya!" Bentakan itu membuatnya kaget.
Tak pernah sekalipun orang tuanya membentak, apalagi berkata kasar.
"Ayah sekolahin kamu itu biar pinter. Baca!"
Tangan Viona gemetar saat membacanya. Sebuah surat perintah untuk mengosongkan rumah dalam dua puluh empat jam.
Rumah yang ia tempat sejak kecil bersama keluarga itu disita oleh keluarga Mafia, Rossi.
"Kenapa sampai mereka bisa berlaku seperti ini pada kita? Bukankah kita tidak kenal dengan orang-orang semacam mereka, Ayah?" Tanya Viona masih bingung dengan keadaan.
"Nak, keluarga kita mengalami penurunan hasil bumi dan peternakan. Kerugian sudah terjadi sejak kamu mulai kuliah dulu, tapi Ayah bilang... kamu harus selesaikan kuliah dan baru boleh diberi tahu..." Bundanya, Nyonya Marisa menangis.
Ia tak tega membayangkan apa yang akan terjadi pada putri kecil kesayangannya yang baru saja menyandang gelar sarjana.
Harusnya dia sekarang melanglang buana dan memulai petualangan baru demi masa depan cerah.
"Apa yang harus kita lakukan Ayah? Apa kita hutang pada paman dan keluarga besar saja?" Viona mencoba memberikan solusi.
Setidaknya itu yang terpikirkan olehnya sekarang.
"Tidak semudah itu, Viona! Kamu mentang-mentang jadi sarjana, saranmu seolah-olah jadi solusi dalam satu malam!" Ayahnya bertitah, "semua keluarga kita bernasib kurang lebih sama. Hanya saja, hutangku yang paling besar. Dan sebagai saudata tertua dalam keluarga... aku harus bertanggung jawab!"
"Maksud Ayah, Ayah mau menyerahkan seluruh aset pada mereka dan kita dimiskinkan?" Gadis muda belia itu mendekati sang Ayah dengan harapan akan mendapatkan jawaban atas masalah ini.
Selama ini, ayahnya adalah sosok yang dituakan di wilayahnya. Tidak ada masalah yang tidak selesai saat seseorang menghadap Tuan Rusdi.
"Bahkan jika kita melakukan itu.. tidak akan bisa menutup hutang kita!" Jawabnya datar. "Kamu kerja seratus tahun pun, rasanya belum bisa menutup setengahnya!"
Matanya tertuju pada wajah anaknya yang cantik sempurna. Ingin ia menangis, tapi tak pantas dilakukan oleh seorang lelaki.
Anaknya masih muda dan harus menelan kenyataan pahit.
BRAKKK!
Tiba-tiba pintu ruang tamu mereka didobrak oleh tendangan kuat dari luar.
"Tuan Rusdi, sudah seminggu bos kami menunggu... sampai kapan lagi semua harus diberikan kejelasan?" Sosok bertubuh kekar dan berotot layaknya binaragawan maju ke depan berhadapan langsung dengan orang tua Viona.
"Aku mohon beri aku waktu!" Suara itu kini melemah.
Tak lagi punya taring.
Viona menyaksikan betapa hal yang dihadapi keluarganya bukanlah main-main.
"Hah, sudah empat tahun, ditambah sebulan... lalu minta tambah seminggu!" Satunya lagi menyela.
"Kami sudah berapa kali ke sini, jawabannya masih saja sama!" Kata sosok yang pertama tadi bicara.
Keempat orang yang datang itu semuanya memakai baju setelan hitam.
Tak seorangpun dari keempatnya yang memiliki perangai ramah. Tak ada gurat senyum di wajahnya.
"Maafkan aku!" Tuan Rusdi berdiri kemudian mengatupkan kedua tangannya.
Lelaki sepuh itu emohon agar diberi waktu lagi.
"Hah. sudah habis waktu untukmu, Pak Tua!" Orang suruhan mafia itu menendang meja dan akhirnya terjungkal.
"Tolong! Jangan berbuat seperti ini di sini..." Tuan Rusdi lagi-lagi membenarkan posisi meja itu seperti semula.
Salah satu di antara orang suruhan itu terdengar berbicara lewat telepon dan kembali beberapa saat kemudian.
"Oke, kami akan beri waktu kalian agar tetap bisa di rumah ini... tapi dengan syarat, ada jaminan untuk diberikan!" Ia menyambungkan lidah dari hal yang disampaikan bosnya.
"Kami sudah tak punya apa-apa lagi..." Tuan Rusdi tertunduk.
Kalau tanah dan perkebunan terakhir itu diberikan, mereka tak punya lagi sumber penghasilan.
Apalagi peternakan sudah dikuasai oleh para mafia kejam dan bengis.
Keempat orang itu memandangi sekeliling isi rumah. Akhirnya mereka sepakat dan saling mengangguk.
"Baik, kita bawa saja anak perempuan ini!" Salah satunya segera menarik lengan Viona dan yang lain mengamankan agar keluarga tidak bisa menolong.
"Hentikan! Jangan bawa anakku!"
Teriakan Tuan Sardi itu hanya bagaikan kicau burung tak bermakna.
"Jangan bawa Viona, bawa saja aku!" Marisa berteriak berharap anaknya dilepaskan. Bahkan ia sempat mengejar.
"Apa yang bisa wanita tua lakukan? Kamu tidak berguna di tempat kami. Hahaahahaahaha!" Mereka tertawa dan tetap memaksa untuk membawa Viona menuju mobil Landcruis** yang terparkir gagah di depan rumah.
"Lepaskan aku! Aku bisa membayar hutang keluargaku, aku ini lulusan arsitek dari kampus terkenal. Beri aku waktu dan aku janji akan membayarnya!"
"HAHAHAHAAHA! Sudah jadi miskin tapi masih sombong gadis satu ini, hahahaha!"
"Kenapa mengkhawatirkan? Ia sudah dewasa dan pergi dalam keadaan baik-baik saja!" kata Alfonso menjelaskan.Ia paham kalau Viona menanyakannya karena ada suatu hal yang disembuyikan dari Alfonso.Untuk urusan rumah tangga, rasanya dia tak perlu tahu dan turut campur."Iya, sebaiknya mungkin aku kembali ke kamar tidur saja!" ia membawa satu lilin sebagai penuntunnya berjalan pelan-pelan ke kamar tidur.Rupanya, setelah bersusah payah menemukan kamar dengan lilin itu, ia mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari Alex."Ya ampun... aku lupa kalau aku harus mengecek lagi handphone-nya..." ia mengambilnya dari tempat di mana suaminya biasa meletakkan.Aji mumpung ketika suaminya tak berada di rumah, ia bisa menggunakannya sesuka hati."Halo, Alex?"Syukurlah pria itu bisa dihubungi dengan mudah."Viona? Kamu bisa menghubungiku juga akhirnya...""Iya, Alex. Aku..."Alex memotong pembicaraannya, "sementara ini keluarga Ivanov kebingungan karena kehilangan anak Viktoriya... dan... aku ha
"Kita ke mana, Paman Renzo?" tanya Silvano yang merasa bosan karena sepanjang jalan tiba-tiba Renzo jadi diam.Pria itu terus menyusuri jalanan yang mengarah semakin dekat dengan area tempat tinggal Silvano."Kita mau ke pegunungan...""Jangan!" ia mendadak menolak."Kenapa?" Renzo kaget."Aku lebih suka pantai dari pada gunung..." terangnya.Aneh, anak ini punya kesukaan yang sama dengan Renzo semasa kecil."Tapi suasana pantai akan sangat ramai. Sebaiknya... kita tidak ke pantai malam begini!" "Baiklah.. kita ke pegunungan saja kalau begitu! Tapi, jika ada orang yang bertanya tentangku, bilang saja Paman tidak tahu!" ia berjaga-jaga dan masih memiliki kecemasan kalau-kalau bertemu dengan body guard keluarga Ivanov nanti.Ada getaran yang tak biasa ketika ia mengatakan kalau Silvano adalah anaknya. Seolah ini adalah hal yang lumrah dan memang sewajarnya."Apa kamu tahu banyak soal orang bernama Alex itu?" Renzo sebenarnya sangat tidak menyukai pria itu lagi.Meski dulu sempat dikon
"Hey. bocah tengil...kembalikan!" teriak Viona mengejarnya sampai ke ujung rumah.Rupanya Silvano akhirnya menyerah.Ia segera menggeletakkan handphone itu ke lantai lalu berlari menjauh."Kenapa dia?" Viona tidak sadar kalau Alex masih belum menutup teleponnya."Halo? Viona?""Alex, maaf ada gangguan tadi..." kata Viona menyambung panggilan."Iya, tidak apa-apa. Ngomong-ngomong siapa yang kamu teriaki bocah tengil tadi? Apakah aku?" tanya Alex."Tentu, bukan kamu... itu adalah... itu keponakan Alfonso yang baru datang. Dia memang sering usil dan mengganguku..." jawab Viona.Mereka berdua terdiam."Kalau aku boleh jujur padamu, aku juga merasa kamu berubah, Viona!" Alex mengakuinya.Perasaan yang selama ini ia pendam, kini ia lega bisa mengungkapkannya."Berubah apa maksud kamu?""Kamu jadi lebih... berpihak pada keluarga Rossi dari pada sebelumnya!"Viona mendadak emosi saat ia dibilang lebih
"Bau? Bagiku kamu selalu wangi, Viki..." sahut Alex gemas."Alex! Menjauhlah dariku..." suara Viktoriya terdengar lebih seperti menggoda daripada menyuruh teman prianya itu pergi."Apa aku perlu membantumu mandi?""Ya Tuhan... apa kata mereka nanti kalau tahu aku mandi bersama kamu?" Viktoriya nampak malu-malu dengan godaan pacar berondongnya."Viki... kita sudah dewasa dan sama-sama tahu... aku tidak mandi bersamamu, dalam konteks ini aku hanya memandikanmu..." Alex meralat kalimatnya."Hmmm... itu lebih terdengar seperti kamu memandikan binatang peliharaanmu, Alex..."Wanita yang lebih tua darinya itu berjalan menuju kamar mandi dan sengaja menanggalkan bajunya di depan pintu."Viki... aku harus menggantikan spreimu. Sepertinya sudah kotor dan..." Alex tak mendapati sahutan karena wanita itu sudah masuk ke dalam kamar mandi dan terdengar jelas suara gemericik air.Ia dengan cekatan melepaskan sprei dan menggantinya dengan yang baru.Nampaknya sudah disiapkan oleh pembantu namun belu
"Memangnya siapa anak ini?" Viona penasaran dan mengamati dari dekat anak kecil yang pintar bicara itu.Baginya, anak ini hanyalah seperti anak pada umumnya.Tak ada tanda-tanda keistimewaan bagi Viona."Doa bukan anak sembarangan, Viona!" Alfonso memberikan clue agar wanita itu mau sejenak berpikir.Masih juga ia belum menemukan apa yang dimaksudkan oleh adik iparnya.Bukan anak sembarangan? Lantas apakah maksudnya anak dari seseorang yang Viona kenal baik?"Kamu mungkin tak akan tahu siapa orang tuanya, tapi keberadaannya benar-benar akan merubah hidupmu!" ucapnya lagi."Apa wajahnya mirip denganmu juga?" tanya Viona setelah mengamati sejenak wajah dan bentuk tulang rahangnya."Ah... jadi kamu mengira anak ini adalah anakku? Sebuah tebakan yang bagus..." Alfonso tertawa terbahak-bahak."Jangan-jangan... ini adalah anak Papamu? Sehingga kamu adalah kakaknya meski kalian pantas sebagai ayah dan anak kalau dilihat dari umur kalian!"Pernyataan Viona layaknya tebakan seorang wartawan."
"Bagaimana dengan request yang aku sampaikan padamu? Ada hasil?" tanya ayahnya."Silvano adalah benar-benar bagian keluarga Ivanov!"Ayahnya berkata, "aku tidak terkejut. Jadi, aku sudah tahu siapa ayahnya!""Sudah tahu? Apa maksudmu, Papa?"Alfonso bertanya-tanya dalam hati.Apa benar sang ayah mengetahui hal yang tim inteligent saja masih perlu waktu lagi untuk menyelidikinya? Sehebat apa instink ayahnya?"Anak itu adalah darah daging Renzo!" katanya tanpa berpikir panjang.Bak tersambar sengatan listrik jutaan Volt, Alfonso tak bisa bicara lagi.Anak Renzo? Jadi bukan dirinya saja yang menduga bagaimana bisa ada banyak kesamaan antara Renzo dengan Silvano?"Kita tidak bisa hanya berdasarkan instink saja, Papa. Kita perlu bukti yang akurat!" Alfonso mengingatkan karena tak semudah itu menunjuk seseorang menjadi anak atau ayah dari orang yang lainnya."Hah... buktikan saja dengan cara apa yang kamu percayai
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments