Sesaat kemudian, Rayna nampak sedikit kaget, menemukan sudah cukup banyak kentang terkumpul di ladang yang baru selesai dirambah Yusuf. “Lho, dapat dari mana kentang-kentang ini?” tanyanya. “Dari semak-semak yang dirambah tadi,” jawab Yusuf. “Waaah, bisa dibikin Potato Chips?” tanya Rayna dengan wajah sumringah. Yusuf mengangguk pelan dengan sedikit senyuman. Namun, melihat Rayna yang bersemangat itu, Yusuf malah terpikirkan akan sesuatu yang konyol. Sore itu, Yusuf menghentikan pekerjaannya, dan seluruh kentang-kentang itu diangkut ke rumah dengan dibantu istrinya. Namun sesampainya di rumah, Yusuf malah menebar kentang-kentang itu di lantai di salah satu sudut ruangan. Sementara dia sibuk dengan kentang itu, Rayna datang dengan membawa pisau dan sebuah baskom. “Mau apa?” tanya Yusuf. “Mau mengupas kentangnya,” balas Rayna. “Jangan. Kentang-kentang ini bagus untuk dijadikan bibit,” jelas Yusuf. “Eeeh? Jangan-jangan?” “Melihat kamu semangat begitu, sayang kalau tak dimanfaatka
Namun tiba-tiba Aisyah terpikirkan sesuatu. “Oh? Kalau begitu, masak juga tanggung jawab Abang dong? Trus kenapa Abang serahkan kentangnya ke Emak, sementara Abang ngotot tak bolehkan Aisyah bantu nyuci?” balasnya beretorika. Yusuf pun berdiri menghentikan kucekan cuciannya, sedikit mengerutkan dahi dengan wajah pangling. Tak disangkanya, adiknya itu sudah makin jeli dalam beradu argumen. Dia bingung apa harus kesal atau bangga dengan perkembangannya itu. “Sudah! Kamu bantu Mak saja di dapur sana,” timpal Yusuf, mencoba menolak kekalahannya beradu argumen dengan adiknya itu. “Eh, Bang. Kalau sampai ada yang datang lihat Abang nyuci, bisa-bisa Abang diejek lagi lho. Atau mungkin seisi rumah ini jadi gunjingan orang, seolah tak ada lagi perempuan di rumah ini,” gerutu Aisyah meninggalkannya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Apa yang dikhawatirkan Aisyah pun datang menghampiri rumah mereka. Baru saja dia meninggalkan Yusuf, sudah terdengar suara laki-laki mengucap salam di pintu depan. A
Yusuf mungkin sudah terbiasa dipandang rendah orang. Tapi dia tak pernah bisa tahan menerima ibunya dipermalukan. Apa lagi setelah melihat ibunya menangis seperti itu. Semua pengunjung warung kopi pun langsung tersentak. Begitu juga dengan Rendy yang langsung gamang melihat Yusuf dengan wajah yang begitu mengerikan. Dia sadar, tak mungkin lagi situati seperti itu akan selesai dengan pembicaraan baik-baik. “Yusuf!” tegur Joni panik. Namun dia dan juga Andra nampak terlambat untuk menghentikan Yusuf karena berada di balik meja. Untungnya dua orang pria lain sudah lebih dulu menahan Yusuf. Mereka nampak kesulitan menahannya. Sementara Yusuf tak juga berkata apa-apa. Dia sama sekali tak meminta orang-orang itu melepaskannya, hanya terus meronta berusaha membebaskan diri. “Sabar, Suf! Sabar! Jangan bikin gaduh di warung orang. Tak enak sama Pak Saidi, Suf.” Yusuf masih tak menjawab. Hanya ada suara erangan nafas yang begitu berat terdengar, karena emosi yang sudah begitu memuncak. Ke
Seperti kebanyakan laki-laki, tidur semalaman tak cukup meredakan semua rasa kesal dalam diri Yusuf. Dia masih belum bisa lepas dari apa yang terjadi di warung Pak Saidi.Sesaat sebelum habis waktu subuh, Yusuf berdiri di teras rumah di saat kabut putih masih cukup tebal menutupi pandangan. Dia berdiri di sana menatapi ladang. Meski udara di luar begitu dingin, namun dadanya masih panas.“Sudah hampir satu jam kamu berdiri sendirian di sini,” ujar Rayna tiba-tiba dari belakang.Pikiran Yusuf tersentak dan sedikit menoleh ke belakang. Namun setelah itu dia kembali menatap lurus ke arah ladang.“Aku tahu ada yang sedang kamu pikirkan. Apa terjadi sesuatu?” tanya Rayna.Yusuf pun menghela nafas sesaat. “Aku sedang memikirkan untuk membuat greenhouse untuk ladang ini. Tapi ragu, apa hitung-hitungannya masuk nanti.” Yusuf mencoba mengalihkan perhatian Rayna.“Ladang seluas ini? Bisa makan banyak biaya juga ini,” balas Rayna menimpali.“Itulah. Aku masih punya dana simpanan untuk itu. Aku p
Harmoko terkejut, nampak sangat tidak senang. Namun Rosdiana memasang wajah cuek bebeknya. HP itu kembali berdering dan tentu saja langsung ditolak oleh Rosdiana. “Kenapa kau tutup teleponnya?” tanya Harmoko lirih berbisik. “Kita sudah tak ada hubungan lagi dengannya,” jawab Rosdiana ketus memasukkan HP suaminya itu ke dalam tas. “Kita? Terserah jika kau berpikir tak ada hubungannya. Jangan bawa-bawa aku juga,” sergah Harmoko dengan suara tertahan, mencoba mengambil kembali HP itu. Rosdiana menjauhkan tasnya, dan dua orang suami istri itu mulai nampak sibuk seperti dua remaja sejoli yang sedang ribut. Begitu berhasil merebut HP itu, Harmoko langsung pergi menjauhkan dirinya dari istrinya itu. Nampak dia bersegera melakukan panggilan sembari berjalan cepat di antara keramaian di gedung pasar inpres tersebut. Tinggallah Rosdiana bersama dua orang anak buahnya yang mengiringi di belakang. Sejak Yusuf tak lagi bekerja dengan mereka, David cukup sering terpaksa ikut turun ke ladang-la
Yusuf yang kaget tak siap bereaksi, menjadi kehilangan keseimbangan. Dia tak sempat menahan gerobak yang penuh itu. Dua orang suami-istri itu, gerobak beserta muatannya, terjatuh di pinggir jalan. Beberapa ibu-ibu yang kebetulan ada di sekitar lokasi kejadian begitu terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. “Hoi, Anak Setan! Siampa! Asal saja kau bawa motor! “Tak lihat kau jalanan sempit, ramai orang berjalan kaki!” Mereka beramai-ramai meneriaki si pengendara motor. Namun tak satu pun yang tahu kalau sebenarnya si pengendara itu benar-benar sengaja menendang gerobak Yusuf. Yusuf bersegera menghampiri Rayna dan membantunya berdiri. Kedua telapak tangan Rayna lecet karena refleks untuk menahan diri saat terjatuh. Yusuf murka dan mengalihkan perhatiannya pada motor yang baru saja lewat. Motor yang sangat begitu familiar baginya. Apa lagi, si pengendar menyempatkan menoleh ke belakang, memperlihatkan seringai buruk yang penuh rasa kepuasan. “Dia lagi? Dasar kunyuk tak tahu diuntu
Esok paginya, Mak Leni langsung keluar dari rumah dan menggedor-gedor rumah anak dan menantunya itu. “Ada apa, Mak?” tanya Mila menyambut kedatangan ibunya itu. “Mana suamimu?” tanya Mak Leni lirih dengan raut wajah panik, bersegera masuk ke dalam rumah. Mila menyipitkan mata, nampak kebingungan dengan reaksi ibunya itu. Hingga Rendy pun muncul dari dalam kamar. “Ada apa Mak mencariku?” Dia keluar dengan sedikit memiringkan wajah ke arah kamar, agar pelipis matanya yang lebam di sebelah kiri tak kelihatan oleh mertuanya itu. “Apa yang sudah kamu perbuat pada Yusuf?” tanya Mak Leni. “Tak ada! Cuma iseng-iseng kecil doang,” jawab Rendy dengan raut wajah nampak tak tertarik untuk bercerita. “Iseng-iseng kecil? Kamu juga sudah menghina istri dan ibunya di warung orang, kamu sebut itu iseng-iseng kecil?” Rendy langsung terdiam, terkejut karena menyadari bahwa ternyata isu yang beredar tak hanya soal kejadian kemarin sore. “Jangan asal tuduh dulu, Mak!” Mila menyela, mencoba membel
Beberapa tetangga sempat melihat sekelumit perkelahian antara Yusuf dan Rendy. Sebagian ada yang nampak mencoba untuk menghampiri. Namun karena Yusuf langsung pergi, tetangga itu pun mengurungkan niat mereka.Lagi pula, rata-rata dari mereka sudah dengar juga isu keributan antara dua orang itu. Mereka juga tahu soal hubungan kekerabatan antara Yusuf dan Mak Leni.“Ada apa lagi ini?”“Paling ini ulah si songong itu juga. Tahu sendiri lah lagaknya. Selalu tinggi buihnya dari pada botol.”“Eh, tapi kan dia emang terbilang kaya juga di sini. Tak bisa juga dibilang buih yang tinggi dari botol.”“Kaya pun, tetap ada yang lebih kaya! Tak ada alasan untuk sombong meski kau itu berada.”“Lah, kenapa juga bentaknya ke aku?”“Sudah, sudah! Jangan sampai kalian berdua ribut-ribut juga seperti mereka.”Sementara itu, Mak Leni masih duduk terdiam di ruang tamu rumahnya. Dia masih mematung dengan pikiran kosong, hingga kemudian perhatiannya teralihkan oleh kedatangan anak dan menantunya.“Mak! Apa y