"Ini tas siapa, Rim?" tanya Mas Rian penasaran."Aku gak tau, Mas! Tas ini aku ambil di kamarnya Aisyah, kulihat tas ini menggantung di belakang pintu kamar. Karena aku penasaran, makanya aku ambil!" jawabku menjelaskan pada Mas Rian."Sepertinya ini punya, Ilham," sambar Mbak Lena."Aku rasa juga begitu," timpal Mas Rian.Aku terus berpikir, untuk apa obat sebanyak ini di taruh di kamarnya Aisyah? Obat apa ini? Obat siapa? Puluhan butir obat yang ditemukan di dalam tas kecil usang ini membuat kami bertiga terkejut dan bingung.Ada beberapa jenis obat yang ditemukan, mulai dari butiran kecil di dalam kantong plastik klip dengan jumlah yang cukup banyak, sampai obat berbentuk tablet dan kapsul yang masih utuh.Mas Rian segera berdiri sambil membawa obat di tangan kanannya, dan tas usang di tangan kirinya. Dia berjalan menghampiri Ibnu yang tengah asyik bermain dengan Aisyah. Mas Rian ingin menanyakan perihal jenis obat ini pada Ibnu. Mengingat Ibnu adalah seorang dokter, pasti dia tau d
'Gawat! Apa yang harus aku lakukan?' Batinku cemas.Mas Ilham menarik bajuku dan berusaha melepaskan semuanya."Ja-jangan, Mas!" sahutku terbata."Kenapa jangan?" bentak Mas Ilham kepadaku."Ma-maksudku, jangan di sofa ini, Mas. Di kamar aja, tapi perutku laper banget, lebih baik kita sarapan dulu. Mas juga belum sarapan, kan?" "Ah … nanti saja sarapannya, kamu layani aku dulu," ucapnya dengan nada memaksa."Tapi, Mas, aku masakin makanan kesukaanmu, tuh kan perut Mas juga bunyi, pasti keroncongan juga kan. Mas pasti lapar," sahutku sambil mendorong tubuh Mas Ilham, aku segera berdiri dan menarik tangan Mas Ilham, mengajaknya ke meja makan.Aku membuka tudung saji dan menunjukan makanan kesukaan Mas Ilham yang sudah siap santap. "Nih, Mas, aku sengaja siapin sarapan buat kamu, aku yakin kamu pasti belum sarapan," ucapku lalu mengambil piring dan ku isi nasi lengkap dengan ayam balado, capcay dan tempe gorengnya, ku sodorkan di hadapan Mas Ilham yang sudah duduk di meja makan."Ayo,
"Mas! Jangan seperti ini dong! Kamu bikin kita bingung tau' gak?"Mas Rian menoleh ke arah istrinya lalu berbicara. "Barusan, Pak Danu telpon, dia bilang … " Mas Rian menggantung ucapannya."Bilang apa, Mas?" Mbak Lena mengerutkan dahi."Mas, dipindah tugaskan ke Kalimantan untuk sementara, menggantikan kawan Mas yang cuti karena kecelakaan kerja," ucap Mas Rian dengan berat hati harus mengatakan ini padaku dan Mbak Lena."Yah … Mas, terus kita gimana?" cetus Mbak Lena keberatan."Apa tidak bisa di gantikan kawan, Mas, yang lain?" tanyaku memastikan. "Tidak bisa, Rim, tetap harus Mas yang kesana. Mas, kan yang paling senior, jadi Mas yang harus menggantikan," ujarnya menjelaskan.Mendengar penjelasannya, aku jadi was-was, ada rasa keberatan dalam hati ini. Tidak bisa dibayangkan jika Mas Rian jauh dari kami. Mas Rian adalah orang yang paling bisa kuandalkan, dia pelindung buatku dan Aisyah. Entah siapa yang bisa menolongku jika Mas Rian pindah tugas ke Kalimantan. "Kalau kamu tugas d
Ibnu wijaya, iya itulah namaku. Anak pertama dari dua bersaudara, Ibuku berdarah sunda dan Ayahku berdarah betawi. Aku dibesarkan di Banten. Bersama kedua orang tuaku, semasa SD aku memiliki teman kecil yang bernama Rima. Iya gadis cantik berhidung bangir itu selalu menjadi teman bermainku semasa kecil, terlebih Almarhum Ibu Rima dan Ibuku adalah sahabat baik.Dari kelas satu sampai kelas empat, Rima selalu menjadi juara kelas, dia anak yang pintar dan rajin. Namun sejak kelas lima sampai kelas enam Rima selalu menjadi peringkat kedua setelahku. Iya-predikat juara kelas yang diraih Rima selama empat tahun berturut-turut, berhasil ku rebut. Selama dua tahun aku menggantikan posisi Rima. Semenjak saat itu Rima jadi jarang bermain denganku. Sepertinya dia marah karena posisinya tergantikan.Jangankan untuk bermain bersama, untuk berbicara denganku saja dia enggan. Dia selalu menjauh saat aku dekati. Aku sangat merasa kehilangan sosok teman baikku.Setiap hari aku s
Pov IbnuWalaupun ku tahu, ini adalah rasa yang salah, karena Rima telah menjadi istri orang.Kulihat wajah Ilham, sepertinya dia sangat membenciku, tatapan yang sinis, sama sekali tidak bersahabat. Dengan tergesa-gesa dia mengajak Rima pulang. Ibu yang saat itu masih terlihat kangen dengan Rima, meluapkan kekesalannya terhadap Ilham. Dari dulu Ibu memang tidak suka dengan Ilham, sikapnya terhadap Ilham, membuat setiap orang yang melihatnya bisa menebak, jika Ibu memang tidak menyukainya.Setelah pertemuan pertamaku dengan Rima, hari-hariku menjadi lebih berwarna. Seperti mendapatkan semangat baru. Apalagi kulihat Ibu sangat ceria, sempat dia berkata padaku. "Nu, Ibu, masih berharap jika suatu saat, kamu dan Rima bisa berjodoh," harapan Ibu tentu sangat mustahil, Rima sudah berkeluarga, dia sudah memiliki anak dan suami, mana mungkin aku masih bisa berjodoh dengannya. Ah-Ibu memang ada-ada saja.☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆Sore itu hujan begitu de
"Kira-kira, kemana Mbak Lena, sampai tidak menjawab telponku." lagi-lagi aku bergumam dalam hati. Aku semakin gelisah, perasaan khawatir terus menghantui. Jangan sampai terjadi apa-apa dengan mereka.Berulang kali aku melihat jarum jam yang melingkar di tanganku. Belum juga ada kabar dari mereka, membuatku semakin bingung."Apa yang harus aku lakukan jika Mbak Lena tidak datang ke rumah sakit? Terus bagaimana urusanku dengan pihak kepolisian?" berbagai pertanyaan muncul di benakku."Kring! kring!"Bunyi ponsel berdering membangunkan lamunanku. Sebuah panggilan dari nomor yang tidak kukenal. Tanpa menunggu lama, aku segera mengangkatnya."Hallo, selamat pagi, dengan Ibu Rima?" Terdengar nada suara yang tegas di seberang telepon."Selamat pagi, Pak. Iya betul, saya Rima, maaf bapak siapa ya?" tanyaku memastikan."Saya dari pihak kepolisian, B
Disaat aku benar-benar sedang membutuhkan bantuan dari Mas Rian, Mas Rian malah harus tugas di kalimantan. Terus-bagaimana dengan kelanjutan sidangnya Mas Ilham, aku harus meminta bantuan pada siapa?" lirihku dalam hati."Rim, ko bengong?" Suara Mbak Lena membuyarkan lamunanku."Iya, Mbak. Aku bingung, jika Mas Rian tidak ada, lantas siapa yang akan membantuku mengurusi sidang," ucapku pada Mbak Lena."Jangan khawatir, kan ada Mbak, disini. Mbak akan selalu ada disampingmu dan Aisyah," dengan wajah menyimpan kesedihan yang sama, Mbak Lena berusaha menguatkan aku."Iya, Mbak," jawabku. Aku harus bisa berjuang, walau tanpa Mas Rian."Selamat sore Bu!" sapa dokter cantik ber hijab coklat menghampiriku dan Aisyah.Dokter yang sudah hampir satu minggu menangani Aisyah ini, terlihat datang membawa sebuah kotak."Bu, kondisi Aisyah sudah berangsur membaik, perubahannya sangat signifikan." ucap Bu dokter, membuatku sangat senang."Alha
"Mas, buka pintunya!, cepat buka pintunya, Mas!" suara lantang yang kudengar menusuk telinga.Suara yang tidak kukenal, dengan rasa penasaran aku bergegas membuka pintu, ternyata itu adalah wanita selingkuhannya Mas Ilham, dengan berkacak pinggang dia berdiri di depan pintu rumahku."Mana Mas Ilham, suruh dia keluar!" ucapnya dengan nada tinggi penuh emosi."Dia tidak ada disini, kamu tidak usah mencarinya lagi disini. Jika kamu ingin bertemu dengan dia, cari saja di penjara!" ucapku tak kalah lantang."Alah, gak usah bohong!, pasti dia bersembunyi di dalam, iya kan?, itu lihat, motornya saja terparkir di garasi!" sungutnya sambil menunjuk ke arah motor sport yang terparkir di garasi yang hanya berpagar besi, membuatnya dengan leluasa bisa melihat."Kalau kamu tidak percaya ya sudah, tapi tolong jangan pernah datang lagi ke rumah ini!""Dasar wanita kurang ajar, terserah gue mau datang kemana aja, bukan urusan lo!, minggir lo!" Dengan kasar