Rere terus terpojok hingga tubuhnya membentur meja wastafel, hingga dia tidak bisa kabur ke mana pun.
“Mas, kamu mau apa? Aku mau keluar dulu, biar kamu bisa ganti piama,” kata Rere lirih sambil berusaha mendorong tubuh tinggi besar itu. Sayangnya, usahanya tidak membuahkan hasil. Tubuh kecilnya tidak mampu menyingkirkan lelaki di hadapannya.
Kedua tangan Freza melingkari pinggang Rere, tanpa berucap sepatah kata pun. Wajah wanita itu menjadi semerah kepiting rebus. Napasnya tidak beraturan. Dia tidak mampu membayangkan apa yang akan terjadi terhadap keduanya di dalam sini. Sedangkan Freza, hanya senyum-senyum menikmati kegugupan istrinya itu.
Rere menutup matanya seketika. Dan detik berikutnya, sebuah suara ponsel dari arah kamar, membuatnya membuka mata kembali.
“Ada telepon, Mas. Jangan-jangan itu Ibu. Aku angkat dulu, ya?” Tangan Rere berusaha melepaskan rengkuhan lengan Freza di pinggangnya. Dia berlari secepatnya saat kesempatan kabur terbuka lebar. Lelaki itu terus tersenyum melihat tingkah istrinya yang sangat malu.
“Halo, Assalamualaikum,” ucap Rere saat mengangkat panggilan telepon di ponselnya.
Suara sepupunya di seberang sana terdengar parau saat mengabarkan sebuah berita, “Re, ibumu sekarang ada di rumah sakit Seger Waras. Sekarang sudah ada dokter yang menangani. Kalau bisa, kamu segera ke sini, ya?”
Tanpa pikir panjang, Rere segera menutup teleponnya dan mengajak Freza untuk menuju rumah sakit yang disebutkan sepupunya barusan. Keduanya melesat dengan motor hitam Freza, membelah jalanan kota Surabaya malam itu.
Selama perjalanan, Rere terus melantunkan doa-doa dan pengharapan agar ibunya baik-baik saja. Hingga dia tidak menyadari bahwa roda motor Freza sudah memasuki lobby rumah sakit, berhenti di depan ruang Unit Gawat Darurat (UGD).
“Re, kamu bisa turun duluan. Aku parkir motor dulu,” perintah Freza dengan nada lembut.
Tubuh Rere segera menuruni motor dan berlari menuju dalam ruang UGD. Dia mencari seseorang yang dapat dikenali. Matanya menangkap sosok sepupunya sedang duduk di salah satu kursi tunggu dengan muka sembab.
“Na, bagaimana Ibu?” Rere mendekati sepupunya, Lena, dan langsung bertanya kondisi ibunya.
Melihat Rere sudah tiba, Lena memeluknya seketika. Sepupu perempuannya itu hanya mengatakan agar Rere sabar dan banyak berdoa. Setelah keduanya duduk, Lena menceritakan kalau tadi ibunya terjatuh di kamar mandi, saat akan buang air kecil sebelum tidur. Kejadian itu membuat Bu Suli pingsan hingga dibawa ke rumah sakit. Saat ini, tim dokter sedang memeriksa Bu Suli, sehingga para keluarga diminta menunggu di ruang tunggu.
Pakde dan Bude Rere berbincang sambil berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk. Dia menghampiri dan menyalami tangan mereka. Sang bude memeluk Rere dan memberi kalimat penghiburan, agar dia terus bersabar.
Freza masuk dari pintu dan segera menghampiri keluarga Rere. Semua orang menunggu kabar dari dokter untuk tahu kondisi Bu Suli saat ini. Setelah menunggu sekitar 20 menit, seorang dokter datang menyampaikan perkembangan kondisi Bu Suli. Karena benturan yang begitu keras di bagian belakang kepala, wanita itu mengalami cedera otak yang parah.
Kondisi Bu Suli pun semakin menurun. Sehingga pihak rumah sakit menyarankan untuk memindahkan pasien ke ruang intensif, agar mendapatkan penanganan lebih lanjut dengan alat penunjang yang lebih baik.
Pihak keluarga diminta segera menandatangani sebuah surat pernyataan jika memang bersedia dengan proses pemindahan tersebut. Rere mengajak keluarganya berdiskusi sebentar. Keraguannya muncul karena dia tidak memiliki uang yang cukup besar saat ini untuk biaya rumah sakit. Bagaimana jika ibunya harus di ICU beberapa waktu ke depan, di mana harga rawat di ICU tidaklah murah.
“Re, kamu lupa, ya? Kan, ada aku, suamimu. Aku masih punya simpanan, dan juga nanti aku bisa dapat gaji dari kerjaku. Kamu putuskan apa pun demi kebaikan Ibu, dan jangan pikirkan masalah biaya. Ok, sayang?” Tangan Freza membelai lembut pipi kanan Rere yang sudah basah oleh air mata sejak tadi.
Rere akhirnya menyelesaikan semua administrasi dalam proses pemindahan ibunya ke kamar ICU. Belum sempat dia selesai berpindah dari meja administrasi, seorang dokter yang tadi mendampingi pemindahan Bu Suli datang menghampirinya.
“Bu, maaf. Kami sudah berusaha sebisa mungkin, tetapi takdir berkata lain. Belum sempat kami selesai memasang semua peralatan di ICU, kondisi pasien semakin memburuk. Dan, beliau tidak bisa diselamatkan. Semoga keluarga bisa tabah dengan berita ini.”
Berita itu hinggap di telinga Rere dengan sukses. Mentalnya langsung down, membuat lutunya lemas hingga tubuhnya roboh ke lantai rumah sakit. Keluarga yang melihat kejadian itu segera berlari menghampiri Rere dan dokter. Setelah mengulang informasi duka tersebut, sang dokter undur diri untuk menyelesaikan proses penanganan kepada Bu Suli.
***
Selesai dari pemakaman, Rere segera masuk ke kamar ibunya. Dia duduk di kasur yang biasa digunakan sang ibu. Bahkan dia sering tidur di situ, menemani ibunya. Ternyata saat dirinya diberi seorang pendamping baru, seorang lain harus diambil dari sisinya. Memang ini adalah perjalanan hidup yang harus dilalui. Hanya saja, hal ini tetap menyisakan kepedihan di hatinya.
Apalagi, ada satu ganjalan di hatinya. Sebuah permintaan sang ibu yang hingga kini belum dipenuhinya. Andai saja dia mampu memenuhinya saat Bu Suli masih hidup, maka dia pasti mampu melihat senyum kebahagiaan sang ibu.
Tubuhnya bergerak mendekat ke lemari di dekat tempat tidur ibunya. Dia membuka pintu kayu itu dan mendapati sebuah kotak yang membuatnya begitu kaget. Kotak dengan tulisan namanya. Hatinya kembali teriris, matanya panas dan air mata kembali mengumpul, lalu jatuh satu per satu hingga begitu derasnya.
Tangannya mengambil kotak dari dalam lemari Bu Suli, menyapu bagian atas kotak dengan telapak tangannya.
“Ibu, aku sudah menerima kotak ini. Kotak dengan namaku di atasnya. Terima kasih. Maaf, aku belum bisa menjadi seseorang yang Ibu inginkan.”
Dia duduk sambil membawa kotak itu menuju atas tempat tidur. Saat dibuka tutup kotak, terlihat sebuah surat yang dilipat rapi di dalamnya, di atas barang yang telah disiapkan sang ibu untuk putri semata wayangnya ini.
- Beberapa bulan kemudian -Beberapa karyawan sedang sibuk di sebuah ruangan kamar hotel untuk menyiapkan materi. Di sisi dekat jendela, Freza mengecek beberapa hal di laptopnya, di atas meja kerja.“Pastikan semua data dan bahan-bahan materi itu tidak ada yang terlewat. Kita tidak boleh gagal.” Mata Freza mengintimidasi semua yang ada di ruangan, bukan hanya dengan kata-katanya.“Ini satu-satunya kesempatanku untuk bisa menyelamatkan perusahaan,” ucapnya lirih sambil menggenggam jemarinya di atas meja. Jika dia gagal, maka perusahaan mungkin sulit diselamatkan.Tidak terasa waktu sudah sangat larut, hingga akhirnya semua persiapan selesai. Seorang karyawan menyerahkan sebuah flashdisk kepada Freza untuk presentasi keesokan harinya.Sebelum menutup harinya, Freza mengirimkan file presentasi kepada pamannya serta Gina.Ini satu-satunya jalan baginya untuk mendapatkan proyek di pertemuan penting ini.***“Masih khawatir tentang besok?” Rere datang menghampiri Freza yang sedang termangu
“Kenapa kamu menangis?” Freza berjongkok di depan Rere sambil menghapus air mata yang membuat pipinya basah.Rere tidak segera menjawab pertanyaan Freza. Dia bingung dengan jawaban yang harus dia utarakan. Jika dia mengatakan yang sebenanrnya, maka nenek Freza pasti akan semakin kesal dengannya. Apalagi, dia tidak ingin memulai pertengkaran juga antara Freza dan Rowena.“Istrimu ini tiba-tiba datang dan berlutut di depan Eyang sambil terus meminta maaf. Eyang sudah menyuruhnya bangun sejak tadi, tapi dia tidak mau.” Dengan gugup Rowena yang menjawab, karena melihat tidak ada tanggapan dari Rere.“Apa betul begitu, Re?” Freza kembali menghadap Rere yang sudah semakin tenang, dan tidak lagi menangis.“I-iya, Mas.” Rere mangangguk sambil sempat melirik ke arah Rowena. Pada saat itu, Rowena menjulurkan lidahnya ke arah Rere lalu membuang muka. Sayangnya Freza tidak tahu, karena Freza membelakangi neneknya.Kelakuan Rowena yang seperti anak kecil itu malah memancing senyum di wajah Rere. D
Sebuah tangan menyentuh pundak Kevin dengan lembut, dari arah belakang punggungnya.“Kamu kelihatannya sedang sangat stress? Pagi-pagi begini sudah mabuk.” Mata wanita itu melirik ke arah botol minuman keras yang sudah setengah kosong di atas meja.“Aku rasanya inging membunuhnya!” Kevin mengepalkan tinjunya dan menghantamkannya ke atas meja. Wajahnya di angkat untuk melihat wanita yang kini duduk di sebelahnya.“Ssst! Jangan bilang seperti itu. Tidak pantas seseorang seperti kamu melakukan hal kotor seperti itu.” Dengan tenang, wanita itu menyibak rambut Kevin yang berantakan hingga wajah.“Kenapa? Kamu tidak ingin bosmu mati ditanganku? Iya?”“Aw!” Wanita itu merintih kesakitan saat pergelangan tangannya dicengkeram dengan sangat erat oleh pria di hadapannya itu.Akan tetapi, Merlyn tidak berusaha melepaskan diri. Dia tetap duduk di tempatnya sambil sesekali mengernyit kesakitan.“Aku rela mati di tanganmu. Hanya satu yang aku tidak inginkan, yaitu kepercayaanmu yang sepertinya goya
Setelah solat subuh, Rere tidak lagi bisa tidur. Berbeda dengan suaminya yang langsung mendengkur saat menyentuh bantal.Di sudut ruangan, di atas sofa, wajahnya memandang keluar jendela. Memandangi langit yang semakin lama semakin cerah, dan rembulan pun kian menghilang.Satu jarinya memutar-mutar cincin berlian di jari manisnya. Sudah lama cincin itu hanya disimpan di dalam kotak perhiasan. Dan sekarang, dia akan terus memamerkannya ke seluruh dunia.Statusnya berubah. Lebih tepatnya statusnya kini bisa diungkapkan. Bagi orang lain mungkin statusnya baru saja berubah sejak semalam, walaupun dia sudah menikah sejak lama.Pikirannya kembali melayang ke percakapannya dengan Freza semalam.Keduanya duduk di tepi tempat tidur, dengan lengan Freza masih memegangi pundak Rere. Memastikan sang istri menatapnya saat berbicara.“Mas, maaf ya sudah membuatmu marah dan kesal. Aku menyadari banyak hal dalam beberapa hari terakhir ini.” Rere menurunkan tangan Freza dari pundaknya dan meletakkanny
“Aku tahu, Yah. Tapi karena itulah aku tidak mau bilang dari awal. Aku takut, kalian akan tetap membuatku menikah dengan wanita dari latar belakang yang sama, sesuai dengan keinginan kalian. Mungkin bukan hanya Sesil, bisa calon lainnya juga. Tapi aku tidak mau, Yah. Aku tidak mau wanita yang terbiasa dengan hidup mewahnya, sehingga kurang peka dengan lingkungan atau perasaan orang di sekitarnya.”“Bisa-bisanya kamu berkata seperti itu. Memangnya kamu sudah kenal Sesil luar dalam?” Rumma masih terus mendebat Freza.“Bukan begitu. Tetapi aku bisa tahu karakternya karena kami sudah berteman sejak kecil.”“Sudah-sudah. Kita tidak ingin semalaman berdebat bukan? Hari ini sudah cukup berat. Kita harus segera sudahi agar semuanya bisa istirahat.” Silvia segera memotong adu argumen ayah dan anak itu.“Fre, biarkan ibu dan ayah memikirkan kembali apa yang terjadi malam ini. Kamu tidak perlu menyalahkan dirimu untuk kejadian hari ini. Kita akan bicarakan lagi besok, saat pikiran kita sudah leb
Ruangan kamar hotel terasa lebih panas dari biasanya. Beberapa orang memendam emosi dalam dirinya, hingga membuat dada sesak.Air mata Silvia tak tertahankan, terus saja menetes. Beberapa kali Rumma menenangkan, atau mengganti tissue yang istrinya pegang.Rumma sudah jauh berbeda sekarang. Ada rasa lembut dan kasih saat memperlakukan istrinya, tidak sekaku dulu saat masih muda. Waktu membutnya semakin bijaksana.“Apa kamu senang, Fre? Kalau saja tadi tidak ada acara sebesar itu, ibumu pasti sudah menangis sepanjang waktu. Bahkan dia harus membawa kipas untuk menutupi mukanya tadi, kalau-kalau air matanya tiba-tiba muncul tak tertahankan.”“Maafkan aku, Yah. Maafkan aku, Bu. Aku tidak pernah berniat membuat kalian menangis. Tidak pernah.” Terdengar suara Freza agak bergetar saat mengatakannya.Dia dan Rere langsung menuju kamar orang tuanya saat acara sudah selesai. Sudah setengah jam mereka di sana, dan sejak itu pula Silvia langsung terisak tak tertahankan.“Dan bagaimana bisa bahkan