"Kau yakin Cang Sin mengalami rasa sakit di bagian bawah perut?" tanya Tabib Wu seolah ingin apa yang. dikatakan oleh Cang San adalah sebuah kekeliruan.
"Dia sendiri yang mengatakannya, dan ketika aku memeriksa suhu tubuh juga denyut nadinya, semuanya memang benar." "Aku akan memeriksanya!" "Lakukan saja, Tabib Wu. Aku akan menyusul setelah menangani sakit ibu hamil." "Pergilah!" Cang San meninggalkan Tabib Wu setelah sebelumnya pria itu menjura hormat pada pria berusia lanjut tersebut. Sepeninggal Cang San, Tabib Wu meminta salah satu murid Perguruan Angsa Putih untuk mengantarkan dirinya ke ruang bawah tanah. Penjelasan Cang San sungguh tidak ingin dipercaya oleh Tabib Wu. Akan tetapi, tidak mungkin pemimpin Perguruan Angsa Putih akan bicara sembarangan hingga Tabib Wu tergesa-gesa ingin membuktikannya sendiri. Pintu ruang bawah tanah dibuka oleh murid perguruan yang berjaga di sekitar tempat itu. Tabib Wu segera masuk dan ia melihat Cang Sin terduduk di sudut ruangan sembari berusaha untuk menahan rasa sakit. Merasa ada yang datang, Cang Sin membuka mata. Sekuat mungkin ia mengerahkan tenaga dalam yang dimilikinya untuk bisa mempertahankan diri dari rasa sakit yang terus menyerang bagian bawah perutnya tersebut. Sadar yang datang adalah Tabib Wu, pemuda itu buru-buru melakukan penghormatan meskipun posisi kakinya tidak sempurna karena harus menahan rasa sakit di bagian bawah perutnya. "Berbaringlah, aku akan memeriksa keadaan mu." Tidak peduli dengan gerakan penghormatan yang dilakukan oleh Cang Sin, Tabib Wu memberikan perintah demikian dan Cang Sin patuh. Ia segera membaringkan tubuhnya lalu dengan cepat tangan Tabib Wu bersatu dengan tangan yang lain disertai bibir yang terlihat merapal mantra dengan mata yang dipejamkan. Setelah beberapa saat melakukan hal itu, Tabib Wu mengulurkan tiga jari tangannya ke arah bagian pangkal paha Cang Sin. Tidak menyangka akan menerima itu semua, Cang Sin tidak bisa mengontrol suaranya yang keluar lantaran akibat apa yang dilakukan oleh Tabib Wu, rasa sakit yang dirasakannya semakin bertambah. Teriakan Cang Sin membuat para murid yang berjaga di luar mengarahkan pandangan mereka ke dalam. Mereka tidak tega melihat keadaan kakak seperguruan mereka tersebut, tapi apa daya, tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk menolong karena itu murni perintah dari sang guru besar. Sementara itu, setelah melakukan hal demikian pada pangkal paha Cang Sin, Tabib Wu menarik tangannya dan ia menatap wajah Cang Sin yang banjir oleh keringat. "Kenapa bisa seperti ini?" gumamnya seolah masih tidak percaya dengan hasil yang diterimanya. "Tabib, mohon ampun, apakah Tabib bisa mengatakan apa yang terjadi padaku?" Tidak peduli dengan rasa heran Tabib Wu, Cang Sin melontarkan pertanyaan, matanya menatap payah pada orang tua tersebut dan Tabib Wu juga melakukan hal yang sama padanya ketika mendengar pertanyaan itu dilontarkannya. "Kau melanggar aturan Lembah Seribu Obat, Cang Sin." Jawaban Tabib Wu membuat rasa payah Cang Sin jadi bertambah. Keringat dingin semakin mengucur membasahi wajah dan tubuh Cang Sin, hingga Tabib Wu bisa melihat, betapa kesulitannya Cang Sin menahan diri untuk tetap kokoh di antara rasa sakit yang menderanya. "Bisakah Tabib mengatakan bagian mana aku melanggar? Aku merasa tidak melakukan hal itu, tapi ayahku kukuh mengatakan bahwa, aku sudah melanggar aturan." Dengan nada suara yang bergetar, Cang Sin melontarkan pertanyaan tersebut, dan Tabib Wu. mengusap janggut putih panjangnya mendengar pertanyaan Cang Sin. "Apapun bentuknya, jika itu seorang wanita, maka kau tidak diperkenankan untuk menyentuh," jawab Tabib Wu dengan suara yang tegas. "Ayah bilang, Dewi Lembah Seribu Obat tidak pernah curang hanya untuk menjebak seseorang." "Kau merasa terjebak?" "Ya!" "Dewi Lembah Seribu Obat tidak akan pernah melakukan tindakan kotor seperti itu, Cang Sin!" "Tabib juga meragukan perkataan dariku?" "Ada bukti, aku sudah membuktikannya, tadinya aku juga tidak percaya, kau tidak mungkin melakukan pelanggaran, tapi ternyata, kau lemah juga." Telapak tangan Cang Sin mengepal mendengar apa yang diucapkan oleh sang tabib. Ingin marah, tapi ia tidak bisa melakukannya. Apa alasannya untuk marah, karena memang ia juga tidak tahu, mengapa tiba-tiba saja ia dianggap melanggar aturan. "Apakah aku terkena kutukan dari Dewi Lembah Seribu Obat?" tanyanya dengan sangat serius. "Benar." "Ayah, Kak Cung Sin dan juga Tabib mengatakan hal yang sama padaku, apa boleh buat, meskipun aku tidak mengerti mengapa bisa seperti ini, aku juga tidak bisa melakukan pembelaan." "Kau hanya bisa menjalani kutukan itu sampai kutukan itu berakhir, Cang Sin." "Sampai kapan? Aku akan melakukannya asalkan aku bisa membebaskan diri dari kutukan ini!" Sebuah harapan terlintas di benak Cang Sin, mendengar apa yang dikatakan oleh Tabib Wu, setelah beberapa saat yang lalu ia seperti kehilangan harapan. "Sampai Dewi Lembah Seribu Obat mengatakan kau berprilaku baik saat menjalani hukuman." "Dengan kata lain, aku diawasi selama masa kutukan?" "Benar!" "Aku tidak takut! Aku tidak bersalah! Aku tidak takut dengan pengawasan dari siapapun!" tegas Cang Sin dengan penuh perasaan yakin. "Bagus. Semakin patuh kau menjalani masa terhukum, semakin yakin Dewi Lembah Seribu Obat untuk membebaskan dirimu dari kutukan itu." "Apakah Tabib Wu tahu aturan selama masa terhukum?" "Kau tidak bisa berhubungan intim dengan wanita, dan tidak bisa menyentuh wanita." "Aku belum menikah, untuk apa aku melakukan hal serendah itu, meskipun aku sudah memiliki calon istri, aku tidak pernah melakukan hal yang sangat jauh, Tabib Wu." Dengan penuh rasa yakin, Cang Sin mengatakan semuanya pada Tabib Wu, karena ia selama ini juga selalu menjaga diri dengan Im Kwan sang calon istri, jadi mereka tidak pernah melakukan sesuatu yang hanya boleh dilakukan saat nanti mereka menikah saja. "Kau tidak paham dengan apa yang aku maksud, Cang Sin." Cang Sin menatap Tabib Wu setelah pria berusia lanjut itu berucap demikian. "Apakah aku salah memahami perkataan Tabib Wu?" "Ya!" "Tolong katakan padaku, di mana letak kesalahan itu, Tabib, mohon maaf jika aku terlalu banyak bertanya padamu!" Sambil menundukkan kepalanya membuat sikap hormat kembali, Cang Sin melontarkan pertanyaan itu pada sang tabib berharap Tabib Wu mau menjelaskan sesuatu yang membuat ia tidak paham dengan maksud perkataan sang tabib. "Maksudnya adalah, kutukan itu membuat kau tidak bisa berhubungan intim dengan wanita manapun termasuk calon istrimu itu!" "Aku belum menikah dengan dia, tentu saja itu tidak akan dilakukan." "Termasuk ketika kau sudah menikah!" "Apa? Tabib bercanda?" "Kutukan itu menghilangkan seluruh kejantananmu sebagai pria, Cang Sin, kau tidak bisa membuat wanita hamil jika kau berhubungan intim dengan wanita tersebut!" Wajah Cang Sin memucat ketika ia mendengar penjelasan yang diucapkan oleh Tabib Wu!Mendengar sang anak mendesaknya sedemikian rupa, Cang San menatap wajah Cung Sin dengan tatapan mata serius seolah ia tidak mau apa yang dikatakannya nanti dianggap tidak bersungguh-sungguh."Jika kau dan Cang Sin tidak memenuhi syarat, untuk sementara, aku yang akan terus memimpin perguruan ini sampai ada salah satu dari kalian yang bisa melakukannya.""Apa? Ayah tidak salah?"Cung Sin sangat terkejut dengan apa yang ia dengar dari sang ayah, hingga ia menatap ayahnya dengan dua mata melotot berharap ayahnya tidak bersungguh-sungguh saat mengucapkan kalimat tadi.Namun, dari sorot mata sampai wajahnya, Cung Sin bisa melihat, ayahnya benar-benar serius. Hingga ia murka dengan semua yang dikatakan oleh ayahnya meskipun ia masih berusaha untuk menahan kemarahannya tersebut."Ayah! Ayah jangan asal ambil keputusan. Kaisar ingin perguruan kita memimpin penyerangan dan penumpasan pada sekelompok orang-orang di aliran hitam itu, kesehatan Ayah sudah tidak baik, tidak akan bisa melakukan itu
Cang San menarik napas ketika mendengar apa yang diucapkan oleh Cung Sin, ia tidak mungkin mengatakan pada Cung Sin bahwa ia menunda pertemuan karena menunggu Cang Sin. Karena sampai saat ini pun, Cung Sin tidak tahu kalau sang adik kembar sebenarnya sedang keluar perguruan bukan di ruang khusus untuk melakukan perenungan seperti yang dikatakan olehnya.Cung Sin memang banyak mengalami perubahan, tapi secara emosional dia masih sangat meledak-ledak, berbeda dengan Cang Sin bisa mengendalikan diri, meskipun sedang marah, hal ini yang membuat aku sedikit ragu, apakah Cung Sin bisa menjadi pemimpin inti. Andai saja Cang Sin tidak terkutuk, alangkah baiknya....Hati Cang San bicara demikian sembari mengusap wajahnya dengan kasar."Keluarlah, persiapkan diri untuk pertemuan darurat."Cang San meminta Cung Sin untuk keluar dari ruangannya agar ia bisa sedikit menenangkan diri, namun, Cung Sin justru tidak bergerak sama sekali."Masih ada yang ingin kau sampaikan?" tanya Cang San pada Cung S
"Kenapa tidak bisa?" Kedua mata Cang Sin yang tadi terpejam mendadak terbuka kembali karena heran saat ia berusaha untuk melakukan komunikasi batin dengan Im Kwan ia gagal. Ini membuat Dewi Lembah Seribu Obat yang mengikutinya tersenyum."Bukankah tadi aku sudah bilang padamu, dia tidak mau lagi menunggumu?" katanya dan itu membuat Cang Sin mengeratkan kepalan tangannya mendengar semuanya.Akan tetapi, Cang Sin tidak menanggapi hal itu, melainkan kembali berusaha untuk menghubungi lagi Im Kwan secara batin.Kali ini pun, Cang Sin gagal, sehingga ia segera beralih untuk melakukan komunikasi dengan ayahnya. (Ayah, kau mendengar suaraku?)Cang Sin langsung melontarkan pertanyaan itu ketika usahanya untuk menghubungi sang ayah secara batin berhasil.(Ya. Ada apa?)Cang Sin menarik napas lega ketika ia mendengar suara ayahnya merespon perkataannya. Ia segera menceritakan semua yang ia alami termasuk situasi desa yang kacau karena diserang para perampok.Semua diceritakan oleh Cang Sin
Perempuan dari alam gaib itu menampakkan wujud di hadapan Cang Sin hingga Cang Sin sadar, Dewi Lembah Seribu Obat pasti sedang ingin berdebat dengannya. Apakah dia masih marah karena aku mengabaikan apa yang dia mau?Ada pertanyaan seperti itu dibisikkan Cang Sin di dalam hati.Meskipun heran dengan kemunculan sang perempuan gaib tersebut, Cang Sin tetap berusaha untuk bersikap tenang."Ada apa, Dewi?" tanyanya, tanpa peduli, saat ini wujud perempuan itu bisa dilihat orang lain atau hanya matanya saja. Toh, itu urusan Dewi Lembah Seribu Obat, Cang Sin tidak akan ikut campur masalah orang lain."Hentikan semua usahamu, Cang Sin!" Tanpa basa-basi, Dewi Lembah Seribu Obat langsung mengucapkan hal itu pada Cang Sin.Mendengar apa yang diucapkan oleh Dewi Lembah Seribu Obat, Cang Sin mengerutkan keningnya, merasa heran apakah perempuan dari alam gaib itu bicara seperti itu karena perdebatan mereka beberapa saat yang lalu?"Dewi, aku tahu kau sedang marah, tapi aku juga punya pikiran sen
"Siap, Kek!" sahut Cang Sin dan Yi Wen secara bersamaan.Sang kakek berjanggut panjang itu segera mengambil pisau yang sudah disiapkan untuk membuat ujung jari pasangan yang sudah ia nikahkan itu bisa dilukai."Lakukanlah sendiri!" perintahnya pada Cang Sin. Cang Sin mengangguk. Ia lalu menggoreskan ujung lancip pisau itu ke jarinya hingga jarinya terluka. Darah keluar dari sana dan sang kakek meminta Yi Wen melakukan hal yang sama pada jarinya.Tanpa banyak membantah, Yi Wen juga melakukan hal yang sama pada ujung jarinya seperti yang dilakukan oleh Cang Sin tadi. Setelah itu, ia dan Cang Sin menyatukan darah yang keluar dari luka gores dijari mereka sebelum darah itu menetes ke lantai.Terlihat mulut kakek berjanggut panjang itu komat-kamit. Setelah itu, ia membuka matanya yang tadi terpejam."Selesai!" katanya sambil menatap ke arah Cang Sin dan juga Yi Wen. Ketua kelompok Yi Wen yang sejak tadi melihat proses pernikahan antara Cang Sin dan juga Yi Wen mendekat ke arah sang kake
"Maaf, apakah aku salah dengar?" Karena tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh ketua kelompok Yi Wen, Cang Sin melontarkan pertanyaan itu pada perempuan paruh baya tersebut, sekedar untuk meyakinkan saja. "Tidak. Kau tidak salah dengar."Dengan wajah yang masih serius, sang ketua kelompok Pendekar Panah Beracun menjawab pertanyaan Cang Sin."Aku tidak bisa memberikan pernikahan seperti itu, Kak. Aku melakukan hal ini hanya ingin menekan resiko yang terjadi jika orang memberikan ilmu inti padaku."Karena Cang Sin bingung memanggil dengan sebutan apa ketua kelompok Yi Wen, sebab, beberapa kali perempuan itu protes saat Cang Sin memanggilnya dengan panggilan tertentu, Cang Sin akhirnya memanggil perempuan itu dengan sebutan kakak, dan ketua kelompok Yi Wen tidak melancarkan aksi protes seperti sebelumnya, hingga Cang Sin merasa sebutan itu mungkin diterima oleh wanita tersebut."Aku tahu, kau penganut yang menikah harus dengan seseorang yang dicintai, tapi, cinta itu akan datang