Share

Pertemuan Sepasang Kekasih

Orang yang sejak tadi mengawasi Banawa, nangkring di dahan pohon yang tinggi. Dia adalah sosok pendekar yang berpakaian serba ungu. Dengan sekali gerakan meluncur dan menginjak tanah tepat di depan Banawa.

Gerakan pendekar wanita berparas cantik itu tentu saja mengejutkan Banawa. Lebih-lebih setelah Banawa tahu sosok gadis yang berdiri di depannya, maka lebih terkejutlah dia.

”Westi Ningtyas!” teriak Banawa.

”Banawa!” gadis itu balas teriak.

Kedua pendekar itu pun saling bergerak mendekat. Saling berpelukan dengan erat. Erat sekali. Seolah-olah tak mau lepas untuk selama-lamanya.

”Aku rindu sekali, Banawa..., rindu sekali,” kata Westi Ningtyas, masih memeluk Banawa.

”Aku pun juga demikian, Westi,” balas Banawa. ”Siang malam aku selalu memikirkan dirimu. Hampir tiap malam aku sulit tidur karena rindu padamu.”

”Selama ini kamu kemana, Banawa?”

”Memperdalam tenaga dalam bersama saudara kembarku.”

”Sudah berhasil?”

”Sudah. Tapi tentang janjiku padamu itu..., ehm... maafkan. Aku belum bisa memenuhi janji dalam waktu dekat ini.”

Banawa melanjutkan, “Aku akan mengumpulkan harta yang banyak dulu. Baru setelah itu kita kawin.”

”Tak apa-apa, Banawa. Aku akan tetap sabar menunggu. Lagi pula, aku sekarang juga ada tugas penting dari kakakku.”

Westi merenggangkan pelukannya, kemudian melepaskan pelukan dari pemuda yang sudah lama menjadi kekasihnya itu. Keduanya duduk di atas batu hitam.

Saling berhadapan untuk saling menatap wajah sang kekasih. Dalam benaknya Banawa merasa bangga mempunyai kekasih secantik Westi.

Gadis tinggi semampai, hidung bangir, bibir bulat kecil, kulit halus, dan rambutnya panjang tergerai. Ikat kepala yang juga berwarna ungu lebih mempercantik penampilannya.

”Kakakmu memberikan tugas apa, Westi?”

”Kakakku luka parah dalam suatu pertarungan. Dia memberiku tugas untuk mencari penyembuhnya.”

”Kamu disuruh mencari apa?”

”Bunga Puspajingga.”

Mata Banawa terbelalak. Ini berarti dirinya mesti bersaing dengan Westi. Bahkan bukan hanya sekedar bersaing, tapi mungkin malah harus bertarung dan saling bunuh demi mendapatkan bunga sakti itu!

Jika hal tersebut harus terjadi, sungguh-sungguh sesuatu yang menyedihkan. Banawa tak sanggup membayangkan dirinya bertarung melawan Westi.

”Kenapa, Banawa? Kelihatannya kok kaget?” tanya Westi penasaran.

”Ehm..., begini Westi,” Banawa mengambil napas dalam-dalam. ”Aku juga ingin memiliki Bunga Puspajingga.”

”Untuk apa?”

”Untuk menyempurnakan tenaga dalamku. Bila ini berhasil, kamu juga memetik hasilnya.”

”Maksudmu apa, Banawa?”

Banawa pun menceritakan rencana dirinya bersama Banawi untuk menguasai harta karun yang terdapat dalam Goa Barong. Westi mengangguk-angguk tanda mengerti atas keinginan kekasihnya.

”Tapi bagaimana dengan kakakku? Dia benar-benar sangat membutuhkan bunga sakti itu,” kata Westi.

”Begini saja, Westi, bunga itu kita cari bersama-sama. Kalau sudah kita petik, kelopaknya dibagi dua. Bagimana?” tanya Banawa.

“Setuju! Pemikiranmu benar-benar hebat, Banawa! Kamu punya pemikiran yang cemerlang.”

Banawa mendekati Westi. Tangannya membelai wajah kekasih hati yang halus. Lalu keduanya berpelukan mesra.

Hari menjelang malam. Alam sekitar sudah mulai gelap karena sang mentari sudah lama tenggelam di ufuk barat. Makin malam makin gulita.

Samar-samar sinar bulan purnama menggantikan sang surya. Semakin malam, sinar bulan semakin terang benderang. Sinar terangnya menyinari jagat raya.

Banawa dan Westi berencana tidur di goa kecil yang ada di Bukit Tengkorak. Mereka berdua kelihatan sedang asyik duduk di depan perapian yang mereka buat.

Perapian kecil itu mereka buat dari ranting-ranting kering. Mereka membakar kelinci hutan yang baru saja mereka tangkap. Nyala api yang cukup besar mampu mematangkan binatang yang dibakar.

Dengan lezatnya sepasang kekasih itu menyantap daging kelinci yang sudah matang. Usai makan, mereka kembali duduk di luar goa kecil sambil menikmati keindahan malam bulan purnama.

”Westi. Apa yang kamu ketahui tentang Bunga Puspajingga?” tanya Banawa memecah kesunyian.

”Bunga Puspajingga wangi, kelopak tidak mudah layu atau runtuh dari tangkainya.”

Lanjut Westi, “Bunga sakti itu punya banyak kegunaan. Sayangnya, bunga itu tidak mudah hidup di sembarang tempat. Dia hanya bisa hidup di tempat yang tingginya ribuan tombak dari atas tanah.”

“Itu pun masih ada syarat lagi,” Westi menambahkan, “tanaman bunga itu tidak bisa tumbuh selain di tebing gunung. Sampai saat ini baru satu gunung yang diketahui telah tumbuh Bunga Puspajingga, yaitu Gunung Sumbing.”

”Bagaimana orang tahu kalau di gunung itu ditumbuhi Bunga Puspajingga?”

”Dari baunya akan ketahuan. Ketika Bunga Puspajingga mekar, dari seluruh areal gunung akan tercium bau yang harum. Mulai dari puncak gunung sampai kaki gunung akan tercium bau harumnya yang semerbak.”

”Selain itu, apakah ada bukti lain sehingga orang begitu yakin kalau di gunung itu ada Bunga Puspajingga?”

”Ada. Beberapa waktu yang lalu ada seorang pendekar dari timur berhasil memetik Bunga Puspajingga. Nama pendekar itu Garda Punjung. Waktu itu dia hanya memetik satu kumtum bunga sakti tersebut, walau sebenarnya ada dua kuntum bunga yang mekar.”

”Untuk apa Garda Punjung memetik bunga itu?”

”Tak ada yang tahu, hanya saja, kita perlu berterima kasih kepada Garda Punjung. Karena dia yang pertama mengetahui kalau ada Bunga Puspajingga di Gunung Sumbing.”

”Menurutmu, bagaimanakah bunga yang satu kuntum yang tidak dipetik Garda?”

”Kemungkinan sudah menjadi biji. Tapi ini tidak pasti, sebab bunga itu jarang menjadi biji. Oh ya, ada satu hal lagi, Puspajingga mekar hanya sekali dalam sewindu.”

”Masa?” Banawa terkejut. ”Selama delapan tahun, bunga itu hanya berbunga satu kali?”

”Benar,” jawab Westi tenang.

”Bangaimana kalau saat ini bunga itu tidak mekar?”

“Kata banyak orang, sekarang ini baunya masih semerbak, berarti masih mekar. Memangnya kenapa kalau sudah tidak mekar?”

“Bila sekarang bunga itu tidak mekar, maka sia-sialah perjalanan kita ini.”

”Jangan khawatir Banawa! Saya pernah lewat di kaki gunung itu belum lama ini. Saya mencium wangi Puspajingga.”

Makin larut malam, udara perbukitan semakin dingin. Banawa merapatkan diri pada sang kekasih. Begitu pula Westi semakin meringkuk dalam pelukan Banawa yang hangat.

”Banawa, selama setahun kita berpisah, apa kamu pernah berhubungan dengan wanita lain?” tanya Westi tiba-tiba.

”Tidak,” jawab Banawa jujur. “Memangnya ada apa?”

”Tidak ada apa-apa, hanya ingin tahu saja. Aku juga begitu. Tak ada pemuda yang kucintai selain dirimu.”

“Sejak pertama kamu memerawani aku di tengah hutan itu,” lanjut Westi, “aku bersumpah tidak akan berhubungan dengan pemuda lain.”

”Westi...,” panggil Banawa lirih sambil mempererat pelukannya pada bahu sang kekasih.

”Ada apa, Banawa?”

”Ehm..., aku....”

Agaknya Westi tahu yang dikehendaki Banawa. Dia segera memulai. Mencium bibir laki-laki idamannya dengan lembut. Lembut sekali. Membuat Banawa merasa terombang-ambing antara percaya dan tidak. Mimpi atau kenyataan?

Bukan mimpi. Ternyata kenyataan. Sebuah kenyataan yang membuat kedua sejoli itu kelelahan. Tidur pulas karena kelelahan. Tidur pulas sampai pagi.

Keesokam harinya Westi bangun terlebih dahulu. Dia segera meraih pakaiannya, berjalan menuju pancuran.

Gadis itu mandi di pancuran yang sangat dingin airnya. Membersihkan seluruh tubuh, hingga tak menyadari ketika sinar matahari menyentuh wajahnya.

Bergegas dia mengenakan pakaian yang berwarna serba ungu. Senjata andalannya berupa keris kecil diselipkan di pinggang. Keris kecil ini juga disebut cundrik.

Westi berjalan cepat ke depan goa kecil untuk membangunkan Banawa. Namun Banawa sudah tidak berada di tempat! Kemana dia? Westi mencari-cari di areal Bukit Tengkorak. Tapi tak menemukan yang dia cari.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status