”Banawa! Banawa...! Di mana kau?” Westi memanggil-manggil sang kekasih sambil berjalan sempoyongan ke arah selatan.
Dia mendekati Garjitalung dengan pandangan penuh kebencian. Bahkan ada kesan dirinya jijik melihat Garjitalung.
”Di mana Banawa? Di Mana?” tanya Westi pada Garjitalung penuh kegeraman.
“Mana aku tahu?” jawab Garjitalung acuh tak acuh. “Aku tidak tahu-menahu tentang kekasihmu yang paling kau cintai itu.”
”Bangsat tengik! Kau kan tadi bertarung melawan dia! Masa kau tidak tahu?”
”Seharusnya kau tak perlu bertanya! Kalau dua pendekar bertempur di tepi jurang, sedangkan satu dari pendekar itu hidup, maka nasib pendekar yang satunya dapat kau tebak sendiri.”
”Jadi Banawa....” ucapan Westi belum selesai, keburu dia lari ke tepi jurang. Melihat ke arah bawah yang jaraknya ratusan tombak. Melihat ke arah bawah untuk mengetahui apa yang ada di bawah sana.
Di bawah sana tergeletak sosok orang yang sangat kecil bila terlihat dari puncak gunung. Sosok berpakaian serba merah itu sangat dikenal Westi walau dalam jarak ratusan tombak.
Banawa! Ya..., tak salah lagi, dia Banawa! Banawa yang selama ini menjadi kekasih Westi. Banawa tergeletak tak bergerak. Saudara kembar Banawi itu tewas karena jatuh dari puncak Gunung Sumbing.
”Jahanam..., kau telah membunuhnya!” geram Westi. ”Berarti kau juga harus bayar nyawamu, hiaaat!”
Westi menerjang Garjitalung yang sudah berdiri kokoh dengan tombak pendek tergenggam di tangannya. Sebuah keris pendek atau disbut juga cundrik tergenggam di tangan Westi.
Cundrik sangat tajam berkelok-kelok itu pancarkan sinar ungu siap membabat leher Garjitalung. Senjata andalan Westi itu siap digunakan untuk menghabisi Garjitalung.
Garjitalung menggerakkan tombaknya untuk menangkis. Mata tombak di tangannya beradu dengan cundrik di tangan Westi. Dua senjata sakti beradu. Yang satu pancarkan sinar merah membara, sedangkan yang satu pancarkan sinar ungu disertai panas menyengat.
Dhuarrr!
Ledakan keras memekakkan telinga terdengar. Tubuh Westi terlontar ke belakang dengan lesatan cepat. Terbanting di bumi secara keras. Jatuh di tanah keras membuat seluruh persendian terasa ngilu.
Terlihat Garjitalung masih tetap berdiri kokoh di tempatnya semula. Tak bergeser sedikit pun dari tanah yang dijadikan pijakan. Garjitalung siap bertarung untuk meladeni pendekar wanita yang gagah berani.
Westi berusaha bangun, tapi gagal. Tubuhnya terjerambab ke muka. Tubuhnya jatuh tertelungkup memeluk bumi. Dengan sisa tenaga yang ada, gadis itu pelan-pelan duduk bersila di atas tanah.
Matanya terpejam untuk mengembalikan tenaga yang terkuras karena pertarungan. Matanya terpejam untuk meredam kemarahan yang sulit dikendalikan.
Dalam benaknya, Westi mengakui bahwa kalau dia beradu senjata secara langsung dengan lawan, nasibnya mungkin akan seperti Banawa. Gadis berpikir keras. Pendekar wanita yang perkasa itu berusaha mencari cara lain.
Garjitalung terbahak-bahak demi melihat lawannya berusaha bangun dengan tenaga yang tersisa.
”Sudahlah Westi..., kau lupakan saja Banawa yang sudah menghuni neraka!” kata Garjitalung. ”Mari kita jalin hubungan cinta denganku. Kau sudah tahu kan bahwa aku juga mampu memuaskanmu, hahahahaha...!”
Saking asyiknya tertawa-tawa membuat Garjitalung lupa bahwa Westi bukan pendekar kacangan. Dalam dunia persilatan Westi Ningtyas mendapat julukan Pendekar Candik Naga.
Julukan itu menggambarkan bahwa Westi suka berpakaian serba ungu. Westi juga punya senjata cundrik atau cundik yang memancarkan sinar ungu. Kesktian senjata maut ini yang akan digunakan Westi untuk menghabisi Garjitalung.
Westi mengambil butiran-butiran bulat sebesar kelereng dari balik bajunya. Butiran-butiran berwarna ungu itu dia lemparkan ke arah lawan. Tentu saja Garjitalung menangkisnya.
Dhuarr! Dhuarrr! Dhuarrrr!
Butir-butiran pun meledak begitu ditangkis dengan mata tombak. Asap mengepul memenuhi arena pertarungan. Menghalangi pandangan Garjitalung sekaligus membuat napasnya sesak, bahkan serasa sulit bernapas.
Ketika Garjitalung disibukkan dengan asap yang mengelilingi tubuhnya, Westi melemparkan cundrik ke arah Garjitalung. Cundrik berputar-putar dengan suara berdesing. Cundrik melesat cepat ke arah lawan untuk memenggal lehernya!
Dalam kegelapan asap, Gajitalung masih sempat melihat sekilas senjata tajam pendek berputar sesar. Berdesing nyaring memekakkan telinga. Melesat mengincar lehernya!
Garjitalung merunduk untuk menghindari tebasan cundrik yang berputar sesar. Cundrik melesat di atas kepalanya, kemudian terus melesat jauh. Dia menoleh ke belakang, dan tak lama kemudian cundrik itu kembali melesat ke arahnya untuk menjebol jantung.
Cepat sekali Garjitalung menjatuhkan diri ke kanan, sehingga cundrik tajam berkilat-kilat itu melesat di arah kiri tubuhnya. Terus meluncur ke arah Westi bergerak, cundrik sakti telah tergenggam di tangannya!
Westi memandang tajam ke arah Garjitalung dengan pandangan penuh ancaman. Sedangkan Garjitalung terbengong-bengong setelah menyadari bahwa Westi merupakan pendekar berilmu silat tinggi. Westi memiliki senjata sakti yang akan kembali ke pemiliknya bila gagal membunuh lawan.
Sungguh paduan yang membahayakan bagi lawan, siapa pun nama lawan itu. Lebih-lebih Westi juga memiliki senjata ledak berupa butiran ungu sebesar kelereng. Maka lengkaplah kehebatan Westi. Kehebatan Westi merupakan ancaman besar bagi keselamatan nyawa Garjitalung.
”Kau sungguh laki-laki busuk yang tidak tahu malu!” ejek Westi dengan suara bergetar menahan kemarahan. ”Kau juga tidak tahu mengucapkan terima kasih. Apa kau tak ingat sewaktu kutolong dari amukan segerombolan srigala di sungai Napuna itu?”
“Seharusnya kau berterima kasih padaku,” lanjut Westi. “Jika kau tidak bisa mengucapkan ‘terima kasih’, paling tidak kau seharusnya menutupi aib yang terjadi di antara kita.”
”Maksudku begini Westi....”
”Jangan omong dulu! Dasar laki-laki tengik, buaya murahan, tak punya harga diri lagi! Mengapa kau buka aib kita kepada Banawa? Apa kau tidak malu, ha? Baiklah, kalau kau tidak punya malu, itu urusanmu. Tapi apa kau tidak menjaga nama baikku?”
Garjitalung hanya diam membisu. Sambil berpikir dalam hati untuk melarikan diri dari pertempuran ini. Karena dirinya sudah yakin, dia tak mampu mengalahkan Westi. Kalau dia lolos tanpa luka saja sudah termasuk keberuntungan.
Sebenarnya Garjitalung juga punya senjata sakti yang dapat diandalkan. Namun dia belum tahu apa kehebatan tombak pendek itu secara keseluruhan. Senjata itu hanyalah senjata curian. Dia tidak mengetahui kehebatan tombak pendek tersebut.
”Karena kau sudah tidak punya rasa malu lagi, maka sudah sepantasnya kau mampus!”
Kembali Westi melontarkan butiran bulat sebesar kelereng ke arah Garjitalung. Disusul lemparan cundrik maut yang berputar sesar mengarah lawan. Serangan paduan antara butiran peledak dan cundrik sakti membuat Garjitalung semakin kerepotan.
Beberapa kali dia menangkis butiran peledak yang ledakannya memekakkan gendang telinga. Kerap kali pula Garjitalung berhasil menangkis cundrik dengan tombaknya.
Namun setiap kali ditangkis, cundrik kembali ke tangan Westi. Lalu senjata sakti itu dilemparkan lagi ke arah lawan.
Garjitalung melentingkan tubuh tinggi-tinggi menghindari cundrik yang terbang ke arahnya. Cundrik menghantam batu di belakang Garjitalung hingga terjadi ledakan keras sekali.
Batu pecah berkeping-keping ke segala penjuru. Sebagian pecahan menghantam punggung Garjitalung hingga membuatnya terjungkal ke depan.
Ketika tubuh itu terjungkal, cundrik melesat dengan sangat cepat dari belakang. Menggores cukup dalam lambung kiri Garjitalung.
Cundrik sakti melesat kembali ke genggaman Westi. Senjata mematikan itu siap digunakan untuk menghabisi lawan.
***
Pendekar muda itu merasakan nyeri pada lambung kiri, sedangkan darah menetes dari luka goresan. Secara naluri tangan kirinya memegangi luka, agar darah berhenti mengalir. Dia berdiri dengan susah payah sambil bersiul keras sekali.Dari arah bawah berjumpalitan sepuluh anak buah Garjitalung yang berpakaian serba hitam. Di tangan mereka tergenggam golok tajam berkilat-kilat kena sinar matahari.”Habisi sundal ini, cepat!” perintah Garjitalung sambil matanya memandang segala penjuru. ”Jangan sampai gagal memusnahkan perempuan itu!”Anak buah Garjitalung yang berjumlah sepuluh orang maju serentak. Golok mereka mengarah satu tujuan, yakni tubuh pendekar yang berpakaian serba ungu. Namun para pengeroyok agaknya tak menyadari siapa lawan mereka.Mereka tidak menyadari bahwa yang mereka lawan pendekar pilih tanding. Dengan sekali lontaran dari tangan kiri, empat butiran peledak melesat ke arah mereka. Empat butir menghantam dada empat peng
Lagi-lagi terjadi ledakan. Pisau Liman Kuring melesat kembali ke genggaman Kijar. Sedangkan tubuh Westi masih meluncur ke dasar jurang. Dalam keadaan terdesak, Westi tancapkan cundrik ke dinding tebing. Cundrik menancap pada batu, sehingga dapat digunakan Westi untuk bergelantungan.Westi melihat di samping kanannya ada pohon cukup besar yang akarnya mencengkeram kuat pada batu dinding tebing. Dia lepas selendang yang melingkari di pinggang dengan tangan kiri. Selendang ungu dilemparkan ke batang ponon dengan gunakan tenaga dalam.Ujung selendang mengikat erat pada batang pohon. Westi segera mencabut cundrik sekaligus menarik selendang dengan tangan kiri. Cepat sekali tubuh Westi melesat ke arah pohon. Dengan ringannya dia telah berdiri di atas batang pohon itu.Wajah Westi menengadah ke atas. Pada jarak puluhan tombak di atasnya, terlihat Bunga Puspajingga. Sedangkan di puncak gunung sana masih terlihat sosok Kojar yang berdiri dengan congkaknya. Kojar merasa t
Kojar cepat menancapkan pisau saktinya ke dinding tebing sehingga dirinya tidak jauh turun dari puncak gunung. Di dekatnya ada beberapa utas akar pohon yang menjalar. Kojar segera mengikatkan satu utas akar ke tubuhnya. Dia biarkan tubuhnya bergelantungan untuk sementara waktu sambil beristirahat karena kelelahan. Westi pun membiarkan dirinya tergeletak beberapa saat karena kelelahan setelah bertempur sekian lama. Dia tatap Bunga Puspajingga yang berdiri kokoh di tebing Gunung Sumbing. Dalam keadaan sangat lelah, Westi melihat ke puncak gunung. Terihat dua sosok pendekar. Satu pendekar berusia tua membawa tongkat lusuh dari kayu jati. Sedangkan yang satunya adalah sosok pendekar muda berpakaian serba putih mengenakan ikat pinggang berbentuk kepala rajawali. Westi Ningtyas tersentak kaget ketika dia ingat sosok pendekar berpakaian serba putih itu. Dia terbangun dari sikap terlentangnya. Dia mendongakkan ke atas. Bertatapan dalam jarak cukup jauh dengan
”Ilmu Cicak Merayap. Sudah kupelajari sejak puluhan tahun silam,” jawab Ki Panjong. ”Ayo kita ambil biji dan Bunga Puspajingga bersama-sama. Sebelum kedahuluan pendekar lain!” ”Bersama-sama? Mana mungkin, Ki? Saya tidak bisa merayapi tebing ini sepertimu,” tanya Suro disertai rasa heran yang tak bisa ditahan. ”Untuk itu, kau harus temukan akal.” ”Akal...? Akal bagaimana, Ki? Dalam keadaan seperti ini masih harus berpikir keras?” ”Hanya ada satu cara.” ”Apa, Ki?” ”Kau naik di punggungku!” Suro pun menurut pemikiran Ki Panjong. Seumur-umur baru kali ini dia digendong pada usia dewasa. Digendong oleh seorang kakek-kakek lagi! Akan terasa aneh dan di luar nalar. Mestinya yang menggendong itu yang muda. Yang muda menggendong kakek-kakek karena sudah renta dan lemah. Ini malah sebaliknya, yang kakek-kakek tua menggendong anak muda yang gagah perkasa. ”Tunggu! Kalian tak bisa memetik bunga itu begitu saja!” sentak West
”Hai, gadis muda! Jangan mencoba berbohong padaku! Dari ceritamu, aku menduga kamu tahu banyak tentang Garjitalung. Berarti kamu tahu di mana dia sekarang.””Aku tidak bohong. Aku berkata apa adanya! Kalau tidak percaya, tanya saja pada orang lain!””O..., agaknya kamu belum tahu siapa aku, gadis manis. Sehingga kamu berani membentak seperti itu. Dengar baik-baik, aku bernama Lodra Dahana,” pengakuan pendekar muda itu.“Aku anak Raja Taweng Dahana dari Kerajaan Garbaloka,” Lodra Dahana menyebutkan asal-usulnya. “Kuharap kamu jawab sekali lagi tentang keberadaan Garjitalung yang brengsek itu!””Lodra! Aku tak pandang siapa dirimu. Biar kamu anak raja atau hanya seorang pengemis, bagiku sama saja. Aku sudah menjawab apa yang kamu tanyakan secara jujur. Sekarang minggirlah! Aku akan lewat....””Tidak bisa! Kamu boleh lewat bila dapat menunjukkan jalan menuju Sanggar Teratai
”Oh..., ehm..., anu, tidak.aku..., tidak..., tidak sedang memikirkan apa-apa kok!” Westi bingung untuk menjawab pertanyaan Radipta.”Sebaiknya kamu istiharat dan tidur di sini saja! Besok kamu pulang setelah fajar menyingsing!””Tapi..., aku tak berani tidur di sini sendirian,” alasan Westi sebagai ‘undangan’ terselubung.“Aku akan menungguimu di sini. Tidurlah! Aku akan berjaga-jaga di sini.””Terima kasih, Radipta. Terima kasih atas pertolonganmu.”Westi memandang ke langit. Menatap bulan yang memancarkan sinar indahnya ke seantero jagat. Keindahan sinar rembulan menebarkan suasana terang yang membuat hati senang.Pagi hari yang cerah Westi terbangun dari tidur nyenyaknya. Radipta tidak berada di sampingnya lagi. Telah meneruskan perjalanan ke Sanggar Teratai Perak. Namun Westi tidak merasakan kesal atau marah.Dia menyadari bahwa Radipta tidak ada hubungan khus
Wandasa sebenarnya merasa keder juga menghadapi Suro. Tapi sebagai laki-laki yang sudah kondang karena kekejaman itu merasa malu kalau harus meninggalkan arena pertarungan. Apalagi ketiga anak buahnya sudah tewas di tangan lawan.Maju tatu, mundur ajur. Kalau maju, mungkin dirinya tidak akan mampu mengalahkan Suro. Tapi kalau mundur, apa kata orang nanti? Dirinya akan menjadi bahan olok-olokan di dunia persilatan.Mereka pasti akan menganggapnya sebagai pendekar laki-laki yang bermental seperti banci! Belum lagi kalau didengar anak buahnya. Wah, pasti mereka tidak akan lagi menghormatinya!”Hebat! Kamu memang hebat, Suro!” kata Wandasa. ”Tak kusangka, anak kemarin sore sepertimu sudah berilmu silat setinggi ini. Tapi jangan besar kepala dulu! Rejung hanyalah anak buahku. Dia masih jauh di bawahku dalam soal ilmu silat atau kesaktian.””Heheheha..., sejak tadi bisanya kamu ngomong melulu!” ejek Suro
”Jangan pura-pura bloon, Suro! Aku sudah mengenal nama lengkapmu..., Suro Sinting. Pendekar yang benar-benar berotak miring, huahahahaha...,” ejek Garjitalung yang disambut tawa sepuluh anak buahnya. “Miring sama dengan sinting. Sinting sama dengan gila, huahahahahaha...!”Makin riuh tawa anak buah Garjitalung. Sebenarnya yang diungkapkan Garjitalung tidak lucu. Tapi karena lama tidak tertawa, mereka lampiaskan tawa saat ini juga. Sekeras-kerasnya. Tertawa sekeras-kerasnya.”Baiklah, aku bersyukur karena ada orang lain yang mengenalku. Terima kasih kamu mau mengenalku. Walau demikian, aku tak perlu mengenalmu karena kamu congkak, sok jagoan, dan sok menang-menangan,” kata Suro dengan lagak semau sendiri.“Sejujurnya, aku tidak mengenal kalian,” kata Suro sambil memandangi mereka dengan pandangan menyepelekan. “Kalian sepertinya memang tidak pantas kukenal. Juga tak pantas dikenal oleh siapa pun. Mengena