Share

Pertarungan di Puncak Gunung Sumbing

Pucat wajah begundal demi dilihatnya kepalan tangan Suro. ”Ka-kami disuruh... Garjitalung....” lalu begundal itu pun pingsan. Saking takutnya melihat kepalan tangan Suro!

”Dasar cecurut..., tampang sangar, nyali ciut!” gumam Suro. ”Mari kita teruskan perjalanan, Ki!”

”Mari,” jawab Ki Panjong.

Keduanya meneruskan perjalanan mendaki gunung dengan langkah cepat. Ketika waktu menjelang tengah hari keduanya hampir sampai di puncak gunung. Mereka sepakat duduk di bawah pohon maja untuk istirahat.

Sementara itu pada waktu yang sama Westi Ningtyas dan Banawa telah sampai di puncak Gunung Sumbing. Mereka bernapas lega setelah sampai di tempat yang dituju.

”Jangan merasa lega sobat..., aku sampai di sini sejak tadi,” kata seseorang yang keluar dari balik bebatuan. Dia ternyata Garjitalung.

Banawa dan Westi terkejut karena tak menduga ada orang lain yang terlebih dahulu sampai di puncak ini. Namun keduanya segera menguasai diri.

Berbuat seolah-olah menganggap tidak ada orang lain selain diri mereka. Garjitalung mereka anggap sebagai debu tak berarti. Garjitalung hanya mereka anggap sebagai slilit yang harus dimusnahkan!

”Westi..., apakah kau lupa dengan kesepakatan kita tempo hari?” tanya Garjitalung. ”Kita tak perlu bermusuhan karena kita sebenarnya ada rasa saling mencintai.”

“Bahkan,” lanjut Garjitalung, “kau juga pernah mengatakan bahwa Banawa hanyalah masa lalu yang kelabu. Masa lalu yang mesti dilupakan dari kalbu.”

Rona merah mewarnai wajah Westi. Campuran dari perasaan malu mana kala teringat selingkuh antara dirinya dengan Garjitalung sebulan lalu, dengan perasaan marah karena Garjitalung membuka rahasia itu di depan Banawa.

Bagaimana dirinya nanti menjelaskan hal itu bila nanti Banawa mendesaknya? Apakah kebohongan ini dapat disembunyikan terus-menerus?

”Garjitalung! Aku tahu bahwa kau mencintai Westi sejak lama,” kata Banawa membela sang kekasih. ”Tapi aku juga tahu bahwa Westi tidak mencintaimu.”

“Maka jangan membuat cerita macam-macam yang bertujuan memfitnah Westi!” Banawa melanjutkan. “Jangan mengarang cerita macam-macam hanya untuk merenggangkan hubungan cinta kami!”

”Bukannya aku memfitnah, Banawa, tapi ini kenyataan. Aku kali ini tidak bohong tapi berkata apa adanya. Kalau....”

”Cukup! Biar pun jutaan kalimat meluncur dari mulut kotormu, aku tidak mempercayainya! Nah, sekarang yang penting, menyingkirlah dari tempat ini! Jangan halangi kami untuk memetik Bunga Puspajingga!”

”Hahahaha..., memangnya aku anak kecil yang menurut untuk disuruh-suruh? Justru sebaliknya, kalian menyingkirlah dari sini sebelum aku bertindak keras!”

”Bangsat! Rupanya kau tidak sayang nyawamu, hiaaat!” sontak Banawa cabut golok besarnya untuk melibas leher lawan.

Westi yang tadi terbengong-bengong segera membantu Banawa menyerang Garjitalung dengan gunakan tangan kosong.

Pertarungan antara satu pendekar dikerubut sepasang kekasih berlangsung seru. Garjitalung yang masih bertangan kosong sering menghindar dari sabetan golok Banawa.

Sedangkan dalam menghadapi Westi, Garjitalung agak ragu. Jadi untuk menangkis atau pun balas menyerang, dia serba ragu-ragu.

Dalam sebuah serangan, Banawa membabatkan golok dari samping kiri ke samping kanan untuk menebas leher lawan. Sedangkan pada saat bersamaan tangan Westi siap menghantam dada kiri Garjitalung untuk menjebol jantung.

Garjitalung  melesatkan tubuh ke udara. Menghindari sabetan golok dan pukulan Westi. Pada saat tubuhnya melenting, kaki kanannya berputar ke kanan untuk menghantam kepala Banawa.

Dengan sigap Banawa merunduk, namun tendangan kaki Garjitalung terus melesat menghantam kepala Westi! Gadis itu terjungkal. Tubuhnya tergeletak di bebatuan, Banawa memburu sang kekasih dengan perasaan cemas.

”Westi..., Westi...!” panggil Banawa sambil memeluk dan mengguncang-guncang tubuh yang lunglai itu.

Banawa merasakan bahwa tubuh Westi memang dingin, namun masih bernapas. Berarti kekasihnya belum mati. Kekasihnya masih hidup.

”Rupanya dia pingsan,” gumam Banawa. Lalu membopong Westi untuk dibaringkan di bawah bongkahan batu besar. “Semoga cepat siuman.”

Dalam hatinya Gartjitalung merasa menyesal karena secara tak sengaja mencelakai gadis yang dulu pernah ditaksirnya. Ah, tapi tidak apa-apa! Begitu kata hatinya. Sekarang sudah ada gadis lain yang lebih cantik, lebih bahenol, dan lebih menarik dibanding Westi, yang ditaksirnya.

Nama gadis  itu adalah Riris Manik. Gadis sintal dengan seribu pesona itu pula yang menyuruh Garjitalung untuk memetik Bunga Puspajingga. Sebagai syarat utama bagi Garjitalung bila ingin memperistri Riris Manik.

Teringat akan kecantikan Riris Manik, membuat Garjitalung lebih semangat untuk segera memetik Bunga Puspajingga. Nah, untuk memetik bunga itu, dia harus singkirkan seluruh penghalang yang menghadang. Di antaranya, Banawa yang kini mendekatinya sambil tetap menggenggam golok besar berkilat-kilat.

Garjitalung ingin segera mengakhiri pertarungan. Dia cabut senjata sakti di pinggangnya. Sebuah tombak pendek yang mata tombaknya bersinar merah menyilaukan.

“Banawa, kuperingatkan sekali lagi, tinggalkan tempat ini secepatnya! Aku tak ingin senjata sakti di tanganku ini memusnahkanmu!”

“Jangan sombong, Garjitalung! Lihat apa yang terjadi dengan golokku!” kata Banawa sambil menusukkan ujung goloknya tiga kali ke bumi.

Sungguh tak pernah dibayangkan oleh Garjitalung sebelumnya. Golok di tangan Banawa sekarang juga memancarkan sinar biru dengan disertai hawa dingin yang membekukan!

Banawa tersenyum dalam hati melihat lawannya terperangah melihat golok saktinya. Siapa pun yang terkena sabetan golok ini, akan membeku seluruh tubuhnya! Banawa berkata dalam hati.

Pertarungan kembali terjadi. Kali ini lebih seru karena kedua pendekar sama-sama menggunakan senjata andalan masing-masing. Yang satu berusaha menghabisi yang lain.

Beberapa kali terjadi benturan tombak dan golok yang menimbulkan ledakan-ledakan dahsyat. Beberapa kali tubuh Garjitalung dan Banawa terpental ke belakang akibat benturan senjata sakti.

Senjata sakti di tangan masing-masing. Namun keduanya segera bangkit untuk melanjutkan pertarungan. Keduanya siap bertarung sampai mati.

Suatu saat Garjitalung terdesak ke tepi jurang. Tidak jauh dari puncak Gunung Sumbing, yakni di sebelah selatan ada jurang menganga.

Garjitalung berjumpalitan terus ke selatan yang makin mendekati mulut jurang. Banawa terus mencecar dengan sabetan golok dipadu hantaman tenaga dalam jarak jauh dari telapak tangan kirinya.

Garjitalung terus berguling-guling untuk hindari tusukan golok. Sampai tepi jurang kepalanya terantuk batu besar. Sekilas dia tengok ke bawah.

Matanya melihat Bunga Puspajingga tumbuh menempel di tebing. Sejenak dia terpesona oleh sekuntum bunga warna jingga yang menebarkan harum semerbak itu. Namun dia sangat terperangah ketika golok di tangan Banawa siap membelah kepalanya yang bersandar di batu.

Dengan sekuat tenaga Garjitalung menangkis. Kembali ledakan terjadi disertai pijaran cahaya dari beradunya dua senjata sakti. Membuat mata mereka silau.

Pada kesempatan itu Garjitalung menendangkan kedua kakinya ke perut lawan. Mendorongnya kuat-kuat ke udara. Tubuh lawan terlempar ke jurang!

Banawa menjerit histeris ketika tubuhnya jatuh melayang ke dasar jurang. Jeritan kematian Banawa membangunkan Westi dari pingsannya.

Westi terbangun dengan mata membelalak. Dia edarkan pandangan ke sekitar. Sepi dan lengang. Tak ada pertempuran lagi. Dia lihat di sebelah selatan ada tubuh Garjitalung yang tergeletak. Kemudian pelan-pelan bangun sambil menyingkirkan debu pada pakaiannya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status