Share

Pertarungan di Tebing Gunung Sumbing

Pendekar muda itu merasakan nyeri pada lambung kiri, sedangkan darah menetes dari luka goresan. Secara naluri tangan kirinya memegangi luka, agar darah berhenti mengalir. Dia berdiri dengan susah payah sambil bersiul keras sekali.

Dari arah bawah berjumpalitan sepuluh anak buah Garjitalung yang berpakaian serba hitam. Di tangan mereka tergenggam golok tajam berkilat-kilat kena sinar matahari.

”Habisi sundal ini, cepat!” perintah Garjitalung sambil matanya memandang segala penjuru. ”Jangan sampai gagal memusnahkan perempuan itu!”

Anak buah Garjitalung yang berjumlah sepuluh orang maju serentak. Golok mereka mengarah satu tujuan, yakni tubuh pendekar yang berpakaian serba ungu. Namun para pengeroyok agaknya tak menyadari siapa lawan mereka.

Mereka tidak menyadari bahwa yang mereka lawan pendekar pilih tanding. Dengan sekali lontaran dari tangan kiri, empat butiran peledak melesat ke arah mereka. Empat butir menghantam dada empat pengeroyok paling depan.

Ledakan keras terdengar, empat pengeroyok tersungkur dengan dada terkoyak! Tewas seketika sebelum mereka berhasil menyentuh Westi. Tubuh mereka bertumbangan jatuh ke bumi. Diam tak bergerak sama sekali.

Dua penyerang di belakangnya yang menyabetkan golok, ditangkis secara bersamaan dengan kelebatan cundrik. Kelebatan cundrik menyilang dari kiri ke kanan mematahkan dua golok sang penyerang.

Cundrik dalam genggaman berkelebat ke kanan untuk mengotak dada dua pengeroyok yang malang itu. Dua nyawa melayang menyusul keempat pendahulunya. Dua tubuh tumbang ke tanah. Tubuh-tubuh itu diam, tak bergerak-gerak.

Datang lagi dua penyerang yang goloknya hendak membabat dada Westi. Kali ini Westi gunakan tenaga yang tersisa untuk melesat tinggi ke udara. Golok dua pengeroyok hanya melesat di bawahnya.

Westi menyabetkan cundrik saktinya ke bawah. Tepat menggores dua kepala di bawahnya dengan goresan yang dalam. Dua  pengeroyok terjerembab ke tanah dalam keadaan tak bergerak.

Melihat nasib ke delapan lawannya yang sudah tewas, dua pengeroyok yang tersisa melarikan diri. Westi segera lemparkan cundrik ke arah mereka.

Cundrik melesat cepat menuju sasaran. Senjata sakti itu berputar sesar, lalu... crash! Crash! Dua kepala dari badan pengeroyok itu jatuh menggelinding di rerumputan. Disusul tubuh tanpa kepala ambruk ke bumi dalam keadaan tak bernyawa lagi.

Westi menangkap kembali cundriknya. Perasaannya sedikit lega melihat para pengeroyok telah bertumbangan. Namun dia tercengang ketika menyadari bahwa Garjitalung lenyap dari arena pertarungan! Garjitalung telah raib entah ke mana. Garjitalung telah pergi tanpa diketahui Westi.

”Iblis laknat...! Garjitalung...! Garjitalung...!” panggil Westi Ningtyas dengan nada keras penuh kemarahan. ”Kalau kau laki-laki sejati, tunjukkan dirimu! Jangan ngumpet kayak monyet!”

Setelah beberapa saat tak ada sahutan, sadarlah Westi bahwa Garjitalung telah melarikan diri. Jadi dia berani mengorbankan sepuluh anak buahnya demi menyelamatkan diri. Sungguh sebuah kelicikan yang pernah terpikirkan. Suatu kekejaman yang dilakukan manusia licik.

Suasana puncak Gunung Sumbing lengang. Hanya Westi seorang yang berada di puncak. Suasana yang sepi membuat hati gadis itu semakin sedih. Dia menyadari bahwa kekasihnya sudah tak mungkin kembali.

”Banawa..., kenapa kau pergi secepat ini? Tanya Westi dalam gumaman bernada sedih. ”Seandainya aku tadi tidak pingsan, mungkin dirimu dapat kuselamatkan.”

Westi menarik napas dalam-dalam. Perasaannya sedikit lebih lega, sehingga pelan-pelan dia mulai menyadari bahwa yang mati tak mungkin hidup lagi. Kini dia ingat kembali tugas utamanya ke sini.

Segera dia mencari beberapa akar pohon yang panjang dari sekitar tempat itu. Akar pohon yang panjang dan kuat itu disambung-sambung sehingga menjadi tali sangat panjang.

Setelah dirasa cukup, dia ikatkan ujung tali pada pohon yang tumbuh di tepi jurang. Ujung tali yang lain dilemparkan ke bawah, menyusuri tebing yang ditumbuhi Bunga Puspajungga.

Tali yang terbuat dari akar pohon menjalar ke bawah, berada di sisi kanan bunga kalau dilihat dari atas. Kalau dilihat dari arah selatan, tali berada di sisi kiri bunga. Westi segera menggunakan tali untuk menggelantung.

Tangannya memegang erat-erat pada tali, sedangkan kedua kakinya menapak pada dinding tebing yang tegak lurus dengan kaki jurang. Pelan-pelan Westi menuruni tebing untuk mendekati Bunga Puspajingga.

Agak lama Westi menuruni tebing dengan bergelantungan pada tas tali. Namun dengan segala kegigihannya, dia berhasil mencapai sisi kiri bunga yang hendak dipetiknya.

Benar-benar Westi terpesona oleh tanaman bunga itu. Pohonnya hanya kecil seperti tanaman perdu pada umumnya. Daunnya hanya beberapa helai, tak lebih dari sepuluh helai.

Tanaman itu hanya menghasilkan sekumtum bunga yang mirip dengan mawar. Namun bunga ini hanya terdiri dari tujuh kelopak. Di dekat tangkai bunga ada tangkai yang sudah coklat. \

Di tangkai yang coklat itulah terdapat biji bunga. Hanya satu biji, tak ada yang lainnya. Dari jarak dekat keharuman Bunga Puspajingga sangat menyengat. Sangat harum sekali baunya.

Tangan kiri Westi masih memegang erat tali untuk bergelantungan, sedangkan tangan kanannya pelan-pelan bergerak untuk memetik Bunga Puspajingga.

”Eit, eit, eit..., tunggu dulu!” kata Kojar dari puncak gunung. Berdiri di dekat pohon untuk menambatkan tali yang digunakan Westi untuk bergelantungan. ”Tak semudah itu kau memetik Bunga Puspajingga selama masih ada aku di sini, hehehe...!”

Lalu Kojar mencabut satu dari pisau yang terselip melintang di dada. Pisau tajam berkilat-kilat dia tempelkan di tali yang digunakan Westi untuk bergelantungan!

Bila pisau Kojar memotong tali, sama artinya memotong urat kehidupan Westi. Kalau tali tempat Westi bergelantungan putus, maka jurang di bawah sana siap menunggunya!

Westi cepat mencabut cundrik andalannya dan langsung dilemparkan ke atas untuk menjebol jantung Kojar. Walau Kojar terkejut, tapi dia segera bertindak cepat pula, yakni dengan melemparkan pisau di tangannya ke arah cundrik.

Dua senjata beradu sehingga terdengar dentingan keras. Pisau Kojar patah menjadi beberapa bagian, jatuh terlempar di dasar jurang. Cundrik Westi kembali ke dalam genggaman pemiliknya.

Westi ingin melemparkan kembali cundriknya ke arah, dan pada saat bersamaan Kojar juga mencabut pisau andalannya yang terselip di pinggang.

Pisau Liman Kuring! Pisau itu menyala-nyala merah membara. Dia lemparkan bersamaan dengan melesatnya cundrik yang dilemparkan Westi

Dhueeeer!

Ledakan terjadi akibat dua senjata sakti berhantaman. Cundrik yang menyala ungu berputar-putar sesar kembali dalam genggaman Westi. Sedangkan Pisau Liman Kuring juga melesat kembali ke genggaman Kojar!

”Hehehehe..., memangnya hanya kamu yang punya senjata sakti?” ejek Kojar. ”Nih pisau sakti sebagai tandingan senjatamu siap menusuk lehermu,  hiaaat...!”

Kojar lemparkan pisau saktinya ke arah Westi.  Pada saat berikutnya tangan kiri mencabut pisau yang menyilang di dada  untuk memutus tali. Dengan sekali ayunan maka tali untuk Westi bergelantungan putus!

Tubuh Westi meluncur ke bawah, sedangkan tangan kirinya sudah tidak memegang tali yang putus. Pada saat bersamaan, pisau sakti Kojar melesat untuk menusuk kepalanya. Dengan sekali kelebatan, cundrik di tangan kanannya menangkis pisau itu.

*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status