Samar-samar Rangga mendengar suara langkah kaki menghampirinya dan suara teman-temannya memanggil namanya. Saat Rangga terbangun dia mendapati dirinya berada di kamar dan Mpu Waringin sudah duduk di sampingnya.
“Tak kusangka ternyata tubuhmu begitu lemah, baiklah besok kamu tidak usah belajar silat, kamu belajar ilmu pengobatan dengan Gondo,” ujar Mpu Waringin. “Maafkan saya guru, mungkin tadi karena bangun kesiangan, saya tidak sempat sarapan dan langsung berlatih.” “Tidak apa-apa, sekarang istirahatlah dulu. Besok aku mau bertapa selama 3 bulan. Jadi aku tidak dapat mengajar kalian, semua urusan telah kuserahkan pada Jalu dan para murid senior.” Keesokan harinya, situasi bukannya membaik tapi justru semakin memburuk. Bukannya belajar ilmu pengobatan, Jalu menghukum Rangga dengan menyuruhnya bekerja di dapur menyiapkan makanan bersama para abdi yang bekerja di padepokan. Sebelum subuh, Rangga sudah memulai kegiatannya lalu menghidangkan bubur sagu untuk sarapan pada para murid yang sudah duduk di tikar. Tiba-tiba Jalu memanggilnya “Rangga, apa kamu yang memasak makanan ini?” Rangga menggeleng dengan hati berdebar, perasaannya mulai tidak enak “Bukan saya, para abdi yang memasaknya, saya hanya mencuci peralatan masak dan makan." “Bohong, kamu pasti yang masak, bubur sagu ini rasanya tidak enak. Dasar bodoh, belajar silat tidak becus, masak juga nggak bisa. Rugi perguruan ini punya murid macam kamu!” Tangan Jalu meraih mangkok lalu ditumpahkan ke kepala Rangga. Hasta dan teman-temannya tertawa terbahak-bahak mengejek Rangga, lalu beramai-ramai menumpahkan mangkok bubur itu ke kepala Rangga. "Kami tak sudi makan bubur buatanmu yang macam pakan babi!"Hasta menuangkan secawan air ke kepala Rangga. Beberapa murid lainnya termasuk Gondo dan Badra hanya memandangnya iba. Tiba-tiba Gondo berdiri dari duduknya lalu mendorong Hasta dan teman-temannya menjauhi Rangga. "Pergilah kalian semua. Di sini kalian belajar silat bukan mengerjai orang!"bentak Jalu. Hasta dan teman-temannya terkejut, wajah mereka tampak segan tak berani menyanggah Gondo. Jalu tampak tertegun namun dia juga tak berani menegur Gondo. "Ayo kita segera berlatih!"Jalu mengajak para murid segera berlatih. Namun sebelum keluar ruangan dia berpesan pada Rangga “Setelah ini kamu kalau masak yang enak, kalau tidak enak kami akan menghajarmu!” Jangan lupa bersihkan lantai yang kotor ini, kami mau latihan dulu,” ujar Jalu sambil berlalu pergi. Badra membantu membersihkan sisa-sisa bubur di kepala Rangga lalu berkata “Sudahlah, nanti aku bantu membersihkan semuanya.” “Tidak usah Badra, nanti kamu terlambat mengikuti pelajaran,” Rangga menolak halus. Gondo mendengus kesal sambil berujar "Mentang-mentang Mpu Waringin sedang bertapa seenaknya saja Jalu menyuruhnya memasak di dapur." Rangga segera membersihkan diri, setelah itu dia bersiap mengikuti kelas pengobatan. Setibanya di ruang belajar pengobatam, hatinya lega karena pelajaran belum dimulai berarti dia masih belum terlambat. Tak lama kemudian Gondo selaku murid senior menggantikan Mpu Waringin. Hari itu Rangga begitu bersemangat mengikuti materi pengobatan. Setidaknya dia tidak perlu berpanas-panas di luar berlatih silat atau menderita sakit akibat pukulan dan tendangan ketika berlatih silat. Usai pelajaran di dalam kelas, Rangga dan teman-temannya sudah berada di kebun tanaman obat, Gondo memperkenalkan berbagai jenis tanaman obat yang ada di kebun. Dia menunjukan sebuah tanaman berbunga indah berwarna krem seperti terompet dengan buah hijau bulat bergerigi pada Rangga “Ini tanaman kecubung, kamu bisa menggunakannya untuk mengerjai Hasta dan teman-temannya.” “Apa yang terjadi jika mereka memakan buah ini?” tanya Rangga. “Ha ha ha, tentu saja kamu tidak akan menyajikan pada mereka seperti ini, kamu bisa membuatnya menjadi bubuk lalu campurkan dalam tuak,” jelas Gondo. Rangga menatap Gondo dengan heran “Tuak? Bukannya di sini kita tidak boleh minum tuak, arak dan minuman memabukan lainnya?” “Hasta dan teman-temannya beda, mereka bisa mendapatkan tuak dengan mudah. Karena aku yang membuat sendiri tuak-tuak itu." Rangga tertegun memandangi Gondo dengan takjub "Jadi Kangmas sendiri yang membuat tuaknya?" "Ya, jangan dikira tuak hanya melulu untuk minuman. Ada beberapa bahan obat yang hanya bisa dilarutkan dengan tuak." Gondo tersenyum melihat Rangga yang masih bengong "Rangga, kamu masih harus belajar banyak." ***** Sorenya sehabis mandi, di dekat sumur tiba-tiba Hasta dan komplotannya mencegat “Hei, anak baru, kamu punya uang nggak? Kami butuh uang buat beli tuak dan judi!" “Aku tidak punya uang, lagipula di sini kan tidak boleh minum minuman yang memabukan apalagi berjudi.” “Eeh…kurang ajar, ini anak baru sudah berani menceramahi kakak seperguruan! Teman-teman, hajar dia!” Hasta langsung menghampiri Rangga. Tanpa banyak bicara lagi, mereka memukuli Rangga tanpa ampun . Wajah dan hidung Rangga sudah berdarah-darah, badannya sudah lebam, tiba-tiba terdengar suara “Beraninya main keroyokan, namanya pendekar kalau berkelahi satu lawan satu. Ternyata ilmu kalian cuma ilmu cakar kucing yang cuma bisa dipakai untuk menakuti anak kecil.” Sontak anak-anak itu berhenti memukuli Rangga, saat itu Rangga melihat Gondo menghampiri Hasta dan teman-temannya. Aneh sekali, wajah mereka tampak ketakutan ketika melihat Gondo. “Ehmm…Kangmas Gondo, aku cuma sedikit bercanda saja dengan dia. Biasalah, malam ini kalau tidak minum tuak, mulut ini kecut rasanya,” dalih Hasta yang salah tingkah di depan Gondo. Gondo mendengus kesal "Huuh...dasar kalian gentong tuak tak berguna." Gondo mengambil gendul tuak yang terbuat dari labu kering di pinggangnya lalu melemparnya kepada Gondo. "Nih ambil, aku membuat arak dari buah Mangga. Pergilah jangan ganggu dia lagi!” Hasta menangkap Gendul itu, matanya berbinar "Waah...arak ini pasti enak. Terimakasih Kangmas Gondo!" Setelah itu Hasta dan teman-teman berandalannya segera meninggalkan Rangga yang sudah babak belur. Gondo memapah Rangga ke kamarnya lalu membersihkan lukanya dan memberinya obat. "Rangga, apa yang terjadi debgan kamu?"tanya Badra yang terkejut melihat keadaan Rangga. “Mereka meminta uang untuk beli tuak dan judi. Kangmas Gondo, kenapa Mpu Waringin dan para sesepuh di sini tidak ada yang menegur Hasta?”tanya Rangga. “Siapa yang berani terhadap Hasta? Dia anak Syah Bandar di Tuban yang dekat dengan para pejabat tinggi di istana. Oleh orangtanya, dia disuruh belajar di sini karena Hasta anak yang kelakuannya paling nakal,” ujar salah satu murid. “Sudahlah tak usah membahas mereka. Kalian tidur saja besok kita masih harus belajar lagi,"ujar Gondo. Malam itu Rangga tidak bisa tidur karena pegal-pegal dan seluruh tubuhnya masih terasa sakit. Tiba-tiba perutnya mulas “Ah sial, kenapa malam-malam begini aku malah pengen ke belakang,” gumam Rangga kesal. Dia bangun mengambil lampu sentir yang tergantung di dinding lalu berjalan ke sungai di belakang rumah. Usai menuntaskan hajatnya dia kembali ke kamarnya. Namun di dekat pondok Mpu Waringin, tiba-tiba dia melihat dua sosok bayangan berkelebat menuju kediaman Mpu Waringin. Tak lama kemudian satu sosok bergerak cepat menyusul. Rangga tertegun dan mulai curiga Jangan-jangan ada maling, coba aku ikuti mereka, pikir Rangga. Dia mematikan nyala api lampu sentirnya agar keberadaannya tidak diketahui lawan lalu berjalan mengendap-endap mengikuti dua sosok tadi. Tiba-tiba terdengar suara teriakan dan suara orang bertarung. Rangga berhenti melangkah, sejenak dia meragu apakah masih akan tetap melihat apa yang sedang terjadi atau kembali ke kamar. Namun rasa ingin tahunya mengalahkan rasa takutnya, dia bergegas menyusul melihat apa yang terjadi. Setibanya di kediaman Mpu Waringin, dalam temaramnya sinar bulan Rangga melihat ada dua sosok bayangan keluar dari pondok Mpu Waringin. Instingnya mulai mengatakan ada bahaya, Rangga segera bersembunyi di semak-semak. Dua sosok bayangan itu berhenti di depan semak-semak tempat Rangga bersembunyi. Lalu bercakap-cakap. “Kamu yakin tidak ada yang melihat kita?” “Tenang saja tidak ada yang curiga pada kita, yang penting Kitab Sang Hyang Agni ini sudah kukuasai. Ayo kita segera pergi, besok mereka akan kaget melihat apa yang terjadi.” Setelah kedua sosok itu pergi, Rangga merasa perasaannya mulai tak enak. Suara itu dia sangat mengenalnya. Rangga segera masuk ke pondok Mpu Waringin yang tampak gelap dan sepi lalu mencari kamar Mpu Waringin. Di pondok itu Mpu Waringin tinggal sendirian karena isterinya sudah meninggal dan mereka tidak dikaruniai anak. Tiba-tiba terdengar suara merintih kesakitan, terkesiap Rangga mendengar suara yang sangat dikenalnya itu. Dia bergegas masuk kamar dan betapa terkejutnya Rangga melihat kamar Mpu Waringin yang sudah berantakan dan Mpu Waringin yang sudah tewas bersimbah darah. Di sisi yang lain, terlihat Gondo dengan keadaan yang tak kalah mengenaskan. Di tangannya tergenggam keris yang berlumuran darah. “Kangmas Gondo…apa yang terjadi?” “Rangga..., Kitab Sang Hyang Agni... Jalu...Hasta....” Setelah itu tubuh Gondo terkulai, Gondo kini telah tiada. Rangga berlutut menangisi kematian kakak seperguruanya. Terbayang sudah setelah kepergian Gondo tidak ada lagi.orang yang akan membelanya ketika Jalu, Hasta dan gengnya membullynya. "Kangmas Gondo...Kangmas Gondo!"Rangga berseru panik memanggil nama kakak seperguruannya. Tiba-tiba terdengar suara langkah-langkah kaki memasuki pondok. Rangga menoleh terkejut, tampaklah Jalu, Hasta bersama para sesepuh dan para murid lainnya memasuki ruangan Mpu Waringin. Melihat Gondo dan Rangga, Jalu berseru “Gondo telah membunuh guru. Untung aku dan Hasta bisa membunuh Gondo! Anak baru ini pasti yang membantu Gondo melakukan pembunuhan ini!” “Kurang ajar sekali anak baru kok sudah berani bunuh gurunya!” seru orang-orang itu. Salah seorang sesepuh berusaha melerai “Tunggu dulu dia kan anak baru, mana mungkin dia berani masuk ke dalam urusan seperti ini.” “Sejak pertama datang, dia dan Gondo sudah sangat akrab, pasti Gondo memperalat anak ini untuk membantunya membunuh guru. Usir saja Rangga dari perguruan ini!” seru Hasta dengan marah. “Bawa dia keluar, nanti kita tanya dia kenapa Gondo tega membunuh gurunya!” Rangga bertambah takut, badannya gemetar, orang-orang di sekelilingnya mulai memakinya. Lalu tubuhnya diseret dengan kasar keluar pondok. “Tunggu, bukan Kangmas Gondo dan aku yang membunuh! Aku tadi habis buang air di sungai lalu ada suara keributan di pondok Guru. Aku masuk pondok dan ternyata Guru dan Kangmas Gondo sudah tewas!” seru Rangga. “Bohong, mana ada maling mengaku, bawa dia keluar!”bentak Jalu. Orang-orang itu menyeret Rangga keluar dan tidak mempedulikan teriakan Rangga yang ketakutan.Rangga hanya bisa menatap pisau bedah yang bergerak tak beraturan tanpa berani menyentuhnya. Beberapa saat kemudian, pisau bedah itu berhenti bergerak. Dengan hati-hati Rangga mencoba menyentuh pisau itu. Ternyata tak ada reaksi dari pisau bedah itu, Rangga bernafas lega lalu memasukan pisau bedah ke dalam peti, setelah itu tidak ada suara lagi dari dalam peti.Rangga kembali ke tikarnya dan kembali berbaring lalu memejamkan matanya mencoba tidur kembali. Saat akan terlelap antara terjaga dan tidak, Rangga melihat asap keluar dari dalam peti. Asap itu makin lama makin tebal membentuk satu sosok. Kemudian asap mulai menipis dan sosok itu makin terlihat jelas. Rangga melihat seorang laki-laki berpakaian serba putih berdiri di depan peti.Sontak Rangga langsung terjagaPisau bedah itu mulai menampakan penghuninya, pikir Rangga.Laki-laki itu menyapa Rangga"Anakku, ternyata kamu sekarang sudah besar. Aku senang melihatmu menjadi seorang tabib yang mumpuni."Rangga terkejut, barulah dia.m
"Tapi saya bukanlah tabib, tolong kembalikan pisau itu pada saya. Pisau itu milik bapak kandung saya yang tidak pernah saya temui sejak lahir. Dengan pisau itu saya ingin mencari keberadaan bapak saya dan berharap bisa bertemu dengannya. Jadi saya mohon, kembalikan pisau bedah itu,"Rangga berlutut memohon pada Sumana dengan wajah memelas. Sumana mulai ragu, di satu sisi dia kasihan dengan Rangga tapi di sisi lain, dia bisa merasakan energi buruk yang ada di dalam taji bedah itu begitu kuat. Melihat Sumana yang masih meragu, Rangga membujuk lagi "Saya berjanji, nanti jika saya sudah bertemu Bapak, saya akan melarungnya ke laut." Sumana berpikir sejenak kemudian dia menghela nafas panjang. "Aah...baiklah jika kamu berjanji mau melarungnya di laut setelah bertemu bapakmu, ambilah,"Sumana mengulurkan pisau bedah pada Rangga. Rangga bernafas lega, buru-buru dia mengambil pisau bedah itu lalu menyimpannya di lipatan setagennya. "Resi Sumana, saya harus segera pergi mencari Saras. Has
Usai menggulung pengejarnya dengan air laut dan menghempaskan mereka ke laut yang sedang bergelora, Rangga dengan ilmu Bayu Sumilir kabur dari pantai. Namun perewangan mereka tak tinggal diam. Mereka dengan gesit masuk ke laut yang ombaknya sedang menggelora. Ketiga prajurit itu berhasil diselamatkan dari amukan Laut Selatan. Mereka lalu berusaha menyusul Rangga yang berlari ke arah gerbang rahasia menuju Laut Kidul. "Jangan biarkan dia lolos!"seru salah satu dari prajurit itu Rangga terus berlari sambil sesekali menoleh ke belakang. Saat menoleh lagi, dia melihat para pengejarnya sudah semakin dekat. "Sial, kenapa mereka cepat sekali menyusulku?"gumam Rangga. Akhirnya Rangga berhasil mencapai pintu gerbang. Rangga menoleh me belakang. Saat itu diihatnya ke tiga prajurit dan perewangannya sudah dicegat oleh beberapa pasukan Laut Kidul yang entah darimana datangnya tiba-tiba saja sudah berada di situ. Ketiga prajurit bersama perewangannya tampak panik dan ketakutan. Barul
"Aku hanya ingin membantu tugas ibu melihat situasi di sekitarku. Hanya aku yang dianggap mampu karena kakak perempuanku calon pengganti Bhre Pajang sakit sakitan." "Ah sudahlah Rangga, kamu tidak pantas mendapatkan dia. Jangan ganggu kami, setelah ini dia akan jadi milikku,"tukas Hasta. Hasta memberi tanda pada pasukannya untuk menyerang Rangga. Langsung para prajurit itu menyerang Rangga tanpa ampun. Sementara Rangga harus menghadapi orang-orang itu, Hasta sudah pergi dengan membawa Saraswati sebagai tawanan meninggalkan Rangga yang dikepung anak buahnya. Rangga yang sudah murka tak bisa lagi mengendalikan energi Sang Hyang Agni di tubuhnya. Dia merasakan aliran energi panas dari kepalanya turun ke tangan. "Hiyaaa...!" Dari telapak tangan Rangga muncul bola api biru menyala-nyala. Rangga melempar bola.api ke arah prajurit Rangga dan saat itu juga beberapa prajurit Hasta yang terkena api langsung roboh terbakar. Namun ada tiga orang prajurit yang sepertinya kebal api. Berka
Malam itu Rangga tidak bisa tidur karena saat ini tubuhnya terasa meriang panas dingin silih berganti mengjampiri dirinya. Dia meraba kalung Batu Tujuh Cakra di lehernya, barulah dia ingat, sudah lama dia tidak merawat kalung itu dan menjemurnya di bawah sinar bulan untuk membersihkan energi buruk yang melekat. Daripada tidak bisa tidur lebih baik menunggu jemuran kalung, pikir Rangga. Dia bangun dari tidurnya lalu berjalan keluar. Tiba-tiba dia teringat dengan lempeng baja yang dibungkus dengan kulit kerbau. Saraswati menyimpan lempeng baja itu di sudut ruangan goa. Dia mengambil bungkusan lempeng tembaga lalu keluar goa, duduk di tepi api unggun. Ada tiga lempeng tembaga di dalam bungkusan. Diambilnya lempengan-lempengan tembaga itu lalu mulai membacanya. Rangga mulai mempelajari petunjuk yang ada di lempeng tembaga itu. Di lempeng pertama tertulis perintah bahwa latihan ilmu Sang Hyang Tirta harus dilakukan di dekat air yang mengalir membasahi tubuh untuk memudahkan mengambi
Semua orang terkejut, wajah dan tubuh orang yang baru datang itu tampak bengep seperti habis dipukuli. Ternyata orang itu adalah tetangga mereka juga yang sama-sama berjualan makanan di pasar. Jiwo tertegun melihat kondisi orang itu. Apa yang dikatakan Saloka benar adanya, aku punya khodam pendamping yang tidak hanya sebagai penunjuk jalan tetapi juga membantuku menyelesaikan urusanku, pikir Jiwo. Setelah itu, orang-orang mulai meminta Jiwo untuk memberikan pengobatan, mencari pusaka dan benda yang hilang bahkan meramal nasib. ****** Pagi itu, Rangga berenang di air terjun. Saat di dekat gerojokan air terjun, Rangga melihat ada sebuah lorong di belakang air terjun. Letaknya tersamarkan karena tertutup oleh tumbuh-tumbuhan di sekitar tebing air terjun. Penasaran dengan lorong itu, Rangga berenang lebih dekat lagi, lalu mulai meneliti area di belakang air terjun. Lorong itu cukup untuk dilalui satu orang. Rangga masuk ke dalam lorong dan penelusurannya berakhir di sebuah rua
"Sebagai pengganti matamu yang telah kami ambil, aku akan menggantinya dengan penglihatan mata ketiga,"ujar Saloka."Maksudmu aku diberi mata baru? Lalu mata siapa yang akan kalian gunakan sebagai pengganti?"tanya Jiwo keheranan.Saloka hanya tersenyum mendengar pertanyaan Jiwo."Kamu akan memiliki penglihatan mata batin tanpa batas. Kamu bisa melihat apa yang seharusnya tak terlihat."Jiwo tertawa sinis"Kalau cuma kaya gitu sih, dukun-dukun bahkan anak kecil bisa melihat makhluk halus. Apa istimewanya mata ketigaku?"Wajah Saloka berubah, dia tampak tidak suka disepelekan ilmunya."Kamu betul-betul orang yang tidak tahu terimakasih. Pandangan mata ketiga yang kuberikan kepadamu bukanlah mata ketiga biasa seperti yang dimiliki dukun-dukun kelas teri itu. Banyak orang yang menginginkan ilmu itu. Mereka rela bertapa bertahun-tahun untuk mendapatkan penglihatan Mata Ketiga itu tapi tak satupun dari mereka yang mampu memperolehnya karena syaratnya memang berat.""Baiklah kalau memang il
Kulitnya terasa perih karena berjalan menembus semak berduri dan terkena goresan ranting. "Buug!" Jiwo menabrak batang pohon besar yang menghalangi jalannya. Kepalanya pusing, kedua rongga matanya terasa sakit, setelah itu dia pingsan. Saat itu Jiwo merasa tubuhnya menjadi seringan kapas melayang keluar dari tubuhnya sehingga dia dapat melihat dirinya yang sedang terbaring di lantai hutan. Heei... aku bisa melihat sekarang, tapi apa aku sudah mati?pikir Jiwo. Sebuah lorong yang diterangi cahaya tiba-tiba terbentang di depannya. Jiwo terkejut melihat lorong bercahaya itu tiba-tiba sudah berada di depannya. Apakah lorong ini menuju nirwana?batin Jiwo sambil melangkah lebih dekat lagi mendekati pintu lorong. Jiwo terus melangkahkan kaki memasuki lorong, namun baru beberapa langkah masuk lorong, tiba-tiba saja tubuhnya ditarik oleh sebuah kekuatan besar, tersedot masuk lebih dalam ke dalam lorong dengan kecepatan tinggi. Jiwo berusaha keluar dari lorong tapi tak bisa. T
"Kami adalah penghuni tempat ini! Dan sekarang kamu tidur di atas istana Raja kami!""Istana apaan, aku tidur di atas batu kali,"jawab Jiwo setengah mengantuk.Namun orang-orang itu tampaknya tak mau peduli, mereka terus membangunkan Jiwo. Ada yang menggelitiki pinggangnya, menarik kupingnya atau menjambak rambutnya. Jiwo yang sudah kecapekan tak juga bangun walaupun tidurnya diganggu.Akhirnya karena Jiwo tak juga pindah tempat, makhluk-makhluk itu memindahkan Jiwo ke atas pohon Waru. Jiwo yang masih tak sadar dirinya berpindah tempat, dengan santainya berguling membalikan badan."Buug!"Badan jiwo jatuh dari atas pohon. Pemuda itu kesakitan dan memaki"Aduuh...sialan aku dipindah. Siapa yang mindah aku?!"Akhirnya Jiwopun menyerah, sambil memegangi kepalanya yang sedikit pusing gara-gara jatuh dari pohon, Jiwo duduk di bawah pohon. Rasa kantuknya sudah menghilang sama sekali. Tapi Jiwo masih bersyukur, pohonnya tidak tinggi sehingga tidak membahayakan dirinya. Udara yang dingin m