Share

Bab 2 Pembunuhan

Author: Freya
last update Last Updated: 2024-08-08 22:50:49

Samar-samar Rangga mendengar suara langkah kaki menghampirinya dan suara teman-temannya memanggil namanya. Saat Rangga terbangun dia mendapati dirinya berada di kamar dan Mpu Waringin sudah duduk di sampingnya.

“Tak kusangka ternyata tubuhmu begitu lemah, baiklah besok kamu tidak usah belajar silat, kamu belajar ilmu pengobatan dengan Gondo,” ujar Mpu Waringin.

“Maafkan saya guru, mungkin tadi karena bangun kesiangan, saya tidak sempat sarapan dan langsung berlatih.”

“Tidak apa-apa, sekarang istirahatlah dulu. Besok aku mau bertapa selama 3 bulan. Jadi aku tidak dapat mengajar kalian, semua urusan telah kuserahkan pada Jalu dan para murid senior.”

Keesokan harinya, situasi bukannya membaik tapi justru semakin memburuk. Bukannya belajar ilmu pengobatan, Jalu menghukum Rangga dengan menyuruhnya bekerja di dapur menyiapkan makanan bersama para abdi yang bekerja di padepokan.

Sebelum subuh, Rangga sudah memulai kegiatannya lalu menghidangkan bubur sagu untuk sarapan pada para murid yang sudah duduk di tikar. Tiba-tiba Jalu memanggilnya

“Rangga, apa kamu yang memasak makanan ini?”

Rangga menggeleng dengan hati berdebar, perasaannya mulai tidak enak

“Bukan saya, para abdi yang memasaknya, saya hanya mencuci peralatan masak dan makan."

“Bohong, kamu pasti yang masak, bubur sagu ini rasanya tidak enak. Dasar bodoh, belajar silat tidak becus, masak juga nggak bisa. Rugi perguruan ini punya murid macam kamu!”

Tangan Jalu meraih mangkok lalu ditumpahkan ke kepala Rangga. Hasta dan teman-temannya tertawa terbahak-bahak mengejek Rangga, lalu beramai-ramai menumpahkan mangkok bubur itu ke kepala Rangga.

"Kami tak sudi makan bubur buatanmu yang macam pakan babi!"Hasta menuangkan secawan air ke kepala Rangga.

Beberapa murid lainnya termasuk Gondo dan Badra hanya memandangnya iba. Tiba-tiba Gondo berdiri dari duduknya lalu mendorong Hasta dan teman-temannya menjauhi Rangga.

"Pergilah kalian semua. Di sini kalian belajar silat bukan mengerjai orang!"bentak Jalu.

Hasta dan teman-temannya terkejut, wajah mereka tampak segan tak berani menyanggah Gondo. Jalu tampak tertegun namun dia juga tak berani menegur Gondo.

"Ayo kita segera berlatih!"Jalu mengajak para murid segera berlatih.

Namun sebelum keluar ruangan dia berpesan pada Rangga

“Setelah ini kamu kalau masak yang enak, kalau tidak enak kami akan menghajarmu!” Jangan lupa bersihkan lantai yang kotor ini, kami mau latihan dulu,” ujar Jalu sambil berlalu pergi.

Badra membantu membersihkan sisa-sisa bubur di kepala Rangga lalu berkata

“Sudahlah, nanti aku bantu membersihkan semuanya.”

“Tidak usah Badra, nanti kamu terlambat mengikuti pelajaran,” Rangga menolak halus.

Gondo mendengus kesal sambil berujar

"Mentang-mentang Mpu Waringin sedang bertapa seenaknya saja Jalu menyuruhnya memasak di dapur."

Rangga segera membersihkan diri, setelah itu dia bersiap mengikuti kelas pengobatan. Setibanya di ruang belajar pengobatam, hatinya lega karena pelajaran belum dimulai berarti dia masih belum terlambat.

Tak lama kemudian Gondo selaku murid senior menggantikan Mpu Waringin. Hari itu Rangga begitu bersemangat mengikuti materi pengobatan. Setidaknya dia tidak perlu berpanas-panas di luar berlatih silat atau menderita sakit akibat pukulan dan tendangan ketika berlatih silat.

Usai pelajaran di dalam kelas, Rangga dan teman-temannya sudah berada di kebun tanaman obat, Gondo memperkenalkan berbagai jenis tanaman obat yang ada di kebun.

Dia menunjukan sebuah tanaman berbunga indah berwarna krem seperti terompet dengan buah hijau bulat bergerigi pada Rangga

“Ini tanaman kecubung, kamu bisa menggunakannya untuk mengerjai Hasta dan teman-temannya.”

“Apa yang terjadi jika mereka memakan buah ini?” tanya Rangga.

“Ha ha ha, tentu saja kamu tidak akan menyajikan pada mereka seperti ini, kamu bisa membuatnya menjadi bubuk lalu campurkan dalam tuak,” jelas Gondo.

Rangga menatap Gondo dengan heran

“Tuak? Bukannya di sini kita tidak boleh minum tuak, arak dan minuman memabukan lainnya?”

“Hasta dan teman-temannya beda, mereka bisa mendapatkan tuak dengan mudah. Karena aku yang membuat sendiri tuak-tuak itu."

Rangga tertegun memandangi Gondo dengan takjub

"Jadi Kangmas sendiri yang membuat tuaknya?"

"Ya, jangan dikira tuak hanya melulu untuk minuman. Ada beberapa bahan obat yang hanya bisa dilarutkan dengan tuak."

Gondo tersenyum melihat Rangga yang masih bengong

"Rangga, kamu masih harus belajar banyak."

*****

Sorenya sehabis mandi, di dekat sumur tiba-tiba Hasta dan komplotannya mencegat

“Hei, anak baru, kamu punya uang nggak? Kami butuh uang buat beli tuak dan judi!"

“Aku tidak punya uang, lagipula di sini kan tidak boleh minum minuman yang memabukan apalagi berjudi.”

“Eeh…kurang ajar, ini anak baru sudah berani menceramahi kakak seperguruan! Teman-teman, hajar dia!” Hasta langsung menghampiri Rangga.

Tanpa banyak bicara lagi, mereka memukuli Rangga tanpa ampun . Wajah dan hidung Rangga sudah berdarah-darah, badannya sudah lebam, tiba-tiba terdengar suara

“Beraninya main keroyokan, namanya pendekar kalau berkelahi satu lawan satu. Ternyata ilmu kalian cuma ilmu cakar kucing yang cuma bisa dipakai untuk menakuti anak kecil.”

Sontak anak-anak itu berhenti memukuli Rangga, saat itu Rangga melihat Gondo menghampiri Hasta dan teman-temannya. Aneh sekali, wajah mereka tampak ketakutan ketika melihat Gondo.

“Ehmm…Kangmas Gondo, aku cuma sedikit bercanda saja dengan dia. Biasalah, malam ini kalau tidak minum tuak, mulut ini kecut rasanya,” dalih Hasta yang salah tingkah di depan Gondo.

Gondo mendengus kesal

"Huuh...dasar kalian gentong tuak tak berguna."

Gondo mengambil gendul tuak yang terbuat dari labu kering di pinggangnya lalu melemparnya kepada Gondo.

"Nih ambil, aku membuat arak dari buah Mangga. Pergilah jangan ganggu dia lagi!”

Hasta menangkap Gendul itu, matanya berbinar

"Waah...arak ini pasti enak. Terimakasih Kangmas Gondo!"

Setelah itu Hasta dan teman-teman berandalannya segera meninggalkan Rangga yang sudah babak belur.

Gondo memapah Rangga ke kamarnya lalu membersihkan lukanya dan memberinya obat.

"Rangga, apa yang terjadi debgan kamu?"tanya Badra yang terkejut melihat keadaan Rangga.

“Mereka meminta uang untuk beli tuak dan judi. Kangmas Gondo, kenapa Mpu Waringin dan para sesepuh di sini tidak ada yang menegur Hasta?”tanya Rangga.

“Siapa yang berani terhadap Hasta? Dia anak Syah Bandar di Tuban yang dekat dengan para pejabat tinggi di istana. Oleh orangtanya, dia disuruh belajar di sini karena Hasta anak yang kelakuannya paling nakal,” ujar salah satu murid.

“Sudahlah tak usah membahas mereka. Kalian tidur saja besok kita masih harus belajar lagi,"ujar Gondo.

Malam itu Rangga tidak bisa tidur karena pegal-pegal dan seluruh tubuhnya masih terasa sakit. Tiba-tiba perutnya mulas

“Ah sial, kenapa malam-malam begini aku malah pengen ke belakang,” gumam Rangga kesal.

Dia bangun mengambil lampu sentir yang tergantung di dinding lalu berjalan ke sungai di belakang rumah.

Usai menuntaskan hajatnya dia kembali ke kamarnya. Namun di dekat pondok Mpu Waringin, tiba-tiba dia melihat dua sosok bayangan berkelebat menuju kediaman Mpu Waringin.

Tak lama kemudian satu sosok bergerak cepat menyusul. Rangga tertegun dan mulai curiga

Jangan-jangan ada maling, coba aku ikuti mereka, pikir Rangga.

Dia mematikan nyala api lampu sentirnya agar keberadaannya tidak diketahui lawan lalu berjalan mengendap-endap mengikuti dua sosok tadi.

Tiba-tiba terdengar suara teriakan dan suara orang bertarung. Rangga berhenti melangkah, sejenak dia meragu apakah masih akan tetap melihat apa yang sedang terjadi atau kembali ke kamar.

Namun rasa ingin tahunya mengalahkan rasa takutnya, dia bergegas menyusul melihat apa yang terjadi.

Setibanya di kediaman Mpu Waringin, dalam temaramnya sinar bulan Rangga melihat ada dua sosok bayangan keluar dari pondok Mpu Waringin.

Instingnya mulai mengatakan ada bahaya, Rangga segera bersembunyi di semak-semak. Dua sosok bayangan itu berhenti di depan semak-semak tempat Rangga bersembunyi. Lalu bercakap-cakap.

“Kamu yakin tidak ada yang melihat kita?”

“Tenang saja tidak ada yang curiga pada kita, yang penting Kitab Sang Hyang Agni ini sudah kukuasai. Ayo kita segera pergi, besok mereka akan kaget melihat apa yang terjadi.”

Setelah kedua sosok itu pergi, Rangga merasa perasaannya mulai tak enak. Suara itu dia sangat mengenalnya.

Rangga segera masuk ke pondok Mpu Waringin yang tampak gelap dan sepi lalu mencari kamar Mpu Waringin.

Di pondok itu Mpu Waringin tinggal sendirian karena isterinya sudah meninggal dan mereka tidak dikaruniai anak.

Tiba-tiba terdengar suara merintih kesakitan, terkesiap Rangga mendengar suara yang sangat dikenalnya itu. Dia bergegas masuk kamar dan betapa terkejutnya Rangga melihat kamar Mpu Waringin yang sudah berantakan dan Mpu Waringin yang sudah tewas bersimbah darah.

Di sisi yang lain, terlihat Gondo dengan keadaan yang tak kalah mengenaskan. Di tangannya tergenggam keris yang berlumuran darah.

“Kangmas Gondo…apa yang terjadi?”

“Rangga..., Kitab Sang Hyang Agni... Jalu...Hasta....”

Setelah itu tubuh Gondo terkulai, Gondo kini telah tiada. Rangga berlutut menangisi kematian kakak seperguruanya. Terbayang sudah setelah kepergian Gondo tidak ada lagi.orang yang akan membelanya ketika Jalu, Hasta dan gengnya membullynya.

"Kangmas Gondo...Kangmas Gondo!"Rangga berseru panik memanggil nama kakak seperguruannya.

Tiba-tiba terdengar suara langkah-langkah kaki memasuki pondok. Rangga menoleh terkejut, tampaklah Jalu, Hasta bersama para sesepuh dan para murid lainnya memasuki ruangan Mpu Waringin.

Melihat Gondo dan Rangga, Jalu berseru

“Gondo telah membunuh guru. Untung aku dan Hasta bisa membunuh Gondo! Anak baru ini pasti yang membantu Gondo melakukan pembunuhan ini!”

“Kurang ajar sekali anak baru kok sudah berani bunuh gurunya!” seru orang-orang itu.

Salah seorang sesepuh berusaha melerai

“Tunggu dulu dia kan anak baru, mana mungkin dia berani masuk ke dalam urusan seperti ini.”

“Sejak pertama datang, dia dan Gondo sudah sangat akrab, pasti Gondo memperalat anak ini untuk membantunya membunuh guru. Usir saja Rangga dari perguruan ini!” seru Hasta dengan marah.

“Bawa dia keluar, nanti kita tanya dia kenapa Gondo tega membunuh gurunya!”

Rangga bertambah takut, badannya gemetar, orang-orang di sekelilingnya mulai memakinya. Lalu tubuhnya diseret dengan kasar keluar pondok.

“Tunggu, bukan Kangmas Gondo dan aku yang membunuh! Aku tadi habis buang air di sungai lalu ada suara keributan di pondok Guru. Aku masuk pondok dan ternyata Guru dan Kangmas Gondo sudah tewas!” seru Rangga.

“Bohong, mana ada maling mengaku, bawa dia keluar!”bentak Jalu.

Orang-orang itu menyeret Rangga keluar dan tidak mempedulikan teriakan Rangga yang ketakutan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   Bab 146 Keliling Dunia

    "Ah, aku tidak menginginkannya Romo, yang kuinginkan hanyalah hidup damai bersama Saras,"kata Rangga.Dipo tersenyum menanggapi keinginan anaknya"Ooh, anak Romo ini rupanya sudah pengen kawin ya?"Rangga tersadar lalu tersipu malu."Bukan begitu Romo, itu memang keinginan saya. Lagipula belum tentu juga Bhre Pajang setuju. Para Raja bawahan yang lain pasti juga ingin meminang Saras."Dipo menepuk bahu Rangga lalu berkata."Sudahlah, seminggu lagi upacara akan dilaksanakan. Kamu bersiaplah, ini aku sudah belikan kamu celana gringsing, jarik, selendang sutera dan seperangkat perhiasan emas untuk ikut upacara. Sebentar aku ambil dulu di kamar."Dipo atau Gajah Mada berdiri dari duduknya lalu masuk ke kamarnya. Saat kembali dia membawa satu kotak kayu lalu diletakan di depan Rangga."Ini, ambilah untukmu. Kulihat bajumu sudah lusuh dan sobek, jadi aku belikan yang baru."Rangga membuka kotak kayu itu dan di dalamnya dia mendapati ada pakaian dan seperangkat perhiasan emas permata di dala

  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   Bab 145 Penebusan

    Dipo mendekati Rangga yang masih duduk terpaku di tepi sendhang. Ditepuknya bahu anaknya lalu berkata"Semua sudah berlalu, ayo kita pulang sekarang."Suara ayam berkokok mulai terdengar di kejauhan, Rangga dan Dipo memacu kuda mereka pulang ke rumah.******Setelah kutukan pisau bedah Ra Tanca dimusnahkan di sendhang Sela Pitu, Rangga pulang dengan tubuh lelah namun hati lapang. Malam itu, ia tertidur pulas di pembaringan di rumahnya, diiringi suara cengkerik dan desir angin dari kebun belakang. Namun, tidurnya tidak tenang.Dalam mimpinya, Jiwo muncul. Wajahnya cemberut dan penuh amarah yang terpendam. Ia menagih janji lama."Kamu berhutang padaku, Rangga. Sesuatu yang paling kau sayangi, entah nyawamu... atau Saras."Rangga terbangun dengan dada sesak, karena lelah dia bangun kesiangan. Matahari sudah tinggi saat ia bersiap meninggalkan rumah. Dia tahu, waktu menepati janji telah tiba.Sebelum berangkat, ia menulis lontar untuk Saras. Tulisannya tergesa namun jujur: Saras, maafkan

  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   Bab 144 Sendhang Sela Pitu

    Terkesiap Awehpati melihat serangannya gagal. Tangannya bergerak kembali merogoh sesuatu dari kantongnya, namun sebelum dia kembali bergerak, sebuah benda berkilat meluncur ke arah Awehpati. "Jleeeb!" Sebuah senjata rahasia pisau kecil berbentuk bintang sudah menempel di dahinya. Ternyata Tudjo bergerak lebih cepat, melempar pisau bintang ke arah Awehpati. Tudjo mendekat memeriksa Awehpati, setelah yakin Awehpati sudah mati, dia menyeret jasad Sang Raja Racun untuk dikuburkan. ******* Malam lengang. Angin bertiup pelan menyusup lewat celah jendela, membawa bau tanah basah dan daun kering. Rangga tiba-tiba terbangun dari tidurnya, perlahan dia duduk bersila di atas tikar pandan, matanya memandangi lemari kayu jati tempat ia menyimpan benda-benda penting. Di dalam sana, tersimpan pusaka pisau bedah milik Ra Tanca, tabib dan algojo berdarah dingin yang menewaskan ayah kandungnya, Jayanegara. Tiba-tiba "Glodag... Glodag..." Lemari itu bergetar sendiri. Suara besi beradu kayu terden

  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   Bab 143 Surat Nyai Tanca

    Langit mendung menggantung rendah di atas hutan kecil di pinggiran kota Trowulan. Di tengah rerimbunan pepohonan, Rangga berdiri diam. Di genggamannya, sebilah pisau bedah yang dulu digunakan Ra Tanca untuk membunuh Raja Jayanegara. Pisau yang sekarang ditakdirkan menuntaskan dendam, atau menghancurkan kebenaran.Awehpati menatap Rangga dari balik bayangan pohon Trembesi tua, sorot matanya penuh keyakinan dan dendam yang menyala dingin. “Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Rangga,” ucap Awehpati. Rangga menganggukan kepala dengan setengah hati.Awehpati tersenyum puas“Bagus, kalau begitu cepat lakukan! Pisau itu menunggu penebusannya. Dendam Ra Tanca harus ditegakkan, Gajah Mada harus mati!”"Tentu, tunggu saja di situ." Dipo duduk di pendopo, menyisipkan daun sirih ke dalam mulutnya. Tudjo telah meIaporkan perjalanannya mencari Saras dan membunuh Hasta. Dia sedikit lega Rangga selamat, tapi sudah lebih dari seminggu Rangga belum juga datang. Dia mulai cemas dengan keselamatan

  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   Bab 142 Dendam Ra Tanca

    Langkah-langkah Hasta kini mulai goyah. Tubuhnya menyerap lebih banyak energi jahat dari yang mampu ditanggung, dan mantra Lipyakara yang mengikatnya dengan dunia arwah mulai berbalik menelan jiwanya sendiri.Namun ia masih tertawa.“Cahaya dari empat penjuru? Heh... aku akan menutup langit itu dengan malam abadi!”Hasta mengangkat kedua tangannya tinggi, memanggil kekuatan terakhirnya. Terdengar suara bergemuruh, langit gua terbuka seperti mulut raksasa, dan dari sana mengalir kabut hitam yang berbentuk tangan-tangan raksasa yang terbuat dari roh para leluhur yang dikutuk.Rangga menyempitkan mata.Dia sepertinya memanggil Arwah Calon Arang, pikir Rangga.Langit runtuh, dan suara ribuan ratapan terdengar serentak. Tudjo yang berada di luar gua berseru,“Medang! Segera pasang Mantra Gayatri, jangan biarkan roh-roh ini keluar dari gua!”Medang menancapkan pedangnya ke tanah. Segel kuno menyala dalam bentuk lingkaran raksasa di mulut gua, menahan arwah-arwah jahat itu di dalam. Namun t

  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   Bab 141 Bersatunya 4 Unsur

    Suara batu yang runtuh menggema di gua raksasa itu. Dinding yang terbentur tubuh Hasta retak. Debu dan pecahan kecil berjatuhan, namun dari balik reruntuhan, suara tawa lirih terdengar lagi.“Ha ha ha ha...bagus, Rangga… sungguh kekuatan yang layak kau warisi dari Sang Hyang Agni. Tapi itu belum cukup untuk mengalahkanku.”Hasta berdiri tertatih, tubuhnya kini setengah hancur. Kulitnya yang seperti kitab-kitab gosong terkelupas, menampakkan jaringan daging hitam berdenyut. Dari dadanya mengalir asap hitam seperti racun hidup.Tiba-tiba, Hasta menancapkan tangannya ke tanah. Getaran keras merambat, tanah berguncang. Seketika bau seperti ubi gosong merebak memenuhi gua. Dari kegelapan, muncul puluhan makhluk hitam tak bernama—tubuh tinggi kurus, mata merah menyala, gigi runcing seperti serangga neraka. Suara mereka mencicit seperti suara tikus got yang mencari mangsa.“Makhluk-makhluk ini tumbal yang gagal. Tapi tak ada yang sia-sia di tanganku. Habisi mereka!” perintah Hasta.Makhluk-m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status