Setibanya di luar, mereka mengikat Rangga di sebuah tonggak, memukuli dan menendangnya sampai babak belur sambil memakinya.
“Ampun…tolong hentikan...sakiit! Bukan aku yang membunuhnya!” “Bohong, buktinya sudah ada, kamu kan yang membantu Gondo membunuh Guru!” maki salah seorang murid. Mereka kembali memukuli Rangga tanpa ampun hingga pemuda itu muntah darah. Rangga menderita luka dalam yang teramat parah. “Sudah cukup, tenaga kalian masih diperlukan. Besok kita adili dia, jika terbukti dia bersalah, kalian boleh memukulinya sampai mati. Sementara biar dia di sini dulu, sekarang kita rawat jenazah Guru dan mempersiapkan upacara pemakaman,” perintah salah seorang sesepuh di padepokan. Beberapa murid yang memukuli Rangga masuk ke pondok meninggalkan Rangga sendirian dalam keadaan terikat. Mereka akan merawat jenazah Mpu Waringin dan mempersiapkan upacara pemakaman. Setelah semua orang pergi, suasana kembali sepi dan gelap. Lokasi padepokan yang terletak di hutan di lereng gunung terasa menyeramkan bagi Rangga. Suasana gelap, dingin dengan pepohonan besar di sekelilingnya bagaikan monster-monster raksasa yang siap menerkam dirinya. Sementara suara-suara burung malam yang aneh menambah seramnya suasana. Rangga mulai merasakan sakit di dalam tubuhnya dan menggigil kedinginan. Dia mulai menangis sesenggukan, tak menyangka nasibnya akan berakhir seperti ini. “Jauh-jauh aku dikirim kemari oleh Romo untuk belajar silat, tapi ternyata malah difitnah membunuh. Padahal aku tidak pernah menyakiti mereka mengapa balasannya begini?” Rangga mencoba menggerakan tubuhnya, namun hanya menggerakan satu lengannya saja dia sudah kesakitan. “Aaargh, tanganku.” Dadanya mendadak terasa sesak, “Hooeek!” Rangga kembali muntah darah, kepalanya mulai pusing, siksaan yang diterimanya membuatnya serasa di ambang kematian. Tiba-tiba terdengar suara memanggilnya lirih “Rangga…Rangga…Rangga, ini aku Badra.” Rangga menoleh terlihat Badra muncul dari balik semak-semak menghampirinya, “Rangga, aku akan membantumu lari dari sini. Ini aku bawakan obat luka dalam. Obat ini setidaknya membantumu bertahan untuk sementara sambil mencari tempat persembunyian yang aman.” Badra dengan sigap mengiris tali dadung pengikat lalu memberikan sebuah pil. “Ini minumlah, larilah cepat sebelum mereka menyadari.” Rangga langsung mengunyah pil itu, lalu duduk sejenak mengumpulkan kekuatan. “Cepat pergilah, waktunya tidak banyak.” Rangga berdiri perlahan lalu berpamitan pada Badra “Badra terimakasih sudah membantuku, aku pergi dulu.” Badra mengangguk lalu berbalik kembali ke pondok, sementara Rangga langsung menghilang di kegelapan malam. Kali ini dia merasa bingung harus lari kemana, dengan hanya dibantu sinar bulan yang bersinar temaram, Rangga terus berjalan tanpa arah. Dia berjalan melalui jalan setapak yang diketahuinya menuju ke arah sungai tempatnya berlatih kemarin. “Aku tidak kenal dengan tempat ini, pokoknya aku harus lari secepat mungkin meninggalkan padepokan. Semoga saja di jalan ada orang yang menolongku,” gumam Rangga. Karena luka yang dialaminya, Rangga tidak dapat berlari cepat. Tubuhnya terseok-seok jatuh bangun saat berjalan. Ketika melewati jalan yang menurun ke arah sungai, tubuh Rangga tidak kuat menahan laju tubuhnya sehingga dia jatuh berguling sampai ke tepian sungai. “Aaarrrgh.” Rangga kesakitan ketika tubuhnya berguling melewati bebatuan. Tiba-tiba terdengar seruan dari para pengejarnya “Bocah itu melarikan diri, kejar dia pasti dia masih belum jauh dari sini!” Sesaat kemudian, suara ramai kembali terdengar di belakangnya disertai bunyi gonggongan anjing. Sadarlah Rangga, orang-orang padepokan sudah menyadari kepergiannya dan kini mereka mengejarnya dengan bantuan anjing pemburu. Rangga menoleh ke belakangnya, terlihat sinar lampu obor berkelebat di tengah kegelapan. Rangga menggertakan giginya mengumpulkan semua kekuatannya untuk berlari lagi. Suara gonggongan anjing semakin mendekat, nyala obor mulai menerangi lingkungan di sekitarnya. Rangga berlari sekuat tenaga menjauh tapi di depannya ada sungai. Rangga sejenak ragu apakah dia harus masuk sungai menuju ke seberang atau berlari ke arah lain. Namun suara teriakan dari pengejarnya membuat dia harus segera mengambil keputusan. “Lihat, dia ada di tepi sungai, anak itu mau menyebrang sungai. Cepat tangkap dia…jangan sampai lolos!” Jalu memberi aba-aba. Rangga semakin panik, dibelakangnya ada Jalu dan para murid padepokan, di depannya sungai. Didorong keinginan untuk bertahan hidup, dia langsung memutuskan untuk menceburkan dirinya ke sungai. “Byuuur!” Tanpa mempedulikan tubuhnya yang sakit dan penuh luka, Rangga berenang menyeberangi sungai. Untung saja sungai ini sedang tenang dan tidak terlalu dalam, batin Rangga. Setibanya di seberang sungai, Rangga terkejut terlihat kilatan lampu obor mulai menerangi tepian sungai di seberangnya, para pengejarnya sudah dekat. Namun anjing-anjing pemburu itu tidak berani menyeberangi sungai, mereka hanya menggonggong ribut di pinggir sungai. “Dia di sana di seberang sungai! Hei pembunuh, mau lari kemana kamu?!” Kamu tidak akan bisa lolos dari kami!” seru orang-orang itu. Sementara itu beberapa orang mulai turun ke sungai dan berenang menyeberanginya. Rangga terus berlari sekencang mungkin masuk hutan. Berkali-kali tubuhnya terjatuh terpeleset ketika berlari, ranting-ranting pohon menggores kulit tubuhnya. Dia sudah tidak menghiraukan rasa sakit di tubuhnya lagi, yang ada dalam benaknya hanyalah bertahan hidup, lari sekuatnya menyelamatkan diri. Sebuah jalan setapak terbentang didepannya, di kanan dan kirinya terdapat tanaman bambu Ori membentuk lorong dari tanaman bambu. Rangga sempat ragu karena jalan setapak itu sempit apalagi di kanan kirinya ada rumpun bambu Ori yang berduri. Suara pengejarnya semakin dekat. Rangga akhirnya berjalan melewati jalan setapak itu dengan hati-hati agar tidak tergores duri bambu. Tiba-tiba langkahnya terhenti, di depannya terdapat beberapa gundukan tanah dengan batu di atasnya. “Sial, aku terjebak masuk kuburan,” gumam Rangga, dia mulai merasa takut. Takut kalau melihat penampakan hantu, demit dan sejenisnya. Ingin rasanya dia berbalik pergi namun suara para pengejarnya kembali terdengar “Dia di sana!” Dari kejauhan kilatan lampu obor mulai terlihat. Tak ada pilihan bagi Rangga selain masuk komplek kuburan. Dikuatkannya hatinya melewati gundukan-gundukan tanah itu sambil berkata. “Permisi Eyang-eyang penghuni kuburan, saya cuma numpang lewat, tolong jangan diganggu.” Rangga berhasil melewati kuburan-kuburan itu, ternyata ada jalan setapak lagi di depannya. Rangga kembali menoleh, dilihatnya para pengejarnya sudah tiba di pinggiran komplek makam di depan lorong rumpun bambu Ori. Tapi anehnya mereka hanya berdiri tertegun tidak berani melewati jalan setapak tadi. Walaupun heran tapi dia merasa lega para pengejarnya sudah tidak memburunya lagi. “Kangmas, kenapa berhenti?” tanya seorang murid pada Jalu. “Kita sudah berada dekat dengan Lembah Hantu, tempat ini tempat kutukan, sebaiknya kita segera pergi dari sini sebelum hantu-hantu pendekar sesat itu menyerang kita!” jawab Jalu. “Jadi kita hentikan pengejaran ini?” tanya Hasta dengan nada gusar. “Biar saja dia mati di sana, paling besok kita akan menemukan mayatnya hanyut di sungai. Hantu-hantu pendekar sesat itu nantinya akan mengambil sukmanya jadi kita tidak usah bersusah payah membunuhnya,” kata Jalu. "Tapi kita sudah di sini, kenapa tidak kita bunuh saja dia? Dia berbahaya, lagipula itu cuma kuburan biasa, masa kita takut sama hantu sih?"protes Hasta. “Dasar bodoh, kita sekarang berada di pintu gerbang Lembah Hantu. Kalau kita masuk ke sana bisa-bisa kita tidak bisa kembali ke alam kita! Kalian mau seumur hidup berada di alam gaib menjadi budak para demit?!"maki Jalu. Sontak semua orang mulai bergidik, mereka semua tahu kisah Lembah Hantu. Konon kabarnya setiap orang yang masuk kesitu tak ada yang bisa kembali lagi ke dunianya. Entah mati entah dibawa demit ke alam gaib. "Ya sudah, sebaiknya kita pulang saja, bocah itu sudah masuk Lembah Hantu, dia tidak akan keluar dengan selamat dari tempat itu!”salah seorang murid ikut menimpali. Perlahan rombongan kembali bergerak meninggalkan tepian sungai. Sementara itu Rangga masih terus berlari, lalu sampailah dia di sebuah pekarangan yang luas. Di depannya ada sebuah pondok kayu dengan lampu sentir tergantung di terasnya. Rangga merasa lega akhirnya ada orang lain di tempat itu. Dengan langkah terseok-seok Rangga menghampiri pondok dan mengetuk pintunya. Rangga mengetuk pintu beberapa kali, namun belum ada tanda-tanda orang datang membukakan pintu. Dia merasa tubuhnya semakin lemah dan akhirnya jatuh terduduk di depan pintu. Terdengar langkah kaki di seret dari dalam dan suara palang pintu yang dibuka. "Kreeek!" Suara derit pintu memecah keheningan malam. Saat pintu terbuka, Rangga terkejut, seorang nenek-nenek dengan rambut putih terurai panjang dan kusut seperti rumput liar sudah berdiri di depannya. Spontan Rangga berseru “Hantu…hantu!” Setelah itu pandangannya gelap, Rangga pingsan tak sadarkan diri.Rangga telah siuman dari pingsannya, dia mendapati dirinya berbaring di tempat tidur batu. Kepalanya masih terasa pusing dan dadanya masih terasa sesak. Aroma ramuan herbal yang pekat menyergap hidungnya. Rangga mencoba bangun, dia mengangkat kepala dan tubuhnya perlahan, tapi ternyata tubuhnya masih terasa sakit ketika bergerak. "Aaargh!"Rangga berseru tertahan. Tubuh Rangga kembali ambruk, pemuda itu merasakan rasa sakit yang luar biasa di dada dan perutnya serta sakit kepala yang luar biasa. Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki masuk ke kamar. "Aah...syukurlah kamu sudah bangun!" Rangga terkejut dan menoleh, seorang nenek-nenek berdiri dihadapannya, dia membawa nampan yang penuh dengan guci-guci kecil dan cawan. Tapi lagi-lagi Rangga terkejut ketika menyadari siapa nenek itu. Hampir saja dia berteriak ketakutan. Nenek itu adalah nenek yang membukakan pintu untuknya. "Mbah, ternyata Simbah itu orang ya,"ujar Rangga dengan polosnya. Nenek itu tertegun
Terdengar suara langkah kaki memasuki ruangannya. Jalu menoleh, terlihat Hasta masuk sambil membawa satu gendul tuak dan dua cawan. Jalu memandang Hasta dengan pandangan menyelidik curiga. "Mau apa kamu masuk kemari tanpa izinku?!" Namun Hasta tak sedikitpun terlihat marah atau tersinggung. Dia tetap tersenyum sambil berjalan mendekati Jalu dan menepuk bahunya. "Jangan marah dulu Kangmas Jalu. Aku hanya ingin merayakan keberhasilanmu merebut Kitab Sang Hyang Agni. Setelah ini Kangmas pasti bakal menjadi pendekar tanpa tanding." Wajah Jalu mulai melunak, tampaknya dia senang mendengar pujian Hasta yang setinggi langit. Tapi sejurus kemudian dia menghela nafas panjang. "Hasta, aku tidak sekedar ingin menjadi pendekar tanpa tanding, tapi aku juga ingin menjadi pejabat istana. Aku yakin setelah menguasai ilmu Sang Hyang Agni kemudian terkenal sebagai pendekar tanpa tanding, Gusti Ratu Tribuana pasti bersedia menjadikanku sebagai seorang pejabat." Hasta tertegun dan membatin
Ruangan di sebelah kamar Hasta adalah tempat penyimpanan obat dan bahan-bahan obat. Gembong membuka pintu ruang penyimpanan bahan obat, situasi di dalam gudang begitu gelap. Dia mengambil lampu sentir yang tergantung di dinding lalu masuk dan memeriksa di dalamnya. Terdengar bunyi mencicit dan bunyi benda yang saling berbenturan di belakang lemari. "Cit cit cit! Glodak glodak glodak!" Gembong mendekati lemari, beberapa tikus bermunculan dari bawah lemari penyimpanan bahan obat, disusul dengan seekor kucing yang melompat dari atas lemari. Saat melompat, kucing itu menyenggol tangan Gembong yang sedang memegang sentir. "Sialan, tikus tikus !" Tikus-tikus berlarian dari balik lemari. Gembong yang tampak sangar dan perkasa ternyata takut dengan tikus. Karena terjangan kucing, lampu sentir yang dibawa Gembong terjatuh dan minyak kelapa bahan bakar lampu sentir tumpah ke lantai. Minyak yang terkena api langsung terbakar merembet ke tumpukan kayu, akar kering dan rak yang diatas
Suasana malam itu berubah, gundukan tanah dengan batu nisan itu menghilang. Sementara di depannya sedang berlangsung pertarungan yang sengit antar pendekar. Jarak Rangga dengan para pendekar itu cukup dekat hanya berjarak sekitar lima meter saja. Seorang pendekar yang berpakaian seperti seorang Resi berteriak lantang. Suaranya menggelegar bagai petir mengalahkan suara teriakan pertarungan. "Sekar kembalikan Kitab Sang Hyang Agni kepada kami. Najis jika kitab itu dipegang manusia sesat macam kalian!" Terdengar suara wanita yang melengking lantang menusuk telinga. Membuat para pendekar lainnya menutup telinga mereka. "Ha ha ha ha kamu mimpi Dharmaja, kalahkan dulu para pendekar di sini, baru aku ikhlas menyerahkan kitab ini kepadamu!" Setelah itu terdengar suara pertarungan sengit. "Siapa itu Mbah?" "Dia Resi Dharmaja, salah satu pendeta di Sywa Grha yang diutus merebut kembali kitab itu. Sekarang diamlah, kamu sedang melihat peristiwa duapuluh tahun yang lalu,"tukas Mbah
"Anda tidak usah membuka cakra tenaga dalam saya Lagipula saya tidak berminat belajar silat. Sebaiknya kita pulang saja Mbah, saya juga sudah lelah dan mengantuk.""Ya ya ya kita pulang, Simbah lupa kalau kamu sebenarnya masih sakit."Mereka berdua kembali menyusuri jalan setapak pulang ke rumah. Setibanya di rumah, Rangga yang sudah lelah segera merebahkan dirinya di tikar. Namun udara gunung yang dingin membuatnya sulit tidur.Dicobanya memejamkan mata sambil berhitung sehingga lama kelamaan akhirnya dia mulai mengantuk. Antara sadar dan tidak sadar, saat dirinya sudah setengah terlelap, ada satu sosok pria berpakaian serba putih seperti seorang Resi menghampirinya.Resi itu membangunkannya dengan lembut. Saat Rangga membuka matanya, Resi itu tersenyum ramah lalu berkata "Ngger, tadi aku melihatmu bersama Janti di sana."Rangga mengucek-ucek matanya, dia merasa aneh dengan kehadiran seorang Resi secara tiba-tiba di kamarnya. Dia hantu apa manusia? Bagaimana dia bisa masuk kemari?
"Mbah, saya kan tidak berbakat, kenapa Simbah malah memilih saya?" Mbah Janti tersenyum.memandang Rangga lalu menepuk bahunya. "Karena hatimu baik dan kamu cerdas. Simbah percaya setelah ini kamu mampu mengatasi kesulitanmu membuka cakra tenaga dalam. Sekarang duduklah dan ikuti perintahku, aku akan mencoba lagi membuka cakra tenaga dalammu." Rangga duduk bersila sedangkan Mbah Janti berdiri di depannya. "Sekarang kamu hirup udara dalam-dalam dan hembuskan melalui mulut perlahan." Ini persis seperti yang diajarkan Resi Dharmaja, batin Rangga. Karena sebelumnya sudah pernah melakukannya, Rangga tidak menemui kesulitan melakukannya. Mbah Janti lalu duduk di belakang Rangga menempelkan tangan di punggung Rangga. Tapi hanya dalam hitungan detik Mbah Janti menarik tangannya. "Cakra tenaga dalamu sudah terbuka, siapa yang membantumu membukanya?"tanya Mbah Janti dengan nada menyelidik. Rangga tertegun ternyata Mbah Janti sudah tahu, tapi dia masih tidak ingin menceritakan pert
Rangga mendekapkan kitab Sang Hyang Agni ke dadanya lalu menatap Mbah Janti. "Mbah, saya berjanji akan mengembalikan kitab ini pada para pendeta di Sywa Grha setelah saya mempelajarinya. Tapi ajarkan saya membaca huruf Brahmi." Mbah Janti tampak lega mendengar pernyataan Rangga. Dia mengangguk lalu berkata. "Terimakasih Rangga sudah bersedia membantuku. Kitab ini memang sudah seharusnya berada di Sywa Grha. Jika kamu bertemu para pendeta Sywa Grha, sampaikan permintaan maaf kami dari sekte Bhairawa yang sudah menahan kitab itu di sini." Rangga mengangguk "Ya Mbah, saya akan sampaikan pada mereka." "Terimakasih Rangga, aku sudah lega. Sekarang aku akan mengajarkanmu cara membaca huruf Brahmi dan jurus-jurus Sang Hyang Agni." ***** Selama di Lembah Hantu, Rangga selain mempelajari ilmu sang Hyang Agni, Mbah Janti juga mengajarkan ilmu-ilmu dari sekte Bhairawa. "Rangga, aku juga mengajarkanmu ilmu dari Sekte Bhairawa. Bagi para pendekar golongan putih, ilmu ini adalah ilmu
Rangga bergegas naik ke tepian sungai, sementara makhluk bersisik seperti ikan itu masih berada di dalam air. Seumur hidupnya belum pernah Rangga melihat wujud makhluk halus atau siluman apapun. Jadi ini adalah pengalamn pertamanya. Rangga berusaha membunuh rasa takut yang mulai menguasai dirinya. Dia mencoba menggertak makhluk di depannya. "Kalau kamu mencari gara-gara denganku, kamu bertemu dengan orang yang salah!" Usai berbicara, Rangga mulai menghimpun tenaga dalam di tangannya, lalu melontarkan sebuah pukulan jarak jauh ke arah makhluk itu. "Hyaaaa!"Rangga berteriak ketika melontarkan pukulan ke arah makhluk seram itu. Tiba-tiba terdengar suara dentuman keras seperti bom meledak "Blaaar!" Pecahan batu berhamburan di sungai. Makhluk seram itu ternyata tidak dapat dipukul, energi pukulan Rangga melesat menembus tubuh makhluk seram itu dan menghantam batu dibelakangnya. Terkesiap Rangga melihat upayanya gagal. "Ha ha ha ha ha, percuma saja kamu berusaha membunuhku man
Semua orang terkejut, wajah dan tubuh orang yang baru datang itu tampak bengep seperti habis dipukuli. Ternyata orang itu adalah tetangga mereka juga yang sama-sama berjualan makanan di pasar.Jiwo tertegun melihat kondisi orang itu.Apa yang dikatakan Saloka benar adanya, aku punya khodam pendamping yang tidak hanya sebagai penunjuk jalan tetapi juga membantuku menyelesaikan urusanku, pikir Jiwo.Setelah itu, orang-orang mulai meminta Jiwo untuk memberikan pengobatan, mencari pusaka dan benda yang hilang bahkan meramal nasib. ******Pagi itu, Rangga berenang di air terjun. Saat di dekat gerojokan air terjun, Rangga melihat ada sebuah ruang di belakang air terjun. Penasaran dengan ruangan itu, Rangga berenang lebih dekat lagi, lalu mulai meneliti ruang di belakang air terjun.Ternyata ada sebuah lorong kecil. Rangga masuk ke dalam lorong, ternyata di dalamnya terdapat sebuah ruangan. Dia memasuki ruangan itu, ternyata ruangan itu kedap air dan agak gelap. Tidak ada benda apapun di d
"Sebagai pengganti matamu yang telah kami ambil, aku akan menggantinya dengan penglihatan mata ketiga,"ujar Saloka."Maksudmu aku diberi mata baru? Lalu mata siapa yang akan kalian gunakan sebagai pengganti?"tanya Jiwo keheranan.Saloka hanya tersenyum mendengar pertanyaan Jiwo."Kamu akan memiliki penglihatan mata batin tanpa batas. Kamu bisa melihat apa yang seharusnya tak terlihat."Jiwo tertawa sinis"Kalau cuma kaya gitu sih, dukun-dukun bahkan anak kecil bisa melihat makhluk halus. Apa istimewanya mata ketigaku?"Wajah Saloka berubah, dia tampak tidak suka disepelekan ilmunya."Kamu betul-betul orang yang tidak tahu terimakasih. Pandangan mata ketiga yang kuberikan kepadamu bukanlah mata ketiga biasa seperti yang dimiliki dukun-dukun kelas teri itu. Banyak orang yang menginginkan ilmu itu. Mereka rela bertapa bertahun-tahun untuk mendapatkan penglihatan Mata Ketiga itu tapi tak satupun dari mereka yang mampu memperolehnya karena syaratnya memang berat.""Baiklah kalau memang il
Kulitnya terasa perih karena berjalan menembus semak berduri dan terkena goresan ranting. "Buug!" Jiwo menabrak batang pohon besar yang menghalangi jalannya. Kepalanya pusing, kedua rongga matanya terasa sakit, setelah itu dia pingsan. Saat itu Jiwo merasa tubuhnya menjadi seringan kapas melayang keluar dari tubuhnya sehingga dia dapat melihat dirinya yang sedang terbaring di lantai hutan. Heei... aku bisa melihat sekarang, tapi apa aku sudah mati?pikir Jiwo. Sebuah lorong yang diterangi cahaya tiba-tiba terbentang di depannya. Jiwo terkejut melihat lorong bercahaya itu tiba-tiba sudah berada di depannya. Apakah lorong ini menuju nirwana?batin Jiwo sambil melangkah lebih dekat lagi mendekati pintu lorong. Jiwo terus melangkahkan kaki memasuki lorong, namun baru beberapa langkah masuk lorong, tiba-tiba saja tubuhnya ditarik oleh sebuah kekuatan besar, tersedot masuk lebih dalam ke dalam lorong dengan kecepatan tinggi. Jiwo berusaha keluar dari lorong tapi tak bisa. T
"Kami adalah penghuni tempat ini! Dan sekarang kamu tidur di atas istana Raja kami!""Istana apaan, aku tidur di atas batu kali,"jawab Jiwo setengah mengantuk.Namun orang-orang itu tampaknya tak mau peduli, mereka terus membangunkan Jiwo. Ada yang menggelitiki pinggangnya, menarik kupingnya atau menjambak rambutnya. Jiwo yang sudah kecapekan tak juga bangun walaupun tidurnya diganggu.Akhirnya karena Jiwo tak juga pindah tempat, makhluk-makhluk itu memindahkan Jiwo ke atas pohon Waru. Jiwo yang masih tak sadar dirinya berpindah tempat, dengan santainya berguling membalikan badan."Buug!"Badan jiwo jatuh dari atas pohon. Pemuda itu kesakitan dan memaki"Aduuh...sialan aku dipindah. Siapa yang mindah aku?!"Akhirnya Jiwopun menyerah, sambil memegangi kepalanya yang sedikit pusing gara-gara jatuh dari pohon, Jiwo duduk di bawah pohon. Rasa kantuknya sudah menghilang sama sekali. Tapi Jiwo masih bersyukur, pohonnya tidak tinggi sehingga tidak membahayakan dirinya. Udara yang dingin m
Namun Dhesta tak mengindahkan perintah bapaknya. Dia mengambil Kapak Setan lalu berlari menyongsong lawan dan menghalau pasukan clurit dari Sekte Bulan Sabit Emas suruhan Hasta. Kapak Dhesta berkelebat membabat para penyerang. Jumlah mereka tidak terlalu banyak namun mereka semua memiliki tingkatan ilmu silat di atas rata-rata sehingga membuat mereka kewalahan menghadapinya. "Anak bodoh, kamu pulang ke Lawu saja, apa kamu tidak memikirkan keselamatan Amrita?" Dhesta tertegun, karena sibuk menghadapi musuh, dia melupakan Amrita. "Amrita!"Dhesta langsung berlari mencari Amrita di dalam rumah. Di sana dia melihat Amrita sudah diseret keluar dari tempat persembunyiannya oleh dua laki-laki berambut panjang terurai dengan ikat kepala Bulan Sabit Emas. Masing-masing membawa senjata clurit. "Hei...jangan sentuh dia!" Dua pria bersenjata clurit menengok terkejut ketika melihat ada orang lain di situ. Keduanya menghunus clurit lalu langsung menyerang Dhesta. "Hiyaaa." Di dalam rumah
Nyi Blorong mengejar, berusaha menangkap Saraswati. Gadis itu mencoba melawan, dengan ilmu Sang Hyang Tirta dia menyapu tubuh Nyi Blorong dengan air laut. "Whuuur!" Nyi Blorong hanya mengangkat tangannya, air laut berbalik menghantam Saraswati membuat gadis itu terkejut saat menyadari air laut berbalik mengantam dirinya. Dia berusaha menghindar tapi air laut seolah berada dalam kendali Nyi Blorong. Air laut itu seperti selendang air yang mengejar Saraswati. Kemanapun dia menghindar selendang air laut akan selalu mengejarnya. "Ha ha ha kamu bocah kemarin sore mau melawanku dengan ilmu Sang Hyang Tirta? Akulah si pengendali air yang sejati. Kamu tidak akan bisa melawanku!" Saraswati terus bergerak menghindar, walaupun dia memiliki stamina yang prima, tapi terus-terusan bergerak menghindar makin lama membuatnya semakin kelelahan. Sementara Rangga masih terus berusaha menghabisi pasukan manusia tanpa mata sehingga tak sempat memperhatikan Saraswati. Hingga suatu saat selendang
Rangga menoleh ke arah yang ditunjuk Saraswati. Entah darimana datangnya, ada seorang laki-laki berjalan ke arah mereka dari arah pantai. Berdebar Rangga saat melihat cara jalan orang itu. Orang itu terlihat berjalan biasa. Namun ketika kakinya melangkah, hanya dalam beberapa detik saja orang itu sudah mendekat ke arah mereka. "Saras, kita kembali ke goa, dia bukan orang. Aku tak mau berurusan dengan makhluk-makhluk di sini,"Rangga menarik tangan Saraswati mengajaknya pergi. Tapi Saraswati melepaskan tangannya dari genggaman Rangga. "Dia orang, lihat...kakinya menapak di tanah, penampilannya biasa saja seperti kita. Kalau kamu mau masuk goa, masuk saja sendiri,"Saraswati masih ngotot bertahan. Rangga mulai kesal dengan sikap keras kepala Saraswati. "Ayo kita pergi sebelum dia sampai kemari? Apa kamu tidak curiga dengan cara berjalannya?Lihat dia kelihatannya berjalan biasa, tapi hanya dalam satu langkah saja dia sudah menjangkau.jarak yang cukup jauh!" Saraswati mulai menga
Saraswati tersadar dengan gugup dia berkata "Oh ya tentu saja, bapakku seorang pertapa. Dia sering bertapa di gunung-gunung di pulau Jawa ini. Pastinya dia pernah di sini, simbol makara adalah simbol dari keluarga kami." "Lalu apa maksud bapakmu meletakan patung makara itu di sini? Seharusnya patung ini diletakan di tempat yang mudah terlihat. Bukan di tempat tersembunyi di antara celah bebatuan goa. Sepertinya dia tak ingin tempat ini ditemukan orang,"tulas Rangga. Saraswati terdiam mengingat-ingat sesuatu laku berkata lagi. "Bapakku pernah bercerita tentang jalur menuju Laut Selatan melalui sebuah lorong yang terletak di wilayah Pajang. Mungkinkah lorong ini akan membawa kita langsung menuju Laut Selatan?" Rangga teringat pengalamannya saat membebaskan keluarga Prawara dari perjanjian pesugihan dengan Nyi Blorong. Saat itu dia bisa langsung menuju Laut Selatan dari halaman belakang rumah keluarga Prawara. "Ah, tidak aku tidak mau ke sana lagi. Malas aku bertemu dengan par
Mereka menerobos kerimbunan hutan di lereng Merapi. Ternyata jalur menuju goa itu tidak semudah yang terlihat dari jauh. Mereka masih harus berjalan agak jauh. Samar terdengar suara air mengalir dengan deras, semakin dekat suara air mengalir itu semakin jelas terdengar. Akhirnya tibalah mereka di depan sebuah bukit batu yang terjal. Di atas bukit batu itu ada sebuah goa. Sesampainya di depan bukit batu, Rangga berdiri terpaku. Bukit itu ternyata curam dan dipenuhi oleh bebatuan yang terjal, licin dan berlumut. "Kalau dengan cara biasa kita akan kesulitan mencapai goa itu,"Rangga berkomentar. "Lalu apa kamu mau mundur dan mencari tempat lain?"tanya Saraswati. "Tidak, kita tetap ke sana, kamu pegangan yang kenceng, aku bawa kamu ke sana,"Rangga memeluk pinggang Saraswati lalu melompat ke bukit batu, menapaki bebatuan dengan ilmu meringankan tubuh Sang Hyang Bayu. Saraswati yang terkejut berteriak kaget. "Hei, kamu tidak perlu menggendongku seperti ini. Aku juga bisa!" "Sudah