Sywa Grha: Nama kuno candi Prambanan Huruf Brahmi : Huruf kuno India Jambudwipa : Nama kuno negara India Ganyonng : Sejenis umbi-umbian.
Rangga mendekapkan kitab Sang Hyang Agni ke dadanya lalu menatap Mbah Janti. "Mbah, saya berjanji akan mengembalikan kitab ini pada para pendeta di Sywa Grha setelah saya mempelajarinya. Tapi ajarkan saya membaca huruf Brahmi." Mbah Janti tampak lega mendengar pernyataan Rangga. Dia mengangguk lalu berkata. "Terimakasih Rangga sudah bersedia membantuku. Kitab ini memang sudah seharusnya berada di Sywa Grha. Jika kamu bertemu para pendeta Sywa Grha, sampaikan permintaan maaf kami dari sekte Bhairawa yang sudah menahan kitab itu di sini." Rangga mengangguk "Ya Mbah, saya akan sampaikan pada mereka." "Terimakasih Rangga, aku sudah lega. Sekarang aku akan mengajarkanmu cara membaca huruf Brahmi dan jurus-jurus Sang Hyang Agni." ***** Selama di Lembah Hantu, Rangga selain mempelajari ilmu sang Hyang Agni, Mbah Janti juga mengajarkan ilmu-ilmu dari sekte Bhairawa. "Rangga, aku juga mengajarkanmu ilmu dari Sekte Bhairawa. Bagi para pendekar golongan putih, ilmu ini adalah ilmu
Rangga bergegas naik ke tepian sungai, sementara makhluk bersisik seperti ikan itu masih berada di dalam air. Seumur hidupnya belum pernah Rangga melihat wujud makhluk halus atau siluman apapun. Jadi ini adalah pengalamn pertamanya. Rangga berusaha membunuh rasa takut yang mulai menguasai dirinya. Dia mencoba menggertak makhluk di depannya. "Kalau kamu mencari gara-gara denganku, kamu bertemu dengan orang yang salah!" Usai berbicara, Rangga mulai menghimpun tenaga dalam di tangannya, lalu melontarkan sebuah pukulan jarak jauh ke arah makhluk itu. "Hyaaaa!"Rangga berteriak ketika melontarkan pukulan ke arah makhluk seram itu. Tiba-tiba terdengar suara dentuman keras seperti bom meledak "Blaaar!" Pecahan batu berhamburan di sungai. Makhluk seram itu ternyata tidak dapat dipukul, energi pukulan Rangga melesat menembus tubuh makhluk seram itu dan menghantam batu dibelakangnya. Terkesiap Rangga melihat upayanya gagal. "Ha ha ha ha ha, percuma saja kamu berusaha membunuhku man
"Jadi Dewi Sekar sebenarnya masih hidup tetapi hanya berubah wujud? Tapi bukankah beliau sudah insyaf dan tidak lagi menganut aliran Bhairawa setelah menikah dengan Mpu Waringin?" Rangga serasa tak percaya, isteri Mpu Waringin menjadi budak iblis yang bisa menjelma sebagai siluman ikan. "Benar, memang dia sudah insyaf. Tapi sebelum dia mengenal Waringin, dia telah menggadaikan hidupnya pada Wastya, Raja Siluman Ikan yang menghuni sungai itu. Wastya menjanjikan kecantikan dan kehidupan abadi asal Sekar bersedia menjadi isterinya,"ungkap Mbah Janti. Mbah Janti menyorongkan cawannya yang sudah kosong pada Rangga "Ngger, tolong tuangkan wedhang jahenya." Rangga meraih poci lalu menuangkan wedhang jahe untuk Mbah Janti dan dirinya. Setelah menyeruput minumannya, Rangga bertanya, "Jadi Dewi Sekar akhirnya menikah dengan Wastya? Tapi bagaimana mungkin demit menikahi manusia? Bukankah Sang Hyang Widi melarang pernikahan antara manusia dengan demit?" Rangga hampir tak percaya ada man
"Ngger, apa yang kamu lakukan di sungai tadi sampai Sekar dan Wastya harus turun tangan sendiri membereskan semuanya?"tanya Mbah Janti. Rangga berusaha mengingat semua peristiwa yang dialaminya saat berendam di sungai. Rangga mencoba mengingat kembali apa saja yang dia lakukan saat itu. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. "Mbah, tadi waktu berendam di sungai aku...aku pipis," ucap Rangga lirih. "Haaah...kamu pipis di tengah sungai?" "Iya Mbah, aku pipis di tengah sungai," Rangga menundukan kepalanya. Dia merasa malu pada Mbah Janti. Mbah Janti menepuk jidatnya, "Astaga, kamu seharusnya tidak boleh pipis di tengah sungai krena di situlah kerajaan gaib Wastya berada. Aku lupa memberitahumu tadi, maafkan aku Ngger." Hadeeh Mbah...Mbah, Simbah yang lupa kasih tahu aku jadi kena masalah,pikir Rangga dengan hati kesal. "Lain kali kalau kebelet pipis, kamu pipis di tepi sungai, jangan di tengah. Ya sudah nggak apa-apa, besok akan kutemui Sekar untuk minta maaf dan membawakan se
Pagi itu matahari bersinar cerah namun udaranya sejuk segar dan tidak terasa panas.. Di bawah pohon bambu Rangga duduk di tikar bersama Mbah Janti. Dia mendengarkan dengan seksama Mbah Janti yang sedang membacakan isi kitab Sang Hyang Agni di lembar terakhir yang kini dikuasai Hasta. Sesekali Mbah Janti berhenti lalu Rangga mengulang lagi kata-kata Mbah Janti. Sampai menjelang siang, Rangga dan Mbah Janti mengakhiri aktivitasnya. "Bagaimana Rangga, kamu sudah hafal isi kitab di halaman terakhir?" "Saya masih belum lancar, tapi sebagian saya sudah hafal. Sebagian isi dari kitab itu sudah saya catat di lontar. Beri saya waktu untuk menghafalndan mencatatnya,"ujar Rangga. Mbah Janti mengangguk puas, bibirnya tersenyum. "Bagus besok kita mulai latihan tahap akhir. Pada tahap ini kamu harus berhati-hati. Salah mempelajarinya bisa fatal akibatnya," Mbah Janti mengingatkan. Rangga tertegun sejenak kemudian bertanya dengan hati-hati "Memangnya kenapa Mbah?" "Kalau kamu salah
Mbah Janti kembali masuk kamar membawakan makanan dan secawan ramuan herbal yang mengepul panas. "Minumlah ramuan ini supaya perutmu tetap hangat. Ini akan menjaga agar energi Kundalini tidak bergerak liar dan membuatmu sakit." Rangga segera meminum ramuan herbalnya setelah itu perutnya terasa hangat dan tubuhnya terasa lebih baik. "Mbah, kepalaku sudah tidak pusing lagi dan punggungku sudah mulai mendingin." "Rangga, jika kamu kepanasan lagi, bersandarlah di batang pohon atau berbaring di tanah. Itu akan menetralkan panas akibat energi Kundalini." "Jadi tanah dan kayu dapat menetralkan energi Kundalini?"tanya Rangga. "Ya, itu cara yang termudah, dan jangan lupa jaga supaya perutmu tetap hangat." ****** Semenjak berita tentang keberadaan Kitab Sang Hyang Agni tersebar si dunia persilatan, para pendekar berbondong-bondong menuju Lembah Hantu. Hari itu ada sekitar 50 orang pendekar dari berbagai tempat datang ke Lembah Hantu. Siang hari, rombongan pendekar sudah tiba di tep
Para pendekar telah tiba di seberang sungai, tapi mereka hanya menemukan komplek makam tua dan hutan bambu Ori yang rapat di sekeliling mereka. Barisan bambu Ori itu bagaikan dinding berduri berlapis-lapis yang sulit ditembus. "Bagaimana kita bisa menembus dinding bambu ini?"tanya salah satu pendekar. "Ah, itu sih gampang, kita gunakan pedang dan parang untuk membabatnya,"ujar pendekar gempal. "Tapi kita sebaiknya istirahat dulu sebentar setelah itu kita tebangi bambu-bambu ini!"ujar pendekar yang lain. Rombongan pendekar itu mulai mencari tempat yang teduh untuk beristirahat lalu mereka mulai menyantap bekal masing-masing. Setelah istirahatnya dirasa cukup, para pendekar itu mulai mengeluarkan parang dan membabati bambu Ori. Namun bambu Ori itu begitu sulit ditebas. Batangnya lentur dan liat belum lagi duri-durinya yang melukai tangan, kaki dan tubuh para pendekar itu. "Ahh...sial tanganku kena durinya!"seru salah satu pendekar. Pendekar gempal tampak gusar melihat tem
Kabut semakin tebal, sosok para pendekar yang memasuki area perkampungan kini sudah tak tampak lagi karena tertutup kabut tebal. Saat matahari semakin tinggi, kabut sudah mulai menipis, perkampungan itu sudah tidak ada lagi. Yang ada hanyalah hutan lebat yang gelap. Keesokan harinya saat subuh tiba, Rangga sudah bangun dan langsung pergi ke komplek kuburan. Tanaman bambu yang tadinya membentuk dinding rapat, kini sudah kembali jadi lorong bambu. Rangga mencari-cari para pendekar yang kemarin datang, tapi para pendekar itu sudah tidak ada lagi di tempat. Yang tersisa hanyalah jasad para pendekar yang meninggal karena racun duri bambu. Kemana rombongan para pendekar yang kemarin? Seharusnya mereka baru bisa pulang pagi ini karena kemarin kabutnya tebal. Lalu jasad-jasad ini , kenapa mereka tidak memakamkannya sekalian. Benar-benar keterlaluan, pikir Rangga. Rangga mengambil cangkul lalu mulai menggali lubang untuk kuburan massal. Saat sedang sibuk mencangkul, Rangga mendengar
"Sebagai pengganti matamu yang telah kami ambil, aku akan menggantinya dengan penglihatan mata ketiga,"ujar Saloka."Maksudmu aku diberi mata baru? Lalu mata siapa yang akan kalian gunakan sebagai pengganti?"tanya Jiwo keheranan.Saloka hanya tersenyum mendengar pertanyaan Jiwo."Kamu akan memiliki penglihatan mata batin tanpa batas. Kamu bisa melihat apa yang seharusnya tak terlihat."Jiwo tertawa sinis"Kalau cuma kaya gitu sih, dukun-dukun bahkan anak kecil bisa melihat makhluk halus. Apa istimewanya mata ketigaku?"Wajah Saloka berubah, dia tampak tidak suka disepelekan ilmunya."Kamu betul-betul orang yang tidak tahu terimakasih. Pandangan mata ketiga yang kuberikan kepadamu bukanlah mata ketiga biasa seperti yang dimiliki dukun-dukun kelas teri itu. Banyak orang yang menginginkan ilmu itu. Mereka rela bertapa bertahun-tahun untuk mendapatkan penglihatan Mata Ketiga itu tapi tak satupun dari mereka yang mampu memperolehnya karena syaratnya memang berat.""Baiklah kalau memang il
Kulitnya terasa perih karena berjalan menembus semak berduri dan terkena goresan ranting. "Buug!" Jiwo menabrak batang pohon besar yang menghalangi jalannya. Kepalanya pusing, kedua rongga matanya terasa sakit, setelah itu dia pingsan. Saat itu Jiwo merasa tubuhnya menjadi seringan kapas melayang keluar dari tubuhnya sehingga dia dapat melihat dirinya yang sedang terbaring di lantai hutan. Heei... aku bisa melihat sekarang, tapi apa aku sudah mati?pikir Jiwo. Sebuah lorong yang diterangi cahaya tiba-tiba terbentang di depannya. Jiwo terkejut melihat lorong bercahaya itu tiba-tiba sudah berada di depannya. Apakah lorong ini menuju nirwana?batin Jiwo sambil melangkah lebih dekat lagi mendekati pintu lorong. Jiwo terus melangkahkan kaki memasuki lorong, namun baru beberapa langkah masuk lorong, tiba-tiba saja tubuhnya ditarik oleh sebuah kekuatan besar, tersedot masuk lebih dalam ke dalam lorong dengan kecepatan tinggi. Jiwo berusaha keluar dari lorong tapi tak bisa. T
"Kami adalah penghuni tempat ini! Dan sekarang kamu tidur di atas istana Raja kami!""Istana apaan, aku tidur di atas batu kali,"jawab Jiwo setengah mengantuk.Namun orang-orang itu tampaknya tak mau peduli, mereka terus membangunkan Jiwo. Ada yang menggelitiki pinggangnya, menarik kupingnya atau menjambak rambutnya. Jiwo yang sudah kecapekan tak juga bangun walaupun tidurnya diganggu.Akhirnya karena Jiwo tak juga pindah tempat, makhluk-makhluk itu memindahkan Jiwo ke atas pohon Waru. Jiwo yang masih tak sadar dirinya berpindah tempat, dengan santainya berguling membalikan badan."Buug!"Badan jiwo jatuh dari atas pohon. Pemuda itu kesakitan dan memaki"Aduuh...sialan aku dipindah. Siapa yang mindah aku?!"Akhirnya Jiwopun menyerah, sambil memegangi kepalanya yang sedikit pusing gara-gara jatuh dari pohon, Jiwo duduk di bawah pohon. Rasa kantuknya sudah menghilang sama sekali. Tapi Jiwo masih bersyukur, pohonnya tidak tinggi sehingga tidak membahayakan dirinya. Udara yang dingin m
Namun Dhesta tak mengindahkan perintah bapaknya. Dia mengambil Kapak Setan lalu berlari menyongsong lawan dan menghalau pasukan clurit dari Sekte Bulan Sabit Emas suruhan Hasta. Kapak Dhesta berkelebat membabat para penyerang. Jumlah mereka tidak terlalu banyak namun mereka semua memiliki tingkatan ilmu silat di atas rata-rata sehingga membuat mereka kewalahan menghadapinya. "Anak bodoh, kamu pulang ke Lawu saja, apa kamu tidak memikirkan keselamatan Amrita?" Dhesta tertegun, karena sibuk menghadapi musuh, dia melupakan Amrita. "Amrita!"Dhesta langsung berlari mencari Amrita di dalam rumah. Di sana dia melihat Amrita sudah diseret keluar dari tempat persembunyiannya oleh dua laki-laki berambut panjang terurai dengan ikat kepala Bulan Sabit Emas. Masing-masing membawa senjata clurit. "Hei...jangan sentuh dia!" Dua pria bersenjata clurit menengok terkejut ketika melihat ada orang lain di situ. Keduanya menghunus clurit lalu langsung menyerang Dhesta. "Hiyaaa." Di dalam rumah
Nyi Blorong mengejar, berusaha menangkap Saraswati. Gadis itu mencoba melawan, dengan ilmu Sang Hyang Tirta dia menyapu tubuh Nyi Blorong dengan air laut. "Whuuur!" Nyi Blorong hanya mengangkat tangannya, air laut berbalik menghantam Saraswati membuat gadis itu terkejut saat menyadari air laut berbalik mengantam dirinya. Dia berusaha menghindar tapi air laut seolah berada dalam kendali Nyi Blorong. Air laut itu seperti selendang air yang mengejar Saraswati. Kemanapun dia menghindar selendang air laut akan selalu mengejarnya. "Ha ha ha kamu bocah kemarin sore mau melawanku dengan ilmu Sang Hyang Tirta? Akulah si pengendali air yang sejati. Kamu tidak akan bisa melawanku!" Saraswati terus bergerak menghindar, walaupun dia memiliki stamina yang prima, tapi terus-terusan bergerak menghindar makin lama membuatnya semakin kelelahan. Sementara Rangga masih terus berusaha menghabisi pasukan manusia tanpa mata sehingga tak sempat memperhatikan Saraswati. Hingga suatu saat selendang
Rangga menoleh ke arah yang ditunjuk Saraswati. Entah darimana datangnya, ada seorang laki-laki berjalan ke arah mereka dari arah pantai. Berdebar Rangga saat melihat cara jalan orang itu. Orang itu terlihat berjalan biasa. Namun ketika kakinya melangkah, hanya dalam beberapa detik saja orang itu sudah mendekat ke arah mereka. "Saras, kita kembali ke goa, dia bukan orang. Aku tak mau berurusan dengan makhluk-makhluk di sini,"Rangga menarik tangan Saraswati mengajaknya pergi. Tapi Saraswati melepaskan tangannya dari genggaman Rangga. "Dia orang, lihat...kakinya menapak di tanah, penampilannya biasa saja seperti kita. Kalau kamu mau masuk goa, masuk saja sendiri,"Saraswati masih ngotot bertahan. Rangga mulai kesal dengan sikap keras kepala Saraswati. "Ayo kita pergi sebelum dia sampai kemari? Apa kamu tidak curiga dengan cara berjalannya?Lihat dia kelihatannya berjalan biasa, tapi hanya dalam satu langkah saja dia sudah menjangkau.jarak yang cukup jauh!" Saraswati mulai menga
Saraswati tersadar dengan gugup dia berkata "Oh ya tentu saja, bapakku seorang pertapa. Dia sering bertapa di gunung-gunung di pulau Jawa ini. Pastinya dia pernah di sini, simbol makara adalah simbol dari keluarga kami." "Lalu apa maksud bapakmu meletakan patung makara itu di sini? Seharusnya patung ini diletakan di tempat yang mudah terlihat. Bukan di tempat tersembunyi di antara celah bebatuan goa. Sepertinya dia tak ingin tempat ini ditemukan orang,"tulas Rangga. Saraswati terdiam mengingat-ingat sesuatu laku berkata lagi. "Bapakku pernah bercerita tentang jalur menuju Laut Selatan melalui sebuah lorong yang terletak di wilayah Pajang. Mungkinkah lorong ini akan membawa kita langsung menuju Laut Selatan?" Rangga teringat pengalamannya saat membebaskan keluarga Prawara dari perjanjian pesugihan dengan Nyi Blorong. Saat itu dia bisa langsung menuju Laut Selatan dari halaman belakang rumah keluarga Prawara. "Ah, tidak aku tidak mau ke sana lagi. Malas aku bertemu dengan par
Mereka menerobos kerimbunan hutan di lereng Merapi. Ternyata jalur menuju goa itu tidak semudah yang terlihat dari jauh. Mereka masih harus berjalan agak jauh. Samar terdengar suara air mengalir dengan deras, semakin dekat suara air mengalir itu semakin jelas terdengar. Akhirnya tibalah mereka di depan sebuah bukit batu yang terjal. Di atas bukit batu itu ada sebuah goa. Sesampainya di depan bukit batu, Rangga berdiri terpaku. Bukit itu ternyata curam dan dipenuhi oleh bebatuan yang terjal, licin dan berlumut. "Kalau dengan cara biasa kita akan kesulitan mencapai goa itu,"Rangga berkomentar. "Lalu apa kamu mau mundur dan mencari tempat lain?"tanya Saraswati. "Tidak, kita tetap ke sana, kamu pegangan yang kenceng, aku bawa kamu ke sana,"Rangga memeluk pinggang Saraswati lalu melompat ke bukit batu, menapaki bebatuan dengan ilmu meringankan tubuh Sang Hyang Bayu. Saraswati yang terkejut berteriak kaget. "Hei, kamu tidak perlu menggendongku seperti ini. Aku juga bisa!" "Sudah
"Jolodhong adalah nama julukan teman-temannya di dunia hitam. Nama aslinya adalah Jayendra. Dia sahabat Nambi Mahapatih Majapahit saat itu. Saat Nambi pulang ke Lamajang karena Pranaraja bapaknya meninggal, Halayuda memfitnah Nambi dengan mengatakan bahwa Nambi akan memberontak. Sehingga pasukan Majapahit menyerang Nambi dan keluarganya Lamajang." "Apakah Eyang membantu Nambi memberontak?"tanya Jiwo. "Tentu saja, sebagai sahabat yang baik, Eyang Jolodhong memberitahu Nambi tentang kelicikan Halayuda. Dia kemudian membantu Nambi menghadapi pasukan Majapahit di Benteng Arnon,"tutur Bima. "Pemberontakan Nambi bisa ditumpas, lalu bagaimana nasib Eyang setelah penyerangan di Lamajang?"tanya Wening. Bima menghela nafas lalu berkata "Eyangmu tidak pulang ke Majapahit karena jika pulang dia bisa dibunuh. Setelah mengetahui Nambi telah gugur, aku dan ibuku ke Lamajang mencari bapakku. Tapi sayang sesampainya di Lamajang ibuku meninggal karena sakit dan kelelahan. Demi keselamatanku, bap