"Tenang saja. Kakek sudah punya caranya agar kau bisa keluar dari pulau ini." Caraka berdiri lalu membawa masuk peti kayu ke dalam pondok. Setelah itu dia kembali berjalan keluar. "Sekarang ikutlah denganku!" ajaknya.
Tanpa banyak bertanya Jalu mengikuti langkah kaki Caraka yang bergerak ke arah hutan kecil dan memasukinya.
Tak sampai satu jam berjalan keduanya sudah berada di bibir hutan. Kini di depan mereka sudah berdiri tebing yang cukup tinggi, kurang lebih dua puluh meter.
"Ayo, Jalu!"
Caraka melompat tinggi dan diikuti Jalu sesaat berikutnya. Keduanya mendarat dengan ringan di atas tebing.
"Lihatlah itu!" Caraka menunjuk batu besar yang berbentuk tengkorak kepala, "itulah kenapa pulau terpencil ini dinamakan pulau tengkorak. Entah siapa yang mengukir batu hingga menjadi sebuah tengkorak, tapi sejak aku dihukum di sini tengkorak itu sudah lebih dulu ada."
Jalu berjalan mendekati batu besar berbentuk tengkorak tersebut. Sementara Caraka menuju sebuah batu lainnya yang tidak terlalu besar lalu mengangkatnya.
Di bawah batu tersebut terdapat sebilah pedang bersarung kulit hewan. Caraka mengambilnya lalu berjalan mendekati Jalu dan menunjukan pedang tersebut kepadanya.
"Pedang ini punya Kakek?" tanya Jalu.
"Ya. Tapi pedang ini kuberikan kepadamu. Puluhan tahun aku menempa batu lidah petir yang kutemukan dan membentuknya menjadi sebilah pedang yang cantik ini. Aku memberinya nama, Pedang Halilintar," ujar Caraka.
Jalu menerima pedang tersebut lalu mencabut bilahnya keluar. Energi besar langsung merembes keluar hingga membuat tangan Jalu bergetar hebat.
"Kenapa begini, Kek?" tanya Jalu penasaran.
"Tidak apa-apa, kau hanya masih belum terbiasa menggunakannya. Ibarat hewan peliharaan, kenali dan sentuh jiwanya maka dia akan menurut kepadamu," ucap Caraka memberi penjelasan. Lelaki tua itu kemudian duduk bersandar di batu tengkorak.
"Dunia luar itu kejam, Jalu. Jika ingin berkuasa kau juga harus kejam, hilangkan kebaikan di dalam dirimu. Tidak ada orang baik di luar sana, semua sama saja penuh kemunafikan! Aku memberimu pedang Halilintar ini untuk memuluskan jalanmu menguasai dunia persilatan. Hanya sedikit saja senjata pusaka di dunia ini yang bisa menandinginya," sambung Caraka seraya menatap kejauhan yang berupa hamparan laut luas.
"Lalu bagaimana caranya aku keluar dari pulau ini untuk mewujudkan mimpi Kakek?"
"Aku sudah lama mengamati jika setiap satu bulan sekali akan ada kapal yang lewat di dekat pulau ini, biasanya malam hari lewatnya. Dengan kapal itulah kau akan menuju dunia baru yang ramai dan kejam. Paling tidak kurang tiga minggu lagi, manfaatkanlah waktu yang ada untuk melatih kembali semua jurus pedang yang sudah kakek berikan kepadamu menggunakan pedang Halilintar," jawab Caraka lalu bangkit berdiri.
"Ayo kita kembali!"
***
Sesampainya di dalam pondok, Caraka mengambil dua kantong kain yang berisi koin emas di dalam peti peti. Tak lupa juga dia mengambil liontin kalung dan memberikannya kepada Jalu.
"Liontin ini adalah satu-satunya peninggalan ibumu. Sekarang pakailah agar kenangan ibumu tetap melekat kepadamu meski kau tidak pernah melihat wajahnya."
Jalu meraih kedua benda yang diberikan Caraka kepadanya. "Kalung ini nanti saja kupakai, Kek. Sekarang aku mau berlatih dulu dengan pedang ini."
Sambil menunggu kedatangan kapal yang melintas di dekat pulau, hari demi hari dilalui Jalu dengan berlatih keras. Dia melatih kepekaan Pedang Halilintar yang kini sudah sah menjadi miliknya.
Tepat tiga minggu sudah waktu yang ditunggu. Malam itu Jalu dan Caraka duduk di atas tebing menunggu kapal yang biasanya melintas tengah malam.
Keduanya berbicara ringan sambil mengarahkan pandangan ke lautan.
Deburan ombak yang menghantam bebatuan terdengar bagai iringan musik alam yang memeriahkan keheningan.
Dari jauh terlihat titik merah yang berada di lautan. Caraka menyipitkan mata untuk memastikan apakah itu benar kapal yang biasa dilihatnya.
"Apa itu kapal yang Kakek maksud?" Jalu menunjuk benda hitam besar yang mengapung di lautan.
Pantas Jika Jalu bertanya, sebab meski hidup di pantai selama delapan belas tahun dia tidak pernah melihat yang namanya kapal.
"Benar. Itu kapal yang kumaksud. Segeralah pergi dan kejar kapal itu!" kata Caraka.
"Begitu jauh, bagaimana aku mengejarnya, Kek? Dengan berenang pun akan sulit kurasa," ujar Jalu kebingungan.
"Bocah bodoh! Apa gunanya kakek mengajarimu ilmu meringankan tubuh?Bukankah kau sudah pernah berlari di atas permukaan air?"
Jalu menepuk jidatnya. Kebingungan yang melanda pikiran karena harus berpisah dengan lelaki yang telah membesarkannya itu sampai membuatnya lupa.
"Sampai bertemu lagi, Kek. Aku berangkat sekarang!" Jalu memeluk Caraka sebentar sebelum melompat ke bawah.
Pemuda tampan berusia delapan belas tahun itu kemudian melesat cepat di atas air dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah taraf sempurna. Dalam waktu singkat dia sudah di dekat kapal dan melompat ringan ke atas. Kondisi yang gelap dan juga sudah tengah malam menjadikan Jalu dengan mudah menaiki kapal tanpa terlihat.
Pemuda berwajah tampan itu memilih meringkuk di dekat tong kayu yang digunakan untuk menampung air tawar. Setelah itu dia menutupi tubuhnya dengan kain milik mendiang ibunya sebagai selimut biar hangat.
Angin malam yang berhembus sepoi-sepoi malam itu sukses membuat Jalu diterpa rasa kantuk. Pemuda tampan itupun tidur dengan posisi duduk meringkus bersandar tong air.
Keesokan paginya, suara ramai yang terdengar memasuki gendang telinga mengharuskan Jalu membuka matanya. Dilihatnya belasan orang baik laki-laki maupun perempuan sedang memandangnya.
Jalu yang masih asing dengan situasi ramai dan banyak orang hanya bisa melongo seraya melihat sekeliling. Selama delapan belas tahun hidup di dunia, baru kali ini dia melihat wajah orang lain selain wajah kakeknya.
"Siapa kau, Anak muda, kenapa kau tiba-tiba bisa berada di sini?" tanya seorang lelaki yang merupakan salah satu anak buah kapal.
Jalu bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Jika dia menjawab dengan berlari di atas permukaan air laut untuk mengejar kapal yang sedang berlayar, sudah pasti orang-orang di depannya akan menganggap dia gila.
Menatap dengan pandangan kosong, hanya itu yang bisa dilakukannya agar belasan orang di depannya itu berpikir jika dirinya sedang hilang ingatan. Jalu tidak punya cara lain agar orang-orang tidak bertanya lagi kepadanya.
"Jika dilihat dari pandangannya yang kosong, sepertinya pemuda ini gila atau mungkin mengalami hilang ingatan," ucap salah seorang wanita yang sedang menggendong bayi.
Taktik yang dilakukan Jalu berhasil. Beberapa orang lainnya setuju dengan ucapan wanita yang sedang menggendong bayi. Bahkan seorang wanita lain yang berusia sekitar setengah baya berpakaian mewah dan berdandan ala orang kaya sampai berjalan maju lalu berjongkok di depan Jalu.
"Sungguh sangat disayangkan jika pemuda setampan dia mengalami hilang ingatan. Andai saja pikirannya normal, aku bisa menjodohkannya dengan putriku di rumah," ucapnya seraya menggeleng pelan
Jalu hanya bisa tertawa dalam hati ketika semua orang yang melihatnya sudah menganggapnya hilang ingatan atau bahkan gila. Tapi di balik itu, dia merasa akan lebih baik untuknya bila mereka terus berpikir seperti itu terhadapnya."Bagaimana kalau Nyi Sundari tampung dia dulu setelah nanti sampai di daratan Swarnadwipa? Siapa tahu dengan sedikit pengobatan bisa mengembalikan ingatannya. Lagi pula dengan tubuhnya yang kekar itu aku yakin dia bisa membantumu berdagang," ujar seorang lelaki bertubuh tambun yang juga berpenampilan seperti orang kaya."Aku tidak bisa langsung mengiyakan usulmu, Kang Parjo. Saat ini suamiku masih tidur, nanti saja setelah dia bangun baru kubicarakan tentang pemuda tampan ini dengannya," jawab wanita yang memiliki nama Nyi Sundari itu.Jalu sebenarnya sulit jika harus terus-terusan berpura-pura lupa ingatan. Tapi bagaimanapun juga dia tetap harus melakukannya, sebab dia sendiri perlu bantuan orang lain untuk mengenal dunia luar."Maaf, kalau boleh tahu aku se
"Apa mungkin?" Dugaan liar pun berkembang di dalam pikiran Jalu. Asumsi terkuatnya mengatakan jika Perompak Hantu Laut menjadi penyebab ibunya sampai menceburkan diri ke laut untuk menyelamatkannya."Biar aku yang menghadapi mereka, Paman dan bibi di kamar saja!" Jalu bangkit berdiri. Diambilnya pedang Halilintar yang tergantung di dinding lalu berjalan menuju pintu. Aji dan Nyi Sundari terpaku untuk beberapa saat sampai akhirnya kebekuan mereka berdua buyar setelah Jalu membuka pintu."Jalu, jangan melawan mereka, lebih baik kami serahkan saja harta yang dibawa dari pada nyawamu dalam bahaya. Mereka terkenal sangat kejam." Nyi Sundari berusaha mencegah Jalu yang sudah hendak keluar dari kamar."Tenang saja, Bi, aku akan baik-baik saja! Kalian berdua tetap di dalam kamar dan jangan keluar sampai aku kembali," balas Jalu tanpa merasa ragu sedikitpun, meski pertarungan dan juga mungkin pembunuhan pertama akan segera dijalaninya.Pemuda berwajah tampan itu melangkah keluar dan menutup
"Di mana para perompak itu?" tanya Aji penasaran."Tidak perlu memikirkan tentang mereka. Entah kenapa para perompak itu tiba-tiba saja memutuskan untuk berbalik arah dan tidak jadi menyerang kapal kita," jawab Jalu beralasan. Tidak mungkin juga dia mengatakan kepada sepasang saudagar kaya itu bahwa para perompak Hantu Laut telah dia kirim nyawanya menemui Dewa kematian.Dahi Aji berkerut tebal. Dia sulit untuk percaya dengan ucapan Jalu, sebab dirinya tahu betul bagaimana reputasi perompak Hantu Laut yang tidak akan melepaskan sasarannya begitu saja.Bergegas suami Nyi Sundari itu keluar dari kamar dan melihat ke bagian belakang kapal. Ditatapnya lautan yang membentang luas mencari keberadaan perompak Hantu Laut yang sudah tidak terlihat. Selepas itu dia kembali Jalu dan istrinya.Empat hari berselang, kapal besar itu akhirnya bersandar juga di pelabuhan. Jalu, Aji dan Nyi Sundari bergegas turun dari kapal. Barang dagangan yang baru saja diambil sepasang saudagar kaya dari daratan Ja
Dan hasilnya sama saja, putrinya itu tidak berminat sama sekali meski berbagai tawaran harta benda yang tidak sedikit turut diajukan sebagai mahar pernikahan."Putriku, duduklah di samping Jalu," ucap Nyi Sundari kepada putrinya seusai gadis cantik itu meletakkan makanan di atas meja.Gadis cantik yang seusia dengan Jalu itu menatap ibunya penuh pertanyaan, tapi kode mata dari Nyi Sundari membuatnya meletakkan pantat di bantalan kursi samping Jalu. Ekor matanya melirik ke arah pemuda tampan yang sedari tadi menundukkan wajahnya."Jalu, kenalkan ini putriku, namanya Ayu Wulandari. Kau bisa memanggilnya Ayu," kata Nyi Sundari.Lagi-lagi Jalu hanya memberi anggukan kecil tanpa ekspresi apapun di wajahnya, dan apa yang dilakukannya itu sukses membuat penilaian pertama Ayu Wulandari untuknya tidak bagus."Sombong sekali, dia. Bahkan untuk melirikku pun tidak mau!" ucapnya kesal dalam hati."Jalu, tugasmu nanti adalah mengawal putriku kemanapun dia keluar rumah. Apa kau bisa melakukannya?"
"Ckckck, bagaimana mungkin seorang pengawal akan mencelakai orang yang dikawalnya?"Purnomo terkejut mendengar suara yang berasal dari belakang tubuhnya. Dia menoleh ke belakang, tapi tidak ada seorang pun yang dilihatnya.Penasaran dengan suara yang baru saja didengarnya, Purnomo pun berdiri lalu melihat sekeliling. Tapi lagi-lagi sejauh matanya memandang tak terlihat siapapun."Kau mencariku?"Purnomo mendongak ke atas. Dilihatnya pemuda yang datang bersama Nyi Sundari dan Aji tengah duduk di atas sebuah dahan dengan pandangan terarah kepadanya."Kau jangan ikut campur urusanku, Bocah ingusan!" bentaknya keras."Hahahaha, bagaimana mungkin aku tidak ikut campur jika Bibi Sundari yang memintaku untuk menjaga Ayu." Jalu tertawa lebar karena menganggap apa yang diucapkan Purnomo kepadanya adalah hal yang lucu.Sejatinya Jalu tidak mengerti apa yang hendak dilakukan Purnomo kepada Ayu Wulandari, sebab selama hidup di Pulau Tengkorak dia tidak mengenal lawan jenis dan juga tentang birah
"Bohong! Kau pasti sudah bekerja sama dengan Purnomo untuk bisa menikmati tubuhku, bukan?" sahut Ayu Wulandari dengan penuh emosi. Jalu semakin bingung dengan kosakata baru yang dia tidak mengerti maksudnya. Bagaimana mungkin dia bisa dituduh hendak memakan gadis cantik putri dari Nyi Sundari dan Aji tersebut, sedangkan dirinya hanya berniat menyelamatkan Ayu Wulandari dari niat buruk Purnomo yang sebenarnya dia pun tidak paham apa hendak dilakukan lelaki bertubuh jangkung itu.Ya, Jalu memaknai arti kata menikmati sama dengan memakan. Keterbatasan berkomunikasi selama delapan belas tahun tinggal di pulau tengkorak membuatnya menjadi sosok yang lugu tapi bengis jika sudah berhadapan dengan sesama pendekar."Apa kau kira aku kanibal pemakan daging sesama manusia?" "Jangan pura-pura lugu, bedebah! Aku tahu kau berupaya mendekati orang tuaku agar bisa mendapatkanku." Lagi-lagi Ayu Wulandari menuduh Jalu tanpa dasar yang kuat. Dia hanya berpikir jika Jalu tak jauh berbeda dengan lelaki
Pertanyaan yang sama berseliweran di dalam pikiran setiap anggota perguruan Kelabang Hitam. Siapa pemuda yang berdiri di pintu gerbang? Ada masalah apa sehingga keempat penjaga sampai dibunuhnya? Puluhan lelaki berpakaian serba hitam yang merupakan anggota perguruan Kelabang Hitam itupun bergerak mendekati Jalu. Mereka masih menyangsikan bahwa pembunuh keempat penjaga tersebut adalah sang pemuda yang tampak tidak berbahaya jika dinilai dari wajah tampannya.Jalu mengambil beberapa ranting pohon kering yang tergeletak di dekat kakinya. Setelah itu dia mematahkannya kecil-kecil seukuran satu ruas jari. Satu ranting sebesar jempol kaki sepanjang satu meter dibiarkannya utuh dan dipegangnya di tangan kiri.Lelaki muda berusia delapan belas tahun berwajah tampan itu tersenyum tipis sebelum mengayunkan langkah kakinya. Dia kemudian berhenti dan berdiri setelah berjalan empat meter jauhnya.Puluhan anggota perguruan Kelabang Hitam itu heran dan bingung dengan keberanian yang ditunjukkan pe
Terang saja puluhan lelaki yang semuanya memakai pakaian berwarna hitam itupun bergegas memberikan perlawanan.Tapi Jalu jelas bukan lawan sepadan buat mereka. Satu persatu anggota Perguruan Kelabang Hitam tergeletak di tanah. Mereka yang terkena sabetan ranting kayu di kepala seketika tewas dengan tengkorak retak. Darah meleleh keluar dari retakan hasil tebasan ranting yang sudah dialiri tenaga dalam. Sengaja Jalu hanya mengincar bagian leher dan kepala yang merupakan dua titik vital dan bisa mengakibatkan kematian secara cepat. Sambil terus menyabetkan ranting di tangannya, Jalu bergerak gesit mendekati lelaki bertubuh tinggi besar yang tampak terkejut melihat pemuda itu bergerak ke arahnya.Tanpa menunggu temannya untuk menghadang pergerakan Jalu, lelaki bertubuh tinggi besar besar tersebut menyongsong datangnya serangan yang mengarah kepadanya."Minggir semua! Biar aku yang menghadapinya," teriaknya keras memberi perintah kepada teman-temannya.Belasan anggota Perguruan Kelabang