Share

Sebuah Perintah

Penulis: Alfonzo Perez
last update Terakhir Diperbarui: 2023-04-11 19:13:10

"Kakek, tumpukan batu di dalam hutan yang tertutupi semak-semak itu apa Kakek yang menatanya?"tanya Jalu setelah duduk bersimpuh di samping Caraka.

Lelaki tua itu cukup lama memandang Jalu dengan tatapan nanar. Ada perasaan sedih ketika menerima kenyataan bahwa dia harus kembali hidup sendirian.

Ya, Caraka dulu pernah bersumpah jika Jalu sudah menemukan kuburan ibunya, dia akan membuka semua masa lalu pemuda tampan itu. Dia juga akan mengatakan apa tujuannya mengajari pemuda tersebut denga ilmu Kanuragan mumpuni hingga dalam usia delapan belas tahun sudah berada pada tingkatan pendekar tanpa tanding.

Meski Jalu tidak memiliki keistimewaan apapun di dalam tubuhnya, tapi Caraka berhasil mendidik pemuda tampan itu untuk menjadi pribadi yang tidak malas untuk berusaha. Tak luput juga dia menanamkan nilai-nilai aliran hitam agar 'cucunya' itu siap ketika terjun di dunia yang ramai. Ilmu membaca dan berhitung pun dia ajarkan juga, sebab dia tidak ingin pemuda itu nantinya menjadi bahan olok-olokan ketika meninggalkan pulau tengkorak.

"Jalu dengarkan baik-baik. Tumpukan batu itu memang kakek yang menatanya. Di bawah tumpukan batu itu dulu pernah ada jasad ibumu."

Caraka menghentikan ucapannya lalu berjalan memasuki pondok. Tak lama dia kembali keluar sambil membawa peti kayu di tangannya.

"Kau sebenarnya bukan cucu kandungku, Jalu. Delapan belas tahun yang lalu aku menemukanmu berada di dalam peti ini terdampar di pantai bersama jasad ibumu. Meski tidak ada darahku di dalam tubuhmu, tapi aku tetap menyayangi dan mendidikmu selayaknya cucu kandung."

"Apa Kakek sedang berbohong kepadaku?" Jalu menatap Caraka tak percaya. Dia merasa lelaki tua itu sudah berbohong kepadanya.

"Aku tidak berbohong kepadamu. Memang sudah menjadi sumpahku akan membuka jati dirimu jika kau sudah menemukan kuburan ibumu, dan di hari ini sumpah itu aku gugurkan."

Melihat keseriusan dalam ucapan Caraka, Jalu berusaha menerimanya meski itu sangat berat dan menjadi pukulan telak buatnya.

"Walau tidak ada darah Kakek di tubuhku, tapi aku tetap akan menganggap Kakek sebagai Kakek kandungku, juga sebagai ayah sekaligus ibuku," balas Jalu dengan suara yang sedikit tertahan. 

Caraka menunjuk tulisan yang ada di penutup peti. "Ini adalah nama pemberian ayah dan ibumu, Jalu. Tapi tulisan Hantu Laut di bawahnya ini aku tidak mengerti apa maksudnya."

"Mungkin ayah dan ibuku ingin aku menjadi hantu laut, Kek." Jalu mencoba untuk bercanda meski hatinya sedang terbalut rasa kesedihan. Dia tidak ingin menunjukkan rasa sedihnya karena kakeknya itu mendidiknya agar tidak menjadi pribadi yang lemah.

Caraka tersenyum lalu membuka penutup peti kayu. Dua kantong kain diambilnya dan ditunjukkannya kepada Jalu, "Koin emas ini adalah bekalmu ketika nanti kau sudah berbaur dengan dunia yang ramai. Kakek sudah memberimu semua pengetahuan yang kau butuhkan agar kau bisa berdiri paling tinggi di atas manusia lainnya."

Jalu mengernyit kebingungan. Dia bisa menangkap maksud dari ucapan lelaki tua di depannya itu, "Apa Kakek mengusirku keluar dari pulau ini, keluar dari kehidupan Kakek?"

"Kau jangan berpikir begitu. Kakek tidak pernah berniat untuk mengusir atau berpisah denganmu. Tapi kau harus ke dunia luar untuk mewujudkan mimpi Kakek yang dihalangi para dewa sialan itu!" Balas Caraka lalu mendongak ke angkasa.

"Kau harus menjadi paling kuat di antara yang terkuat. Kau harus bisa menggenggam puncak dunia persilatan di tanganmu agar tidak ada yang merenehkanmu dan semua orang tunduk kepadamu. Buktikan jika kau adalah cucu dari Pendekar Bayangan Iblis yang melegenda!" sambung Caraka.

Jalu diam untuk beberapa saat lamanya. Dia masih berpikir apakah siap untuk berpisah dengan kakeknya dan hidup di dunia baru yang bahkan tidak dilihatnya.

"Jika kau sudah mencapai puncak dari dunia persilatan, kakek akan bisa keluar dari sini. Bersama-sama kita kuasai dunia ini dan menundukkannya di bawah kaki kita."

Caraka terngiang-ngiang dengan perjanjian yang dulu pernah dibuatnya sebelum dihukum dan disegel di pulau tengkorak. Dulu pernah dia meminta syarat agar bisa keluar dari pulau terkutuk itu jika ada orang yang mau menjadi muridnya dan akhirnya menjadi pemimpin dunia persilatan.

"Baiklah, aku akan mewujudkan mimpi Kakek dan akan mengeluarkan Kakek dari tempat ini. Tapi bagaimana caraku keluar dari pulau ini?" tanya Jalu.

"Tenang saja. Kakek sudah punya caranya agar kau bisa keluar dari pulau ini." Caraka berdiri lalu membawa masuk peti kayu ke dalam pondok. Setelah itu dia kembali berjalan keluar. "Sekarang ikutlah denganku!" ajaknya.

Tanpa banyak bertanya Jalu mengikuti langkah kaki Caraka yang bergerak ke arah hutan kecil dan memasukinya.

Tak sampai satu jam berjalan keduanya sudah berada di bibir hutan. Kini di depan mereka sudah berdiri tebing yang cukup tinggi, kurang lebih dua puluh meter.

"Ayo, Jalu!"

Caraka melompat tinggi dan diikuti Jalu sesaat berikutnya. Keduanya mendarat dengan ringan di atas tebing.

"Lihatlah itu!" Caraka menunjuk batu besar yang berbentuk tengkorak kepala, "itulah kenapa pulau terpencil ini dinamakan pulau tengkorak. Entah siapa yang mengukir batu hingga menjadi sebuah tengkorak, tapi sejak aku dihukum di sini tengkorak itu sudah lebih dulu ada."

Jalu berjalan mendekati batu besar berbentuk tengkorak tersebut. Sementara Caraka menuju sebuah batu lainnya yang tidak terlalu besar lalu mengangkatnya.

Di bawah batu tersebut terdapat sebilah pedang bersarung kulit hewan. Caraka mengambilnya lalu berjalan mendekati Jalu dan menunjukan pedang tersebut kepadanya.

"Pedang ini punya Kakek?" tanya Jalu.

"Ya. Tapi pedang ini kuberikan kepadamu. Puluhan tahun aku menempa batu lidah petir yang kutemukan dan membentuknya menjadi sebilah pedang yang cantik ini. Aku memberinya nama, Pedang Halilintar," ujar Caraka.

Jalu menerima pedang tersebut lalu mencabut bilahnya keluar. Energi besar langsung merembes keluar hingga membuat tangan Jalu bergetar hebat.

"Kenapa begini, Kek?" tanya Jalu penasaran.

"Tidak apa-apa, kau hanya masih belum terbiasa menggunakannya. Ibarat hewan peliharaan, kenali dan sentuh jiwanya maka dia akan menurut kepadamu," ucap Caraka memberi penjelasan. Lelaki tua itu kemudian duduk bersandar di batu tengkorak.

"Dunia luar itu kejam, Jalu. Jika ingin berkuasa kau juga harus kejam, hilangkan kebaikan di dalam dirimu. Tidak ada orang baik di luar sana, semua sama saja penuh kemunafikan! Aku memberimu pedang Halilintar ini untuk memuluskan jalanmu menguasai dunia persilatan. Hanya sedikit saja senjata pusaka di dunia ini yang bisa menandinginya," sambung Caraka seraya menatap kejauhan yang berupa hamparan laut luas.

"Lalu bagaimana caranya aku keluar dari pulau ini untuk mewujudkan mimpi Kakek?" Jalu jelas bingung dengan permintaan Caraka. Sebab saat ini mereka berada di sebuah pulau terpencil dan tidak pernah terlihat satu kalipun kapal yang lewat.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Iwan Setiawan
kenapa balik lagi????
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • PENDEKAR PULAU TENGKORAK    Rencana Susulan

    Gambaran akan mendapatkan uang yang cukup besar sudah tergambar di dalam benak kelima perampok tersebut. Mereka terus bercanda hingga tiba di depan rumah yang sangatlah besar untuk ukuran di desa. Kalau di Kotaraja mungkin tidaklah heran, tapi di sebuah desa tentu sebuah kemustahilan yang sulit untuk dipercaya ada. Di depan pintu gerbang, beberapa lelaki yang ditugaskan untuk menjaga, menatap heran dengan adanya lima orang yang membawa gerobak. “Kang, apa benar ini rumah Nyi Sundari?” tanya salah satu perampok yang wajahnya terdapat bekas luka memanjang dari kening sampai dagu.“Iya, benar. Kalian siapa dan mau apa datang kemari?” salah satu penjaga balik bertanya.“Kami dari desa sebelah hendak menjual hasil panen, Kang.” Perampok tersebut menjawab dengan ekspresi meyakinkan. “Ikut aku!” Penjaga yang tubuhnya paling kekar membuka pintu gerbang, kemudian masuk ke dalam. Lima orang perampok membawa masuk gerobak yang mereka bawa hingga di halaman.“Tunggu di sini. Kupanggilkan dulu

  • PENDEKAR PULAU TENGKORAK    Keinginan Ayu Wulandari

    Jalu masih sedikit kebingungan dengan sikap yang ditunjukkan Ayu Wulandari. Arah pandangnya lantas tertuju kepada Nyi Sundari dan bertanya kenapa dengan membuka mulut tapi tanpa bersuara.“Ayu tadi menangis histeris ketika melihat darah yang terkumpul di baskom itu, Jalu,” kata Nyi Sundari. Ayu Wulandari langsung menoleh kepada ibunya dan membuka matanya lebar-lebar. Wajahnya langsung merah merona oleh rasa malu. “Oh, darah ini?” Jalu menunjuk baskom kuningan di depannya. “Begini Bi, dalam pertarungan terakhir sebelum berhasil menyelamatkan Ayu, aku mengalami luka dalam karena terkena pukulan. Tadi aku bermeditasi untuk untuk menyembuhkan luka dalam yang kualami. Sekarang aku sudah baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikuatirkan,” sambungnya tanpa sekalipun menyebut kata racun. Dia tidak ingin membuat ibu dan anak itu kuatir atas kondisinya. Dalam meditasinya tadi, kelima panca indera Jalu benar-benar tidak berfungsi, sehingga diirinya tidak sadar jika keluarga Nyi Sundari sudah

  • PENDEKAR PULAU TENGKORAK    Tersadar

    Ayu Wulandari beserta ayah dan ibunya tampak terpukul mendengar penuturan Ki Puguh. Berita yang mereka dapat mengenai kondisi Jalu tentu tidak sesuai yang diharapkan. Ketiganya semula berharap jika Jalu hanya kelelahan atau mungkin mengalami luka biasa, tapi tidak tahunya ternyata terkena racun tingkat tinggi. Belum percaya dengan hasil analisa pertamanya, Ki Puguh pun kembali memeriksa darah Jalu. Kali ini darah berwarna hitam dan berbau busuk di dalam baskom yang dia periksa. Tabib tua itu menggeleng pelan. Sungguh dia masih belum bisa percaya jika pemuda berparas tampan itu mampu bertahan hidup dalam kondisi racun yang sudah menjalar di tubuhnya. "Bagaimana, Ki?" tanya Aji. "Pemuda ini memang terkena racun. Aku tidak tahu jenis racun apa yang berada di dalam tubuhnya, tapi aku yakin pasti racun tingkat tinggi." Kali ini Ayu Wulandari tidak bisa menahan suara tangisannya yang akhirnya pecah. Di sisi lain, Nyi Sundari yang mencoba bertahan agar tidak sampai terbawa suasana, akhi

  • PENDEKAR PULAU TENGKORAK    Dugaan Ki Puguh

    Raut wajah gadis cantik itu begitu tegang, takut terjadi sesuatu pada Jalu, Ayu Wulandari pun bergegas keluar untuk mencari ayah dan ibunya yang sedang berada di teras rumah. Namun karena kedua orang tuanya sibuk memberi penjelasan kepada anak buahnya yang bertugas menjual barang dagangan, gadis cantik itupun tidak berani menganggu. Ayu Wulandari hanya bisa menunggu dengan perasaan cemas. Sikapnya menunjukkan kegelisahan yang teramat kuat. “Kau kenapa, Putriku?” tanya Nyi Sundari ketika melihat putrinya mondar-mandir di dekatnya. “Jalu, Bu …” “Kenapa dengan Jalu? Bukankah dia masih di kamarnya?” potong Nyi Sundari. Ayu Wulandari mengangguk, kemudian diraihnya tangan ibunya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. “Ikut aku, Bu. Sepertinya sedang terjadi masalah pada Jalu, aku takut Bu!” ucapnya. Raut wajah Nyi Sundari langsung berubah. Ayunan langkahnya dipercepat agar segera sampai di kamar Jalu. Ibu dan anak itupun masuk ke dalam kamar. Sementara Jalu masih tetap dalam meditasiny

  • PENDEKAR PULAU TENGKORAK    Tekad Ayu Wulandari

    Tanpa perlu diarahkan, puluhan anggota Ageng Pamuju itu membuat 8 tim yang masing-masing berisikan minimal 5 orang. Setiap tim nantinya akan bergerak sesuai arah mata angin yang juga berjumlah 8. “Jika nanti ada dari kalian yang berhasil menemukan penyusup itu, segera cari aku di tempat ini,” kata Ageng Pamuju. “Maaf, ketua, tapi bukankah ketua tadi bilang hendak mencari tempat lain untuk mendirikan perguruan?” tanya seorang anggota. “Itu nanti setelah aku berhasil membunuh penyusup yang sudah memporak-porandakan perguruan kita. Aku beri kalian waktu dua minggu dari sekarang, jika kalian tidak berhasil menemukannya, aku akan menghilang dari dunia persilatan entah untuk berapa lama.” Lebih dari 40 anggota perguruan Gunung Setan itu menatap tak percaya akan ucapan pemimpinnya. Sebagian besar dari mereka tidak punya keluarga, juga tidak memiliki tempat tinggal untuk berlindung dari terik matahari dan air hujan. Selain itu, mereka tidak pernah bekerja secara halal dan selama ini hanya

  • PENDEKAR PULAU TENGKORAK    Perintah Ageng Pamuju

    Ketua perguruan aliran hitam yang berdiri di puncak Gunung Setan itu berjalan meninggalkan bekas perguruannya yang sudah hampir rata dengan tanah. Setelah berjalan hampir lima ratus meter, dilihatnya puluhan orang yang berkumpul di dekat sebuah pohon besar. Bola matanya menyipit untuk memastikan bahwa seragam yang dikenakan sekumpulan orang-orang itu adalah murid-muridnya. Ageng Pamuju pun berjalan mendekat begitu memastikan penglihatannya tidak salah. “Apa yang sedang kalian lakukan di sini?” Sontak orang-orang yang sedang berbicara satu sama lain itu menoleh ke belakang. Begitu mengetahui jika sosok yang baru menegur mereka itu adalah Ageng Pamuju, puluhan murid perguruan Gunung Setan tersebut langsung memberi sikap hormat. “Maaf, Ketua. Kami berkumpul di tempat ini karena bingung tidak tahu harus kemana. Mau kembali ke perguruan, tapi takut jika pendekar itu kembali lagi dan menghabisi kami semua,” balas seorang anggota yang paling senior di antara lainnya. “Sebenarnya kalian

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status