Share

Sebuah Perintah

"Kakek, tumpukan batu di dalam hutan yang tertutupi semak-semak itu apa Kakek yang menatanya?"tanya Jalu setelah duduk bersimpuh di samping Caraka.

Lelaki tua itu cukup lama memandang Jalu dengan tatapan nanar. Ada perasaan sedih ketika menerima kenyataan bahwa dia harus kembali hidup sendirian.

Ya, Caraka dulu pernah bersumpah jika Jalu sudah menemukan kuburan ibunya, dia akan membuka semua masa lalu pemuda tampan itu. Dia juga akan mengatakan apa tujuannya mengajari pemuda tersebut denga ilmu Kanuragan mumpuni hingga dalam usia delapan belas tahun sudah berada pada tingkatan pendekar tanpa tanding.

Meski Jalu tidak memiliki keistimewaan apapun di dalam tubuhnya, tapi Caraka berhasil mendidik pemuda tampan itu untuk menjadi pribadi yang tidak malas untuk berusaha. Tak luput juga dia menanamkan nilai-nilai aliran hitam agar 'cucunya' itu siap ketika terjun di dunia yang ramai. Ilmu membaca dan berhitung pun dia ajarkan juga, sebab dia tidak ingin pemuda itu nantinya menjadi bahan olok-olokan ketika meninggalkan pulau tengkorak.

"Jalu dengarkan baik-baik. Tumpukan batu itu memang kakek yang menatanya. Di bawah tumpukan batu itu dulu pernah ada jasad ibumu."

Caraka menghentikan ucapannya lalu berjalan memasuki pondok. Tak lama dia kembali keluar sambil membawa peti kayu di tangannya.

"Kau sebenarnya bukan cucu kandungku, Jalu. Delapan belas tahun yang lalu aku menemukanmu berada di dalam peti ini terdampar di pantai bersama jasad ibumu. Meski tidak ada darahku di dalam tubuhmu, tapi aku tetap menyayangi dan mendidikmu selayaknya cucu kandung."

"Apa Kakek sedang berbohong kepadaku?" Jalu menatap Caraka tak percaya. Dia merasa lelaki tua itu sudah berbohong kepadanya.

"Aku tidak berbohong kepadamu. Memang sudah menjadi sumpahku akan membuka jati dirimu jika kau sudah menemukan kuburan ibumu, dan di hari ini sumpah itu aku gugurkan."

Melihat keseriusan dalam ucapan Caraka, Jalu berusaha menerimanya meski itu sangat berat dan menjadi pukulan telak buatnya.

"Walau tidak ada darah Kakek di tubuhku, tapi aku tetap akan menganggap Kakek sebagai Kakek kandungku, juga sebagai ayah sekaligus ibuku," balas Jalu dengan suara yang sedikit tertahan. 

Caraka menunjuk tulisan yang ada di penutup peti. "Ini adalah nama pemberian ayah dan ibumu, Jalu. Tapi tulisan Hantu Laut di bawahnya ini aku tidak mengerti apa maksudnya."

"Mungkin ayah dan ibuku ingin aku menjadi hantu laut, Kek." Jalu mencoba untuk bercanda meski hatinya sedang terbalut rasa kesedihan. Dia tidak ingin menunjukkan rasa sedihnya karena kakeknya itu mendidiknya agar tidak menjadi pribadi yang lemah.

Caraka tersenyum lalu membuka penutup peti kayu. Dua kantong kain diambilnya dan ditunjukkannya kepada Jalu, "Koin emas ini adalah bekalmu ketika nanti kau sudah berbaur dengan dunia yang ramai. Kakek sudah memberimu semua pengetahuan yang kau butuhkan agar kau bisa berdiri paling tinggi di atas manusia lainnya."

Jalu mengernyit kebingungan. Dia bisa menangkap maksud dari ucapan lelaki tua di depannya itu, "Apa Kakek mengusirku keluar dari pulau ini, keluar dari kehidupan Kakek?"

"Kau jangan berpikir begitu. Kakek tidak pernah berniat untuk mengusir atau berpisah denganmu. Tapi kau harus ke dunia luar untuk mewujudkan mimpi Kakek yang dihalangi para dewa sialan itu!" Balas Caraka lalu mendongak ke angkasa.

"Kau harus menjadi paling kuat di antara yang terkuat. Kau harus bisa menggenggam puncak dunia persilatan di tanganmu agar tidak ada yang merenehkanmu dan semua orang tunduk kepadamu. Buktikan jika kau adalah cucu dari Pendekar Bayangan Iblis yang melegenda!" sambung Caraka.

Jalu diam untuk beberapa saat lamanya. Dia masih berpikir apakah siap untuk berpisah dengan kakeknya dan hidup di dunia baru yang bahkan tidak dilihatnya.

"Jika kau sudah mencapai puncak dari dunia persilatan, kakek akan bisa keluar dari sini. Bersama-sama kita kuasai dunia ini dan menundukkannya di bawah kaki kita."

Caraka terngiang-ngiang dengan perjanjian yang dulu pernah dibuatnya sebelum dihukum dan disegel di pulau tengkorak. Dulu pernah dia meminta syarat agar bisa keluar dari pulau terkutuk itu jika ada orang yang mau menjadi muridnya dan akhirnya menjadi pemimpin dunia persilatan.

"Baiklah, aku akan mewujudkan mimpi Kakek dan akan mengeluarkan Kakek dari tempat ini. Tapi bagaimana caraku keluar dari pulau ini?" tanya Jalu.

"Tenang saja. Kakek sudah punya caranya agar kau bisa keluar dari pulau ini." Caraka berdiri lalu membawa masuk peti kayu ke dalam pondok. Setelah itu dia kembali berjalan keluar. "Sekarang ikutlah denganku!" ajaknya.

Tanpa banyak bertanya Jalu mengikuti langkah kaki Caraka yang bergerak ke arah hutan kecil dan memasukinya.

Tak sampai satu jam berjalan keduanya sudah berada di bibir hutan. Kini di depan mereka sudah berdiri tebing yang cukup tinggi, kurang lebih dua puluh meter.

"Ayo, Jalu!"

Caraka melompat tinggi dan diikuti Jalu sesaat berikutnya. Keduanya mendarat dengan ringan di atas tebing.

"Lihatlah itu!" Caraka menunjuk batu besar yang berbentuk tengkorak kepala, "itulah kenapa pulau terpencil ini dinamakan pulau tengkorak. Entah siapa yang mengukir batu hingga menjadi sebuah tengkorak, tapi sejak aku dihukum di sini tengkorak itu sudah lebih dulu ada."

Jalu berjalan mendekati batu besar berbentuk tengkorak tersebut. Sementara Caraka menuju sebuah batu lainnya yang tidak terlalu besar lalu mengangkatnya.

Di bawah batu tersebut terdapat sebilah pedang bersarung kulit hewan. Caraka mengambilnya lalu berjalan mendekati Jalu dan menunjukan pedang tersebut kepadanya.

"Pedang ini punya Kakek?" tanya Jalu.

"Ya. Tapi pedang ini kuberikan kepadamu. Puluhan tahun aku menempa batu lidah petir yang kutemukan dan membentuknya menjadi sebilah pedang yang cantik ini. Aku memberinya nama, Pedang Halilintar," ujar Caraka.

Jalu menerima pedang tersebut lalu mencabut bilahnya keluar. Energi besar langsung merembes keluar hingga membuat tangan Jalu bergetar hebat.

"Kenapa begini, Kek?" tanya Jalu penasaran.

"Tidak apa-apa, kau hanya masih belum terbiasa menggunakannya. Ibarat hewan peliharaan, kenali dan sentuh jiwanya maka dia akan menurut kepadamu," ucap Caraka memberi penjelasan. Lelaki tua itu kemudian duduk bersandar di batu tengkorak.

"Dunia luar itu kejam, Jalu. Jika ingin berkuasa kau juga harus kejam, hilangkan kebaikan di dalam dirimu. Tidak ada orang baik di luar sana, semua sama saja penuh kemunafikan! Aku memberimu pedang Halilintar ini untuk memuluskan jalanmu menguasai dunia persilatan. Hanya sedikit saja senjata pusaka di dunia ini yang bisa menandinginya," sambung Caraka seraya menatap kejauhan yang berupa hamparan laut luas.

"Lalu bagaimana caranya aku keluar dari pulau ini untuk mewujudkan mimpi Kakek?" Jalu jelas bingung dengan permintaan Caraka. Sebab saat ini mereka berada di sebuah pulau terpencil dan tidak pernah terlihat satu kalipun kapal yang lewat.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Iwan Setiawan
kenapa balik lagi????
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status