Share

Kebaikan Nyi Sundari

Jalu hanya bisa tertawa dalam hati ketika semua orang yang melihatnya sudah menganggapnya hilang ingatan atau bahkan gila. Tapi di balik itu, dia merasa akan lebih baik untuknya bila mereka terus berpikir seperti itu terhadapnya.

"Bagaimana kalau Nyi Sundari tampung dia dulu setelah nanti sampai di daratan Swarnadwipa? Siapa tahu dengan sedikit pengobatan bisa mengembalikan ingatannya. Lagi pula dengan tubuhnya yang kekar itu aku yakin dia bisa membantumu berdagang," ujar seorang lelaki bertubuh tambun yang juga berpenampilan seperti orang kaya.

"Aku tidak bisa langsung mengiyakan usulmu, Kang Parjo. Saat ini suamiku masih tidur, nanti saja setelah dia bangun baru kubicarakan tentang pemuda tampan ini dengannya," jawab wanita yang memiliki nama Nyi Sundari itu.

Jalu sebenarnya sulit jika harus terus-terusan berpura-pura lupa ingatan. Tapi bagaimanapun juga dia tetap harus melakukannya, sebab dia sendiri perlu bantuan orang lain untuk mengenal dunia luar.

"Maaf, kalau boleh tahu aku sekarang ada di mana?"

Nyi Sundari terkejut mendengar pemuda di depannya itu ternyata bisa berbicara. Dia pun memberikan senyum hangat kepada Jalu, "Kau sedang berada di atas kapal, Pemuda tampan. Siapa namamu dan kau berada dari mana?"

"Nama?" Jalu mengernyitkan dahinya agar sandiwara yang dilakukannya bisa terus berjalan tanpa dicurigai. "Aku tidak tahu siapa namaku dan aku juga tidak tahu dari mana aku berasal. Tapi kenapa tiba-tiba aku bisa berada di sini?"

"Benar juga, kenapa dia bisa tiba-tiba ada di sini?" gumam Nyi Sundari dalam hati. Wanita kaya itu kemudian berdiri dan berjalan mendekati anak buah kapal yang berdiri di belakangnya.

"Apa kau sudah menghitung ulang jumlah orang yang ada di kapal ini?"

"Sudah, Nyi, jumlah penumpang dan anak buah kapal ketika berangkat totalnya tiga puluh sembilan orang, setelah tadi kuhitung ulang, jumlahnya bertambah menjadi empat puluh. Lalu pemuda itu datangnya dari mana?"

"Apa mungkin semalam dia berenang atau naik perahu mengejar kapal ini dan kemudian naik ke atas?" tanya Nyi Sundari lagi.

Lelaki yang bekerja di kapal tersebut menggeleng pelan, "Kemungkinannya sangat kecil, Nyi. Lagi pula semalam posisi kapal ini di lautan luas dan hanya sekali melintasi pulau kecil yang tidak berpenghuni. Apa mungkin pemuda itu dari masa depan atau dari alam lain?"  

"Kau ini bicara apa? Aku tidak percaya hal-hal sepert itu! Sekarang begini saja, berikan dia makan sehari tiga kali dan kamar untuk tidur sampai kita tiba di daratan Swarnadwipa, untuk pembayarannya nanti masukkan saja ke tagihanku," kata Nyi Sundari.

"Baik, Nyi, aku siapkan dulu kamar untuknya dan juga sarapan pagi." Anak buah kapal itu kemudian bergegas pergi.

Nyi Sundari kembali mendekati Jalu dan berjongkok di depannya, "Nanti setelah kita tiba di Swarnadwipa, kau ikut denganku saja, nanti akan ada tabib yang membantu memulihkan ingatanmu."

"Katanya nanti menunggu suamimu bangun, Nyi?" celetuk Parjo yang merasa usulnya tadi akhirnya digunakan Nyi Sundari.

"Entahlah, Kang. Aku merasa kasihan dengannya. Dugaanku mengatakan dia hidup sendirian di dunia ini," jawab Nyi Sundari dengan sedikit menolehkan pandangannya kepada Parjo.

Jalu hanya memandang saja semua yang dilakukan Nyi Sundari. Dalam hati kecilnya dia merasa wanita kaya itu akan sangat berguna setelah mereka tiba di daratan Swarnadwipa.

Ya. Jalu merasa harus tetap menjalankan misi yang diberikan kakeknya untuk menguasai dunia persilatan. Dia berpikir tidak ada salahnya untuk tinggal sementara di rumah wanita kaya itu sambil mengenal dunia luar yang belum pernah dijamahnya.

Tak berselang lama, anak buah kapal yang tadi menyiapkan makanan dan kamar untuk Jalu akhirnya kembali lagi menemui Nyi Sundari.

"Kamar dan makanan untuk pemuda itu telah siap, Nyi."

"Baiklah," jawab Nyi Sundari singkat sebelum kembali mengarahkan pandangannya kepada Jalu.

"Anak muda, kau boleh memanggilku Bibi Sundari. Sekarang ikutlah denganku ke kamar yang sudah disiapkan untukmu."

Jalu mengangguk kecil lalu berdiri. Tak lupa bungkusan kain yang berisi tiga helai pakaian milik mendiang ayahnya yang biasa dia pakai dan juga dua kantong kain kecil koin emas digantung di pundaknya. Selain itu Pedang Halilintar yang sedari tadi tergeletak di sampingnya turut dibawanya pula.

Dua hari berlalu begitu cepat. Nyi Sundari bersama suaminya kerap kali mengunjungi kamar Jalu untuk lebih mengenal dan bisa lebih akrab dengan pemuda tampan tersebut. Namun karakter Jalu yang pendiam dan dingin membuat keduanya sedikit mengalami kesulitan juga, meski pada akhirnya pemuda tampan itu mau berbicara dengan mereka berdua.

"Bi, sekarang aku sudah ingat namaku," kata Jalu di suatu siang ketika Nyi Sundari dan suaminya berkunjung ke kamarnya. Pemuda tampan itu berpikir tidak ada salahnya jika dia menyebutkan nama aslinya. Takutnya ketika Nyi Sundari memberinya nama dan dia tidak merespon ketika dipanggil dengan nama pemberian tersebut, bisa-bisa wanita kaya itu akan curiga kepadanya.

"Benarkah?" Nyi Sundari tersenyum lebar. Selama beberapa hari dia dan suaminya terus menyemangati agar pemuda itu mau mengingat-ingat tentang kehidupannya, atau paling tidak meski hanya sekedar nama.

Jalu mengangguk. Wajah dan pandangan matanya mendongak ke atas seolah-olah dia sedang menerawang masa lalunya, "Yang aku ingat orang-orang memanggilku dengan sebutan Jalu. Ya, nama itu tidak asing buatku, Bi," ucapnya pelan

"Nama yang bagus. Kalau begitu kami berdua akan memanggilmu Jalu sejak saat ini. Sekarang makanlah dulu, setelah itu nanti kita bicara lagi. Paman dan Bibi mau kembali ke kamar."  

"Ada yang mau kutanyakan, Bi, kira-kira kapan kapal ini akan tiba di Swarnadwipa?" tanya Jalu.

"Kau pasti tidak sabar ingin tinggal di rumah Bibi, ya?" Nyi Sundari tersenyum menggoda Jalu.

Pemuda tampan itu hanya tersebut tipis sembari mengangguk pelan seolah mengiyakan pertanyaan wanita kaya tersebut. Padahal sesungguhnya dia ingin agar bisa lebih cepat mengenal dan memahami dunia luar yang ramai. Dengan begitu dia bisa secara bertahap mewujudkan impian kakeknya menguasai dunia persilatan.

"Perkiraan tiga atau empat hari lagi kita baru akan tiba di pelabuhan," jawab Nyi Sundari.

Seusai wanita kaya itu menjawab pertanyaan Jalu, mereka bertiga dikejutkan dengan ketukan cepat dan sedikit keras di pintu.

Aji, suami Nyi Sundari, berjalan menuju pintu dan membukanya. Dilihatnya seorang lelaki anak buah kapal dengan wajah kusut seperti sedang mengalami kebingungan yang teramat sangat.

"Ada apa?" tanya Aji.

"Itu, Juragan, perompak Hantu Laut sedang mengejar kapal kita. Mereka sudah sangat dekat di belakang," jawab lelaki itu dengan suara yang sedikit keras kemudian pergi begitu saja.

Mendengar kata Hantu Laut, Jalu seketika teringat dengan peti yang digunakan ibunya untuk menyelamatkan nyawanya delapan belas tahun yang lalu. Selain tulisan

namanya sendiri, di bagian bawahnya juga terdapat tulisan Hantu Laut.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dangiank
semangat lanjut thor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status