Beranda / Fantasi / PENDEKAR PULAU TENGKORAK / Kebaikan Nyi Sundari

Share

Kebaikan Nyi Sundari

Penulis: Alfonzo Perez
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-14 14:47:51

Jalu hanya bisa tertawa dalam hati ketika semua orang yang melihatnya sudah menganggapnya hilang ingatan atau bahkan gila. Tapi di balik itu, dia merasa akan lebih baik untuknya bila mereka terus berpikir seperti itu terhadapnya.

"Bagaimana kalau Nyi Sundari tampung dia dulu setelah nanti sampai di daratan Swarnadwipa? Siapa tahu dengan sedikit pengobatan bisa mengembalikan ingatannya. Lagi pula dengan tubuhnya yang kekar itu aku yakin dia bisa membantumu berdagang," ujar seorang lelaki bertubuh tambun yang juga berpenampilan seperti orang kaya.

"Aku tidak bisa langsung mengiyakan usulmu, Kang Parjo. Saat ini suamiku masih tidur, nanti saja setelah dia bangun baru kubicarakan tentang pemuda tampan ini dengannya," jawab wanita yang memiliki nama Nyi Sundari itu.

Jalu sebenarnya sulit jika harus terus-terusan berpura-pura lupa ingatan. Tapi bagaimanapun juga dia tetap harus melakukannya, sebab dia sendiri perlu bantuan orang lain untuk mengenal dunia luar.

"Maaf, kalau boleh tahu aku sekarang ada di mana?"

Nyi Sundari terkejut mendengar pemuda di depannya itu ternyata bisa berbicara. Dia pun memberikan senyum hangat kepada Jalu, "Kau sedang berada di atas kapal, Pemuda tampan. Siapa namamu dan kau berada dari mana?"

"Nama?" Jalu mengernyitkan dahinya agar sandiwara yang dilakukannya bisa terus berjalan tanpa dicurigai. "Aku tidak tahu siapa namaku dan aku juga tidak tahu dari mana aku berasal. Tapi kenapa tiba-tiba aku bisa berada di sini?"

"Benar juga, kenapa dia bisa tiba-tiba ada di sini?" gumam Nyi Sundari dalam hati. Wanita kaya itu kemudian berdiri dan berjalan mendekati anak buah kapal yang berdiri di belakangnya.

"Apa kau sudah menghitung ulang jumlah orang yang ada di kapal ini?"

"Sudah, Nyi, jumlah penumpang dan anak buah kapal ketika berangkat totalnya tiga puluh sembilan orang, setelah tadi kuhitung ulang, jumlahnya bertambah menjadi empat puluh. Lalu pemuda itu datangnya dari mana?"

"Apa mungkin semalam dia berenang atau naik perahu mengejar kapal ini dan kemudian naik ke atas?" tanya Nyi Sundari lagi.

Lelaki yang bekerja di kapal tersebut menggeleng pelan, "Kemungkinannya sangat kecil, Nyi. Lagi pula semalam posisi kapal ini di lautan luas dan hanya sekali melintasi pulau kecil yang tidak berpenghuni. Apa mungkin pemuda itu dari masa depan atau dari alam lain?"  

"Kau ini bicara apa? Aku tidak percaya hal-hal sepert itu! Sekarang begini saja, berikan dia makan sehari tiga kali dan kamar untuk tidur sampai kita tiba di daratan Swarnadwipa, untuk pembayarannya nanti masukkan saja ke tagihanku," kata Nyi Sundari.

"Baik, Nyi, aku siapkan dulu kamar untuknya dan juga sarapan pagi." Anak buah kapal itu kemudian bergegas pergi.

Nyi Sundari kembali mendekati Jalu dan berjongkok di depannya, "Nanti setelah kita tiba di Swarnadwipa, kau ikut denganku saja, nanti akan ada tabib yang membantu memulihkan ingatanmu."

"Katanya nanti menunggu suamimu bangun, Nyi?" celetuk Parjo yang merasa usulnya tadi akhirnya digunakan Nyi Sundari.

"Entahlah, Kang. Aku merasa kasihan dengannya. Dugaanku mengatakan dia hidup sendirian di dunia ini," jawab Nyi Sundari dengan sedikit menolehkan pandangannya kepada Parjo.

Jalu hanya memandang saja semua yang dilakukan Nyi Sundari. Dalam hati kecilnya dia merasa wanita kaya itu akan sangat berguna setelah mereka tiba di daratan Swarnadwipa.

Ya. Jalu merasa harus tetap menjalankan misi yang diberikan kakeknya untuk menguasai dunia persilatan. Dia berpikir tidak ada salahnya untuk tinggal sementara di rumah wanita kaya itu sambil mengenal dunia luar yang belum pernah dijamahnya.

Tak berselang lama, anak buah kapal yang tadi menyiapkan makanan dan kamar untuk Jalu akhirnya kembali lagi menemui Nyi Sundari.

"Kamar dan makanan untuk pemuda itu telah siap, Nyi."

"Baiklah," jawab Nyi Sundari singkat sebelum kembali mengarahkan pandangannya kepada Jalu.

"Anak muda, kau boleh memanggilku Bibi Sundari. Sekarang ikutlah denganku ke kamar yang sudah disiapkan untukmu."

Jalu mengangguk kecil lalu berdiri. Tak lupa bungkusan kain yang berisi tiga helai pakaian milik mendiang ayahnya yang biasa dia pakai dan juga dua kantong kain kecil koin emas digantung di pundaknya. Selain itu Pedang Halilintar yang sedari tadi tergeletak di sampingnya turut dibawanya pula.

Dua hari berlalu begitu cepat. Nyi Sundari bersama suaminya kerap kali mengunjungi kamar Jalu untuk lebih mengenal dan bisa lebih akrab dengan pemuda tampan tersebut. Namun karakter Jalu yang pendiam dan dingin membuat keduanya sedikit mengalami kesulitan juga, meski pada akhirnya pemuda tampan itu mau berbicara dengan mereka berdua.

"Bi, sekarang aku sudah ingat namaku," kata Jalu di suatu siang ketika Nyi Sundari dan suaminya berkunjung ke kamarnya. Pemuda tampan itu berpikir tidak ada salahnya jika dia menyebutkan nama aslinya. Takutnya ketika Nyi Sundari memberinya nama dan dia tidak merespon ketika dipanggil dengan nama pemberian tersebut, bisa-bisa wanita kaya itu akan curiga kepadanya.

"Benarkah?" Nyi Sundari tersenyum lebar. Selama beberapa hari dia dan suaminya terus menyemangati agar pemuda itu mau mengingat-ingat tentang kehidupannya, atau paling tidak meski hanya sekedar nama.

Jalu mengangguk. Wajah dan pandangan matanya mendongak ke atas seolah-olah dia sedang menerawang masa lalunya, "Yang aku ingat orang-orang memanggilku dengan sebutan Jalu. Ya, nama itu tidak asing buatku, Bi," ucapnya pelan

"Nama yang bagus. Kalau begitu kami berdua akan memanggilmu Jalu sejak saat ini. Sekarang makanlah dulu, setelah itu nanti kita bicara lagi. Paman dan Bibi mau kembali ke kamar."  

"Ada yang mau kutanyakan, Bi, kira-kira kapan kapal ini akan tiba di Swarnadwipa?" tanya Jalu.

"Kau pasti tidak sabar ingin tinggal di rumah Bibi, ya?" Nyi Sundari tersenyum menggoda Jalu.

Pemuda tampan itu hanya tersebut tipis sembari mengangguk pelan seolah mengiyakan pertanyaan wanita kaya tersebut. Padahal sesungguhnya dia ingin agar bisa lebih cepat mengenal dan memahami dunia luar yang ramai. Dengan begitu dia bisa secara bertahap mewujudkan impian kakeknya menguasai dunia persilatan.

"Perkiraan tiga atau empat hari lagi kita baru akan tiba di pelabuhan," jawab Nyi Sundari.

Seusai wanita kaya itu menjawab pertanyaan Jalu, mereka bertiga dikejutkan dengan ketukan cepat dan sedikit keras di pintu.

Aji, suami Nyi Sundari, berjalan menuju pintu dan membukanya. Dilihatnya seorang lelaki anak buah kapal dengan wajah kusut seperti sedang mengalami kebingungan yang teramat sangat.

"Ada apa?" tanya Aji.

"Itu, Juragan, perompak Hantu Laut sedang mengejar kapal kita. Mereka sudah sangat dekat di belakang," jawab lelaki itu dengan suara yang sedikit keras kemudian pergi begitu saja.

Mendengar kata Hantu Laut, Jalu seketika teringat dengan peti yang digunakan ibunya untuk menyelamatkan nyawanya delapan belas tahun yang lalu. Selain tulisan

namanya sendiri, di bagian bawahnya juga terdapat tulisan Hantu Laut.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dangiank
semangat lanjut thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • PENDEKAR PULAU TENGKORAK    Rencana Susulan

    Gambaran akan mendapatkan uang yang cukup besar sudah tergambar di dalam benak kelima perampok tersebut. Mereka terus bercanda hingga tiba di depan rumah yang sangatlah besar untuk ukuran di desa. Kalau di Kotaraja mungkin tidaklah heran, tapi di sebuah desa tentu sebuah kemustahilan yang sulit untuk dipercaya ada. Di depan pintu gerbang, beberapa lelaki yang ditugaskan untuk menjaga, menatap heran dengan adanya lima orang yang membawa gerobak. “Kang, apa benar ini rumah Nyi Sundari?” tanya salah satu perampok yang wajahnya terdapat bekas luka memanjang dari kening sampai dagu.“Iya, benar. Kalian siapa dan mau apa datang kemari?” salah satu penjaga balik bertanya.“Kami dari desa sebelah hendak menjual hasil panen, Kang.” Perampok tersebut menjawab dengan ekspresi meyakinkan. “Ikut aku!” Penjaga yang tubuhnya paling kekar membuka pintu gerbang, kemudian masuk ke dalam. Lima orang perampok membawa masuk gerobak yang mereka bawa hingga di halaman.“Tunggu di sini. Kupanggilkan dulu

  • PENDEKAR PULAU TENGKORAK    Keinginan Ayu Wulandari

    Jalu masih sedikit kebingungan dengan sikap yang ditunjukkan Ayu Wulandari. Arah pandangnya lantas tertuju kepada Nyi Sundari dan bertanya kenapa dengan membuka mulut tapi tanpa bersuara.“Ayu tadi menangis histeris ketika melihat darah yang terkumpul di baskom itu, Jalu,” kata Nyi Sundari. Ayu Wulandari langsung menoleh kepada ibunya dan membuka matanya lebar-lebar. Wajahnya langsung merah merona oleh rasa malu. “Oh, darah ini?” Jalu menunjuk baskom kuningan di depannya. “Begini Bi, dalam pertarungan terakhir sebelum berhasil menyelamatkan Ayu, aku mengalami luka dalam karena terkena pukulan. Tadi aku bermeditasi untuk untuk menyembuhkan luka dalam yang kualami. Sekarang aku sudah baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikuatirkan,” sambungnya tanpa sekalipun menyebut kata racun. Dia tidak ingin membuat ibu dan anak itu kuatir atas kondisinya. Dalam meditasinya tadi, kelima panca indera Jalu benar-benar tidak berfungsi, sehingga diirinya tidak sadar jika keluarga Nyi Sundari sudah

  • PENDEKAR PULAU TENGKORAK    Tersadar

    Ayu Wulandari beserta ayah dan ibunya tampak terpukul mendengar penuturan Ki Puguh. Berita yang mereka dapat mengenai kondisi Jalu tentu tidak sesuai yang diharapkan. Ketiganya semula berharap jika Jalu hanya kelelahan atau mungkin mengalami luka biasa, tapi tidak tahunya ternyata terkena racun tingkat tinggi. Belum percaya dengan hasil analisa pertamanya, Ki Puguh pun kembali memeriksa darah Jalu. Kali ini darah berwarna hitam dan berbau busuk di dalam baskom yang dia periksa. Tabib tua itu menggeleng pelan. Sungguh dia masih belum bisa percaya jika pemuda berparas tampan itu mampu bertahan hidup dalam kondisi racun yang sudah menjalar di tubuhnya. "Bagaimana, Ki?" tanya Aji. "Pemuda ini memang terkena racun. Aku tidak tahu jenis racun apa yang berada di dalam tubuhnya, tapi aku yakin pasti racun tingkat tinggi." Kali ini Ayu Wulandari tidak bisa menahan suara tangisannya yang akhirnya pecah. Di sisi lain, Nyi Sundari yang mencoba bertahan agar tidak sampai terbawa suasana, akhi

  • PENDEKAR PULAU TENGKORAK    Dugaan Ki Puguh

    Raut wajah gadis cantik itu begitu tegang, takut terjadi sesuatu pada Jalu, Ayu Wulandari pun bergegas keluar untuk mencari ayah dan ibunya yang sedang berada di teras rumah. Namun karena kedua orang tuanya sibuk memberi penjelasan kepada anak buahnya yang bertugas menjual barang dagangan, gadis cantik itupun tidak berani menganggu. Ayu Wulandari hanya bisa menunggu dengan perasaan cemas. Sikapnya menunjukkan kegelisahan yang teramat kuat. “Kau kenapa, Putriku?” tanya Nyi Sundari ketika melihat putrinya mondar-mandir di dekatnya. “Jalu, Bu …” “Kenapa dengan Jalu? Bukankah dia masih di kamarnya?” potong Nyi Sundari. Ayu Wulandari mengangguk, kemudian diraihnya tangan ibunya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. “Ikut aku, Bu. Sepertinya sedang terjadi masalah pada Jalu, aku takut Bu!” ucapnya. Raut wajah Nyi Sundari langsung berubah. Ayunan langkahnya dipercepat agar segera sampai di kamar Jalu. Ibu dan anak itupun masuk ke dalam kamar. Sementara Jalu masih tetap dalam meditasiny

  • PENDEKAR PULAU TENGKORAK    Tekad Ayu Wulandari

    Tanpa perlu diarahkan, puluhan anggota Ageng Pamuju itu membuat 8 tim yang masing-masing berisikan minimal 5 orang. Setiap tim nantinya akan bergerak sesuai arah mata angin yang juga berjumlah 8. “Jika nanti ada dari kalian yang berhasil menemukan penyusup itu, segera cari aku di tempat ini,” kata Ageng Pamuju. “Maaf, ketua, tapi bukankah ketua tadi bilang hendak mencari tempat lain untuk mendirikan perguruan?” tanya seorang anggota. “Itu nanti setelah aku berhasil membunuh penyusup yang sudah memporak-porandakan perguruan kita. Aku beri kalian waktu dua minggu dari sekarang, jika kalian tidak berhasil menemukannya, aku akan menghilang dari dunia persilatan entah untuk berapa lama.” Lebih dari 40 anggota perguruan Gunung Setan itu menatap tak percaya akan ucapan pemimpinnya. Sebagian besar dari mereka tidak punya keluarga, juga tidak memiliki tempat tinggal untuk berlindung dari terik matahari dan air hujan. Selain itu, mereka tidak pernah bekerja secara halal dan selama ini hanya

  • PENDEKAR PULAU TENGKORAK    Perintah Ageng Pamuju

    Ketua perguruan aliran hitam yang berdiri di puncak Gunung Setan itu berjalan meninggalkan bekas perguruannya yang sudah hampir rata dengan tanah. Setelah berjalan hampir lima ratus meter, dilihatnya puluhan orang yang berkumpul di dekat sebuah pohon besar. Bola matanya menyipit untuk memastikan bahwa seragam yang dikenakan sekumpulan orang-orang itu adalah murid-muridnya. Ageng Pamuju pun berjalan mendekat begitu memastikan penglihatannya tidak salah. “Apa yang sedang kalian lakukan di sini?” Sontak orang-orang yang sedang berbicara satu sama lain itu menoleh ke belakang. Begitu mengetahui jika sosok yang baru menegur mereka itu adalah Ageng Pamuju, puluhan murid perguruan Gunung Setan tersebut langsung memberi sikap hormat. “Maaf, Ketua. Kami berkumpul di tempat ini karena bingung tidak tahu harus kemana. Mau kembali ke perguruan, tapi takut jika pendekar itu kembali lagi dan menghabisi kami semua,” balas seorang anggota yang paling senior di antara lainnya. “Sebenarnya kalian

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status