Jalu hanya bisa tertawa dalam hati ketika semua orang yang melihatnya sudah menganggapnya hilang ingatan atau bahkan gila. Tapi di balik itu, dia merasa akan lebih baik untuknya bila mereka terus berpikir seperti itu terhadapnya.
"Bagaimana kalau Nyi Sundari tampung dia dulu setelah nanti sampai di daratan Swarnadwipa? Siapa tahu dengan sedikit pengobatan bisa mengembalikan ingatannya. Lagi pula dengan tubuhnya yang kekar itu aku yakin dia bisa membantumu berdagang," ujar seorang lelaki bertubuh tambun yang juga berpenampilan seperti orang kaya.
"Aku tidak bisa langsung mengiyakan usulmu, Kang Parjo. Saat ini suamiku masih tidur, nanti saja setelah dia bangun baru kubicarakan tentang pemuda tampan ini dengannya," jawab wanita yang memiliki nama Nyi Sundari itu.
Jalu sebenarnya sulit jika harus terus-terusan berpura-pura lupa ingatan. Tapi bagaimanapun juga dia tetap harus melakukannya, sebab dia sendiri perlu bantuan orang lain untuk mengenal dunia luar.
"Maaf, kalau boleh tahu aku sekarang ada di mana?"
Nyi Sundari terkejut mendengar pemuda di depannya itu ternyata bisa berbicara. Dia pun memberikan senyum hangat kepada Jalu, "Kau sedang berada di atas kapal, Pemuda tampan. Siapa namamu dan kau berada dari mana?"
"Nama?" Jalu mengernyitkan dahinya agar sandiwara yang dilakukannya bisa terus berjalan tanpa dicurigai. "Aku tidak tahu siapa namaku dan aku juga tidak tahu dari mana aku berasal. Tapi kenapa tiba-tiba aku bisa berada di sini?"
"Benar juga, kenapa dia bisa tiba-tiba ada di sini?" gumam Nyi Sundari dalam hati. Wanita kaya itu kemudian berdiri dan berjalan mendekati anak buah kapal yang berdiri di belakangnya.
"Apa kau sudah menghitung ulang jumlah orang yang ada di kapal ini?"
"Sudah, Nyi, jumlah penumpang dan anak buah kapal ketika berangkat totalnya tiga puluh sembilan orang, setelah tadi kuhitung ulang, jumlahnya bertambah menjadi empat puluh. Lalu pemuda itu datangnya dari mana?"
"Apa mungkin semalam dia berenang atau naik perahu mengejar kapal ini dan kemudian naik ke atas?" tanya Nyi Sundari lagi.
Lelaki yang bekerja di kapal tersebut menggeleng pelan, "Kemungkinannya sangat kecil, Nyi. Lagi pula semalam posisi kapal ini di lautan luas dan hanya sekali melintasi pulau kecil yang tidak berpenghuni. Apa mungkin pemuda itu dari masa depan atau dari alam lain?"
"Kau ini bicara apa? Aku tidak percaya hal-hal sepert itu! Sekarang begini saja, berikan dia makan sehari tiga kali dan kamar untuk tidur sampai kita tiba di daratan Swarnadwipa, untuk pembayarannya nanti masukkan saja ke tagihanku," kata Nyi Sundari.
"Baik, Nyi, aku siapkan dulu kamar untuknya dan juga sarapan pagi." Anak buah kapal itu kemudian bergegas pergi.
Nyi Sundari kembali mendekati Jalu dan berjongkok di depannya, "Nanti setelah kita tiba di Swarnadwipa, kau ikut denganku saja, nanti akan ada tabib yang membantu memulihkan ingatanmu."
"Katanya nanti menunggu suamimu bangun, Nyi?" celetuk Parjo yang merasa usulnya tadi akhirnya digunakan Nyi Sundari.
"Entahlah, Kang. Aku merasa kasihan dengannya. Dugaanku mengatakan dia hidup sendirian di dunia ini," jawab Nyi Sundari dengan sedikit menolehkan pandangannya kepada Parjo.
Jalu hanya memandang saja semua yang dilakukan Nyi Sundari. Dalam hati kecilnya dia merasa wanita kaya itu akan sangat berguna setelah mereka tiba di daratan Swarnadwipa.
Ya. Jalu merasa harus tetap menjalankan misi yang diberikan kakeknya untuk menguasai dunia persilatan. Dia berpikir tidak ada salahnya untuk tinggal sementara di rumah wanita kaya itu sambil mengenal dunia luar yang belum pernah dijamahnya.
Tak berselang lama, anak buah kapal yang tadi menyiapkan makanan dan kamar untuk Jalu akhirnya kembali lagi menemui Nyi Sundari.
"Kamar dan makanan untuk pemuda itu telah siap, Nyi."
"Baiklah," jawab Nyi Sundari singkat sebelum kembali mengarahkan pandangannya kepada Jalu.
"Anak muda, kau boleh memanggilku Bibi Sundari. Sekarang ikutlah denganku ke kamar yang sudah disiapkan untukmu."
Jalu mengangguk kecil lalu berdiri. Tak lupa bungkusan kain yang berisi tiga helai pakaian milik mendiang ayahnya yang biasa dia pakai dan juga dua kantong kain kecil koin emas digantung di pundaknya. Selain itu Pedang Halilintar yang sedari tadi tergeletak di sampingnya turut dibawanya pula.
Dua hari berlalu begitu cepat. Nyi Sundari bersama suaminya kerap kali mengunjungi kamar Jalu untuk lebih mengenal dan bisa lebih akrab dengan pemuda tampan tersebut. Namun karakter Jalu yang pendiam dan dingin membuat keduanya sedikit mengalami kesulitan juga, meski pada akhirnya pemuda tampan itu mau berbicara dengan mereka berdua.
"Bi, sekarang aku sudah ingat namaku," kata Jalu di suatu siang ketika Nyi Sundari dan suaminya berkunjung ke kamarnya. Pemuda tampan itu berpikir tidak ada salahnya jika dia menyebutkan nama aslinya. Takutnya ketika Nyi Sundari memberinya nama dan dia tidak merespon ketika dipanggil dengan nama pemberian tersebut, bisa-bisa wanita kaya itu akan curiga kepadanya.
"Benarkah?" Nyi Sundari tersenyum lebar. Selama beberapa hari dia dan suaminya terus menyemangati agar pemuda itu mau mengingat-ingat tentang kehidupannya, atau paling tidak meski hanya sekedar nama.
Jalu mengangguk. Wajah dan pandangan matanya mendongak ke atas seolah-olah dia sedang menerawang masa lalunya, "Yang aku ingat orang-orang memanggilku dengan sebutan Jalu. Ya, nama itu tidak asing buatku, Bi," ucapnya pelan
"Nama yang bagus. Kalau begitu kami berdua akan memanggilmu Jalu sejak saat ini. Sekarang makanlah dulu, setelah itu nanti kita bicara lagi. Paman dan Bibi mau kembali ke kamar."
"Ada yang mau kutanyakan, Bi, kira-kira kapan kapal ini akan tiba di Swarnadwipa?" tanya Jalu.
"Kau pasti tidak sabar ingin tinggal di rumah Bibi, ya?" Nyi Sundari tersenyum menggoda Jalu.
Pemuda tampan itu hanya tersebut tipis sembari mengangguk pelan seolah mengiyakan pertanyaan wanita kaya tersebut. Padahal sesungguhnya dia ingin agar bisa lebih cepat mengenal dan memahami dunia luar yang ramai. Dengan begitu dia bisa secara bertahap mewujudkan impian kakeknya menguasai dunia persilatan.
"Perkiraan tiga atau empat hari lagi kita baru akan tiba di pelabuhan," jawab Nyi Sundari.
Seusai wanita kaya itu menjawab pertanyaan Jalu, mereka bertiga dikejutkan dengan ketukan cepat dan sedikit keras di pintu.
Aji, suami Nyi Sundari, berjalan menuju pintu dan membukanya. Dilihatnya seorang lelaki anak buah kapal dengan wajah kusut seperti sedang mengalami kebingungan yang teramat sangat.
"Ada apa?" tanya Aji.
"Itu, Juragan, perompak Hantu Laut sedang mengejar kapal kita. Mereka sudah sangat dekat di belakang," jawab lelaki itu dengan suara yang sedikit keras kemudian pergi begitu saja.
Mendengar kata Hantu Laut, Jalu seketika teringat dengan peti yang digunakan ibunya untuk menyelamatkan nyawanya delapan belas tahun yang lalu. Selain tulisan
namanya sendiri, di bagian bawahnya juga terdapat tulisan Hantu Laut.
"Apa mungkin?" Dugaan liar pun berkembang di dalam pikiran Jalu. Asumsi terkuatnya mengatakan jika Perompak Hantu Laut menjadi penyebab ibunya sampai menceburkan diri ke laut untuk menyelamatkannya."Biar aku yang menghadapi mereka, Paman dan bibi di kamar saja!" Jalu bangkit berdiri. Diambilnya pedang Halilintar yang tergantung di dinding lalu berjalan menuju pintu. Aji dan Nyi Sundari terpaku untuk beberapa saat sampai akhirnya kebekuan mereka berdua buyar setelah Jalu membuka pintu."Jalu, jangan melawan mereka, lebih baik kami serahkan saja harta yang dibawa dari pada nyawamu dalam bahaya. Mereka terkenal sangat kejam." Nyi Sundari berusaha mencegah Jalu yang sudah hendak keluar dari kamar."Tenang saja, Bi, aku akan baik-baik saja! Kalian berdua tetap di dalam kamar dan jangan keluar sampai aku kembali," balas Jalu tanpa merasa ragu sedikitpun, meski pertarungan dan juga mungkin pembunuhan pertama akan segera dijalaninya.Pemuda berwajah tampan itu melangkah keluar dan menutup
"Di mana para perompak itu?" tanya Aji penasaran."Tidak perlu memikirkan tentang mereka. Entah kenapa para perompak itu tiba-tiba saja memutuskan untuk berbalik arah dan tidak jadi menyerang kapal kita," jawab Jalu beralasan. Tidak mungkin juga dia mengatakan kepada sepasang saudagar kaya itu bahwa para perompak Hantu Laut telah dia kirim nyawanya menemui Dewa kematian.Dahi Aji berkerut tebal. Dia sulit untuk percaya dengan ucapan Jalu, sebab dirinya tahu betul bagaimana reputasi perompak Hantu Laut yang tidak akan melepaskan sasarannya begitu saja.Bergegas suami Nyi Sundari itu keluar dari kamar dan melihat ke bagian belakang kapal. Ditatapnya lautan yang membentang luas mencari keberadaan perompak Hantu Laut yang sudah tidak terlihat. Selepas itu dia kembali Jalu dan istrinya.Empat hari berselang, kapal besar itu akhirnya bersandar juga di pelabuhan. Jalu, Aji dan Nyi Sundari bergegas turun dari kapal. Barang dagangan yang baru saja diambil sepasang saudagar kaya dari daratan Ja
Dan hasilnya sama saja, putrinya itu tidak berminat sama sekali meski berbagai tawaran harta benda yang tidak sedikit turut diajukan sebagai mahar pernikahan."Putriku, duduklah di samping Jalu," ucap Nyi Sundari kepada putrinya seusai gadis cantik itu meletakkan makanan di atas meja.Gadis cantik yang seusia dengan Jalu itu menatap ibunya penuh pertanyaan, tapi kode mata dari Nyi Sundari membuatnya meletakkan pantat di bantalan kursi samping Jalu. Ekor matanya melirik ke arah pemuda tampan yang sedari tadi menundukkan wajahnya."Jalu, kenalkan ini putriku, namanya Ayu Wulandari. Kau bisa memanggilnya Ayu," kata Nyi Sundari.Lagi-lagi Jalu hanya memberi anggukan kecil tanpa ekspresi apapun di wajahnya, dan apa yang dilakukannya itu sukses membuat penilaian pertama Ayu Wulandari untuknya tidak bagus."Sombong sekali, dia. Bahkan untuk melirikku pun tidak mau!" ucapnya kesal dalam hati."Jalu, tugasmu nanti adalah mengawal putriku kemanapun dia keluar rumah. Apa kau bisa melakukannya?"
"Ckckck, bagaimana mungkin seorang pengawal akan mencelakai orang yang dikawalnya?"Purnomo terkejut mendengar suara yang berasal dari belakang tubuhnya. Dia menoleh ke belakang, tapi tidak ada seorang pun yang dilihatnya.Penasaran dengan suara yang baru saja didengarnya, Purnomo pun berdiri lalu melihat sekeliling. Tapi lagi-lagi sejauh matanya memandang tak terlihat siapapun."Kau mencariku?"Purnomo mendongak ke atas. Dilihatnya pemuda yang datang bersama Nyi Sundari dan Aji tengah duduk di atas sebuah dahan dengan pandangan terarah kepadanya."Kau jangan ikut campur urusanku, Bocah ingusan!" bentaknya keras."Hahahaha, bagaimana mungkin aku tidak ikut campur jika Bibi Sundari yang memintaku untuk menjaga Ayu." Jalu tertawa lebar karena menganggap apa yang diucapkan Purnomo kepadanya adalah hal yang lucu.Sejatinya Jalu tidak mengerti apa yang hendak dilakukan Purnomo kepada Ayu Wulandari, sebab selama hidup di Pulau Tengkorak dia tidak mengenal lawan jenis dan juga tentang birah
"Bohong! Kau pasti sudah bekerja sama dengan Purnomo untuk bisa menikmati tubuhku, bukan?" sahut Ayu Wulandari dengan penuh emosi. Jalu semakin bingung dengan kosakata baru yang dia tidak mengerti maksudnya. Bagaimana mungkin dia bisa dituduh hendak memakan gadis cantik putri dari Nyi Sundari dan Aji tersebut, sedangkan dirinya hanya berniat menyelamatkan Ayu Wulandari dari niat buruk Purnomo yang sebenarnya dia pun tidak paham apa hendak dilakukan lelaki bertubuh jangkung itu.Ya, Jalu memaknai arti kata menikmati sama dengan memakan. Keterbatasan berkomunikasi selama delapan belas tahun tinggal di pulau tengkorak membuatnya menjadi sosok yang lugu tapi bengis jika sudah berhadapan dengan sesama pendekar."Apa kau kira aku kanibal pemakan daging sesama manusia?" "Jangan pura-pura lugu, bedebah! Aku tahu kau berupaya mendekati orang tuaku agar bisa mendapatkanku." Lagi-lagi Ayu Wulandari menuduh Jalu tanpa dasar yang kuat. Dia hanya berpikir jika Jalu tak jauh berbeda dengan lelaki
Pertanyaan yang sama berseliweran di dalam pikiran setiap anggota perguruan Kelabang Hitam. Siapa pemuda yang berdiri di pintu gerbang? Ada masalah apa sehingga keempat penjaga sampai dibunuhnya? Puluhan lelaki berpakaian serba hitam yang merupakan anggota perguruan Kelabang Hitam itupun bergerak mendekati Jalu. Mereka masih menyangsikan bahwa pembunuh keempat penjaga tersebut adalah sang pemuda yang tampak tidak berbahaya jika dinilai dari wajah tampannya.Jalu mengambil beberapa ranting pohon kering yang tergeletak di dekat kakinya. Setelah itu dia mematahkannya kecil-kecil seukuran satu ruas jari. Satu ranting sebesar jempol kaki sepanjang satu meter dibiarkannya utuh dan dipegangnya di tangan kiri.Lelaki muda berusia delapan belas tahun berwajah tampan itu tersenyum tipis sebelum mengayunkan langkah kakinya. Dia kemudian berhenti dan berdiri setelah berjalan empat meter jauhnya.Puluhan anggota perguruan Kelabang Hitam itu heran dan bingung dengan keberanian yang ditunjukkan pe
Terang saja puluhan lelaki yang semuanya memakai pakaian berwarna hitam itupun bergegas memberikan perlawanan.Tapi Jalu jelas bukan lawan sepadan buat mereka. Satu persatu anggota Perguruan Kelabang Hitam tergeletak di tanah. Mereka yang terkena sabetan ranting kayu di kepala seketika tewas dengan tengkorak retak. Darah meleleh keluar dari retakan hasil tebasan ranting yang sudah dialiri tenaga dalam. Sengaja Jalu hanya mengincar bagian leher dan kepala yang merupakan dua titik vital dan bisa mengakibatkan kematian secara cepat. Sambil terus menyabetkan ranting di tangannya, Jalu bergerak gesit mendekati lelaki bertubuh tinggi besar yang tampak terkejut melihat pemuda itu bergerak ke arahnya.Tanpa menunggu temannya untuk menghadang pergerakan Jalu, lelaki bertubuh tinggi besar besar tersebut menyongsong datangnya serangan yang mengarah kepadanya."Minggir semua! Biar aku yang menghadapinya," teriaknya keras memberi perintah kepada teman-temannya.Belasan anggota Perguruan Kelabang
Jalu tersenyum mendapati lawan sudah mulai dilanda rasa takut. Tiba-tiba saja dia berpikir jika semua penghuni yang ada di perguruan itu dibunuhnya, lantas siapa yang akan mengakuinya sebagai pendekar terkuat?"Kedatanganku kemari sebenarnya tidak untuk bertarung melawan kalian. Cukup kalian yang berada di perguruan ini mau mengakui takluk kepadaku, maka aku tidak akan menyentuh kalian.""Sombong!"Terdengar suara keras dari belakang belasan anggota perguruan Kelabang Hitam yang berkumpul dan disusul melompatnya tiga orang lelaki tua melewati atas kepala belasan anggota tersebut.Ketiga lelaki tua itu mendarat beberapa langkah di depan Jalu dengan tatapan tajam penuh kebencian. Benci karena nama perguruan Kelabang Hitam begitu disepelekan oleh pemuda ingusan. "Mulutnya itu terlalu sombong dan perlu diberi pelajaran, Anak muda! Jangan kira karena kau bisa menghabisi beberapa anggota kami itu sama artinya dengan kekalahan perguruan ini!" ujar salah seorang dari ketiga lelaki tua yang