“Benar kata, Tuanku, jalan satu-satunya untuk mempermalukan orang asing yang mengaku diri sebagai seorang Dukun Sakti itu adalah Tuanku harus menantangnya. Suruh dia melakukan sesuatu hal yang mustahil!” usul salah seorang anak buahnya.
“Benar, Tuanku, aku setuju! Tuanku harus menguji ilmu dia!” usul yang lain pula.
Boon Nam mengangguk-angguk dengan bibir dicibirkan. Wajah pongahnya terlihat nyata. “Iya, aku memang akan menantang laki-laki itu. Aku telah memikirkan suatu tantangan apa yang harus aku berikan pada laki-laki sok sakti itu! Hua ha ha ha...!”
Lalu beberapa hari kemudian, Boon Nam benar-benar membuktikan kata-katanya. Dengan diiringi oleh puluhan anak buahnya, sang dukun sakti yang juga seorang jawara itu datang ke rumahnya Sarta. Saat itu di halaman rumah itu sedang banyak orang
Pada suatu hari datang utusan dari istana kerajaan. Utusan itu merupakan salah seorang pembesar kerajaan yang dikawal oleh puluhan prajurit diterima oleh La Mudu di halaman depan rumah Sarta yang sederhana. Ia membawa pesan Baginda Raja agar Syeh Mudu datang ke istana di pusat kota, agar Baginda Raja sangat membutuhnya saat itu. La Mudu menyanggupi undangan itu dan akan segera datang menghadap baginda raja di istananya. “Silakan Tuan balik duluan ke istana, saya akan segera menyusul,” ucap La Mudu kepada sang utusan. “Baiklah, Tuan Syeh. Sekali lagi, Baginda Raja sangat mengharapkan kedatangan Tuan Syeh ke istananya. Ada hal yang sangat penting yang hendak Baginda Raja sampaikan kepada Tuan Syeh,” sahut pejabat utusan itu. “Baiklah, Tuan.” Lalu san
Setelah itu La Mudu beralih kepada sang pangeran yang berada di kamar berjeruji di sebelahnya lagi. Kondisi pemuda itu seperti yang diceritakan oleh ayahandanya, Baginda Prabu, tak kalah memprihatinkan. Pemuda itu lebih mirip pemuda pandir sejak lahir dengan wajah seperti ditekuk ke samping. Ketika La Mudu menyapanya dengan salam, pemuda itu hanya mempu menggerakkan posisi duduknya agar bisa melirik ke arah orang yang menyapanya. La Mudu meminta ijin kepada Baginda Raja agar ia bisa menemui langsung putranya ke dalam ruangan. Baginda Raja pun memerintahkan kepada penjaga agar membukakan pintu agar sang Tuan Syeh bisa masuk. La Mudu masuk, dan tanpa berkata apa-apa pun ia langsung duduk bersila di samping sang pangeran. Ia mengangkat kedua tangannya sembari mengangkat juga wajahnya ke atas dan memanjatkan doa untuk beberapa saat lamanya.&n
La Mudu menanggapi permintaan Baginda Raja dengan tersenyum lalu mengatupkan kedua tangannya ke depan dada dan berkata, “Ampun, Yang Mulia. Saya memberikan mendoakan kedua buah hati Yang Mulia semata-mata atas dasar keikhlasan, dan sama sekali tidak mengharapkan imbalan apa-apa. Itu sudah merupakan kewajiban sesama manusia saja, Yang Mulia.” Mendapat jawaban yang demikian, Baginda Raja menoleh kepada permaisuri dan kedua buah hatinya, sebelum memandang kepada La Mudu dan berkata, “Seperti yang saya sampaikan tadi, Tuan Syeh, bahwa apa yang hendak saya berikan itu bukan dalam sebagai imbalan maupun upah, tetapi sebagai hadiah dan rasa terima kasih saya saja. Mohonlah kiranya, agar Tuan Syeh dapat menerima ucapan terima kasih dan hadiah dari saya itu. Karena itu sudah menjadi ikrart saya.” Karena melihat kesungguhan di wajah dan ucapan Baginda Raja, La Mudu pu
Hanya butuh waktu sebulan, mesjid berikut bangunan lain di sekelilingnya selesai. Peresmiannya bahkan dihadiri oleh Baginda Raja sendiri, dan disambut sangat gembira dan meriah oleh segenap wargaDaw Maphraw. Peristiwa peresmian mesjid besar itu juga ditandai oleh kelahiran anak pertama dari pasangan Tuan Kob Sinn. Pasangan itu melahirkan tiga bayi kembar sekaligus. Dua laki-laki dan satu perempuan. Tuan dan Nyonya Kob Sinn mengundang Tuan Syeh alias La Mudu ke rumahnya, sehari setelah peresmian mesjid itu, dan meminta agar ketiga bayi mereka diberikan namanya. Oleh La Mudu kedua bayi laki-laki diberi nama Hasan dan Husain, seperti nama kedua cucu Rasulullah SAW. Sementara bayi perempuan diberi nama Siti Fatimah, seperti nama putri rasulullah SAW, yaitu ibu dari cucu beliau, Hasan dan Husain. Setelah cukup lama berdiam dan menjadi guru dan tabib di
Hanya beberapa hari La Mudu berada di Bukit Tasyakur, kemudian kembali ke Sumbawa setelah mampir satu hari di Desa Pring Kuning. Ia menginap di rumah Ki Prada. Rumah Ki Prada adalah rumah hadiah darinya setelah ia mengalahkan pemiliknya terdahulu yang merupakan tokoh lalim dan serakah yang bernama Juragan Tuwuh. Kehadirannya di desa itu langsung membuat gempar seisi desa. Segenap warga mengelu-elukannya. Sejak ia berhasil membebaskan desa itu dari cengkeraman juragan lalim, Juragan Tuwuh, ia telah dianggap sebagai pahlawan bagi desa tersebut. Keadaan Desa Pring Kuning jauh lebih bagus saat ia tinggalkan beberapa tahun yang lalu. Di desa itu juga telah dibangun sebuah padepokan yang cukup besar, yang pelan tapi pasti berkembang pesat. Santrinya berdatangan di pedepokan itu dari berbagai daerah. Padepokan itu bernama Tasyakur. Pemimpin dari padepokan itu adalah sah
Setelah melewati sebuah tikungan jalan yang membelah pemukiman yang cukup luas itu, La Mudu menghentikan langkahnya saat dilihatnya sebuah tempat yang ramai dikunjungi oleh banyak laki-laki. Aroma masakan yang berasal dari tempat itu membuat perutnya langsung minta diisi. “Tampaknya itu sebuah kedai makan. Sebaiknya aku makan dulu,” gumamnya. Lalu melangkah dan memasuki halaman kedai makan yang tak terlalu luas itu. “Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh...” Semua pelanggan warung makan yang sedang menikmati makan siang mereka sontak mengangkat wajah mereka dan menoleh mendengar suara seseorang dengan bahasa yang tak mereka paham itu. Mereka tak menjawab, tetapi hanya mengamati wajah laki-laki yang berpakaian jubah putih bersih itu. Aroma harum yang dibawanya membuat nyaman terasa dalam
Namun, baru saja ia bergerak ke depan sembari hendak mencabut golok panjangnya, di luar dugaannya, laki-laki yang hendak diserangnya menarik sorban panjang yang ada dilehernya dan langsung mengebetnya ke samping. Dan... Breeett...! “Auwww...!!” Ujung sorban yang telah berubah menjadi senjata yang mematikan itu langsung menghantam dan melemparkan tubuh laki-laki itu ke belakang. Dan... Bubruaakk...!! Tubuhnya jatuh menimpa meja di belakangnya dan menghancurkannya.Di mulutnya langsung menyemburkan darah segar akibat kuatnya hantaman sorban tadi pada bagian dadanya. Semua orang dalam ruangan itu yang sama sekali tak menduga akan demikian peristiwanya, langsung
“Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh...” Habis mengucapkan itu, La Mudu mengajak LaluMuseng dan Lalu Gilising untuk meninggalkan tempat itu, dan berkata, “Apa boleh saya mampir di tempatnya Lalu?” “Oh...tentu, Datu...! Mari...!” sahut Lalu Museng dan melangkah mendahului La Mudu dan putranya, Lalu Galising. Belum jauh mereka melangkah, kesepuluh kawanan perusuh berlari mengikuti sembari menyebut-nyebut nama Jawara Mudu. “Ada apa...?” jawab La Mudu sembari menghentikan langkahnya, tetapi tidak menoleh ke belakang. “Ijinkan kami untuk menyertai perjalanan Jawara Mudu...!” Itu yang berkata adalah sang pemimpin kawanan perusuh, La Garompa.&nb