Hanya butuh waktu sebulan, mesjid berikut bangunan lain di sekelilingnya selesai. Peresmiannya bahkan dihadiri oleh Baginda Raja sendiri, dan disambut sangat gembira dan meriah oleh segenap warga Daw Maphraw.
Peristiwa peresmian mesjid besar itu juga ditandai oleh kelahiran anak pertama dari pasangan Tuan Kob Sinn. Pasangan itu melahirkan tiga bayi kembar sekaligus. Dua laki-laki dan satu perempuan. Tuan dan Nyonya Kob Sinn mengundang Tuan Syeh alias La Mudu ke rumahnya, sehari setelah peresmian mesjid itu, dan meminta agar ketiga bayi mereka diberikan namanya. Oleh La Mudu kedua bayi laki-laki diberi nama Hasan dan Husain, seperti nama kedua cucu Rasulullah SAW. Sementara bayi perempuan diberi nama Siti Fatimah, seperti nama putri rasulullah SAW, yaitu ibu dari cucu beliau, Hasan dan Husain.
Setelah cukup lama berdiam dan menjadi guru dan tabib di
Hanya beberapa hari La Mudu berada di Bukit Tasyakur, kemudian kembali ke Sumbawa setelah mampir satu hari di Desa Pring Kuning. Ia menginap di rumah Ki Prada. Rumah Ki Prada adalah rumah hadiah darinya setelah ia mengalahkan pemiliknya terdahulu yang merupakan tokoh lalim dan serakah yang bernama Juragan Tuwuh. Kehadirannya di desa itu langsung membuat gempar seisi desa. Segenap warga mengelu-elukannya. Sejak ia berhasil membebaskan desa itu dari cengkeraman juragan lalim, Juragan Tuwuh, ia telah dianggap sebagai pahlawan bagi desa tersebut. Keadaan Desa Pring Kuning jauh lebih bagus saat ia tinggalkan beberapa tahun yang lalu. Di desa itu juga telah dibangun sebuah padepokan yang cukup besar, yang pelan tapi pasti berkembang pesat. Santrinya berdatangan di pedepokan itu dari berbagai daerah. Padepokan itu bernama Tasyakur. Pemimpin dari padepokan itu adalah sah
Setelah melewati sebuah tikungan jalan yang membelah pemukiman yang cukup luas itu, La Mudu menghentikan langkahnya saat dilihatnya sebuah tempat yang ramai dikunjungi oleh banyak laki-laki. Aroma masakan yang berasal dari tempat itu membuat perutnya langsung minta diisi. “Tampaknya itu sebuah kedai makan. Sebaiknya aku makan dulu,” gumamnya. Lalu melangkah dan memasuki halaman kedai makan yang tak terlalu luas itu. “Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh...” Semua pelanggan warung makan yang sedang menikmati makan siang mereka sontak mengangkat wajah mereka dan menoleh mendengar suara seseorang dengan bahasa yang tak mereka paham itu. Mereka tak menjawab, tetapi hanya mengamati wajah laki-laki yang berpakaian jubah putih bersih itu. Aroma harum yang dibawanya membuat nyaman terasa dalam
Namun, baru saja ia bergerak ke depan sembari hendak mencabut golok panjangnya, di luar dugaannya, laki-laki yang hendak diserangnya menarik sorban panjang yang ada dilehernya dan langsung mengebetnya ke samping. Dan... Breeett...! “Auwww...!!” Ujung sorban yang telah berubah menjadi senjata yang mematikan itu langsung menghantam dan melemparkan tubuh laki-laki itu ke belakang. Dan... Bubruaakk...!! Tubuhnya jatuh menimpa meja di belakangnya dan menghancurkannya.Di mulutnya langsung menyemburkan darah segar akibat kuatnya hantaman sorban tadi pada bagian dadanya. Semua orang dalam ruangan itu yang sama sekali tak menduga akan demikian peristiwanya, langsung
“Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh...” Habis mengucapkan itu, La Mudu mengajak LaluMuseng dan Lalu Gilising untuk meninggalkan tempat itu, dan berkata, “Apa boleh saya mampir di tempatnya Lalu?” “Oh...tentu, Datu...! Mari...!” sahut Lalu Museng dan melangkah mendahului La Mudu dan putranya, Lalu Galising. Belum jauh mereka melangkah, kesepuluh kawanan perusuh berlari mengikuti sembari menyebut-nyebut nama Jawara Mudu. “Ada apa...?” jawab La Mudu sembari menghentikan langkahnya, tetapi tidak menoleh ke belakang. “Ijinkan kami untuk menyertai perjalanan Jawara Mudu...!” Itu yang berkata adalah sang pemimpin kawanan perusuh, La Garompa.&nb
Lalu Galising hanya mengamatinya saja seolah matanya tak ingin berkedip semua apa yang dilakukan oleh La Mudu, sejak ia mengambil air wudhu hingga melaksanakan sholat. PemudA itu hanya merasa heran cara penyembahan Tuhan yang dilakukan oleh sang jawara besar Pulau Sumbawa itu. La Mudu tak lama melaksanakan sholat asharnya. Setelah mengangkat kedua tangannya, berdoa, ia pun bangkit. Tatapannya kembali ditebarkannya ke segala penjuru sungai. Di mana orang-orang desa makin terlihat banyak. Mereka datang untuk mandi dan bercuci, atau mencari ikan dengan cara merogohnya ke dasar lubuk-lubuk. Dan ada juga yang melempar jaring. Tapi ketika pemilik jaring itu menarik jaringnya, tak banyak ikan yang berhasil terjaring. “Apakah di sungai ini banyak ikannya, Galising?” tanya La Mudu kepada Lalu Galising tanpa melihat kepada pemuda.
Ba’da Isya’ Lalu Museng menjemput saudara kandungnya yang mengalami sakit. Namanya Lalu Ruteng. Oleh istri Lalu Museng digelarkan tikar pandan di untuk membaringkan saudara iparnya itu. Laki-laki yang berusia baru menginjak usia empat puluh itu terlihat kurus dan pucat. Ia batuk tiada henti-henti. Saat ia bentrok tatap dengan La Mudu yang saat itu tengah menatapnya dalam diam, laki-laki itu seperti sangat ketakutan dan tiba-tiba berteriak dan langsung bangkit duduk. Namun dengan cepat La Mudu menekan pundaknya adat tidak bangkit. “Tenanglah, kau tak perlu takut kepadaku. Kita sesama mahluk Allah,” ucap La Mudu tenang. Namun ketika mendengar La Mudu menyebut nama “Allah”, wajah Lalu Ruteng terlihat makin pucat. Keringatnya terlihat mengucur keluar dari wajah dan lehernya
“Sebenarnya, siapakah yang membuat adik saya jadi sakit seperti itu, Datu?” bertanya Lalu Museng ketika adiknya sudah dibawa pulang oleh anak dan istrinya. Lalu Galising, istri Lalu Museng, dan anak gadis mereka duduk di sekitar La Mudu. Mereka tampaknya sangat ingin mengetahui siapa orang yang telah menzalimi keluarga mereka itu dengan demikian teganya. “Tubuh Lalu Ruteng didiami dan digerogoti oleh sesosok jin jahat atas suruhan ahli sihirnya,” ujar La Mudu lalu menghembuskan nafas halusnya. “Tapi jin jahat itu telah saya belenggung...” “Lalu siapakah tukang sihir biadab itu, Datu?” potong Lalu Museng. Ada kegeraman yang terpancar pada raut wajahnya. “Mungkin sebaiknya saya tidak mengatakan tentang siapa dia, tetapi yang jelas
Juru jala yang diajak oleh La Mudu untuk melempar jalanya adalah Amaq Jolang. “Di mana lubuknya, Amaq Jolang?” tanya La Mudu. “Yang di depan itu saja, Datu...!” “Oh baiklah. Silakan,” sahut La Mudu sembari menggenggam kerikil di sekitar kakinya dengan dua tangannya sekaligus, dan sebagian kerikil itu dia minta kepada Lalu Galising untuk menyiapkannya. “Amaq Jolang akan menebar jalanya dua kali.” “Baik, Datu...!” Lubukan yang dipilih oleh Amaq Jolang adalah lubukan yang pernah dilemparinya kemarin. Ia langsung bersiap di atas bati di pinggir selatan lubukan, sementara La Mudu dan Lalu Galising berdiri di atas batu di sebelah utaranya. “Siap ya, Amaq Jolang...?” &ldqu