Kelompok La Mudu yang pertama kali ditunjuk langsung naik dan memilih kamar yang paling selatan yang menghadap ke laut. Kamar itu cukup luas dan juga rapi buatannya, dan tentu dibuat oleh para ‘bumi (tukang) yang berpengalaman. La Mudu dan yang lainnya tak menyangka, jika La Afi Sangia sangat memperhatikan kebutuhan para pengikutnya, yang kini disebutnya sebagai pajuri itu. Itu sudah membuktikan, bahwa La Afi Sangia adalah seorang pemimpin penyamun yang teramat kaya. Konon, kekayaannya melebihi yang dimiliki oleh kerajaan mana pun yang berada di kepulauan tenggara kala itu. Jadi wajar, ia mampu memanjakan para pengikutnya dengan baik.
Dan itu terbukti pula dengan
Pajuri La Sambi memandang wajah La Mudu dengan tajam tanpa berkedip. Pada saat itu La Mbedu mendekatkan wajahnya ke telinga mitranya dan membisikkan sesuatu. Laki-laki perpostur tinggi hitam dengan wajah sangar itu mengangguk-angguk pelan. Setelah itu ia kembali mengamati sosok La Mudu mulai dari bawah hingga ke atas, sebelum berkata dengan nada masih tinggi, “Kami menerima laporan dari seseorang yang melihat dari jauh, bahwa kamu tadi menghajar pemuda-pemuda itu sampai tubuh mereka terpental. Apa benar begitu!” “Oh, iya, benar, Paman, hanya latihan ringan saja!”jawab La Mudu dengan sikap tetap tenang dan wajar. Tak ada sama sekali kegamangan yang tampak di wajahnya. La Sambi mengangguk-angguk pe
Dalam kelelapan tidurnya, laki-laki iblis yang menggelari dirinya sebagai Paduka Sandaka Dana itu tiba-tiba tidurnya gelisah. Peluhnya merembes keluar dari segenap pori di wajah, leher, dan dada kekarnya yang telanjar. Lalu sontak ia terbangun sembari mengeluarkan teriakan membentak yang tertahan. Saat di sadarinya bahwa ia terbangun dari lelapnya, ia pun menghela nafas panjang dan merunduk sembari memejamkan matanya. “Rupanya aku barusan mengalami mimpi buruk. Sungguh baru kali ini aku mengalami yang sangat buruk seperti ini. Adakah itu sebuah pertanda?”ucapnya pelan, seolah-olah kepada dirinya sendiri. Ia merebahkan tubuhnya dan mencoba untuk kembali melanjutkan tidurnya, nam
Untuk mengisi waktu sore yang masih terik itu, La Mudu dan kelima teman kamarnya dan beberapa pemuda dari kamar lain di rumah panjang, memanfaatkannya untuk duduk berkumpul di teras depan kamar yang berupa balkon panjang untuk menghibur diri dengan mendengarkan La Pabise memetik gambo pinjaman dari kamar sebelah yang diiringi oleh La La Rangga Jo, La Lewamori, dan yang lainnya dengan kapatu Mbojo. Syair-syair kapatu yang mereka bawakan tentang kerinduan pada kampung halaman, pada kekasih, dan tentang kenangan-kenangan mereka masing-masing bersama mantan kekasih mereka yang kini telah mereka tinggalkan buat selamanya. Namun adanya rombongan sekitar enam ekor kuda yang
Namun, sebelum keadaan yang memilukan itu terjadi, tiba-tiba sesosok bayangan melesat dengan amat cepat ke arah depan. Kedua kakinya langsung menghantam bagian pinggang kuda putih itu sehingga hewan besar itu terlempar ke samping dan jatuh terjerembab, sementara kedua tangan sosok bayangan langsung menangkap dan mendekat tubuh Putri Mantika dengan kedua tanganya yang kokoh. Saat sosok penyelamat itu menurunkan tubuh Putri Mantika di atas hamparan pasir, semua mata jadi terbelalak. Ternyata dia adalah La Mudu. Tampik sorak dari seluruh pemuda pun pecah seketika. Dan seperti dikomando, lalu semuanya menyerbu ke depan dan mengelilingi sang jawara dan sang putri.
Saat itu La Afi Sangia, yang ditemani putrinya, Putri Mantika, tertegun dari kursi kebesarannya saat melihat La Mudu dan La Turangga di belakangnya. Laki-laki yang akan memasuki usia baya itu bukan saja tertegun dan tercengang karena melihat penampilan sang jawara yang tampak gagah dan berwibawa, tetapi lebih-lebih ketika ia melihat wajah tampan sang pemuda. Ia berkali-kali menoleh ke wajah Putri Mantika di sampingnya lalu melihat ke wajahnya La Mudu, membanding-bandingkan wajah keduanya. “Selamat malam, Paduka Yang Mulia. Paduka memanggil hamba?”La Mudu menghaturkan salam dan bertanya dengan sikap santun. &ldq
Mendengar itu tawaran yang tak terduga itu, baik La Mudu maupun La Turangga dibuat kaget. La Turangga sampai mengunyah makanannya pelan-pelan, sedangkan La Mudu sendiri nyaris tersedak andaikata ia tidak cepat-cepat mengatasinya dengan air minum. La Mudu hendak mengucapkan sesuatu, tetapi Putri Mantika mendahuluinya dengan berkata, “Putri juga setuju dengan pendapat Ayahanda!”Lalu menatap kepada La Mudu, dan, “Ikutlah, Amania. Ini kesempatan terbaik buat Amania Mudu. Ini sebuah tawaran yang amat langka, karena ini merupakan sebuah pertandingan yang sangat bergengsi dan hanya diperuntukkan kepada pajuri-pajuri yang merupakan jawara-jawara Negeri Sangiang yang ternama.”(Amania&n
“Ada seorang pemuda seusia Putri Mantika yang ikut menjadi pajuri baru,” jawab Paduka Sandaka Dana berterus terang. “Dia seorang jawara yang berilmu sangat tinggi.” “Lantas Paduka mencurigai pemuda itu adalah bayi laki-laki itu?” “Iya, karena wajah pemuda yang bernama La Mudu itu demikian mirip dengan putri angkatku itu.” Bumi Osu alias La Mili memandang kegalauan yang kembali muncul di wajah sang junjungan, lalu tiba-tiba ia tertawa. &
Pada saat yang sama, di seberang sana, Meilin sedang duduk merenung seorang diri balai-balai di beranda rumah belakang, tempat yang pernah ia duduk berdua dengan sang kekasih, La Mudu. Wajahnya yang murung disandarkan pada kedua lututnya yang ditekuk. “Sedang apa Kak Mudu saat ini di pulau?”gumamnya, seolah bertanya pada dirinya sendiri. “Apakah ia akan benar-benar kembali lagi ke sini, untuk menemuiku? Ya Dewata Agung, lindungilah ia. Aku merindukannya. Kelak kembalikan dia buatku.” Tak terasa sepasang mata indahnya menggenang. Titik-titik bening menetes begitu saja. Ia tak begitu yakin jika sang kekasih berhasil