Share

MALAM YANG MENYESATKAN

Dalem kadipaten Tegal terlihat sunyi dari luar. Lampu-lampu minyak tampak menyala, menerangi dalem kadipaten. Di dalam, beberapa orang berkumpul menghadap Kyai Rangga, Sang Bupati. Mereka adalah Senapati Adijaya, Panglima tertinggi angkatan perang kadipaten Tegal. Bhre Wiraguna, pemimpin pasukan telik sandi, Lembu Sora, pemimpin pasukan panah, dan Arya Tejawungu pemimpin pasukan khusus. Mereka berkumpul untuk membicarakan rencana kepergian Kyai Rangga ke Batavia.

“Bagaimana persiapan untuk perjalananku besok pagi?” tanya Kyai Rangga.

“Semua sudah siap. Tinggal menunggu titah berangkat. Ada dua puluh orang dari pasukan khusus dan kanda Bhre Wiraguna yang akan menemani perjalanan paduka ke Batavia,” kata Adijaya yang mendapat tugas mempersiapkan pasukan yang akan mengawal Kyai Rangga ke Batavia.

“Bagus. Selama kepergianku tampuk pemerintahan Tegal kuserahkan pada Patih Sindurejo. Akan tetapi, seluruh kendali pasukan tetap ada ditangan Senapati Adijaya,”  kata Kyai Rangga.

“Baik, segala titah kanjeng adipati akan saya laksanakan sebaik-baiknya,” kata Adijaya.

“Aku hanya berpesan satu hal kepadamu, pasang mata dan telinga baik-baik. Terutama segala gerak-gerik patihku,  Sindurejo. Kamu pasti tahu mengapa aku memerintahkan begitu,” kata Kyai Rangga sambil tersenyum.

“Ya, saya tahu. Karena itulah, saya telah mengubah jadwal dan rute keberangkatan Adipati menuju ke Batavia,” kata Adijaya.

“Bagus, kamu memang benar-benar dapat diandalkan. Sekarang aku harus istirahat, pastikan tidak ada satupun yang akan menggangguku!” kata Kyai Rangga mengakhiri pertemuan.

Kyai Rangga segera menuju ke tempat peristirahatannya, sedangkan keempat anak buahnya masing-masing harus melaksanakan tugasnya.

Senapati Adijaya memerintahkan  Bhre Wiraguna, Lembu Sora dan Arya Tejawungu untuk menyiapkan segala perbekalan dan perlengkapan yang diperlukan untuk perjalanan esok. Tanpa banyak bicara mereka segera melakukan tugasnya masing-masing.

Sementara itu Bayu Suta sedang menemui Wirayuda, Kanigoro, dan Aryo Pamungkas. Bayu Suta menjelaskan secara ringkas perintah patih Sindurejo kepada mereka. Mendengar perintah Sindurejo itu, tidak tampak keterkejutan di wajah mereka. Rupanya Sindurejo sudah sering memanggil mereka secara mendadak  sehingga mereka sudah terbiasa. Maka keempat orang itu segera berangkat menuju kepatihan. Mereka berjalan dengan cepat dan nyaris tanpa suara, seolah takut ada orang yang melihat mereka. Tak berapa lama sampailah mereka di kepatihan. Patih SIndurejo tampak sudah menunggu mereka di pendopo kepatihan.

“Cepat ikuti aku!” kata Sindurejo dengan suara perlahan, begitu Bayu Suta dan kawan-kawan datang.

Sindurejo bergegas menuju gedung pusaka, diikuti oleh keempat anak buahnya. Penjaga gedung pusaka tampak terkejut melihat kehadiran Patih Sindurejo dan anak buahnya. Penjaga itu tampak waspada dan memandang dengan penuh curiga pada rombongan Patih Sindunata, karena tidak dapat melihat dengan jelas di gelapnya malam itu. Tetapi setelah Patih Sindurejo mendekat dan terkena sinar lampu minyak dan obor yang menyala di depan gedung pusaka, penjaga mengurangi sikap waspadanya.

“Oh, kanjeng Patih, kiranya, ada yang perlu saya bantu?” tanya penjaga itu.

“Cepat buka pintunya, aku ingin mengambil beberapa persenjataan untuk persiapan keberangkatan Kanjeng Adipati ke Batavia!” kata Sindurejo dengan tegas.

Sambil memberi penghormatan penjaga segera membuka pintu gedung pusaka yang terbuat dari besi itu. Patih Sindurejo diiringi oleh Bayu Suta, Wirayuda, Kanigoro, dan Aryo Pamungkas masuk ke dalam gedung pusaka dengan cepat seolah takut ada yang melihat mereka. Sindurejo kemudian memberi isyarat pada penjaga untuk menutup pintu. Walau agak heran penjaga menuruti juga perintah Sindurejo itu. Tetapi sebelum penjaga menutup pintu,  Sindurejo menghampiri penjaga itu.

“Jika ada yang datang, jangan katakan kalau aku ada di dalam! Mengerti?” kata Sindurejo.

Penjaga itu mengangguk tanda mengerti dan segera menutup pintu.

“Aku ingin kalian membawa senjata terbaik untuk besok pagi. Jadi aku membawa kalian ke gedung pusaka ini. Aku tahu, kalian mempunyai senjata andalan masing-masing, tetapi aku yakin senjata yang ada dalam gedung pusaka ini mempunyai keampuhan yang lebih dari senjata kalian,” kata Sindurejo sambil berjalan menuju ruangan tengah gedung pusaka.

“Tapi, apa yang harus kami lakukan besok pagi dengan senjata pusaka itu?” tanya Kanigoro yang belum mengetahui maksud Sindurejo.

“Apakah Bayu Suta belum menjelaskan padamu?” Sindurejo balik bertanya dengan keheranan dan memandang Bayu Suta untuk meminta jawaban.

“Mohon maaf kanjeng patih, saya sudah jelaskan garis besarnya, tetapi secara terperinci belum saya jelaskan, karena saya sendiri belum tahu,” kata Bayu Suta.

“Hmm, baiklah. Dengarkan kalian semua. Besok pagi seperti yang telah kalian ketahui, Kyai Rangga akan berangkat menuju Batavia untuk menyampaikan surat dari Sultan Agung. Inilah kesempatan bagi kita untuk merebut kekuasaan di Tegal ini. Maka aku memutuskan untuk menghabisi rombongan Kyai Rangga dalam perjalanan menuju Batavia. Dengan demikian Tegal akan jatuh dalam kekuasaanku. Oleh sebab itulah aku membutuhkan kalian untuk tugas yang berbahaya ini. Aku tahu dan percaya atas ketangguhan dan kemampuan kalian. Walau begitu aku perlu memberi kalian senjata yang tepat untuk tugas ini,” jelas Sindurejo.

“Di mana kita akan menghadang rombongan itu?” tanya Wirayuda.

“Di luar Kotagede, tepatnya di daerah perbukitan karanganyar, jadi kalian harus berangkat malam ini juga dan mendahului rombongan Kyai Rangga. Aku sudah siapkan perbekalan dan beberapa kuda yang bagus untuk kalian. Sekarang cepat cari pusaka yang kalian inginkan, dan ingat,  tetaplah waspada, sewaktu-waktu ada orang yang masuk kalian harus lekas sembunyi,” perintah  Sindurejo.

“Sendiko dawuh,” jawab keempat anak buah Sindurejo hampir bersamaan.

Menit-menit berikutnya, mereka sibuk mencari senjata yang sesuai dengan kemampuan mereka. Banyaknya senjata dalam gedung pusaka ternyata membuat mereka kebingungan. Selama beberapa saat mereka hanya berputar-putar dari satu senjata ke senjata lainnya. Sementara itu Sindurejo tampak gelisah berjalan mondar-mandir sambil sesekali memandang anak buahnya yang kebingungan mencari senjata di tengah temaramnya lampu minyak yang menerangi gedung pusaka itu.

Mendadak, pintu besi gedung pusaka berderit dan terbuka, secara reflek, Sindurejo melakukan salto ke udara, mendarat di tepi ruangan dan merapatkan tubuhnya ke dinding. Bayu Suta, Wiraguna, Kanigoro, dan Aryo Pamungkas melakukan hal yang sama dengan Sindurejo walau agak terlambat.

Senapati Adijaya bersama lima prajurit muncul dari balik pintu besi yang terbuka. Mereka berjalan dengan cepat tanpa memperhatikan kanan kiri dan langsung menuju deretan pedang dan tombak di ujung ruangan.

“Ambil tombak dan pedang yang kalian butuhkan, setelah itu kalian bawa ke depan dalem kadipaten!” perintah Adijaya kepada prajuritnya.

Tanpa banyak bicara lima prajurit itu segera memilih pedang dan tombak yang mereka butuhkan. Sementara itu, Sindurejo dan anak buahnya berada ditempat persembunyian masing-masing sambil menahan napas. Sinar lampu minyak yang hanya menerangi bagian tengah gedung pusaka cukup membantu Sindurejo dan anak buahnya sembunyi di sudut-sudut gelap yang tak terjangkau cahaya lampu. Para prajurit Senapati Adijaya mengumpulkan beberapa tombak dan pedang di tengah ruangan dan mengikatnya jadi satu. Kemudian tanpa memperhatikan sekeliling mereka mengangkat senjata-senjata itu ke luar ruangan. Mendadak, sebelum senapati Adijaya dan para prajuritnya meninggalkan ruangan, Kanigoro yang merasa pegal mendadak hilang keseimbangan dan menjatuhkan sebuah tombak. Kontan saja tombak itu jatuh berdentang menimbulkan suara yang keras dan mengejutkan di dalam ruangan itu.

“He, ada apa!!” teriak senapati Adijaya.

Para prajurit tampak siaga dan segera menghampiri arah jatuhnya tombak.

Dari sudut yang gelap, Sindurejo yang melihat situasi yang tidak menguntungkan itu segera bertindak cepat. Sindurejo mengambil sebuah pisau yang terletak di dekatnya dan melemparkannya ke arah lampu minyak di tengah ruangan. Praaakk!! Terdengar suara pisau beradu dengan lampu minyak. Ruangan di tengah mendadak gelap. Tetapi masih ada  tiga lampu minyak lagi yang masih menyala.

“Siapa itu!” bentak Adijaya.

Sindurejo mengambil tiga pisau sekaligus, dengan gerakan yang cepat dan hampir tak terlihat mata, dia melemparkan pisau itu kearah tiga lampu minyak  yang masih menyala. Terdengar benturan yang keras saat pisau mengenai tiga buah lampu itu. Mendadak ruangan menjadi gelap gulita.

Adijaya segera berpikir cepat, ditengah kegelapan dia segera berlari menuju pintu masuk, kemudian dengan sekali hentak dia membuka pintu. Cahaya obor dari luar ruangan segera menerobos ke dalam ruangan.

“Penjaga berikan obor itu padaku!” perintah Adijaya pada penjaga gedung pusaka yang tampak kebingungan. Dengan penuh tanda tanya dan masih terkejut penjaga itu segera memberikan obor yang ada di dekat pintu masuk pada Adijaya.

Sambil memegang obor, Adijaya masuk kembali ke gedung senjata. Para prajurit tampak masih siaga di tempatnya dalam keadaan menghunus pedangnya.

“Tampaknya ada penyusup dalam gedung ini. Cepat kalian keluar dan ambil obor, panggil bala bantuan!” perintah Adijaya pada prajuritnya.

Tanpa diperintah dua kali, para prajurit itu segera keluar dari gedung senjata untuk mencari bantuan. Sementara Adijaya berdiri di depan pintu masuk, tangan  kirinya memegang obor, sedang tangan kanannya memegang keris panjang. Dengan penuh kewaspadaan, Adijaya memandang ke dalam gedung pusaka, cahaya obornya tidak mampu menerangi seluruh ruangan. Adijaya mencoba menajamkan pendengarannya mencoba mendengarkan setiap tarikan napas yang ada di dalam ruangan itu.

Dalam kesunyian yang mencekam, Sindurejo berpikir keras bagaimana caranya bisa keluar tanpa kekerasan. Tetapi tampaknya tidak ada jalan lain untuk keluar selain dengan kekerasan. Tanpa berpikir panjang lagi Sindurejo dengan satu gerakan cepat melemparkan sebuah pisau ke arah obor yang dibawa Adijaya.

Wush!!! Pisau dari Sindurejo menerjang ke arah Adijaya. Tetapi dengan cekatan Adijaya menghindar dan tetap berusaha menjaga api obor tetap menyala. Sindurejo kembali melempar beberapa pisau, tombak, dan keris ke arah Adijaya. Dengan sigap Adijaya berhasil menghindar dan menangkis semua serangan itu.

Adijaya memperhatikan arah serangan dan segera maju menghampiri tempat persembunyian Sindurejo. Melihat hal itu Bayu Suta segera mengambil tindakan, dia segera menerjang Adijaya. Pertarungan terbuka tak terelakkan lagi. Adijaya berhadapan dengan Bayu Suta. Keris panjang yang dipegang Adijaya beradu dengan pedang yang diayunkan Bayu Suta. Suara dentingan terdengar di ruangan itu. Melihat hal itu, Kanigoro, Wiraguna, dan Aryo Pamungkas segera ikut menyerang Adijaya. Pertarungan menjadi tidak seimbang, Adijaya mati-matian bertahan dari gempuran keempat orang itu. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Sindurejo untuk segera keluar dari tempat persembunyiaanya. Saat Adijaya sibuk menghadapi gempuran empat orang,  Sindurejo bergegas menuju pintu keluar dan segera melarikan diri dari gedung pusaka.

Beberapa saat kemudian datanglah para prajurit Adijaya, mereka segera mengepung gedung pusaka. Beberapa orang segera bergegas memasuki gedung pusaka untuk membantu Senapati Adijaya. Sementara itu Sindurejo telah sampai di gedung kepatihan. Dia segera memanggil para prajuritnya.

“Saka!! Cepat kumpulkan beberapa pasukan panah, bakarlah gedung pusaka dengan panah api!! Ingat jangan sampai ketahuan!!” perintah Sindurejo pada Saka, pimpinan pasukan panah kepatihan. Tanpa membuang waktu, Saka bergerak cepat mengumpulkan beberapa orang pasukan panah.

Sementara itu pertempuran sengit masih terjadi di gedung pusaka. Senapati Adijaya sudah mendapat bantuan dari prajurit yang mulai berdatangan. Kalau tadi Adijaya terdesak, sekarang dengan bantuan para prajurit dia mulai mendesak lawan-lawannya. Pada saat Adijaya sudah berhasil memojokkan Bayu Suta dan kawan-kawan, mendadak panah-panah api menghujani gedung pusaka. Suasana menjadi kacau, api berkobar dimana-mana. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Bayu Suta dan kawan-kawan, mereka segera berusaha melarikan diri dari pertempuran. Bayu Suta yang pertama berhasil mencapai pintu, dia menyingkirkan para prajurit yang menghadangnya. Adijaya bukannya tidak mengetahui kalau lawan-lawannya berusaha melarikan diri. Tetapi kobaran api dimana-mana membuat Adijaya harus berpikir dua kali.

“He!! Jangan lari!!” teriaknya saat  Kanigoro, Wiraguna, dan Aryo Pamungkas melarikan diri. Tetapi hanya itu saja yang dapat dilakukannya. Api telah menyebar kemana-mana, harus segera dipadamkan. Jika tidak, seluruh gedung pusaka akan hangus terbakar. Maka Adijaya segera melupakan musuh-musuhnya dan mulai memusatkan perhatian pada kobaran api yang semakin membesar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status