"Mas! Kok diam aja sih!" sentak Hella mengagetkan."Terus aku harus gimana?" suaraku naik satu oktaf. Kesal sih boleh aja, tapi tidak harus membentakku juga kan. Dia pikir aku babunya!Rissa saja tidak pernah membentakku.Aaarghhh sial! Kenapa aku harus mengingat kebaikan istri durjana itu!"Haduh! Bisa mati berdiri kalau begini terus. Duit tidak punya, makanan tidak ada." seloroh Hella sambil berkacak pinggang.Aku hanya berdecak, malas menyahut ucapannya. Pikirnya hanya dia yang sakit kepala memikirkan semua ini. Kepalaku bahkan hampir pecah.Emang sialan si Rissa. Pergi dari rumah, malah merampok semua yang ada. Gila!"Tidak ada yang bisa dijual apa, Mas!" tanya Hella dengan bibir mencucut."Apa yang mau dijual? Kasur bau pesing?" cibirku."Ya kamu mikir dong. Tidak bisakan cuma diam begini aja." cecar Hella."Ya mau gimana lagi!" sahutku tak acuh."Argh sial!" Hella memukul meja makan, wajahnya memerah menandakan benar-benar sedang marah.Dengan kasar dia mengambil gelas yang terg
"Kami dari ke Polisian, apa benar ini kediaman rumah Saudara, Rudi ...."Aku dan Bapak saling berpandangan, hati mendadak gusar saat mata melihat dengan jelas dua sosok tegap memakai seragam coklat berdiri di balik pagar."Ada apa ya?" wajah Bapak berubah cemas, pun dengan diriku."Benar ini rumah, Rudi Sanjaya?" ulang Polisi berbadan tinggi besar itu."I--ya benar. Ini rumah Rudi, anak saya." jawab Bapak sambil melirikku."Ada apa ya, Pak?""Bisa di buka pintu pagarnya, atau bicara disini saja?" tanya, Polisi berwajah oriental itu."Eh, iya. Maaf ..." gegas Bapak membuka pintu pagar, memberi jalan masuk dua petugas ke Polisian tersebut."Masuk, Pak." ucap Bapak dengan raut tegang. "Ke dalam saja," Bapak melewati petugas membuka pintu rumah dan menarikku masuk kedalam."Jadi siapa yang bernama, Rudi Sanjaya?" tanya Polisi."Ini, anak saya, Pak." jawab Bapak sambil meremas pundakku."Ada perlu apa ya?" tanyaku dengan perasaan was-was. Bagaimana tidak, untuk apa dua Polisi ini mencariku
Entah mengapa, hati ini pilu melihatnya diperlakukan kasar pada Bapak. Aku tak terima wanita yang masih bergelar menjadi istriku di perlakukan semena-mena oleh orangtuaku sendiri.Tidak ada yang boleh melukainya, hanya aku, hanya aku yang pantas mendidiknya."Bangun! Cepat cabut laporanmu!" teriak Bapak dengan mata menyalang. Aku meneguk saliva, memandang cemas pada Rissa yang kesusahan untuk berdiri. Dia memegangi perutnya, membuat rasa bersalah semakin menjalar di hatiku.Rissa tersenyum tipis, menatap Bapak dengan tatapan lurus. "Bapak mau saya penjarakan juga?"Aku terperangah pun dengan Bapak."Ku-rang ajar!" geram Bapak semakin murka."Jangan menatap saya seperti itu, saya tidak melakukan kesalahan apapun. Saya hanya menegakkan keadilan untuk diri saya sendiri." tegas Rissa dengan tatapan menantang."Tapi jangan begini perlakuanmu, memenjarakan Rudi. Kalau kau tidak suka, cerai saja. Jangan menikam dari belakang!" bantah Bapak."Jaga sikap. Seharusnya Bapak sadar bahwa tindakan
Pov Larissa.Keluar dari kantor Polisi dengan langkah sempoyongan dan tubuh menggigil. Gegas membuka pintu mobil dengan tangan yang bergetar hebat.Hati ini nelangsa, aku menangis meratapi nasib yang begitu menyedihkan.Menghirup dengan rakus oksigen yang mengelilingi, menginjak pedal gas secara perlahan meninggalkan tempat yang penuh dengan rasa sakit ini.Melihat Mas Rudi di dalam sana, hati ini sedikit puas. Namun mengingat kejadian memalukan tadi entah mengapa dada terasa ngilu luar biasa.Bapak ... aku sangat kecewa padamu.***Ofd.Semilir angin malam yang menerpa wajah tak membuat sejuk pikiran, duduk termangu di depan teras rumah sambil menikmati segelas susu coklat hangat buatan Bik Narti.Menyesap pelan gelas yang ada di genggaman, rasa manis pahit langsung menyentuh ujung lidah."Aah!" aku meringis memegangi bibir, rasa ngilu dan perih menerjang gusi. Sepertinya tamparan itu membuat luka didalam mulut.Sakit!Sakit sekali mendapatkan perlakuan sekasar itu. Hati menjerit tida
Pov Author.Nafas Hanum {Ibu Rudi_red} menderu, diremasnya dengan erat gawai yang tergenggam didelam tangan. Gambaran wajah kecewa Rissa yang menari-nari dikepala membuat hatinya panas bercampur perih. Perlahan kepalanya menoleh pelan dengan sorot tajam kearah kamar perempuan yang menjadi biang masalah."Buk, istigfar ..." Ika mengusap lembut punggung Ibunya, Hanum bergerming sesaat lalu melangkah lebar menuju kamar Hella."Heh jal*ng! Keluar kau dari sini. Lihat gara-gara ulah gatalmu, keluarga anakku jadi kacau berantakan!" maki Hanum pada Hella. Kakinya menendang pintu kamar dengan kuat, membuat Hamdan yang sedang asik memainkan mobil-mobilan menjerit karna ketakutan."Sabar, Buk. Sabar ..." bujuk Ika sambil memegangi tubuh Ibunya yang ingin meringsek masuk kedalam kamar."Gara-gara kamu, rumah tangga anakku hancur. Gara-gara kamu juga, Rudi yang biasa sayang anak istri tega bermain kasar dan menelantarkan keluarganya!!" gelegar suara Ibu Hanum. Hella merunduk takut, badannya berge
Hanum beranjak keluar rumah untuk menghirup udara pagi, berdebat dengan Jaya hanya akan menambah kesal didada."Ika buatkan teh hangat dulu, Ibu duduk saja." ucap Ika sebelum beranjak masuk kerumah.Semilir angin menerjang wajah cantik yang sudah dipenuhi oleh kerutan, matanya menerawang jauh mengingat bayangan masalalu yang menyedihkan.Hati berdesir ngilu, nafasnya tersenggal mengingat pengkhianatan suaminya."Huh ... benar, memang. Buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya," lirih Hanum perih.Jaya melengos saat keluar rumah, mengeluarkan kendaraan roda dua dari garasi lalu melajukan kuda besi itu tanpa pamit pada Hanum.Hanum hanya bisa menarik nafas, semakin tua tabiat suaminya tidak juga pernah berubah.Egois, maunya menang sendiri. Dan tidak mau disalahkan."Ini, Buk. Diminum mumpung masih hangat," Ika menaruh dua gelas teh diatas meja, tak lupa membawa biskuit kelapa sebagai teman minum teh hangat."Wisnu sudah ngasih kabar?" tanya Hanum."Sudah, tadi wa. Pamit mau jalan kerja,
Hanum mengurai pelukan, berbalik badan matanya melotot tajam pada suaminya. Jaya mendengkus kesal, menghempaskan bokong dengan kasar diatas kursi.'Dasar tua keladi! Semakin tua, semakin jadi.' geram batin Hanum."Kamu sudah berobat, Nak?" tanya Hanum basa-basi. Sungguh pertanyaan yang sangat bodoh."Sudah, Buk." jawab Rissa sopan.Hanum menghela nafas kasar, canggung berdekatan dengan menantunya. Sesekali dia melirik kearah Rissa, meringis ngilu saat melihat lebam di wajahnya."Pak ..." ucap Hanum dengan suara tertahan, matanya melirik kearah Jaya dan Rissa bergantian. "Cepat minta maaf," sambungnya dengan suara pelan namun ditekan.Jaya berpura pilon, menatap acuh pada istrinya.Berkali Hanum mengatur nafas, menahan letupan emosi yang mulai bersarang didadanya."Laporan di terima, kami akan segera melakukan proses penyelidikan." ucap Polisi muda di balik meja."Makasih, Pak." jawab Rissa dengan senyum tipis, lalu bangkit dari kursi."Dengan saudara Jaya?" ucap Polisi. Jaya menoleh m
Mata Jaya melotot, menatap Hanum dengan tatapan meyalang. Panas hati yang sejak tadi dia pendam kini meletup-letup, tangannya mengepal dengan kuat. Andai tidak berada didalam jeruji, sudah pasti Jaya akan melayangkan tamparan keras dimulut Hanum."Kenapa?" sentak Hanum, di balas tatapan Jaya dengan tatapan tajam pula.Jaya menarik nafas, mencoba menahan amarah."Tolonglah, Buk. Masa kamu tega lihat aku tidur disini," suara Jaya melemah, wajahnya memelas. Kali ini dia berusaha untuk menekan imagenya di depan Hanum.Toh nanti Hanum yang akan memohon pada Rissa, bukan dirinya."Kamu yang bikin masalah, aku juga yang repot. Coba saja dari awal kamu dengar omonganku. Pasti ... kamu tidak akan ada didalam penjara saat ini. Apa susahnya sih, berlaku baik didepan Rissa. Sekarang bisanya menyusahkan aku." cecoros Hanum dengan nafas kembang-kempis. Rasa kesal masih saja bergelayut dibenaknya, mengingat tingkah Jaya didepan Rissa.Jaya kembali menarik nafas, cerocosan Hanum membuat kepalanya sem