KANAYA Teman-teman terus membujuk hingga aku takluk. Mereka meyakinkan bahwa Mr Hans tidak akan marah. Acaranya tak sampai larut malam. Untuk merealisasikan rencana ini, kami mengatur strategi untuk kabur dari Om John. Soalnya pasti lelaki itu tak akan menyetujuinya. Jujur, hati ini tak setuju dengan rencana gila itu. Namun, mengingat ini kebersamaan yang terakhir dengan mereka, aku mengiyakan. Rasa bersalah pada lelaki yang sangat baik itu sekuat mungkin Kutepis. Pun dengan rasa takut akan murkanya. Ah, gimana nanti sajalah, yang penting happy.Untuk memuluskan rencana aku menyuruh John duduk jauh dari kami di dalam bioskop. Dengan alasan HP lowbat aku titipkan benda itu padanya. Hal itu dilakukan agar saat kabur tak bisa dilacak. Jelaslah lelaki berwajah sangar itu tak bisa menolak perintah nyonyanya ini.Setelah film berlangsung seperempat putaran, satu per satu dari kami keluar dalam jeda lima menit per-orang. Hal itu untuk menghindari kecurigaan John jika matanya menangkap ada
KANAYA"Si, siapa kalian!"Bukannya menjawab, tiga lelaki yang sekarang menghampiri itu terbahak. Kami mundur untuk menghindari kekurangajaran mereka. Samar, aku masih bisa melihat seringai dan tatapan liar orang-orang berbadan kekar itu. Sepertinya preman yang sudah terbiasa dalam dunia hitam. "Jangan buru-buru. Kita bersenang-senang saja dulu, Ok!" ucap lelaki berkepala botak sambil terus mengikis jarak. Sementara, yang bertubuh lebih pendek mengincar Lili, sedang yang gemuk mendekati Alika. Jantung ini sudah tak terbayang berapa oktaf kenaikan level detakannya. Aku memegang tas selempang mini kuat-kuat, berpikir akan menghantamkan benda ini Sekuat-kuatnya jika dia berani menjamah.Ternyata tangannya lebih cepat dari gerakanku. Pria bejat itu menarik paksa lenganku hingga tubuh ini hampir menempel di dada dan perutnya. Sekuat mungkin aku berontak, memukul, mencakar atau menendang. Namun, itu tak berguna sama sekali. Cengkaramannya malah makin kuat. Yang terjadi pada Lili dan Alika
HANSDi tengah kepanikan, John mengabarkan bahwa ada kerusuhan di konser gedung Harmoni. Ia memberikan prediksi bahwa kemungkinan Kanaya ada di sana. Tanpa lama aku perintahkan supir untuk menuju tempat itu.Benar saja, setelah supir menyetel berita, terpampang hiruk pikuk peserta konser. Menurut reporter kerusuhan itu akibat provokasi beberapa penonton yang memicu keributan hingga menjalar menjadi besar. Para provokator sebagian sudah tertangkap, sementara lima lainnya masih dalam pencarian.Aku menajamkan mata untuk meneliti apakah di antara penonton yang tertangkap kamera ada Kanaya di sana. Sial, tak ada!"Brengsek!" Sekali lagi aku mengumpat sebab jalanan menuju tempat itu macet total. Akhirnya supir mengambil rute alternatif menuju area belakang gedung. Lumayan jauh jaraknya ke tempat itu.John kembali menelepon. Ia memastikan. Kanaya tak ada di tempat itu. Hanya saja, aku masih tak percaya hingga kuperintahkan harus tetap ada sebagian anak buah di sana, dan yang lain menyebar
HANS"Jangan-jangan malam pertama pun belum, ya? Hahaha! Tragis sekali hidupmu, Teman!"Aku tak mau meladeni ejekannya. Meski itu fakta, tak suka juga mendapat pelecehan. Lebih baik melihat keadaan Kanaya. Siapa tahu sudah siuman. Sudah dua jam anak itu pingsan, sekarang sedang di temani orang tuanya.Ben mendapat luka cukup parah, untung masih dapat diselamatkan. Dia kakak yang baik karena bertaruh nyawa untuk adik semata wayangnya. Sementara teman-teman Kanaya, setelah mendapat perawatan mereka dibawa pulang keluarganya. Para penjahat yang mencoba melecehkan Kanaya dan teman-temannya itu tak ada yang tewas hingga John tak perlu ribet berurusan dengan polisi. Seperti biasa John akan menyumpal aparat dengan sejumlah uang cukup besar hingga kasus penembakan itu takkan dipersoalkan. Tentu penjahat itu juga akan mendapat ganjaran berkali lipat di penjara sana. Apalagi ini menyangkut Kanaya, Nyonya Alexander. Siap-siap saja mereka membusuk di penjara. Meski aku dan beberapa anak buah me
"Aku gak mau nikah!" Kepala ini mulai mengeluarkan asap saat papa kembali membahas terkait rencana gilanya. Masa iya aku mau dinikahkan dengan patner bisnisnya, jelaslah menolak. Selain tak kenal, aku juga masih muda, baru lulus SMU. Ruangan yang cukup luas pun mendadak serasa sempit menghimpit. Lampu hias yang menerangi sedikit memudar sinarnya di pandangan ini. Arg! Kepalaku cenat-cenut jadinya. Kupukulkan sendok pada piring hingga sisa nasi berloncatan. Meja marmer bulat ini sedikit terkotori jadinya. Setelah melepas benda itu kukepalkan telapak tangan. Mata ini diarahkan pada kedua lensa lelaki yang wajahnya belum berkerut meski sudah berusia setengah abad. Papa balas menatap lekat, seolah ingin meyakinkan bahwa ucapan itu tidak main-main. "Perusahaan papa pailit. Kalau tak cepat diselamatkan maka ribuan karyawan akan dirumahkan. Seluruh aset kekayaan kita disita dan papa masuk penjara. Hanya pernikahan ini yang bisa menyelamatkan semua. Nay, papa mohon jangan menolak pernikah
"San'aelah, calon lo bukan kakek-kakek'kan? Lagian kalau cowok lebih dewasa tuh bagus. Kita bisa manja coz doi yang ngemong. En, lo jadi terhindar dari pergaulan bebas, lo gak bakal kejebak dosa zina!"Pengen ngakak guling-guling denger Nindia ngomongin dosa. Apa otaknya konslet tumben bicara benar sedikit. "What? Lo ngomong dosa? Kapan lo jadi ustazah, Jeng!""Diih, cantik-cantik gini gue lebih lempeng dari lo! Omongan kakak mentor agama masih nerap di otak gue!" cerocosnya. Lumayanlah ngobrol kesana-sini sama Nindia mengurangi beban pikiran dan hati. Sahabatku itu meski koplak, kadang ada benarnya. Kuakui dia lebih religi. Kadang cerewet nyuruh-nyuruh teman satu genknya untuk sholat. Kadang aneh, kok masih ada mahluk seperti itu di dunia. *Ini hari kelima aku dikurung di kamar. Rasanya bete tiada tara. Kadang aku berteriak-teriak untuk meluapkan kekesalan. Kalau sudah keterlaluan, papa akan masuk untuk menenangkan. Jika sudah begitu rasa iba masuk di dada ini. Tak tega melihat l
Dengan sedikit rengekan, wanita berusia empat puluh lima tahun itu mau juga menuruti permintaanku untuk masuk ke area supermarket. Sengaja kubuat ia kelelahan dengan berputar-putar dari satu tenant ke tenant lain."Mama tunggu saja di depan, aku masih harus nyari beberapa barang lagi!"Sudah kuduga, ia menyerah. Meski rautnya terlihat jengkel, mama tak berani marah di tempat umum. Takut jatuh wibawa mungkin.Setelah kupastikan mama tak melihat, aku langsung menyelinap di antara susunan rak dan etalase. Sukses! Saat dia sadar, tentu saja aku sudah pergi jauh.Tak kurang dari lima menit aku sudah sampai di koridor lantai dua. Gerbang tempat ini adalah pintu utama yang langsung menghadap jalan raya. Dari sana bisa langsung naik taksi. Semua sudah kurencanakan dengan matang saat ganti pakaian di rumah. "Aaw!"Karena tak fokus, tubuhku menabrak seseorang yang badannya serupa dinding tebal. Ah, pantas saja keras, badan lelaki itu tinggi besar. Namun, saat sadar siapa pria itu aku kontan be
HANS"Jadi, Agung Wicaksana menjual putrinya padamu?"Kujengkitkan bahu untuk menanggapi pertanyaan Roy. Lelaki yang lima belas tahun mendampingi itu mengempaskan bokongnya di kursi seberang meja ini. Seperti biasa ia akan meraih berkas-berkas yang sedang kupelajari. Sok serius, padahal tidak fokus pikirannya.Tak selang dua menit, pria yang sebelah telinganya beranting itu meletakkan kertas di atas meja. Ia menyandarkan punggung di badan kursi, lantas menumpangkan satu kaki ke kaki lainnya. Detik kemudian bicara, "Well, akhirnya kau akan menikah, Kawan!"Benarkan, tujuannya ke sini lepas makan siang hanya ingin memastikan pernikahanku. Sudah kuduga sebab dirinya senang sekali ikut campur urusan pribadiku. Pandangan kami beradu, ia pasti paham aku tak suka dengan pernyataan itu. Lelaki berdada bidang itu mengangkat kedua alisnya. Kalau bukan Roy tentu takkan berani menantang ketajaman netra ini. Aku bangkit dari kursi kebesaran, melangkah perlahan menuju dinding kaca yang melingkupi