Share

PERJODOHAN

Hari ini.

Minggu pagi yang cerah dilewati Dendi dengan berbincang santai bersama Wini, istrinya yang cantik dan bahkan menjadi salah satu mama muda tercantik di tempat mereka tinggal.

Dewo anak mereka sedang diajak jogging pagi oleh Winda, adik dari Wini yang jauh lebih cantik karena usia muda dan status gadisnya yang belum berganti.

"Ni, berapa usia Winda saat ini?" tanya Dendi membuka percakapan.

"Tinggal dikurangi lima saja dari usiaku, Mas," jawab Wini.

"Oh, dua puluh empat. Hmmm, apa dia tak mau menikah? Usianya kan sudah cukup matang, tuh!" 

"Winda kayaknya gak ada tuh cita-cita mau jadi perawan tua, Mas. Tapi sampai saat ini dia terkesan belum mau kenal cinta. Entah, apa belum ketemu cowok yang cocok atau kriterianya terlalu tinggi." 

"Kalau Winda pilah-pilih hal yang wajar, Ni. Dia bukan gadis jelek, kalau dapat cowok yang gak bisa hargai dia dan baik padanya kan sayang."

"Betul, gak seperti aku ya, Mas. Dapatnya yang jelek!" Wini tertawa kecil.

"Jelek-jelek gini, kamu cinta kan?" sambar Dendi tersenyum.

"Ya, mau gimana lagi. Kasihan Dewo yang bakal nanyain Papa jeleknya mana?" canda Wini.

"Hahaha. Oya, Ni... kayaknya Dewo butuh adik, deh. Kan dia udah tujuh tahun, nih!" Dendi genggam tangan Wini.

"Hush, masih pagi. Lagian aku sedang kedatangan tamu, yang sabar ya Mas!" Wini cubit punggung tangan Dendi.

Dendi dan Wini menjalani pernikahan mereka dengan penuh canda dan tawa. Walau kehidupan mereka tak bisa dibilang baik, tapi setidaknya mereka bahagia. Usia pernikahan yang berumur delapan tahun semakin mengikat cinta kasih sayang keduanya. Ditambah kehadiran Dewo, buah hati yang tampan dan lucu.

Sebenarnya Dendi pernah ajak Wini tinggal di rumah pemberian orang tuanya yang juga merupakan hadiah pernikahan. Tetapi hanya beberapa bulan saja Wini tinggal di sana. Akses jalan yang sulit, serta susah air menjadi kendala, selain tetangga yang bisa dihitung jari. Alasan itu yang buat Wini minta pindah.

Sekarang mereka tinggal tak jauh dari rumah masa gadis Wini. Hanya berjarak beberapa rumah. Rumah ini dibeli secara kredit karena uang hasil penjualan rumah hadiah itu tak cukup.

Karena harus bayar cicilan rumah itulah yang membuat kehidupan Dendi dan Wini terasa pas-pasan.

Tetapi itu tak membuat Dendi dan Wini mengeluh, mereka tetap jalani hidup dengan baik, meski kadang diam-diam Wini suka dapat bantuan dari Wirahadi, ayahnya yang baru saja pensiun.

Orang tua Dendi sudah tak ada saat Dewo berusia tiga tahun. Karena Dendi berasal dari keluarga besar, dia hanya dapat sedikit warisan dan dibayarkan ke kredit rumah.

Kini tertinggal setahun lagi kredit rumah yang sekarang ditempati Dendi dan Wini.

Namun kemarin, saat sedang nongkrong bersama temannya, Dendi dapat tawaran yang menggiurkan.

Ternyata diam-diam salah satu teman Dendi yang pernah melihat Winda, mengambil foto Winda tanpa ijin.

Dari foto yang di dapat itu, temannya Dendi berikan lagi kepada sepupunya yang sedang cari istri kedua, pengganti mendiang istri pertama.

*

Kemarin siang.

Dendi telah beri kabar pada Wini, kalau dia pulang sedikit terlambat. Karena ada salah satu teman kerjanya ulang tahun dan mau rayakan di salah satu cafe yang baru buka di dekat kantor.

Dendi kerja di kantor sebuah perusahaan komunikasi. Dia kerja dari hari senin sampai sabtu yang hanya setengah hari.

Tak banyak yang diajak untuk pesta ulang tahun, hanya lima orang dan salah satunya Dendi, beserta teman yang memiliki foto Winda di tangan.

Garin, teman Dendi yang punya foto Winda itu menarik Dendi ke meja lain yang kosong, setelah mereka nyanyikan lagu selamat ulang tahun dan juga makan. 

"Ada urusan apa nih, Rin? Masalah kerja? Nanti aja hari senin," ucap Dendi.

"Bukan, ini tentang ipar lo," jawab Garin.

"Winda?" Dendi angkat alisnya.

Garin mengiyakan.

"Kenapa Winda? Eh, lo mau nikahin dia? Gila, gue gak setuju! Lo udah punya bini dan anak tiga. Gak kasihan apa sama bini?" Dendi tampak tak suka.

"Tenang, jangan salah sangka!" Garin coba tenangkan Dendi.

Dendi tarik nafas, dia tahu terlalu terbawa emosi. Winda itu betul iparnya, tapi sudah dianggap adiknya sendiri.

"Gini, gue punya sepupu namanya Luki. Dia duda dan lagi nyari istri lagi. Gue jujur, diam-diam ambil foto Winda dan kasih lihat ke Luki yang langsung suka dan mau kenal lebih jauh dan intim sama Winda. Oya, Luki ini baru berusia tiga puluh lima tahun dan dia kaya," jelas Garin.

Dendi tak bersuara.

"Satu lagi, kalau sampai Luki bisa nikahi Winda, utang rumah lo bakal dilunasi. Mau gak?" tawar Garin.

Dendi kaget dan senang. Tapi dia tak mau terburu-buru.

"Wah, memangnya apa sih kualitas Winda sampai bikin lo janji bakal lunasin utang rumah gue?" tanya Dendi.

"Gimana, ya... yang janji itu bukan gue, tapi Luki. Dia pertama kali lihat Winda langsung ingat sama mendiang istri pertamanya. Ya, dia cari wanita yang serupa secara wajah dengan istrinya dulu. Pas gue lihat Winda, gue juga kaget sih, dia mirip sama istri Luki itu."

Dendi kerutkan kening.

"Terus pas gue lihat sikap Winda, dia itu rame orangnya, tapi tetap sopan sama orang. Ya, pokoknya gak bakalan bikin kecewa Luki, ada sebagian diri Winda yang juga ada di istri pertama Luki itu."

"Hahaha, Winda itu sedikit liar loh, eh maksudnya bukan nakal. Tapi iseng dan suka bercanda, tapi betul kata lo, dia itu sama orang baru bakal sopan, kecuali sama teman dekatnya, dia bakal sering bercanda," jelas Dendi.

"Jadi gimana?" potong Garin.

"Gimana apanya?" Dendi pura-pura jual mahal.

"Lo mau bantu kan? Jodohin Luki sama Winda!" pinta Garin penuh harap.

"Apa gue boleh pikir-pikir dulu?" tanya Dendi.

Garin tak menjawab, tapi dia gerakan tangan ke arah kantong belakang. Ditarik keluar dompetnya dan ambil uang pecahan seratus sebanyak sepuluh lembar.

"Ini anggap aja buat uang awal. Eh, iya... ini dari kantong gue pribadi ya!" ucap Garin.

"Kok, lo ngedesek banget. Memang dapat apa dari Luki?" tanya Dendi sambil pegang uang yang diletakan Garin di atas meja.

"Gak dapat apa-apa. Gue murni niat bantu Luki aja. Dia udah banyak bantu. Keluarganya yang banyak bantu, sih, tapi akhir-akhir ini, dia yang ambil alih biaya sekolah anak-anak gue, Den. Jadi uang gaji bisa buat kebutuhan sehari-hari sama di tabung buat jalan-jalan." Luki tertawa.

"Ok, uang gue ambil. Tapi gak janji bisa berhasil ya!" ucap Dendi.

"Tenang, gak ada paksaan harus berhasil. Kalau lo mau uang buat bayar lunas cicilan rumah, hmmm... kira-kira lima puluh juta. Mau gak mau ya harus berhasil!" Garin tersenyum.

"Gue sih mau, tapi buat maksa, gue gak bisa! Winda cuma ipar, kalau dia adik gue... bisa diatur. Tapi gue herman eh, heran, kok mau sepupu lo bayar lima puluh juta?" Dendi tampak heran.

"Hahaha, anggap aja Luki ini orang kaya baru. Ya, lo kan tahu orang kaya itu kadang suka buang-buang uang, alias keluarin uang buat hal yang gak di duga-duga. Jadi lo mau kan usaha? Apa perlu hitam di atas putih gue bikinin nih?" tawar Garin.

"Ya, kalau lo pikir itu ada gunanya, gue sih mau-mau aja!" Dendi tertawa lebar.

"Gimana Ni? Mau gak bantuin ngomong ke Winda?" tanya Dendi setelah cerita pertemuan dan perjanjian yang dia buat dengan Garin.

"Jadi kita jual Winda gitu Mas?" Wini hela nafas.

"Kok dijual sih?" Dendi bingung.

"Ya, kan kalau Winda mau berjodoh sama sepupunya Garin yang duda itu karena usaha promosi kita, uang lima puluh juta bakal di tangan. Apa itu bukan jual namanya?" Wini tatap tajam Dendi.

"Jadi kamu gak setuju?" tebak Dendi.

"Aku pikir-pikir dulu deh. Bukan apa-apa lima puluh juta itu cukup buat lunasin uang rumah, malah ada lebih belasan juta. Tapi kalau Winda gak bahagia gimana?" tanya Wini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status