Share

[10]

last update Last Updated: 2025-06-20 10:00:59

“Mami!” sapa Nabil dengan antusiasnya begitu melihatku. Sementara Rara dan putranya segera menoleh dan wanita itu melambaikan tangan menyambutku. Bukan hanya mereka, tapi juga Ibu Erna, Jihan, dan Tina. Beserta putra putri mereka yang tampak asyik menikmati sajian yang terhidang di meja.

Sebenarnya aku juga tak menyangka jika harus bertemu di tempat ini. Rara mengundangku ke restoran di mana sebagian wali murid berkumpul. Bisa dibilang, perwakilan kelas untuk beberapa urusan yang berkaitan dengan orang tua dan guru. Dan Bu Erna adalah salah satu dari perwakilan yang menurutku cukup aktif. Tiga nama lainnya, anggap saja seperti ekor dari Bu Erna.

“Maaf, ya, agak telat,” kataku sembari menarik salah satu kursi. “Macet banget.”

“Iya, lah. Ini jam crowded,” ujar Jihan sembari tertawa. “Aku taruhan sama Mbak Erna, kamu enggak datang, Lis. Eh ... “

“Yang kalah siapa?” tanyaku sambil tertawa. Serta mengusap kepala Nabil penuh sayang. berbisik menanyakan kabarnya serta apa yang ia makan. Setidaknya Rara menepati ucapannya; menjaga putriku dengan baik. Meski harus datang ke perkumpulan seperti ini. tak apa, toh ... sesekali di antara waktu yang kumiliki.

“Aku, lah,” kata Jihan menghela panjang. “Tapi tenang, makan kali ini all payment ditanggung Mbak Rara.” Jihan berucap sembari tertawa. Sementara yang namanya disebut, hanya tersenyum simpul saja.

“Ada acara apa sebenarnya?” Aku pun berusaha untuk berbaur. Jangan sampai menjadi canggung di antara mereka.

“Enggak ada acara yang spesial, sih,” kata Rara sambil menyibak rambut panjangnya. Kuakui rambutnya indah tergerai, hitam legam terawat. “Sudah lama enggak bertemu Mbak Erna dan yang lainnya. Lagi pula kebetulan juga, kan, aku pulang bersama Nabil. Jadi sekalian bisa bertemu Mbak Lisa juga.”

Aku mengangguk. “Terima kasih sudah mengundangku.”

“Mbak Lisa kayak sama siapa saja,” Rara menyentuh bahuku pelan. “Mau pesan apa? Kita semua baru pesan, Mbak. Biar sekalian makan bareng. Kalau anak-anak sih sudah duluan.”

Aku pun meminta pelayan untuk membawakan menu. Memesan apa yang menggugah selera, serta sesekali menanggapi obrolan yang terjadi bersama mereka. Sepertinya aku memang harus menyingkirkan pemikiran jika suamiku bermain api bersama sosok wanita yang duduk di sampingku ini.

“Mbak Rara, maaf neh kesannya enggak sopan bertanya,” Tina tiba-tiba bertanya tapi wajahnya seperti menahan rasa penasaran yang tinggi. Karena itu juga aku dihinggapi rasa penasaran yang sama, apa yang sebenarnya ingin Tina tanyakan. Apalagi sampai meminta izin segala.

“Mau tanya apa, Tina?” tanya Rara dengan santainya. Kuperhatikan apa pun yang Rara lakukan, selalu dilakukan dengan hati-hati dan penuh ketelitian. Bahkan sekadar menikmati kopi espresso di cangkirnya saja, ia sesap dengan perlahan.

“Mbak Rara enggak pernah kesepian? Suaminya jarang pulang, kan?”

Wah! Pertanyaan ini sangat sensitif sebenarnya. Apa Tina tak bisa memilah mana pertanyaan yang tak menimbulkan kecanggungan, mana yang mengesankan sikap ramah. Astaga! Aku tak menyangka sama sekali.

“Ah, enggak. Biasa saja,” kata Rara dengan santainya. “Mungkin karena aku sibuk bekerja dan memang banyak kegiatan. Bosku hobi sekali ke luar kota. Mas Hanung juga agak kewalahan imbangi bosku, kan, Mbak Lisa?” Dia tersenyum tanpa canggung sama sekali menanggapi pertanyaan Tina.

“Ah?” Kenapa aku terseret? “Asal proyek berjalan lancar, aku enggak masalah semisal Mas Hanung terkadang ada di luar kota.

“Lho, suamiku bekerja sama dengan bosnya Mbak Rara?” tanya Jihan dengan antusias, yang tak mungkin aku tanggapi dengan datar. Aku anggukkan kepala sebagai jawaban dan baru saja akan berkata namun ...

“Iya. Bosku ternyata salah satu klien Mas Hanung. Makanya aku bersyukur banget bisa kenal Mas Hanung yang membantu aku saat itu. Aku enggak keberatan sama sekali kalau Mas Hanung lagi repot dan dititipi Nabil. Lagi pula Nabil dan Arya jadi semakin akrab.”

Ini ... maksudnya apa, ya? Aku berusaha tersenyum meski menahan banyak pertanyaan yang memenuhi kepala. "Jadi, Nabil sering dititipkan ke kamu, Mbak?"

"Enggak juga,” kata Rara tanpa beban. “Maksudku terkadang Mas Hanung mendadak ada meeting atau harus bertemu bosku. Jadwal les Nabil dan Arya kan sama. Jadi aku biasa menjemput Nabil sebelum mengantarnya ke Mas Hanung.”

“Kok ... Mas Hanung enggak cerita ke aku, ya, tentang ini?” Aku tak lagi bisa menahan diri. “Seberapa akrab kalian?”

Rara segera menatapku dengan sorot bersalah. “Oh, maaf. Mbak Lisa enggak punya pikiran buruk tentang kami, kan? Aku sama sekali enggak seperti apa yang Mbak bayangkan, lho. Aku melakukan hal ini dengan senang hati karena ingin sekali membalas kebaikan Mas Hanung.” Ia pun sedikit menggeser duduknya. “Mbak enggak keberatan, kan?”

“Kamu tenang saja, Lis,” sela Erna sambil tertawa. “Enggak mungkin suamimu berpaling ke Rara. Lagian suaminya Rara lebih ... “ Dia memberikan dua jempolnya padaku seolah memuji, pria yang menjadi suami Rara sangat keren dan benar-benar tampan.

“Memang Mbak Erna sudah pernah bertemu?”

“Belum sih,” Erna kembali tertawa. “Tapi aku sering lihat status WA juga postingan Rara di Instragrem. Kamu enggak follow dia?”

“Mungkin nanti,” aku kembali menyesap kopi bagianku.

“Tapi aku serius, Mbak Lisa, aku berhubungan dengan Mas Hanung sebatas rekan bisnis saja. Aku hanya sekadar membantu beliau kalau pas repot. Nabil juga lebih nyaman saat bersama Arya dan aku. Mbak enggak mempermasalahkan hal itu, kan?”

“Wajar, sih, ya kalau kita ingin terus membalas kebaikan orang yang sudah menyelamatkan kita di saat genting,” ujar Tina. “Lagian Mas Hanung memang ramah dan baik banget orangnya, sih.”

"Aku setuju sama kamu, Tin!" timpal Jihan. "Mas Hanung tuh kalau udah bantu orang, all out. Saat aku telat jemput Gwen, Mas Hanung dan Nabil nungguin Gwen dulu sampai aku datang. Soalnya Miss Nina ada meeting di kantor kepala sekolah.”

Aku menatap mereka satu per satu. Mereka bicara seolah semua ini hal biasa. Seolah kedekatan Rara dan suamiku memang sesuatu yang tak perlu dipertanyakan. Tapi kenapa terasa terlalu ... janggal?

"Aku baru tahu loh, kalau Mas Hanung sampai sedekat itu sama asisten bos rekan bisnisnya," ucapku pelan. Aku tersenyum tipis, tapi mataku menatap Rara dengan saksama.

Ia tak kehilangan kendali. Justru balik tersenyum hangat. "Mbak Lisa enggak perlu khawatir yang berlebih. Aku juga jaga batas, kok. Kita cuma kerja bareng. Lagian aku ini tipe orang yang malas banget bikin masalah hati sama istri orang. Meski aku jarang bertemu suami tapi aku bukan orang yang kesepian."

"Ooh, tentu," sahutku cepat. "Aku cuma penasaran saja, Mbak. Soalnya belakangan Mas Hanung jarang cerita soal proyek barunya. Biasanya dia cerita panjang lebar."

Rara mengangguk, tampak paham. "Mungkin karena dia capek banget, ya. Meeting-nya bisa tiga kali dalam sehari. Belum lagi harus ngejar data klien. Kadang aku juga lihat dia kayak kelelahan banget."

Aku membeku sejenak. Kadang aku juga lihat dia...

"Berarti kalian memang sering bertemu, ya?" tanyaku, suaraku ringan tapi dengan ujung yang tajam.

Rara kembali menyesap kopinya. "Eh, enggak sering juga, kok. Maksudku, pas ketemu aja. Biasanya kalau bosku manggil dia buat presentasi bareng atau ada konsultasi proyek. Selebihnya ya lewat chat atau call biasa."

Erna ikut bersuara. "Udah, Lisa. Kamu tuh terlalu curigaan. Rara enggak mungkin berpaling ke suami kamu. Suaminya dia bule dan gantengnya aduh ... kalau sampai si Rara main serong, aku yakin dia pasti menyesal banget.”

Rara tertawa. “Iya, lah. Mas Ronald itu suami idaman aku banget. Aku enggak pernah keberatan dengan pekerjaannya. Kami saling percaya dan saling cinta.” Dia menatapku dengan lekatnya. “Jadi Mbak Lisa jangan terlalu khawatir sampai menatap aku seolah aku yang ingin dekat sama Mas Hanung.”

"Iya," sambung Tina. "Zaman sekarang, penting punya rekan kerja yang bisa diandalkan. Enggak semua hubungan pria dan wanita itu harus dicurigai, tahu!"

Mereka tertawa kecil. Aku ikut tertawa. Tapi di dalam kepalaku, suara lain ikut berbisik.

Kalau memang tak ada apa-apa ... kenapa jawaban Rara lihai sekali? Seolah sudah terbiasa menghadapi kondisi seperti ini?

“Oiya, ketimbang membicarakan hal yang enggak menyenangkan,” Rara menepuk tangannya pelan. “Lebih baik kalian lihat ini,” Rara tiba-tiba membuka pouch kecil dari tasnya, lalu mengeluarkan sebuah tube lipstik berwarna rose-gold matte yang tampak elegan. “Aku baru banget dapet ini. Look at this shade! Rare banget loh shade ini!”

Erna langsung menghampiri. “Astaga! Ini yang Velvet Aurora, kan?! Gila, ini susah dicari, Rar. Aku PO tiga bulan lalu, belum sampai-sampai!”

Jihan juga mendekat, wajahnya memanjang ke depan. “Eh, seriusan kamu dapet ini? Bukannya ini cuma dijual di store-nya langsung di luar negeri? Di Indo aja kayaknya belum masuk, deh!”

Rara mengangguk dengan ekspresi puas. “Makanya aku juga kaget pas dikasih. Awalnya enggak percaya ini asli. Tapi begitu pegang sendiri dan nyobain…” Ia mengoleskan sedikit di punggung tangannya. “Warnanya tuh lembut tapi tetap elegan. Pas banget sama tone kulitku.”

Aku menoleh perlahan. Tatapanku menancap ke lipstik itu.

Tube-nya ... persis. Sangat persis. Bukan hanya tube, kemasannya juga sama. Aku pernah melihatnya. Lebih tepatnya: menemukannya.

Di karpet belakang mobil Mas Hanung. Sore ini. Aku belum sempat menanyakan pada suamiku perihal lipstik ini. Karena kupikir, Mas Hanung tengah mempersiapkan hadiah untukku. Seperti yang beberapa waktu belakangan ini ia lakukan.

“Warnanya memang cocok untuk kamu, Ra,” ucapku pelan. “Beruntung banget dikasih, ya, Rara. Jangan-jangan dia orang yang spesial?”

Rara tersenyum, tampak senang karena semua memperhatikan. “Hu uh.” Dia mengangguk antusias. “Orang baik yang sayang banget sama aku. Sebenarnya ini kali kedua aku diberikan lisptik ini. Yang sebelumnya kalau aku enggak salah ingat, ketinggalan di mobilnya. sudah dicari tapi enggak ketemu,” katanya dengan wajah sendu. “Karena enggak tega lihat aku sedih, dia belikan lagi.”

“Wah, beruntung banget kamu,” komentar Erna. “Dibeliin barang langka gini, pasti orangnya spesial banget! Dua kali pula.”

“Iya dong,” Rara mengedip genit. “Enggak semua orang punya orang baik kayak gitu.”

Aku memaksakan tawa kecil. “Orang baik itu ... suamimu, kan?”

“Memangnya hanya Mas Ronald saja yang senang memberikanku barang-barang spesial? Aku enggak keberatan jika orang lain yang memberikannya, kok.”

“Bisa jadi orang spesial itu sahabatnya Rara, Lis,” kata Jihan sembari tertawa.

“Nah!” Rara menjentikkan jemarinya. “Tapi dia bukan sahabatku, sih. Yang jelas, dia orang yang spesial untukku.”

Satu-satunya hal yang mengusik; Rara menatapku dengan dagu sedikit terangkat dan senyum yang mengembang tipis. Namun aku bisa merasa aura kesombongan di sana. Dan dari caranya beradu pandang, aku tahu satu hal.

Dia menunggu aku sadar.

Sadar bahwa ini bukan sekadar barang ketinggalan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Neiza U R
terlalu lelet mikirnya sdh banyak bukti didpn mata, cinta boleh tapi bodo jangan
goodnovel comment avatar
Dyah Wiryastini
Wahhhh. Ayo segera cari tahuuuu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [9]

    “Nabil, roti lapisnya sudah Mami siapkan dan dibungkus. Jangan lupa dimasukkan ke tas, ya!”Lisa mengangkat suara dari dapur sambil menyusun bekal di kotak makan masing-masing.“Iyaaa, Ma!” Terdengar suara langkah kaki kecil mendekat, disusul Arya yang diam-diam ikut masuk ke dapur.“Ini, Tante,” kata Arya sambil menyerahkan botol minumnya. Juga botol minum Nabil agar diisi oleh air menyegarkan yang dibuatkan Lisa untuk mereka. Arya suka sekali dengan apa yang dibuat Lisa. Dan rasanya ... ia tak ingin pulang dari rumah yang benar-benar hangat ini.Lisa tersenyum dan mengisi botol itu dengan infused water. “Kamu suka yang lemon strawberry, kan?”Arya mengangguk. “Iya. Enak.”Lisa mengusap puncak kepala Arya penuh sayang. “Tante buatkan lagi, ya. Jangan lupa bekalnya dihabiskan, ya. Sarapannya sudah Tante siapkan di meja. Makan dulu sama Nabil..”“Iya, Tante.”Lisa pun sibuk dengan 2 botol milik bocah kecil yang meramaikan rumahnya ini. lantas bergegas mengisi dengan minuman yang diingi

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [8]

    “Ayo, anak-anak. Sudah waktunya kalian tidur, kan?” peringat Lisa sembari membawakan dua gelas susu hangat untuk dua anak yang masih berkutat dengan buku gambar. Setelah mengerjakan PR yang cukup banyak, mereka memilih menghilangkan penat dengan menggambar.Tadinya Nabil ingin menonton film tapi Arya tak mau. Katanya nanti bisa terlalu malam tidurnya. Bagus juga peringatan yang Arya ungkapkan untuk Nabil. Jadi anak itu bisa lebih mandiri dan disiplin untuk tidur.“Iya, Mi. Sebentar lagi,” kata Nabil yang masih sibuk mencari salah satu pensil warna yang ia butuhkan.“Minum susunya dulu.”Mereka pun patuh. Duduk bersama menikmati segelas susu hangat buatan Lisa, mereka juga banyak bercerita mengenai kegiatan di tempat les. Terutama Nabil yang mendapatkan nilai sempurna untuk perhitungan dasar. Arya memujinya beberapa kali dan Nabil benar-benar senang dengan pujian itu.“Kalau nanti kamu kesulitan pas belajar menghitung, tanya aku saja, Ya,” kata Nabil.Arya mengangguk sembari tersenyum

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [7]

    Winda datang menjelang sore karena waktu yang sahabatnya punya, hanya di sekitar jam luang. Dan bisa dibilang, Winda sekalian pulang setelah bekerja. Lagi pula pekerjaan Winda sebenarnya bisa saja dikerjakan di rumah. Hanya Winda lebih memilih berangkat ke kantor untuk menghilangkan penat.“Hei, kamu ngelamun lagi,” tegur Winda sambil menjentikkan jari di depan wajah Lisa. “Ini satin udah tiga kali kamu lipat-lipat, tapi enggak rapi-rapi.”Lisa terkesiap. “Hah? Ya ampun, sorry. Aku nggak fokus.”“Kelihatan banget.” Winda meletakkan tote bag-nya di kursi rotan pojok butik, lalu duduk santai. “Udah, sini. Duduk dulu. Cerita.”Winda sejak tadi memerhatikan Lisa. Bukan sekali dua kali sahabatnya melamun seperti ini. Entah apa yang dipikirkan tapi rasanya ... aneh sekali. Saat ada masalah dengan mantan suaminya yang berengsek itu, Lisa tak sampai kehilangan fokus seperti ini.Tapi kali ini ...“Kamu enggak mau cerita?” desak Winda dengan sorot mata penasaran. “Apa yang sebenarnya terjadi?”

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [6]

    “Kalian berdua, semangat sekolahnya, ya,” kata Lisa sembari memberi pelukan hangat pada Nabil juga Arya. Tak jauh dari mobil Lisa terparkir, ada Erna serta rekan Lisa lainnya yang turut mengantar anak mereka. Lisa menyapa ramah tapi kembali fokus pada kedua anak yang kini berjalan memasuki area lobby sekolah.“Lho, bukannya itu anaknya si pelakor itu?” tanya Bu Erna dengan wajah terkejut. “Kok bisa bareng sama kamu?”Lisa tersenyum tipis. “Iya, Mbak. Arya nginap di rumah aku seminggu ke depan. Ayahnya lagi ada dinas ke Surabaya seminggu ke depan.”Erna masih belum bisa mencerna perkataan Lisa barusan. “Ta-tapi, kan, dia ...”“Mbak Erna, mohon maaf banget. Aku harus ke butik pagi ini. Bagaimana kalau kita ngobrol pas anak-anak acara berenang? Anakmu ikut, kan?”Erna segera mengangguk. “Kamu benar. Lebih baik kita bicara saat waktunya longgar. Tapi kamu benar-benar harus cerita yang detail, ya, Lis. Aku penasaran banget, lho. Kalau Tina dan Jihan tahu, mereka pasti sama. Menuntut penjel

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [5]

    Hari pertama Arya menginap di rumah Lisa, Lisa merasa seperti memiliki 2 anak dengan kepribadian yang sangat berbeda. Nabil dengan tingkahnya yang cerewet dan terkadang banyak protes. Arya lebih banyak diam dan menuruti semua keinginan Nabil. Bocah lelaki itu memosisikan dirinya sebagai kakak laki-laki yang bisa Nabil andalkan.Tapi satu hal yang membuat Lisa senang. Arya tak pernah sungkan untuk bicara dengannya walau perlahan dan terkadang, butuh ditanya ulang apa keinginan anak itu.“Kamu yakin sudah cukup?” tanya Lisa penasaran. Kotak bekal Arya sudah ia buatkan roti lapis dengan selai strawberry juga coklat yang menjadi kesukaan bocah itu. Tapi ternyata, Arya juga menginginkan nasi goreng seafood buatan Lisa. Hanya saja, isinya sedikit sekali.“Iya, Tante. Ini sudah cukup. Lagian kita mau sarapan bersama, kan?”“Iya.” Lisa tersenyum lebar. Diusapnya lembut puncak kepala Arya. “Nah, sementara Tante siapkan jus, boleh panggilkan Nabil? Tante rasa dia sudah selesai merapikan bukunya.

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [4]

    Kalau ada yang ingin mengatakan betapa konyol dan impulsif tindakan Lisa, silakan utarakan. Lisa sendiri tak tahu apa yang sebenarnya ada di pikirannya. Kenapa juga ia setuju dengan permintaan Ronald.Saat pria itu diberikan keputusan jika Lisa mau membantu, wajah tampannya jauh lebih bersinar dari sebelumnya. Bisa dibilang, mungkin sebagian besar bebannya berkurang banyak.“Mami kenapa?” tanya Nabil bingung. Sejak tadi ibunya berulang kali gonta-ganti siaran TV. biasanya, ia tak pernah seperti itu.“Enggak apa-apa, Sayang,” Lisa menyeringai tipis. “Duduk sini.” Ia pun meminta anaknya untuk duduk di dekatnya. Nabil menuruti dan segera bersandar begitu Lisa merangkulnya penuh sayang. “Ehm ... Mami mau ngomong sama kamu. Bisa?”“Biasanya juga ngomong, kan?”Lisa tertawa jadinya. “Iya, juga, ya.” Tak mungkin ia tak membicarakan dengan anaknya, kan? “Menurutmu, kalau Arya tin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status