Share

[9]

last update Last Updated: 2025-06-19 11:00:40

“Eh, Bu Lisa wajahnya ceria banget, ya.”

“Iya, lho. Dari tadi senyum-senyum terus.”

“Tapi yang paling aku perhatikan, Bu Lisa sering perhatikan jarinya. Ada apa, sih?”

Aku masih bisa mendengar bisik-bisik yang dilakukan dua staf yang membantuku di butik. Tapi aku tak ingin mengganggu kesenangan mereka. Biarkan, anggap saja untuk hiburan mereka juga. Lagi pula mereka tak membicarakan hal buruk mengenai diriku. Hanya saja ... apa aku seceria itu hari ini?

Memangnya aku jarang tersenyum di kesehariannya? Aneh sekali.

Namun aku tak memungkiri jika sering kali melirik kagum pada cincin yang melingkari jemari manisku ini. Entah kenapa kilaunya benar-benar memanjakan mataku. Pemberian Mas Hanung membuatku berbunga-bunga. Sepertinya aku memang bersikap bodoh dan keterlaluan. Aku harus menebusnya.

 “Rina,” panggilku pada salah satu staf yang tadi berbisik membicarakanku. Aku bisa melihat di balik gamis yang baru saja selesai finishing dari bagian produksi, tampak terkejut dan segera menghampiriku. Wajahnya tampak gugup, mungkin mengira jika aku akan memarahinya lantaran membicarakanku.

Astaga, aku tak segalak itu.

“Ya, Bu?” Rina pun berdiri di depanku sembari tertunduk. “Ada apa?”

“Tolong belikan makan siang untuk semua staf yang ada, ya. Terserah mau pesan apa, kalian list saja.” Aku mengeluarkan dompet dari tas yang ada di meja. “Sekalian belikan saya buah potong, ya.” Kuserahkan beberapa lembar uang yang kurasa cukup untuk mereka semua memesan makan siang. Kubagi sedikit kebahagiaan pagi ini pada mereka.

“Makan siang Ibu? Sekalian juga?” tanya Rina yang tampak berbinar gembira mendapatkan tawaran makan siang dariku.

“Enggak usah. Saya mau keluar bersama Winda. Nanti buah potongnya tolong taruh kulkas dulu.”

“Siap, Bu!” sahut Rina penuh semangat.

Aku tanggapi dengan senyuman ringan saja. Dia pun kembali bekerja, sama halnya denganku. Ada beberapa design baru yang harus aku periksa dan pastikan sesuai dengan pesanan pelanggan yang masuk. Tak butuh waktu lama, jam makan siang pun tiba. Semua staf sudah mendapatkan bagiannya sementara aku menunggu Winda datang menjemput.

“Kamu kenapa, Lis?” tanya Winda begitu menyapaku di depan kantor.

“Kenapa? Ada yang aneh memangnya sama wajahku?”

Kening Winda berkerut banyak, aku bisa melihatnya. Tatapannya juga tampak jauh lebih intens dibanding biasanya. Membuat aku agak risih sebenarnya. “Kenapa, sih?”

“Wajahmu semringah banget. Menang lotre?”

“Hush!” aku mendelik tak suka. “Sembarangan!”

Winda malah tergelak heboh. Bahkan sampai aku masuk ke dalam mobilnya.

“Eh tumben kamu enggak bawa mobil sendiri? Ke mana mobilmu?”

“Tadi pagi Mas Hanung antar aku kerja.” Aku berkata sembari mengenakan seat belt. Lalu ... memamerkan cincin yang melingkari jemari dengan penuh bangga. “Bagus, kan?”

“Wah, jadi semringah karena cincin, toh?” Winda kembali tertawa. “Bagus, kok. Enggak norak dipakai kamu. kalau aku yang pakai, sudah macam Mak Dukun karena berliannya kegedean di jemari aku yang mungil ini.”

“Kamu menghancurkan moodku saja, deh,” Aku mengerut tak terima. Winda lagi-lagi menertawakanku. Tapi aku tak sakit hati. Aku sudah sangat terbiasa dengan selorohan Winda dan tingkah konyolnya. Sahabatku itu paling bisa membuat mood naik seratus persen hanya karena banyolannya.

“Berarti enggak ada acara galau lagi?” tanya Winda yang sudah menjalankan mobilnya keluar dari area parkir. “Kalian sudah baikan, kan?”

“Iya,” aku mengangguk tanpa ragu. “Terima kasih, ya, sudah mau dengarkan aku curhat.”

Winda tersenyum tipis. “Tapi, Lis, aku tetap memperingati kamu. Terkadang apa yang kita lihat baik-baik saja dan tampaknya manis, ternyata dia lagi merencanakan sesuatu. Aku benar-benar berdoa kamu enggak mengalami hal itu, sih.”

“Kamu enggak per—“

“Aku bukan lagi menakut-nakuti kamu, ya. Tapi kamu harus buka mata. Lelaki itu bisa manis hari ini, lalu besok jadi orang asing yang nyakitin kamu tanpa rasa bersalah. Jangan terlalu cepat luluh cuma karena dia minta maaf atau bilang sayang. Apalagi sampai beri kamu hadiah. Banyak yang pura-pura berubah cuma supaya kamu berhenti curiga. Jangan kasih dia ruang buat main peran lagi, apalagi kalau yang jadi korbannya kamu sendiri. Waspada itu bukan berarti kamu enggak cinta—itu bentuk cinta kamu ke diri sendiri.”

Aku tahu Winda mengatakan hal itu demi diriku tapi ... bukankah dia yang terlalu skeptis tentang cinta dan rumah tangga? Karena dia pernah gagal sebelumnya, bukan berarti semua pria harus dipukul rata tingkah lakunya, kan? Aku yakin Mas Hanung tak seperti itu.

“Iya, aku paham,” kataku pelan, tak ingin terlalu banyak mendebat. Kuhargai kecemasan Winda meski rasanya mengganjal sekali di benak. Tapi atas nama persahabatan, aku menahan diri. Lebih baik aku menyimak saja, tak perlu terlalu digubris.

Mas Hanung mencintaiku dan tak akan melakukan hal buruk terhadap pernikahan kami. Itu yang aku percayai.

***

Mas Suami :

Dek, maaf Mas enggak bisa jemput kamu. Nanti Anas yang jemput, ya. Mas ada urusan mendadak ke Serang. Doakan proyek kali ini goal, ya.

Aku masih terpekur menatap ponsel yang menampilkan pesan dari Mas Hanung. Padahal kupikir, kami akan pulang bersama. Di rumah, aku akan membuatkan makan malam kesukaannya. Oh, aku juga berencana mampir ke minimarket untuk belanja sayur-mayur untuk bekal suamiku besok.

Sayangnya, hal itu tak bisa terlaksana.

Me :

Sayang banget, padahal aku mau buatkan udang saus padang kesukaan Mas, lho, untuk makan malam. Tapi mau dibilang apa, kan? Hehhehe. Hati-hati di jalan, ya. Doaku selalu menyertaimu, Mas. Aku tunggu Anas jemput kalau begitu. Semoga enggak terlalu lama karena harus jemput Nabil dulu.

Jemariku mengetik balasan dengan cepat. Dan aku juga segera merapikan perlengkapanku jangan sampai ada yang tertinggal. Ponselku kembali berdering pelan pertanda sebuah pesan masuk.

Mas Suami :

Nabil sudah pulang bersama Rara. Hari ini mereka enggak les, Sayang. Kamu lupa, ya?

Keningku berkerut. Yang semula dudukku santai, kini tegak begitu saja. Jemari ini juga tak lagi ingin membalas pesan tersebut, melainkan menekan icon hijau dan membuat panggilan segera. Tak butuh waktu lama, Mas Hanung merespons panggilanku.

“Ya, Sayang?”

“Kok Nabil bisa sama Mbak Rara?” Atas nama sopan santun, aku tetap memanggilnya ‘Mbak’ Rara.

“Rara info ke aku kalau hari ini dia lowong untuk jemput Arya. Dan dia menawarkan diri mengantar Nabil sampai ke rumah. Biar sekalian juga katanya. Aku enggak keberatan, lagian kamu juga sibuk, kan?”

Aku mengerjap tak percaya. “Meski sibuk tapi aku selalu meluangkan waktu untuk Nabil, Mas. Dan kamu enggak bicara dulu sama aku tentang ini.”

Aku bisa mendengar Mas Hanung menghela panjang. “Maaf, Sayang. Mas terburu-buru tadi. Mas pikir hal ini enggak buat kamu jengkel. Tapi Mas percaya kalau Rara enggak mungkin buat celaka Nabil.”

Andai itu terjadi, aku akan menuntut wanita itu sampai tak bisa berkutik. Nabil adalah putriku tersayang. Tak akan kubiarkan hal buruk terjadi padanya. “Lain kali sempatkan untuk kabari aku, Mas. Lagian Mbak Rara enggak ada info apa pun ke aku padahal dia ada di grup yang sama denganku, Mas.”

Entah kenapa, aku selalu sensitif jika berkaitan dengan wanita itu.

“Mungkin sibuk, Sayang? Coba Mas hubungi dia untuk ta—“

“Enggak usah,” potongku segera. “Aku saja yang hubungi Mbak Rara. Lagian kamu sudah di jalan, kan? Lebih baik hati-hati di perjalanan. Biar aku yang hubungi Mbak Rara untuk tahu bagaimana Nabil.”

“Ya sudah kalau begitu. Mas mungkin di Serang tiga hari. Kamu baik-baik bersama Nabil, ya, di rumah.”

Tak lama berselang, pembicaraan kami di telepon kusudahi. Agak berbahaya bagi Mas Hanung jika berlama-lama bicara di telepon. Baru saja aku memutuskan untuk menelepon Rara, Rina memberitahuku jika Anas sudah ada di depan butik. Kuurungkan sejenak, setelah di mobil aku pasti akan menanyainya mengenai keberadaan putriku.

Begitu aku keluar dari butik, keningku lagi-lagi berkerut heran.

“Sore, Bu,” sapa Anas dengan sopannya. “Saya jemput Ibu pakai mobil Bapak.”

“Jadi tadi kamu ke rumah dulu ambil mobil Bapak?”

“Enggak, Bu,” sahut Anas segera. “Mobil Bapak, kan, ada di kantor sejak siang tadi.”

“Di kantor?” Aku belum lupa jika mobil Mas Hanung terparkir di garasi sejak aku meninggalkan rumah pagi ini. Mas Hanung menggunakan mobilku untuk mengantar Nabil sekolah serta mengantarku ke butik.

“Eh ... maksudnya di rumah.” Anas nyengir lebar. “Saya ambil di rumah siang tadi, Bu.”

“Begitu, ya?” Ada sebersit rasa curiga tapi segera aku enyahkan karena ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan. Termasuk bicara dengan Rara menanyakan keberadaan Nabil. “Ya sudah, langsung pulang ke rumah saja, Nas.”

“Baik, Bu.”

Tak butuh waktu lama, mobil pun melesat meninggalkan area parkir butik. Aku yang baru saja akan menghubungi Rara, sedikit terkejut lantaran kakiku menginjak sesuatu. Saat aku mencari apa yang mengganjal di ujung heels, aku dikejutkan oleh benda yang sungguh tak terduga ada di selipan karpet mobil.

“Lipstik?” tanyaku heran. “Lipstik siapa ini?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [9]

    “Nabil, roti lapisnya sudah Mami siapkan dan dibungkus. Jangan lupa dimasukkan ke tas, ya!”Lisa mengangkat suara dari dapur sambil menyusun bekal di kotak makan masing-masing.“Iyaaa, Ma!” Terdengar suara langkah kaki kecil mendekat, disusul Arya yang diam-diam ikut masuk ke dapur.“Ini, Tante,” kata Arya sambil menyerahkan botol minumnya. Juga botol minum Nabil agar diisi oleh air menyegarkan yang dibuatkan Lisa untuk mereka. Arya suka sekali dengan apa yang dibuat Lisa. Dan rasanya ... ia tak ingin pulang dari rumah yang benar-benar hangat ini.Lisa tersenyum dan mengisi botol itu dengan infused water. “Kamu suka yang lemon strawberry, kan?”Arya mengangguk. “Iya. Enak.”Lisa mengusap puncak kepala Arya penuh sayang. “Tante buatkan lagi, ya. Jangan lupa bekalnya dihabiskan, ya. Sarapannya sudah Tante siapkan di meja. Makan dulu sama Nabil..”“Iya, Tante.”Lisa pun sibuk dengan 2 botol milik bocah kecil yang meramaikan rumahnya ini. lantas bergegas mengisi dengan minuman yang diingi

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [8]

    “Ayo, anak-anak. Sudah waktunya kalian tidur, kan?” peringat Lisa sembari membawakan dua gelas susu hangat untuk dua anak yang masih berkutat dengan buku gambar. Setelah mengerjakan PR yang cukup banyak, mereka memilih menghilangkan penat dengan menggambar.Tadinya Nabil ingin menonton film tapi Arya tak mau. Katanya nanti bisa terlalu malam tidurnya. Bagus juga peringatan yang Arya ungkapkan untuk Nabil. Jadi anak itu bisa lebih mandiri dan disiplin untuk tidur.“Iya, Mi. Sebentar lagi,” kata Nabil yang masih sibuk mencari salah satu pensil warna yang ia butuhkan.“Minum susunya dulu.”Mereka pun patuh. Duduk bersama menikmati segelas susu hangat buatan Lisa, mereka juga banyak bercerita mengenai kegiatan di tempat les. Terutama Nabil yang mendapatkan nilai sempurna untuk perhitungan dasar. Arya memujinya beberapa kali dan Nabil benar-benar senang dengan pujian itu.“Kalau nanti kamu kesulitan pas belajar menghitung, tanya aku saja, Ya,” kata Nabil.Arya mengangguk sembari tersenyum

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [7]

    Winda datang menjelang sore karena waktu yang sahabatnya punya, hanya di sekitar jam luang. Dan bisa dibilang, Winda sekalian pulang setelah bekerja. Lagi pula pekerjaan Winda sebenarnya bisa saja dikerjakan di rumah. Hanya Winda lebih memilih berangkat ke kantor untuk menghilangkan penat.“Hei, kamu ngelamun lagi,” tegur Winda sambil menjentikkan jari di depan wajah Lisa. “Ini satin udah tiga kali kamu lipat-lipat, tapi enggak rapi-rapi.”Lisa terkesiap. “Hah? Ya ampun, sorry. Aku nggak fokus.”“Kelihatan banget.” Winda meletakkan tote bag-nya di kursi rotan pojok butik, lalu duduk santai. “Udah, sini. Duduk dulu. Cerita.”Winda sejak tadi memerhatikan Lisa. Bukan sekali dua kali sahabatnya melamun seperti ini. Entah apa yang dipikirkan tapi rasanya ... aneh sekali. Saat ada masalah dengan mantan suaminya yang berengsek itu, Lisa tak sampai kehilangan fokus seperti ini.Tapi kali ini ...“Kamu enggak mau cerita?” desak Winda dengan sorot mata penasaran. “Apa yang sebenarnya terjadi?”

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [6]

    “Kalian berdua, semangat sekolahnya, ya,” kata Lisa sembari memberi pelukan hangat pada Nabil juga Arya. Tak jauh dari mobil Lisa terparkir, ada Erna serta rekan Lisa lainnya yang turut mengantar anak mereka. Lisa menyapa ramah tapi kembali fokus pada kedua anak yang kini berjalan memasuki area lobby sekolah.“Lho, bukannya itu anaknya si pelakor itu?” tanya Bu Erna dengan wajah terkejut. “Kok bisa bareng sama kamu?”Lisa tersenyum tipis. “Iya, Mbak. Arya nginap di rumah aku seminggu ke depan. Ayahnya lagi ada dinas ke Surabaya seminggu ke depan.”Erna masih belum bisa mencerna perkataan Lisa barusan. “Ta-tapi, kan, dia ...”“Mbak Erna, mohon maaf banget. Aku harus ke butik pagi ini. Bagaimana kalau kita ngobrol pas anak-anak acara berenang? Anakmu ikut, kan?”Erna segera mengangguk. “Kamu benar. Lebih baik kita bicara saat waktunya longgar. Tapi kamu benar-benar harus cerita yang detail, ya, Lis. Aku penasaran banget, lho. Kalau Tina dan Jihan tahu, mereka pasti sama. Menuntut penjel

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [5]

    Hari pertama Arya menginap di rumah Lisa, Lisa merasa seperti memiliki 2 anak dengan kepribadian yang sangat berbeda. Nabil dengan tingkahnya yang cerewet dan terkadang banyak protes. Arya lebih banyak diam dan menuruti semua keinginan Nabil. Bocah lelaki itu memosisikan dirinya sebagai kakak laki-laki yang bisa Nabil andalkan.Tapi satu hal yang membuat Lisa senang. Arya tak pernah sungkan untuk bicara dengannya walau perlahan dan terkadang, butuh ditanya ulang apa keinginan anak itu.“Kamu yakin sudah cukup?” tanya Lisa penasaran. Kotak bekal Arya sudah ia buatkan roti lapis dengan selai strawberry juga coklat yang menjadi kesukaan bocah itu. Tapi ternyata, Arya juga menginginkan nasi goreng seafood buatan Lisa. Hanya saja, isinya sedikit sekali.“Iya, Tante. Ini sudah cukup. Lagian kita mau sarapan bersama, kan?”“Iya.” Lisa tersenyum lebar. Diusapnya lembut puncak kepala Arya. “Nah, sementara Tante siapkan jus, boleh panggilkan Nabil? Tante rasa dia sudah selesai merapikan bukunya.

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [4]

    Kalau ada yang ingin mengatakan betapa konyol dan impulsif tindakan Lisa, silakan utarakan. Lisa sendiri tak tahu apa yang sebenarnya ada di pikirannya. Kenapa juga ia setuju dengan permintaan Ronald.Saat pria itu diberikan keputusan jika Lisa mau membantu, wajah tampannya jauh lebih bersinar dari sebelumnya. Bisa dibilang, mungkin sebagian besar bebannya berkurang banyak.“Mami kenapa?” tanya Nabil bingung. Sejak tadi ibunya berulang kali gonta-ganti siaran TV. biasanya, ia tak pernah seperti itu.“Enggak apa-apa, Sayang,” Lisa menyeringai tipis. “Duduk sini.” Ia pun meminta anaknya untuk duduk di dekatnya. Nabil menuruti dan segera bersandar begitu Lisa merangkulnya penuh sayang. “Ehm ... Mami mau ngomong sama kamu. Bisa?”“Biasanya juga ngomong, kan?”Lisa tertawa jadinya. “Iya, juga, ya.” Tak mungkin ia tak membicarakan dengan anaknya, kan? “Menurutmu, kalau Arya tin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status